Puasa hari kelimabelas, meski lupa sahur dengan apa, aku ingat malah jadi van Gogh yang malamnya berbintang-bintang. Aku malah merasa sedang berlomba—eit, berlomba bukan bersaing, karena berlomba itu seperti melonjak-lonjak gembira, seperti umbul-umbul perang—dengan Bang Hidayanto “Tiyok” Budi Prasetyo. Terlebih dengan Denny JA. Tidak. Aku tidak berlomba apalagi bersaing dengannya. Aku tidak sedang membuat atau merintis atau apalah genre baru. Jikapun ada, itu adalah sebuah genset. Itu pun tiada.
Setelah Nocturne di Hari Terakhir Musim Panas, memang sungguh cocok jika dipadankan dengan hari panas tanpa pendingin udara yang membuat anak-anak perempuan yang sudah tidak anak-anak lagi mengibas-ngibaskan rambut-rambut panjang mereka, atau sekadar mengikatnya—sementara satu menyusulku berlari menaiki tangga karena tidak tahan panasnya. Di hari yang panas ini pulalah aku menyadari bahwa punggung berjerawat banyak itu bukan sesuatu yang patut dikhawatirkan berlebihan. Tentu saja itu karena aku mengetahui ada yang bernasib lebih buruk dari aku, seperti biasa.
Van Gogh yang mengibas-ngibaskan kuas belepotan cat tidak mungkin terlihat lebih ironis dari ini. Dengan berlinang air mata, meski dalam khayalku saja, aku terus mengoceh mengenai sejarah peradaban manusia—meski ini mungkin ocehanku terbaik mengenai topik tersebut selama beberapa tahun terakhir. Dalam ruangan yang semakin pengap karena semangatku yang meluap-luap, tangan bahkan seluruh lenganku bergerak-gerak ramai ke sana ke mari meningkahi dongengku yang seru sendiri. Itu belum semua. Belum semua bagian favoritku keluar.
Meluapkan semangat sebanyak itu, tentu saja membuatku haus. Lucunya, lebih dari sekadar haus cairan yang sepele, aku justru haus kasih sayang. Linangan air pada mata bercelak—atau memang begitu matanya? Tidak, ah, memang bercelak—yang diseka dengan sepotong tisu tidak akan menghilangkan dahaga ini, maka sekalian jangan diteguk. Biarlah Satu Kisah yang Cantik menjadi penawar dahaga. Biarlah ia melinangkan air mata sendiri. Biarlah ia melinang ke dalam sehingga tidak sampai membasahi pipi.
Sehingga tidak dijilat meski asin. Sehingga tidak batal puasanya, karena ini hari kelimabelas bulan Ramadhan Karim! Dengan nama yang sama, dengan pipi yang bersemu merah meski tidak begitu kelihatannya, menambat pandang juga tidak ayal. Itulah Ratu Saba. Bukan Ratu Sima. Jika ada yang percaya bahwa adanya di Jawa, biarkan saja. Aku pun membuat banyak kebohongan seperti itu. Kebohongan yang membuat haus mendahaga, gelegak mendahana. Tidak mungkin dipungkiri, aku lelaki beranjak tua.
Jiahaha... tidak perlu genre baru, ini semua hanya membutuhkan GENSET baru. Selepas itu semua, melepas lelah sedangkan waktu berbuka hanya tinggal beberapa menit saja. Belum shalat Ashar! Seteguk air, shalat Maghrib, dan meluncurlah ke satu-satunya gang kecil yang tersisa, paralel dengan Statsiun Pondok Cina. Bakmi ayam pangsit rebus, tidak hanya itu, fu yung hai. Hari kelimabelas puasa hampir berlalu begitu saja, tidak diisi dengan sebait dua lagu, terdorong oleh keinginan bernyanyi.
Malam berbintang-bintang boleh menunggu sampai entah kapan. Ini saatnya Purnama yang selalu membawa ilham cinta. Bilakah engkau akan tiba? Sudah tua, masih saja mengharap-harapkannya. Sudahlah. Berpuas dirilah dengan sepeser dua yang kaudapat dari perbuatan-perbuatan yang tak pantas dibayar, karena rejeki sudah ada yang mengatur. Nikmati saja malam tak berbintang-bintang dengan dentang-dentangnya lonceng hasrat. Sepuluh lagi, dapatkah dihentikan tepat benar disitu, tepat lima ratus?
