Monday, January 13, 2025

Entri Ini Sampai Selesai Belum Ada Judulnya. Sudah


Rasanya seperti tersasar, berbaring dalam pelukan. Itulah jika daya cinta bekerja. Kalau daya kuda lain lagi. Mengapa aku tidak bisa membuat kalimat yang pendek-pendek saja. Mengapa kepalaku tidak bisa berhenti membuat bunyi-bunyian tak berbentuk tak bermakna. Mengapa tuyul anti pesawat udara terdampar di jalan masuk terminal Cimone yang sudah berubah menjadi embung. Mengapa perutku menggembung. Terkadang aku takut, tapi aku siap belajar mengenai daya cinta. Sudah dari sekitar 35 tahun yang lalu sebenarnya, ketika gitarku baru setaraf burung kakatua.
Dua nama muncul jika berpasokan udara: Syukran Wahyudi Makmun dan Abdul Qodir bin Agil. Uah, kenapa batangan semua, tak sedap dipandang mata hati. Bahkan malam-malam menjadi lebih baik ketika saling mendua, dua-duanya perempuan. Jika perut menggembung begini sulit bagi hati untuk mencinta, maka kembali saja aku ke Cimone Gama I No. 26. Pasokan udara bersampul dominan ungu, salah satu dari oleh-oleh yang jarang sekali dibawa pulang bapak. Itulah. Bapak memang tidak pernah punya cukup uang sepanjang hidupnya untuk seperti-seperti itu.

Apalagi malam ini, 'ku rasa aku memang sudah kelas tiga. Mustahil aku asal-asalan mainan compo pemutar kaset dek ganda di ruang kegiatan bersama (RKB) jika aku belum yang paling senior. Dari mana 'ku dapatkan kaset kosongnya, 'ku rasa beli ketika pesiar. Apa malam minggunya, lalu Minggu kuduplikasi kasetnya Syukran ke situ. Begitu pula kaset Nat King Cole Bu Eko, bagaimana aku sampai bisa tahu beliau kagungan itu. Mana teh yang 'ku sanding rasanya mirip-mirip dengan teh manis jambu RKB, atau perasaanku saja. Ah, kurang dua orang kesepian di dunia malam ini.

Sebagai seorang pahlawan kekuatan dan sihir, sudah pada tempatnya jika aku memakai artefak. Sejauh ini aku punya tiga artefak, yakni: (1) cincin giok Aceh wasilah kesehatan lahir; (2) kalung kinyang air wasilah kesehatan batin; (3) cincin akik hijau Tasik penghimbau keberuntungan. Tidak 'ku pakai semua hari ini, hanya giok Aceh dalam gambar di bawah. Gioknya Aceh, tehnya Tong Tji Tegal, badannya sehat segar sarira, hatinya lega lila mau sekalian dikawin atau dibeginikan tiap hari juga tidak apa-apa. Ngomong asal sembarangan njeplak memang sedapnya aduh terasa.
Sebuah entri jika ilustrasinya sampai dua berarti istimewa meski tidak juga. Di jagad gondrong ini, istimewa dan biasa seia-sekata seperti yoni kemasukan lingga. Yoni berkata lingga mengangguk-angguk mengiyakan sambil berseru trilili lili lili lili. Di sini aku kembali ke G10 bersama almarhum Ari Setiawan yang entah bagaimana datang-datang sudah bawa kaset. Apa ada pemutarnya juga aku lupa. Namun dari mana lagi sampai terngiang berbagai-bagai Iwan Fals sampai Def Leppard jika tak'da pemutarnya. Berani sekali kopral, aku pun baru punya walkman kelas dua.

Ari Setiawan nyatanya tidak bisa hidup, jika hidup itu tanpa aku. Setelah berdinas ia sempat mengirimiku email. Meski sekamar waktu kelas satu, 'ku rasa aku tidak pernah benar-benar akrab dengannya. Bagaimana Apix Prihantoro dan Budi Agus Dharma yang sejak TK sampai elek selalu bersama, bahkan sekarang masih sering ketemuan. Di sini baru 'ku sadar, aku tidak punya teman. Temanku hanya macan gondrong ini yang tiada lain adalah diriku sendiri. Apa yang 'ku kira teman selama ini ternyata kesendirian dan kesepianku sendiri. Cinta muda sudah sejak kelas 4 SD.

