Schmong dalam pelukanku, 2010 |
Ini namanya ambil risiko, tapi mau bagaimana lagi? Rasa badan seperti ini tidak mungkin diajak kompromi. Kalau tadi malam rasanya seperti abis minum bir sekrat, sekarang, karena sudah dapat tidur agak berapa jam lumayan lah, jadi seperti abis setengah krat. Dan ambil risiko namanya ini, ketika Mas Johan tadi sudah mengatakan "saya tunggu, ya," aku malah main-mainan. Bisa-bisa habis energiku menulis gara-gara ini. Kenapa tidak seperti Mas Topo? Ubah-ubah sedikit sana-sini. Beres! Kau tidak sedang mengerjakan karya seni. Tidak mungkin kan setiap pekerjaanmu kau perlakukan seperti karya seni? [katakan itu pada Ibu] Itulah... mungkin karena aku anak ibuku, beginilah jadinya. Daripada membuat sesuatu yang tidak memuaskan hatiku, mendingan gak usah! Tidakkah ini suatu tanda kesombongan yang sangat nyata? Entahlah. Yang jelas, aku benar-benar sedang kesulitan menggerakkan mentalku untuk mengerjakannya. Kenapa kemarin aku terima, ya? Emang aku bisa nolak? Seharusnya bisa. Bang Edmon dengan national security-nya saja kemarin kutolak. Tidak, Bang. Sejujurnya saya sudah tidak mau lagi berurusan dengan apa yang Abang urus itu. Nehi.
Kopi sudah. Tolak angin sudah. Mungkin kumatikan dulu AC di atasku ini, meski John Gunadi mungkin akan kembali menyalakannya sebentar lagi. Uah, gawat. Aku kehilangan minat untuk melakukan apapun. Dengan menyadari bahwa aku tidak dapat berbuat banyak mengenai M14 saja, aku juga jadi kehilangan minat padanya. Hari ini aku tidak mau didekati siapapun, orang maupun binatang. Binatang? Schmong, apa kabarmu? Sudah mati belum? Kalau kamu harus mati --yang mana sangat mungkin karena umurmu setidaknya sudah 10 tahun-- jangan mau mati sebagai Cici ya. Apa'an tuh Cici?! Sejak kamu kucing kecil sampai jadi ibu-ibu, sampai jadi nenek-nenek begini, namamu Schmong! Yah, aku mungkin bisa memahami kalau kamu menurut dipanggil Cici. Beberapa tahun terakhir aku memang tidak pernah memberimu makan. [emang aku pernah kasih kamu makan? Pernah sih sekali dua, ikan kembung Mbak Tun dicampur nasi, yang kamu makan bersama anakmu yang paling bodoh, Coko] Jika kemudian ada orang yang secara teratur memberimu makan, meski untuk itu kamu harus rela dipanggil Cici, yah tidak apa-apa. Lagipula, kamu pasti bosan dengan biskuit-biskuit bodoh makanan kucing itu, yang hanya cocok bagi anakmu yang bodoh itu.
Coko pun dipanggil Coco! Biarlah kalau dia, karena dia bodoh. Apa kabarnya anakmu yang bodoh itu? Sudah mati? Baguslah. Itu memang lebih baik bagi kucing jantan bodoh seperti dia. Siapa tahu, dalam kelahirannya yang berikut ini, ia tidak lagi menjadi kucing jantan bodoh, tetapi melompat jauh menjadi manusia betina bodoh. Ada ya manusia betina bodoh? Mengapa ketika aku menanyakan ini, pikiranku melayang kepada... itu?! Ya amflaf, apa dosanya sampai dilahirkan seperti itu... Ia manusia, ya. Betina... sepertinya ia tiada begitu menyukai kebetinaannya... Bodoh sudah jelas! Terlebih lagi, BAU! Ya amflaf! Terserah deh mau bilang aku jahat, tapi aku memang tidak tahan jika dia berlama-lama di pojokanku yang pengap itu. Sudahlah pengap, dipenuhi baunya pulak. Yuck! Aku memang jahat. Kejahatan apa yang diperbuatnya, sampai aku tega sejahat itu padanya? Kejahatan lain --seperti ketidaksukaannya pada kebetinaannya-- bukan urusanku. Satu-satunya urusanku adalah... dia BODOH! Dia bodoh bukan alang-kepalang. Ah, sudahlah. Kudoakan agar Coko tidak pernah dalam hidupnya yang baru lalu [memangnya benar sudah mati? sudah lama pun aku tiada melihatnya...] atau yang manapun terlahir kembali menjadi dia yang manusia, betina dan bodoh itu.
No comments:
Post a Comment