Setelah Nocturne di Hari Terakhir Musim Panas, memang sungguh cocok jika dipadankan dengan hari panas tanpa pendingin udara yang membuat anak-anak perempuan yang sudah tidak anak-anak lagi mengibas-ngibaskan rambut-rambut panjang mereka, atau sekadar mengikatnya—sementara satu menyusulku berlari menaiki tangga karena tidak tahan panasnya. Di hari yang panas ini pulalah aku menyadari bahwa punggung berjerawat banyak itu bukan sesuatu yang patut dikhawatirkan berlebihan. Tentu saja itu karena aku mengetahui ada yang bernasib lebih buruk dari aku, seperti biasa.
Van Gogh yang mengibas-ngibaskan kuas belepotan cat tidak mungkin terlihat lebih ironis dari ini. Dengan berlinang air mata, meski dalam khayalku saja, aku terus mengoceh mengenai sejarah peradaban manusia—meski ini mungkin ocehanku terbaik mengenai topik tersebut selama beberapa tahun terakhir. Dalam ruangan yang semakin pengap karena semangatku yang meluap-luap, tangan bahkan seluruh lenganku bergerak-gerak ramai ke sana ke mari meningkahi dongengku yang seru sendiri. Itu belum semua. Belum semua bagian favoritku keluar.
Meluapkan semangat sebanyak itu, tentu saja membuatku haus. Lucunya, lebih dari sekadar haus cairan yang sepele, aku justru haus kasih sayang. Linangan air pada mata bercelak—atau memang begitu matanya? Tidak, ah, memang bercelak—yang diseka dengan sepotong tisu tidak akan menghilangkan dahaga ini, maka sekalian jangan diteguk. Biarlah Satu Kisah yang Cantik menjadi penawar dahaga. Biarlah ia melinangkan air mata sendiri. Biarlah ia melinang ke dalam sehingga tidak sampai membasahi pipi.
Sehingga tidak dijilat meski asin. Sehingga tidak batal puasanya, karena ini hari kelimabelas bulan Ramadhan Karim! Dengan nama yang sama, dengan pipi yang bersemu merah meski tidak begitu kelihatannya, menambat pandang juga tidak ayal. Itulah Ratu Saba. Bukan Ratu Sima. Jika ada yang percaya bahwa adanya di Jawa, biarkan saja. Aku pun membuat banyak kebohongan seperti itu. Kebohongan yang membuat haus mendahaga, gelegak mendahana. Tidak mungkin dipungkiri, aku lelaki beranjak tua.
Jiahaha... tidak perlu genre baru, ini semua hanya membutuhkan GENSET baru. Selepas itu semua, melepas lelah sedangkan waktu berbuka hanya tinggal beberapa menit saja. Belum shalat Ashar! Seteguk air, shalat Maghrib, dan meluncurlah ke satu-satunya gang kecil yang tersisa, paralel dengan Statsiun Pondok Cina. Bakmi ayam pangsit rebus, tidak hanya itu, fu yung hai. Hari kelimabelas puasa hampir berlalu begitu saja, tidak diisi dengan sebait dua lagu, terdorong oleh keinginan bernyanyi.
Malam berbintang-bintang boleh menunggu sampai entah kapan. Ini saatnya Purnama yang selalu membawa ilham cinta. Bilakah engkau akan tiba? Sudah tua, masih saja mengharap-harapkannya. Sudahlah. Berpuas dirilah dengan sepeser dua yang kaudapat dari perbuatan-perbuatan yang tak pantas dibayar, karena rejeki sudah ada yang mengatur. Nikmati saja malam tak berbintang-bintang dengan dentang-dentangnya lonceng hasrat. Sepuluh lagi, dapatkah dihentikan tepat benar disitu, tepat lima ratus?
No comments:
Post a Comment