Ini adalah sedikit upaya muhasabah, mengenai apa saja yang sudah kulakukan dalam rangka Ramadhan 1436 H ini, ketika Masjid Qoryatussalam Sani berhias dengan lampu kecil merah hijau putih dibentuk kubah mesjid dan menaranya. Patut dicatat di sini, aku agak banyak teraweh Ramadhan ini, tidak seperti tahun lalu. Aku ingat ketika masih di Gang Pepaya, ada beberapa kali aku mengikuti shalat tarawih di mesjid pinggir Stasiun UI itu, bahkan mungkin juga di al-Mukhlisin atau al-Falah di Radio Dalam.
Akan tetapi, harus segera disusul catatan mengenai terawehku selama Ramadhan ini, bahwa kebanyakan kulakukan karena aku terpaksa mengimami anak-anak ini dan bunda mereka, baik ketika ada Afifah maupun tidak. Untuk kepentingan itulah maka kuatur surat-surat pendek yang kubaca adalah al-Kafirun, al-Ikhlas, al-Falaq, an-Naas kemudian berganti-ganti jika tidak al-Insyirah maka al-Qadar, terutama di akhir-akhir Ramadhan, kemudian al-Ashr atau an-Nashr, lalu al-Qurays kemudian al-Kautsar. Begitu terus urutannya kuulang-ulang ketika aku harus mengimami.
Sepanjang Ramadhan ini, tidak sekali pun aku teraweh di mesjid manapun, khususon Masjid Qoryatussalam Sani yang aduhai banyak anak kecilnya. Sungguh aku tidak tahan. Sebenarnya, jika demikian alasanku, maka seharusnya aku bisa shalat di situ setiap Shubuh saja. Boro-boro menjadi muadzin, boro-boro aktif di mesjid, shalat berjamaah di mesjid itu saja nyaris tidak pernah. Terlepas dari banyaknya anak kecil, bagaimanapun sungguh beda rasanya Masjid Qoryatussalam Sani dengan Masjid al-Barkah Jeruk Purut misalnya, bahkan dengan masjid kecil di pinggir Jalan Raya Duren Tiga itu.
Apakah karena aku cenderung pada Nahdliyin? Dulu kecil memang aku selalu shalat di al-Mukhlisin, setidaknya setiap Jumat. Aku lupa kapan mulainya, mungkin sejak SMA, aku berhenti shalat di al-Mukhlisin malah di al-Falah di Kompleks AL yang Muhammadiyah itu. Terawehku Ramadhan ini juga menurut cara yang konon Muhammadiyah, yakni delapan raka’at dikerjakan dengan dua kali salam, ditambah witir tiga raka’at. Seingatku, ketika teraweh di Masjid Ukhuwah Islamiyah UI juga begitu caranya, kecuali salamnya yang empat kali.
Ini semua sekadar menandakan bahwa ibadahku khususon tarawih masih asal-asalan tidak pakai ilmu. Asal dengar asal ikut saja, bahkan niatnya pun tidak sempurna sekadar karena harus mengimami anak-anak itu. Ini semua akan menjadi penyesalan ketika Ramadhan berakhir, namun, kuharap, sekaligus juga menjadi doa agar disampaikan lagi pada Ramadhan tahun berikutnya, 1437 H, dengan niat, nawaitu, bismillah, untuk memperbaiki ibadah sebaik mungkin. Aamiin Yaa Rabbal’alamin, Yaa Mujibas saa’ilin. Paksakeun, paksakeun, paksakeun.
Demikianlah maka tanpa terasa—seperti selalu saja setiap tahunnya—Ramadhan sudah berjalan 27 hari. Tahun ini, aku tidak membuat entri berjudul Ramadhan yang pergi karena kuabaikan atau yang sejenisnya, karena memang niat awalnya adalah jangan sampai begitu. Nyatanya, tetap saja Ramadhan sudah berumur 27 hari sedang yang kurasakan tidak lebih dari lapar dan haus selama 27 hari terakhir ini, Naudzubillah tsumma naudzubillah! Jangankan bertambah peribadatan, lapar dan hausnya pun mungkin sudah kurusak sendiri.
Mungkin itu pula sebabnya, aku tergerak untuk ikut meramaikan 25 Tahun SMA Taruna Nusantara 14 Juli 1990-2015. Di tahun ke-40 hidupku di muka bumi Allah menurut perhitungan bulan ini, aku koq semakin tidak yakin dengan apa yang diperjuangkan oleh sekolah itu. Jangankan sekolahnya itu sendiri, gagasan mendasar yang diperjuangkannya pun sudah luntur kepedulianku padanya. Daripada pusing memikirkan Pancasila, UUD 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan entah apa lagi, mengapa tidak kuperbanyak istighfar dan shalawat saja?
Laa ilaaha illallahul Malikul Haqqul mubiin
Muhammadur rasulullahu shadiqul wa’dil amin
No comments:
Post a Comment