Memilikimu dekatku seperti ini sungguh sedapnya, mau dipandang dari sebelah manapun. Aku terbiasa denganmu yang seperti sekarang ini. Aku tidak punya kenangan apapun ketika kamu kurus. Agak lebih kurus dari ini mungkin pernah, tapi aku tidak begitu suka. Aku sukanya kamu yang sekarang ini, meski kau kata aku menggelitiki. Biarlah begini. Biar hidupku berakhir dengan kenangan ini. Aku belum lagi tahu adakah kenangan dibawa mati atau tidak, seperti mimpi yang masih teringat setelah bangun. Dibawa atau tidak, aku mau kamu yang seperti ini, Cinta.

Sunday, January 12, 2025

Terasi Terasing. Terasering Terasingkan. Akunya Ini


Jika bicara mengenai terasingkan, ingatan melayang ke rumah sakit jiwa pusat Magelang. Udara dingin, hanya kaki tertutup sarung tipis, hanya mengintip dari lubang angin. Untuk menambah denyut-denyut di kening di pelipis, satu botol rum Jamaika hampir habis tertenggak, entah berapa bungkus rokok. Beberapa tahun sebelumnya masih lengkap di situ semua, pada saat itu belum timbul minat. Baru setelah di Jombor yang ketika itu masih banyak sawahnya, aku mulai berminat pada persawahan, pada monumen Jogja kembali. Tidak pada Jogjanya, sampai kapanpun takkan.
Jika bicara mengenai terasingkan, ingatan melayang pada Iglesias, meski sekebit mengenai Sastra Jendra tiba-tiba kebat-mengebut. Dosa itu adalah konsekuensi logis dari kepolosan, dari keluguan yang dicemari kerakusan akan dunia. Kau harus disakiti dulu oleh dunia, baru kemudian engkau akan luput dari dosa, mungkin. Kesanggupanmu untuk mengulum senyum ketika dunia menyakiti, itulah yang menerbitkan cinta. Ah, ini mah tragedi buah apel. Kau merah sangat menggairahkan, terkadang hijaumu lugu. Anggunmu nan sombong, congkakmu seketika. Itu mungkin Kaikesi dulu.

Balik lagi, mengapa harus Iglesias. Bagaimana tepatnya hubungan antara terasingkan dengan Iglesias. Entahlah. Yang jelas bukan Hendro meski dia gaya-gaya-an suka pistol-pistolan dan bebungaan mawar. Uah, mana keponakanku diberi nama Endra oleh bapaknya. Sudah pada tempatnya jika Dave Koz merendisi bisikan sembrono, karena jilatan saksofonnya memang ikonik menuju legendaris lutung kasarung. Apa lantas jika aku ada keturunan Sirajalontung itu artinya aku lutung kasarung. Apa jika aku bermimpi basah dengan Karina Sukarnoputri takdirnya lantas jadi istriku.

Apa karena Karina adik tirinya Megawati lantas mereka Purbasari dan Purbararang, sedang bapak mereka Prabu Tapa Agung. Apakah buku tafsir mimpi lotere merupakan referensi yang sahih untuk menarik simpulan apapun, terlebih yang berpengaruh pada suksesi kepemimpinan sebuah negara. Pertanyaan demi pertanyaan menderu campur debu, sedang kurang-lebih seperti itu Alexander Pulalo menarik simpulan. Betapa banyak nama disebut hanya dalam satu entri ini, benar-benar goblog siga Ade Londok eumam odading Mang Oleh raosna anjing siga jelema beusi.

Pagi ini aku terbangun dengan langit menangis merintih-rintih, bahkan ketika 'ku memacu variosua rintihannya membasahi dada, perut, dan pahaku. Mencolok anjungan tunai mandiri hanya 'tuk lupa sudah membeli candesartan 16 mg dan bisprolol 5 mg masing-masing 90 tablet, amlodipine 5 mg 180 tablet masih ditambah ongkos kirim Rp. 65.500 dari pasar bersih Sentul siti. Siti Hajati, Siti Erna dan Erni hahaha cara berpikirku sudah seperti Mas Toni... Edi Suryanto. Bentuk dan bunyi, 'Gar, bentuk dan bunyi, bukan makna. Apatah kau kira hebat merangkai makna.

