Ini adalah cangkir kopi keduaku hari ini. Yang pertama tadi kuberi susu kental manis. Yang kedua ini cukup gula pasir satu sendok teh. Kopi hitam, karena aku ingin berbicara mengenai UANG! Uang adalah satu-satunya motivasi bagi sebagian sangat besar, bahkan terbesar, mahasiswa hukum, di manapun! Sisanya? Kekuasaan. Yah, meski, ya meski, ada saja yang punya aspirasi aneh-aneh seperti ingin menjadi guru TK atau apalah... meski, entahlah, kali ini aku menuduh-- sebenarnya, pada dasarnya, mereka tetap menginginkan kemapanan hidup; atau setidaknya, identitas mereka sebagai warga terhormat kelas menengah dalam masyarakatnya janganlah sampai hilang. [ribet banget kalimatku ini] Tapi UANG, di duniaku ini, siapa yang paling suka uang, dialah yang paling sukses; atau, sekurang-kuranganya, siapa yang merasa bahwa banyak uang adalah konsekuensi paling logis dari upaya, setidaknya, mempertahankan identitas kelas, dialah yang paling sukses. Orang-orang seperti Rapin Mudiardjo, Redynal Saat dan sejenisnya itu, aku yakin, bukanlah orang-orang yang rakus duit. Mereka sekadar menyadari dan menghayati hidupnya, sebagai lulusan FHUI nan jaya fakultas mereka tercinta, FHUI jaya. Yang seperti mereka ini banyak sekali, kurasa, mayoritas yang sangat besar proporsinya dari populasi lulusan FHUI.
Sedangkan aku... aku ingin jadi on... aku ingin jadi ONCOM. Tidakkah kau lihat aku sudah tidak sabar lagi menunggu? T'lah kujadikan sendiri sebagai tujuan hidupku untuk membenci UANG. Hey, jangan salah, bukan uang yang Rupiah atau Euro atau Dollar itu-- kalau itu aku sih suka; melainkan the very concept of MONEY itself, bahkan sebagai alat tukar itu sendiri, terlebih sebagai alat menumpuk kekayaan, terlebih sebagai barang dagangan! Naudzubillah tsumma naudzubillah! Kuselipkan selalu --dalam kotbah-kotbahku mengenai Hukum Koperasi-- kebencianku kepada ekonomi uang. Kusentil di sana-sini betapa segala kekacauan ini terjadi ketika pertukaran yang jinak lantas bergeser menjadi pertukaran komersial. Aku jadi ingin tahu, kalau aku cingcong beginian, dicatat atau tidak ya oleh mahasiswaku? Dan betapa menderitanya hatiku ketika menyadari apa yang kulakukan ini tidak lebih dari racauan orang mabuk; meski Guru Nankai pun seorang pemabuk. Dan betapa pilu hatiku ketika menyadari bahwa sedikit sekali kelonggaran yang tersedia bagi suasana batinku untuk mencapai keselarasan dengan daya yang kuperlukan untuk membuatnya menjadi lebih dari racauan orang mabuk. [suatu kalimat yang berlari luar biasa cepat!] Apakah aku harus membuat sudut pemujaan bagi Ida Batara Boeke agar aku mendapatkan berkahnya, sehingga mampu meneruskan perjuangannya?
Gambar 1. Pancasila secara skematik |
Jika demikian, maka seharusnya aku menyadari bahwa yang kulakukan, yang kuimpi-impikan selama ini tetap sama, yakni menyabot FHUI nan jaya fakultas kami tercinta, FHUI jaya. Mungkin bukan FHUI itu sendiri, melainkan FHUI buatan Charles Himawan --why do I single him out? Whatever, eh-- dan pengikut-pengikutnya. FHUI, sesuai nama yang disandangnya, harus menjadi pusat pembelajaran Hukum Indonesia, yaitu suatu hukum yang ber-bhinneka tunggal ika, tan hana dharma mangrwa, [Tidak mengerti Sansekerta? Sama. Saya juga] atau ber-Laa Ilaha Ilallah Muhammadar Rasulullah, atau, jika kita gunakan saja bahasa nasional kita, suatu hukum yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena jika sudah ber-Ketuhanan, dengan sendirinya hukum itu akan ber[peri]kemanusiaan yang adil dan beradab. Untuk mencapainya, maka bangsa ini harus dipersatukan dalam suatu negara, negara mana diberi nama Indonesia --yaitu nama yang disandang fakultas kita, universitas kita! Negara ini harus diselenggarakan sebagai suatu kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan; karena hanya dengan cara itulah akan terwujud suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Keadilan sosial adalah keadilan yang beradab! Tidakkah kau perhatikan betapa akhirnya 'adil' dan 'adil' bertaut? Jika jasmaninya adil, ruhaninya adil, maka mudah bagi manusia untuk memahami Keesaan Tuhan.
*Ralat: Gambar 1 "dari dalam" dan "dari luar" tertukar tempat