Lucu sungguh. Blog ini menjadi semacam pelarianku dari kenyataan sudah sebulan terakhir ini. Ini nyaris sama-sekali mirip dengan ketika berbulan-bulan lalu aku melarikan diri dari kenyataan hidup dengan memerintah Tropiko atau membangun peradaban. Nyaris tidak ada bedanya. Dalam semua saja kegiatan itu, aku berkhayal. Aku menggunakan imajinasiku, daya kreatifku; lebih tepatnya, menyalahgunakan. Yah, meski menulis entri masih lebih mending ketimbang yang lain, karena, setidaknya meninggalkan bekas. [Meninggalkan bekas mending? Kamu kira kamu siapa? Van Gogh? Khairil Anwar?] Sebenarnya aku lari dari apa? Hemm... pertanyaan bono. [karena jelas bukan Bagus yang bertanya, melainkan aku] Aku melarikan diri dari... Bang Andhika dan Mas Harsanto hahaha... Merekalah patronku sekaligus orang-orang yang darinya aku melarikan diri. [grammarku gak bener nih] Aku jadi merasa seperti Michelangelo yang, meski dilindungi, selalu bertengkar dengan, dan berusaha melarikan diri dari Paus Julius II il Papa Terribile. Untuk bagian terribilenya, kurasa ini cocok dengan Mas Santo hohoho... Untuk bagian papanya, hemm... hanya Ramon Papana yang cocok hihihi... Ini gara-gara Cantik gagal mengingat kiper Liverpool. "Papa... siapa?" katanya. "Papa? ...Papa Ramona?! sahutku. Siku dan lututku gatal seperti kena ulat bulu, kuberi minyak kayu putih; dan kopi luwak-luwakan siakle mucle esens tok ini sumpah gak enak!
Licin juga ternyata di sini dikiliki
Kenyal juga di atas sana dipilini
Apa hanya itu aku tak tahu pasti
Ataukah ini hanya menghindari
Kata sudah terlanjur menaburi
Kenyal juga di atas sana dipilini
Apa hanya itu aku tak tahu pasti
Ataukah ini hanya menghindari
Kata sudah terlanjur menaburi
Sahaja karung mata kepala ditutupi
Lampaunya bersarang tidak di ulu hati
Bersisa hanya kekuatiran badani
Ketika teh secangkir, quiche memutusi
di suatu ketika buka malam menerangi
Meski segumpal, sekepal juga hewani
bertemu tidak, kenal pun tidak terlewati
Terhambur namaku, tersebar si juru mudi
Penjelasan itu tinggal sedikit, tak perlu diisi
Datang hanya jika berjejal pemuda berbudi
Kenangan akan kata, dan nama melemburi
Hey, ini upaya menerbitkan juga loh. Ini media sosial. Meski ini adalah pelanggaran suatu prinsip ketika prosa dan prosa lirik saling melilit, tidak lagi sekadar melirik; bahkan ketika sudah berbentuk paragraf begini. Ternyata peralihannya tidak semulus yang aku harapkan, seperti peralihan dari taka-tukanya King Kenny Dalglish ke tiki-takanya Brendan Rodgers; yang belakangan ini belum punya julukan. Uah, lebih enak menulis prosa ternyata. Lebih lancar. Prosa 'pala lo adem! Apa yang kurasakan masih sebelas duabelas dengan beberapa menit atau setengah jam yang lalu; perasaan yang mendorongku untuk berpuisi. Hahaha... puisi. Tak ayal ingin kuteguk juga kopi yang sudah kusumpah-serapahi itu. Ayo, keluar! Keluar! Kau sudah berada dalam moda prosa. Hentikan! Aku... tak hendak. Aku ini... binatang jinak. Kalau gak percaya tanya saja istriku. Dan memang harus, harus, harus segera dihentikan! Otakku seperti plaster basah yang dibubuhi pigmen. Ketika kering, pigmen itu tinggal tetap, tidak mau pergi. Jadi jangan sembarangan membubuhi pigmen. Otakku penuh fresko! Hohoho... mungkin itu dia, otakku tadinya encer. Pada titik ini, aku berbaling dan berbaling, karena salto aku tidak pernah bisa. Huft, capek juga berbaling dan berbaling ini. Oh, tidak dunia! Tidak, Dunia! Aku tidak mau kau. Aku cuma mau uangmu hehehe, untuk istriku. Aku nanti minta saja padanya, untuk jajan McD, kalau kepingin. Seperti selembar lima puluh ribuan menggeletak telanjang di atas dompetku, seperti itulah dunia untukku. Lima puluh, seratus, dua ratus, bahkan dua ratus lima puluh masih bolehlah. Tiga ratus? di Thermopylae? Jangan! Itu traumatik. Tiiidaaakkk!
Jika ada yang tanya, judulnya Syair Kepiting Lemburi
Jika ada yang tanya, judulnya Syair Kepiting Lemburi
No comments:
Post a Comment