Hai Halo Pembaca yang Budiman, sekadar pengumuman, entri yang kalian baca ini adalah yang ke-251 loh di Kemacangondrongan. Ngapain ajaaa coba ketak-ketik ga jelas sampai sebanyak ini. Akhirnya, Kawan-kawan, ini mungkin adalah kesenangan terakhirku. Main game aku sudah tidak sesemangat dulu, makan pun demikian. Jadi maafkan aku, ya, Kawan-kawan, kalau kalian ada membaca ketak-ketikanku yang entah apa-apa ini. Sungguh aku mengetik ini untukku sendiri. [Bagaimana kalau tiba-tiba blogspot menghentikan layanan ini, seperti multiply...]
Sebenarnya aku malas berbicara pada kalian. Berbicara pada banyak orang sudah sering kulakukan di kelas-kelas. Aku ingin berbicara dengan...mu. Iya, kamu. Jadi... [kupanggil apa kamu, ya...] aku adalah seorang pengajar mata kuliah Hukum dan Perubahan Iklim di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, bersama dengan Dr. M.R. Andri G. Wibisana. Tepatnya aku hanya membantu-bantu beliau sih, da aku mah apa atuh. Kini aku ingin bicara mengenai perubahan iklim, namun tidak seperti di kelas. Aku ingin bicara mengenainya... sesukaku.
Malam ini udara terasa panas. Mungkin jika aku sudah merasakan udara gerah seperti ini, itu berarti aku sudah sehat. Mungkin. Ini memang sudah masuk musim kemarau di Indonesia bagian barat. Jika kuingat-ingat, aku jarang sakit ketika peralihan dari kemarau ke penghujan—kecuali langsung kehujanan dan kebasahan berlama-lama. Justru sebaliknya, dari penghujan ke kemarau, aku hampir selalu masuk angin. Hei, mungkin di situ letaknya, yaitu basah berlama-lama. Peralihan dari penghujan ke kemarau selalu membuatku basah berkeringat!
Setahun atau dua tahun lalu, aku ingat jalan-jalan ke Ragunan bersama anak-anak. Benar-benar berjalan kaki sampai basah kuyup berkeringat. Setelah itu pulangnya naik taksi duduk di kursi depan, disembur pendingin udara sedangkan jalanan macet, agak beberapa jam. Akibatnya aku masuk angin tidak sembuh-sembuh, cukup lama seingatku, ada setidaknya seminggu lebih. Ah, namun Alhamdulillah malam ini aku merasa sudah lebih sehat. Aamiin Yaa Rabbal’alamin. Semoga seterusnya sehat tidak sakit-sakitan lagi. Aamiin.
Namun pertanyaannya kini, aku yang bertambah tua atau memang iklim berubah menjadi lebih keras. Bisa jadi dua-duanya. Dunia yang semakin tua, manusia yang semakin banyak, dan aku hidup di tempat berkumpul berkerumunnya manusia! Tidak bisa lain, aku hanya dapat berusaha untuk terus menyesuaikan diri dengan keadaan. Satu hal yang jelas, tidak akan aku membahayakan kesehatanku untuk alasan apapun. Kurasa, di akhir jaman ini, di pinggiran Jakarta apalagi di tengah-tengahnya ini, tidak ada cukup alasan untuk mengorbankan nyawa.
Aku harus bertahan hidup, sedapat-dapatnya, di bawah deraan iklim dan cuaca yang rasanya semakin tidak bersahabat ini. Aku harus bertahan hidup, karena dosaku banyak. Aku harus mencoba untuk terus minta maaf dan ampun sampai aku tahu bahwa aku dimaafkan dan diampuni. Biarlah aku mementingkan diri sendiri saja, toh nanti semua pun nafsi nafsi. Jangankan urusan dunia yang sepele-sepele, yang kesannya sangat penting pun akan kutinggalkan demi kesehatanku. Aku harus tetap sehat, karena bagaimanapun beribadah lebih enak apabila badan terasa sehat segar.
Begitulah pemahaman dan penghayatanku mengenai perubahan iklim. Mungkin ini menjelaskan mengapa Bang Andri doktor sedangkan aku... belum. Ya, belum. Akan terus kuusahakan, tetapi itu tadi, jangan sampai merusak kesehatan... Bicara mengenai merusak kesehatan... hmm, mungkin suatu hari nanti akan ada waktunya aku berhenti dari itu semua. Paling melelahkan dari semuanya adalah berurusan dengan banyak orang, dengan berbagai-bagai keinginan dan kepentingannya, sedangkan aku... Aku benar-benar tidak tahu urusan. Sejatinya, aku memang tidak tahu apa-apa.
Turn down. Switch off. Recycle.Walk. 'Pala lo pitak.