Tiga yang menjadi etnis, eksotis, ironis, dan mungkin sedikit berkumis karena kau, direktur rumah sakit jiwa Pakem! Kau atau entah siapa yang mengatakan bahwa kewarasan adalah kesepakatan. 'Ku rentangkan kedua lenganku ke langit yang menangis tersedu-sedu, mukaku tengadah menadahi tumpah-ruahnya air hujan. Tiada mata-mata padamu, Langit. Hanya kelabu gelap kehitaman, namun 'ku yakin hatimu seputih salju yang belum terinjak-injak. Salju pertama yang jatuh seperti keperawanan yang hilang di malam pertama, bukan sembarang malam entah di mana.

Bunyi, 'Gar, dan bentuk, meski paragraf di atas bentuknya kurang cantik. Namun apalah arti kecantikan tanpa rambut indah, apalah arti rambut indah tanpa kecantikan: siaran niaga bagian pertama. Jika radio-radio siaran swasta di Jakarta saja baru beringsut-ingsut bermigrasi ke FM pada 1987-1988, pada saat itu kau menyadari betapa sementaranya dunia. Suara Irama Indah 101.250 FM Stereo adalah yang pertama, disusul Bahana, lalu Ramako, lalu Sonora. Lalu televisi [siaran] swasta. Siarannya tak disebut karena televisi tak pernah untuk komunikasi antarpenduduk. 

Saturday, January 11, 2025

Anak-anak Kurang Ajar Naik Mobilpasir Malrongsok


Ada dorongan kuat untuk segera mengitiki di Sabtu pagi menjelang siang yang cerah ceria ini, apatah sekadar agar terdorong satu entri ke bawah, karena muka 'Teh Iis begitu mengemuka hahaha. Jam keemasan ini bahkan lebih cantik dari jam rawan, ketika ajar-ajaran Mbak Wiew untuk menambahkan dobel 's' di depan URL lantas mengolahnya dengan Audacity bahkan sudah usang kini, setelah lampau 10 tahunan. Daripada terus-terusan dituduh cokolatos padahal cokelat Belgia, ya sutra 'lah 'ku kontankan hari ini. 'Ku kitiki ditemani secangkir cokolatos biar tahu rasa.
Meski kini sudah dibasuh dengan air hangat secangkir yang sama. Pagi ini 'ku terbangun dengan rasa  sakit pada rahang kiriku jika digunakan untuk membuka-tutup dan rasa tidak nyaman secara umum di sekujur tubuhku. Biar semua orang tahu jika pagi-pagi 'ku mulai hari dengan ngejogrog bahkan klesetan di depan tivi menonton-nonton yutub entah apa-apa. Badan terasa dingin serasa ingin tidur lagi, 'ku paksakan mengenakan celana sirwal dan jaket agar jangan sampai kehabisan ayam kecap boleh 8000-an perak, ternyata tak ada ayam goreng serundengnya, atau belum.

Barang siapa mengenalku pasti tahu (halah!) ayam-ayam ini bukan untukku, meski 'ku beli bisa sampai enam potong sekaligus. Kalaupun aku membeli juga di situ, biasanya nasi sayur telur pedas pepes tahu. Biasalah standar NATO. Namun pagi ini aku bahkan tidak membeli sayur labu siam bertempe di situ. Cukup ayam kecap lima potong Rp 40 ribu, bergeserlah ke tukang nasi uduk. Nasi kuning kentang tempe orek bihun telur dadar Rp 15 ribu. Nasi uduk kikil telur tahu semur mie Rp 15 ribu. Empat potong tempe goreng berselimut tepung Rp 5 ribu; 'tuk makan sehari lima orang.

Akan halnya motor bebek meluncur menjauhi matahari terbenam, itu karena sampul jam keemasan Cory Wong dan Dave Koz. Jujur, sampai hari ini aku tidak paham kebijaksanaan merilis singel atau album sekalian, seperti halnya mengapa Dedy Corbuzier membuka Gadang Barubah di Cikarang. Namun tidak semua harus 'ku pahami, meureun. Mamank Kuliner dan Yudo Boengkoes sudah mencobanya. Kecuali tidak sengaja yang teramat sangat parah, tidak mungkin aku sampai Pollux Mall Cikarang. Castornya mana. Di NDSM juga tertambati Pollux tanpa Castor.

Lihat, alih-alih penasaran dengan mall bernama Pollux di Cikarang, aku lebih terganggu dengan kenyataan bahwa di sekitarnya tidak ada Castor. Akan halnya aku tahu bahwa di dermaga NDSM tertambat sebuah kapal bernama Pollux sedangkan di sekitarnya tidak ada kapal atau apapun bernama Castor, itu semata karena tugas negara. Akan halnya Dave Koz menemaniku sepagi ini sudah satu album lanjut berikutnya, itu karena aku memang gaya-gaya'an. Uah, dengan iringan sesedap ini seharusnya aku berpujasastra, tapi aku malah mengitiki ketiak sendiri begini. Tetidak geli.

