Iya, rasa-rasanya koq kurang elok, [entah mengapa juga aku tidak sreg dengan kata "elok" ini, digunakan dalam konteks ini] jika entri terbaru justru mengenai masuk angin, sudah begitu lama tidak dimutakhirkan pula. [sebaiknya kukurangi penggunaan kata dan ungkapan yang tidak baku, agar tidak repot mengursifkan, meski terkadang kata dan ungkapan tidak baku itulah yang menambah cita-rasa sebuah entri—seperti rempah-rempah dalam masakan begitu] Meski sekarang pun—atau mungkin lebih tepatnya kemarin sampai tadi malam—badanku terasa seperti masuk angin.
Kini, aku hanya dapat berdoa, semoga Allah mengaruniakan kesehatan yang sempurna kepadaku, menunjukkan jalan ke arahnya—meski aku punya sedikit rasa bahwa aku sudah diberitahu caranya. Kesehatan badan dan jiwa memang sepertinya berjalan berdamping-dampingan, saling bergandengan tangan. Keduanya harus sama-sama kukuh, kuat, tegap melangkah. Jika salah satunya gontai, maka lainnya akan menopang beban yang lebih berat dari dirinya sendiri—dan yang seperti itu tidak sesuai dengan fitrah. Aku, sementara itu, sudah lama percaya bahwa manusia sejatinya adalah mahluk spiritual.
Mahluk, yang artinya ciptaan, sebagai lawan dari Khaliq. Khaliq itu tunggal, sedangkan mahluk jamak. Inilah penjelasan yang paling memuaskan, terlebih bila dibandingkan dengan segala zoon dan homo itu... zoon politicon, homo economicus... entah apa-apa. Mungkin orang-orang yang dari kecilnya belajar agama merasa istilah-istilah itu memukau. Namun, buatku yang dari kecil sudah terbiasa dengan nama-nama dinosaurus yang berbahasa Latin, terbiasa mendengarkan gubahan-gubahan Tchaikovsky, Brahms, Wagner dan sebagainya itu, istilah-istilah mahluk dan Khaliq lebih memukau. [ini tentu suatu pembenaran yang sekenanya]
Jika kutuliskan juga di sini, mungkin janjiku tidak tunai-tunai juga. Namun, entah bagaimana caranya, aku selalu tidak enak badan tidak enak hati ketika berniat menunaikan janji itu—sedangkan aku memerlukan suasana hati dan kesehatan badan yang sempurna untuk melakukannya. Mendengar apa yang terjadi di Tolikara apalagi Suriah, badanku rasanya lungkrah, hatiku terasa masygul mencelos. Apa betul Pancasila dan UUD 1945 adalah obat bagi itu semua? Apa bukan istighfar dan shalawat yang sebanyak-banyaknya?
Rasa masuk angin ini, Ya Allah... Lhah... sebentar... niatnya entri ini ‘kan agar entri terakhir bukan mengenai masuk angin. Sedangkan Swan Lake-nya Tchaikovsky terdengar begitu riangnya. Dapat terbayang olehku les patineurs meluncur-luncur berkeliling padang salju atau lantai es. Oh, mereka pasti sehat sekali, sedangkan aku hanya bisa meratap-ratap sambil mensugesti diriku bahwa Allah sedang ingin mendengarku meratap-ratap. Aku yang bebal ini memang harus meratap-ratap jika tidak mau berhenti bebal juga. Sudah empat puluh tahun menurut perhitungan bulan!
Diri ini tidak mungkin berubah seperti sulapan begitu saja ketika mencapai bilangan empat puluh tahun menurut perhitungan bulan. Diri ini diberi kemampuan untuk mengubah dirinya sendiri, dan itu kiranya yang ingin dilihat oleh Allah. Sedangkan Paduan Suara tawanan Yahudi dalam Nabucodonosor oleh Verdi ini seakan menggambarkan betapa tidak berdayanya aku menjadi tawanan diri rendahku sendiri. Ketika hati merasa senang sedikit, ketika badan merasa enak sedikit, malah kedurhakaan yang kulakukan. Pantaskah itu dilakukan seseorang yang sudah empat puluh tahun menghirup hawa dunia, menurut perhitungan bulan?
Sementara itu, Udara pada Senar G ini seakan mengilhamkan Kasih-SayangMu, Ya Allah. Suatu bentuk kasih-sayang yang kukenal sejak kecil, meski tanpa belaian tangan dan kata-kata lembut. Beginilah cara Ibu menyayangiku, dengan musik. Dari semua warisan Ibu, mungkin inilah yang kudekap paling erat saking berharganya. Musik, yang selalu menjadi penawar bagi hatiku yang entah mengapa selalu cenderung sendu dan muram ini. Semoga ia pun menjadi ilham bagiku untuk senantiasa bersegera kepada AmpunanNya, yang seluas bumi dan langit. Aamiin Yaa Rabbal’alamin.
No comments:
Post a Comment