Po sudah mati. Aku tahu itu kemarin, sepulangku dari kantor antara 16.30 sampai 17.00 di depan Margo City yang ke arah Depok. Di situlah Po gepeng, diam tak bergerak, di tengah jalan. Kurasa ia sudah agak beberapa saat berada di situ, karena sudah kumuh bentuknya, ...dan gepeng! Po yang biasanya bulat itu kemarin gepeng njepeprek begitu di tengah jalan. Kurasa sudah ada agak beberapa roda melindas tubuh dan kepala bulatnya itu. Melihat gepengnya yang merata itu, bisa jadi yang melindasnya adalah kendaraan besar. Kemarin, ketika kulihat itu, ia belum terburai-burai. Masih utuh, hanya saja gepeng. Seandainya saja belum gepeng dan lalu-lintas di depan Detos sore itu tidak seramai dan selancar itu, mungkin aku akan menghentikan Varioku dan memungutnya dari tengah jalan. Yah, kalaupun harus mati, setidaknya tidak seperti itu 'kan? Namun nasib memang berkata lain bagi Po. Ia harus mati begitu. Terlindas. Gepeng. Njepeprek di tengah jalan. Berapa orang yang, seperti aku, akan meliriknya? Berapa orang, yang melintas di depan Margo sore kemarin, yang memiliki kenangan khusus dengannya? Po bagaimanapun sempat sangat terkenal di Indonesia pada akhir '90-an dan awal '00-an, khususnya di kalangan anak bocah yang ketika itu masih balita dan orangtua-orangtua mereka.
Orang dengan kenangan khusus mengenai Po pasti banyak. Orang yang sudi melirik pada saat-saat terakhirnya pasti sedikit. Aku merasa beruntung menjadi keduanya, banyak sekaligus sedikit. Kini biarlah kuceritakan sedikit mengenai kenanganku akan Po. Kami berkenalan kali pertama ketika aku mengontrak di depan kandang kambing Haji Thobroni, di Gang Pancoran, tahun 2000. Sebenarnya aku sudah lupa rinciannya. Aku hanya ingat suasananya. Waktu itu pagi menjelang siang. Kontrakan itu sungguh pendek langit-langitnya, aku dengan kakiku yang hanya dua jengkal ini saja bisa menyentuhnya tanpa susah-payah. Kontrakan itu hanya punya satu kamar, dan di kamar itulah kuletakkan sebuah tivi yang belinya boleh malak orang. Ketika kunyalakan tivi, di situlah aku lihat Po bersama keempat kawannya yang lain. Apakah aku menangis waktu itu? Aku lupa. Akan tetapi, kalaupun tidak menangis, suasana saat itu sungguh mengharukan. Kontrakan itu meski kecil dan rendah dan sempit sekali, namun lengang. Lengang selengang hatiku kala itu, hati yang ,jangankan masa lalu dan masa depan, masa kini pun tak punya. Apa yang kulakukan waktu itu sambil menonton Po dan keempat kawannya bermain-main di bukit-bukit? Merokok? Sangat bisa jadi. Uangnya dari mana? Entahlah. Mungkin ngutang sama Joger saat papasan di Gang Damai. Kontrakan itu, yang rasa sukaku padanya hanya "lampu tempel" bagi Haji Thobroni, di mana aku kali pertama bertemu Po, sungguh merupakan duri dalam kenangan. Sakit-sakit sedap.
Po semasa hidupnya adalah seorang gadis kecil yang cantik dan periang. Itulah benar yang menjadi kesedihanku karena lebih dari itu aku tidak ingat apa-apa lagi. Aku dahulu memang sengaja melupakannya, karena hanya dengan cara itulah aku dapat terus hidup; dengan harapan suatu hari nanti bertemu kembali dengannya. Ternyata kini ia telah gepeng begitu. Begitu banyak kenangan dan harapan yang kandas, sampai-sampai aku tidak tahu bahwa kata-kata itu --'kenangan' dan 'harapan'-- ada. Kini begini juga keadaanku. Apakah orang tidak punya anak itu akan kasihan di hari tuanya nanti? Tidak punya anak aku sudah tahu rasanya. Kasihan... sedikit banyak tahulah. Hari tua? Akankah aku mencapainya? Jauh di dalam ceruk terdalam di ngarai kenanganku, aku pernah berkhayal betapa suatu hari nanti aku pulang kerja dan disambut Po yang sudah lebih dulu pulang sekolah. Ia bertanya padaku, "Bapak mau dibuatkan teh manis?" dan aku akan menjawab, "Air dulu saja. Terima kasih, Nak." Ini bukan kenangan. Ini sekadar kenangan akan khayalan. Bayangkan, bahkan khayalan pun kukenang-kenang. Ya, tidak apa-apa. Berapa banyak manusia yang harus mengubur dalam-dalam khayalannya; meski rasanya seperti mengubur diri sendiri. Berapa banyak yang bahkan lupa sampai mengubur diri seluruhnya, tidak menyisakan sedikit; setidaknya lubang hidung untuk terus bernapas. Berapa banyak yang akhirnya mati bersama khayalan-khayalannya. Aku tidak mau begitu. Aku tidak mau mati berkhayal.
No comments:
Post a Comment