Jurnal ini berisi kenangan-kenangan, gunanya untuk menyamankan. Seharusnya sambil menulis entri untuk jurnal ini, supaya lebih nyaman, harus sambil mendengarkan lagu-lagu lama yang membuat nyaman. Mari dicoba! ...yang ada Back to Front-nya Lionel Richie. Ya sudahlah. Back to Front adalah salah satu kasetnya Pak Moussa el-Khadoum yang aku kenal. Dia juga pernah menunjukkan padaku Leonard Cohen dan yang kutahu hanya Susan. [kenapa aku jadi minum Liang Teh cap Pistol?! Aku haus tadi] Ya, dan kudengarkanlah Back to Front dengan sound system-nya Pak Moussa yang agak boleh lah ketika itu, di ruang tamunya yang agak boleh lah juga; rumahnya Mbak Ayumi sekarang. [Sebenarnya aku ingin pulang ke Jalan Radio, tetapi makalah Jual-Beli Pulau ini harus selesai dulu; dan aku bahkan belum membuat soal Hukum Perdata Dagang!]
Kaset itu, ya, kurasa kaset itulah yang akhirnya kubawa ke mana-mana. Bagaimana lagi caranya aku punya kaset ketika itu? Pasti kaset itu, punya Pak Moussa. Terakhir nasibnya, seingatku, dipinjam Karimah, kata Gus Dut. Dulu aku punya beberapa kaset, di atas sepuluh tapi tidak sampai duapuluh, seingatku, yang kubawa ke mana-mana. Yulimar. Asrama. Kukusan. Kapuk. Srengseng Sawah. Gang Pancoran. GMNI. Kampus. Mess Pemuda... entahlah. Sekarang perutku gendut, seperti dahulu aku pernah gendut. Sekarang aku gelisah, seperti dahulu aku pernah gelisah. Hanya satu yang pasti dari semua ini. Aku yang fatalis-nihilis ini merasa cocok dengan gagasan itu. Aku tidak punya ambisi akan masa depan. Aku punya khayalan, ya... dan aku berhenti menulis, karena koneksi internet malam ini sungguh lambatnya. Para Pembaca yang Budiman, jika sempat membaca entri yang sepotong, itulah sebabnya.
Kini kuteruskan pada pagi harinya, meski harinya sudah ganti. Sudah tidak terlalu pagi sih. Pagi ini aku sarapan di Warteg Sederhana. Telur dadar, tumis kacang panjang, sayur jamur, teh setengah manis panas; lalu dilanjutkan Kapal Api Grande. Sepertinya malam tadi aku salah tidur. Leher belakangku, cengelku, sakit sekali jika aku mendongakkan kepala. Badan jadi terasa tidak segar... dan entah kenapa, begitu berhadapan dengan komputer, aku lantas menghabiskan banyak sekali waktu menonton klip-klip mengenai audisi terburuk dalam acara-acara kontes menyanyi. Menontonnya membuat hatiku sakit, kurang lebih sama sakitnya dengan menonton filem porno. Rasanya seperti menyaksikan rusaknya dunia, dunia yang tercipta indah dan damai ini, seimbang, selaras, serasi... Padahal tulisan Jual-Beli Pulau belum beranjak satu kata pun dari semalam, dan leherku masih sakit rasanya seperti masuk angin. Apa aku ke Ciwi saja ya?
Jadi bagaimana caranya merayakan Idul Adha? Takbirannya lebih banyak daripada Idul Fitri. Kata orang, Idul Adha justru lebih besar dan lebih penting dari Idul Fitri... Aku jadi merasa bersalah tidak merasa begitu... Bagaimana caraku memaknainya? Kemarin, sambil menunggang Vario berkeliling-keliling bego di sekitar Depok sempat terbersit, Insya Allah, tahun depan aku akan berqurban sapi. Mungkin, tidak seperti Aburizal Bakrie, Pakde Karwo maupun SBY, aku akan patungan dengan beberapa orang. Sapi, karena aku tidak makan kambing, meski jarang juga aku memakan potongan hidup daging sapi. Sagat jarang sekali. Aku makan sapi dalam bentuk burger, sosis, bakso dan olahan lainnya. Selebihnya ayam, atau ikan, tapi semuanya aku lebih suka olahan. Sekarang aku tidak terlalu senang makan. Makan hanya karena perutku sakit atau kepalaku pusing. Kenapa aku tetap gendut ya?
