Ibu Risang Sungkawa (sumber) |
Cucok lah lagu Tante Geri ini mengiringi perasaan hatiku di Sabtu siang ini. My Love, My Love, siang ini, aku ingin membicarakan mengenai... pekerjaanku mengajar. Ini lagi? Lalu apa lagi? Seandainya saja aku punya cukup waktu untuk membangun suasana hati sehingga semangat membaca-baca ebook -yang ratusan jumlahnya itu, yang cuma menuh-menuhin storage tablet itu- mungkin aku punya lebih banyak lagi bahan pembicaraan. Hey, keadaan ini juga berbahaya bagi pekerjaanku. Lama-lama aku bisa jadi tep rekorder, seperti yang selama ini kucerca dan kucaci-maki. Dari tahun ke tahun, dari semester ke semester, itu saja yang diulang-ulang. Kurasa itu sudah terjadi, setidaknya pada Hukum Lingkungan dan Hukum Perdata Dagang; dan kalau ini diterus-teruskan, akan terjadi juga pada Hukum Koperasi dan Hukum Adat kesayanganku. Namun bukan ini benar yang ingin kubicarakan di sini. Aku ingin berbicara, di sini, saat ini, mengenai murid-muridku. Mereka masih kecil-kecil. Betapa tidak? Yang termuda sekarang kelahiran '94. Seandainya saja aku seorang petani yang punya tanah sendiri agak luas, pada tahun itu aku sudah bisa membuat istriku melahirkan mereka -dengan catatan aku sudah mulai bertani sejak 1992 dan hasil panennya baik pula selama itu. Akan tetapi, karena aku bukan petani, beginilah jadinya aku; sampai hampir lima windu umurku masih saja tidak berguna. Murid-muridku itu... merekalah anak-anakku. Aku sendiri tidak berkesempatan membesarkan gadis kecilku. Tau-tau saja aku dikerubuti oleh gadis-gadis kecil. Ada yang minta dibimbing skripsi sampai kumlot, ada yang minta ujian susulan, ada yang minta nilai A, ada yang memintaku jadi panelis entah apa... Aku tidak pernah tahu bagaimana mendidik dan membesarkan mereka.
Dulu, aku sangat... apa ya namanya... entahlah, tapi intinya tidak nyamanlah dengan perempuan. Jika ada satu hal yang aku tidak ingin tahu dari dunia ini, itu adalah perempuan. Mungkin ini sekadar karena aku tidak nyaman dengan perubahan yang terjadi pada DIRIKU SENDIRI ketika puber. Namun, keterlanjuran itu sudah kepalang, dan beginilah aku. Syukurlah sekarang aku tidak perlu memahami perempuan. Aku hanya perlu memahami Cantik; dan selama ia pun berusaha memahamiku, maka segalanya akan baik-baik saja. Anak gadisku sendiri... entahlah. Aku belum tahu apakah Khaira akan dibesarkan sendiri oleh Bundanya kelak. Aku juga tidak tahu apakah ketika itu aku masih hidup atau tidak. Jika itu semua terjadi, mungkin aku akan punya pengalaman menyaksikan dengan mata kepala bagaimana seorang gadis kecil menjadi seorang perempuan. Namun, seperti halnya semua saja orang beraneka-ragam watak tabiatnya, begitu pulalah kurasa perempuan. Aku tidak mungkin merasa mampu membesarkan seorang gadis kecil menjadi seorang perempuan yang... shalihah? Hey, begitu banyaknya sisi dari kehidupan dan keseharian seorang perempuan (shalihah)! Lalu apakah seorang shalihah tidak boleh mengerang ketika mengalami orgasme? Apakah seorang shalihah lalu tidak suka mematut diri berlama-lama di depan cermin, meski tidak patut-patut juga menurut hematnya? Apakah seorang shalihah lalu tidak boleh mengenakan wangi-wangian, sehingga bau alaminya -yang meski dalam situasi-situasi tertentu pasti sangat merangsang- menguar kemana-mana sampai mengganggu ketertiban umum? Lalu shalihah itu apa? Well, mungkin... aku memang suka membuat orang nyeri di pantat. Giliran begini saja aku rinci sekali. Giliran seharusnya detil, malah berkelit dengan 'pada dasarnya' atau 'basically'...
Dengan secara khusus mengulas mengenai perempuan dalam satu entri, tidaklah lagi mungkin bagiku berkelit bahwa aku tidak peduli perempuan. Pada kenyataannya, aku sangat peduli. Pada kenyataannya, aku sampai hari ini selalu tertarik pada gagasan-gagasan feminis, [yang moderat] atau setidaknya sudut pandang dana analisis gender. Pada keny... [Sudah! Hentikan!] fantasi-fantasi mengenai perempuan suci (sacred feminine) dan matrilinealisme tidak pernah berhenti menyihirku. Seorang lesbian pernah mengatakan bahwa jiwaku sangat feminin. (?!) Dulu, waktu kami masih kecil sekali, adikku pernah bercerita bahwa ia membayangkan tuhan seperti ibu-ibu. Aku agak terkejut waktu itu, karena dalam khayalanku tuhan itu laki-laki. Kini, tentu saja aku sudah tidak begitu. Namun, tidak bisa kupungkiri betapa khayalan-khayalan mengenai Maryam Ibu Isa al-Masih sungguh memukau. Aku dapat membayangkan betapa para padri Katolik itu bersimpuh meratap di hadapan Ibu Risang Sungkawa, membayangkan Sang Ibu sendiri membelai-belai kepala mereka; menyamankan, menenteramkan hati. Seperti itulah. Tepat di sini aku menyadari, betapa jauh jarak yang memisahkan suasana kebatinanku dengan gadis-gadis kecil itu. Apakah mungkin ada sesuatu yang dapat (atau harus?) dilakukan terhadap dunia yang menyenangkan dan tanpa ketakutan dewasa ini? Sungguh aku sudah sangat kelelahan memikirkannya. Belum sampai muak, sih hanya lelah. Betulkah harus kulakukan sesuatu untuk 'menyelamatkan' gadis-gadis kecilku, sedangkan aku sendiri tak mampu menghayati, menyelami kedalaman batin mereka? TIDAK! Setegas itu kukatakan. Bung Karno, dengan segala hormatku, menulis risalah khusus mengenai perempuan, kemudian didemo -juga oleh organisasi perempuan- karena menikahi Bu Hartini.
No comments:
Post a Comment