Biarlah kukenang di sini salah satu Idul Adha-ku yang, entah bagaimana caranya, terkenang selalu, yakni Idul Adha 1427H atau 2006M. Entah apa istimewanya, mungkin karena malam 9 Dzulhijjah kala itu, aku diantarkan oleh Bapak Ibu ke Cimanggis, ke kantornya Mbak Imed. Di sanalah aku dititipkan pada Bang Fred. Di sanalah, ketika itulah Bang Fred berkata, "Gua S3, lo S1." Lalu aku bermalam di sana, kurasa untuk pertama kalinya. Seingatku, waktu itu aku tidur di belakang yang terbuka itu, dan aku terbangun pagi-pagi dalam keadaan kedinginan. Waktu itu shalatku masih lumayan rajin, bahkan mungkin masih rajin sekali. Aku ingat, aku keluar mencari teh, dan yang kutemukan adalah teh sachet merek Sisri. Kuseduh air panas dan rasanya tidak enak. Selebihnya aku tidak ingat lagi. Namun itulah Idul Adha yang paling berkesan bagiku, enam tahun yang lalu.
Kini kuteruskan pada pagi harinya, meski harinya sudah ganti. Sudah tidak terlalu pagi sih. Pagi ini aku sarapan di Warteg Sederhana. Telur dadar, tumis kacang panjang, sayur jamur, teh setengah manis panas; lalu dilanjutkan Kapal Api Grande. Sepertinya malam tadi aku salah tidur. Leher belakangku, cengelku, sakit sekali jika aku mendongakkan kepala. Badan jadi terasa tidak segar... dan entah kenapa, begitu berhadapan dengan komputer, aku lantas menghabiskan banyak sekali waktu menonton klip-klip mengenai audisi terburuk dalam acara-acara kontes menyanyi. Menontonnya membuat hatiku sakit, kurang lebih sama sakitnya dengan menonton filem porno. Rasanya seperti menyaksikan rusaknya dunia, dunia yang tercipta indah dan damai ini, seimbang, selaras, serasi... Padahal tulisan Jual-Beli Pulau belum beranjak satu kata pun dari semalam, dan leherku masih sakit rasanya seperti masuk angin. Apa aku ke Ciwi saja ya?
Jadi bagaimana caranya merayakan Idul Adha? Takbirannya lebih banyak daripada Idul Fitri. Kata orang, Idul Adha justru lebih besar dan lebih penting dari Idul Fitri... Aku jadi merasa bersalah tidak merasa begitu... Bagaimana caraku memaknainya? Kemarin, sambil menunggang Vario berkeliling-keliling bego di sekitar Depok sempat terbersit, Insya Allah, tahun depan aku akan berqurban sapi. Mungkin, tidak seperti Aburizal Bakrie, Pakde Karwo maupun SBY, aku akan patungan dengan beberapa orang. Sapi, karena aku tidak makan kambing, meski jarang juga aku memakan potongan hidup daging sapi. Sagat jarang sekali. Aku makan sapi dalam bentuk burger, sosis, bakso dan olahan lainnya. Selebihnya ayam, atau ikan, tapi semuanya aku lebih suka olahan. Sekarang aku tidak terlalu senang makan. Makan hanya karena perutku sakit atau kepalaku pusing. Kenapa aku tetap gendut ya?
Biarlah kukenang di sini salah satu Idul Adha-ku yang, entah bagaimana caranya, terkenang selalu, yakni Idul Adha 1427H atau 2006M. Entah apa istimewanya, mungkin karena malam 9 Dzulhijjah kala itu, aku diantarkan oleh Bapak Ibu ke Cimanggis, ke kantornya Mbak Imed. Di sanalah aku dititipkan pada Bang Fred. Di sanalah, ketika itulah Bang Fred berkata, "Gua S3, lo S1." Lalu aku bermalam di sana, kurasa untuk pertama kalinya. Seingatku, waktu itu aku tidur di belakang yang terbuka itu, dan aku terbangun pagi-pagi dalam keadaan kedinginan. Waktu itu shalatku masih lumayan rajin, bahkan mungkin masih rajin sekali. Aku ingat, aku keluar mencari teh, dan yang kutemukan adalah teh sachet merek Sisri. Kuseduh air panas dan rasanya tidak enak. Selebihnya aku tidak ingat lagi. Namun itulah Idul Adha yang paling berkesan bagiku, enam tahun yang lalu.
No comments:
Post a Comment