Bersama lagi versi asli terasa sangat ngepop jika dibandingkan aransemen dan rendisi bersama Cory Wong. Uah, ternyata menari dirilis tepat pada hari kelahiran anakku sayang satu-satunya. Tahukah Dave Koz pada saat itu, bahkan sampai hari ini, aku bukan seorang bapak yang jahat. Aku sekadar tolol, terbelakang mental. Aku mengazani telinga kanan dan mengqamati telinga kiri anakku. Aku mencari uang sedapat-dapatku untuknya, meski dengan cara-cara tolol khas bapak-bapak terbelakang mental; mungkin juga lemah mental, alias keple. Aku terduduk di becekan.

Anakku, kau membuatku tersenyum. Anak-anakku, kalian selalu membuat bapak botak melar ini tersenyum. Huh, apa aku jadi Kapten Mlaar saja. Kau tidak akan suka jika aku sampai jadi Kapten Mlaar. Bagaimana kalau ketika itu ada yang masuk kamar depan atas itu. Betapa jika lain lagi yang 'ku tulis di sini, kau tahu yang 'ku maksud adalah kamar yang dari jendelanya terlihat seorang anak yang setelah beberapa tahun membesar. Dari jendela itu pula entah aku sendiri atau ibu pernah melihat anjing menggonggongi tiang listrik lalu melolong. Malam musim panas nirakhir.

Friday, January 10, 2025

Kambing dan Orong-orong. Hama Padi Musuh Tani


Don't know Kenji Sano? Kasih no! Maka 'ku kembali ke kelas 5 SD jika aku ingin lari kepadamu ketika 'ku kesepian, meski sejak 1 Oktober 1984 ambiens itu berakhir. Tidak heran, ketika Uti berulang tahun yang ke-69 terlihat sendu, meski aku ndengguk mbedegut begitu, dan seperti biasa, menyanyikan lagu panjang umurnya dengan suara paling keras di antara sepupu-sepupuku. Ketika itu aku pasti pulang lagi ke K28, meski beberapa bulan kemudian, tepatnya 31 Maret 1985 semua itu berakhir. Ambiens yang telah bersamaku selama hampir 5 tahun hidupku sejak usia 4 tahun. 
Itulah waktu-waktu ketika kesedapan yang 'ku tahu sekadar bunyi yang dibuat ibuku melarutkan susu bubuk dengan sedikit air panas, mengaduknya dengan sendok dalam gelas beling. Sayang aku tak bisa mengingat gelas seperti apa. Aku hanya ingat gelas strawberry shortcake hadiah softex, meski seingatku tidak untuk membuat susu. Sampai hari ini suara yang dibuat oleh sendok mengaduk larutan kental bubuk minuman dalam gelas selalu membawa rasa aman nyaman. Begitulah kenanganku mengenai kasih-sayang ibu kepadaku. Sedapnya susu gula manis (SGM)... 

...yang ketika aku naik kelas 4 SD, meninggalkan selama-lamanya ambiens pemberi nyaman, justru menjadi olok-olokan. SGM kepanjangannya sinting gila miring, padahal Sarihusada Generasi Mahardhika, yang memproduksi susu Milco juga. Segala kenangan berkecamuk bercampur aduk dalam benak serasa digulai, yang berakhir pada simpulan hidup begini-begini saja. Seperti bapak ibu dahulu membelikan kami botol minum savas yang bentuknya ajib, warna abu-abu, ergonomis mengikuti lengkung tubuh. Di mana ya belinya, esa mokan, esa genangku, wia-niko...

Pasti begitu juga prosesnya, semalam, dua malam, seminggu, sampai paling lama dua tahun, kami menemani Akung di kamar yang dulu biasanya untuk Akung dan Uti. Seingatku Akung lebih sering sare lebih dulu daripada kami, karena kami sering menonton filem sampai malam-malam. Jika Akung sudah sare lebih dulu maka kamar sudah gelap, maka 'ku buka sedikit gordijn yang menutup pintu ke teras, membiarkan cahaya lampu teras masuk agak lebih banyak lagi. Aku sama sekali tidak ingat bagaimana cara kami bangun pagi untuk sekolah atau ketika libur. Jinjja.  

Kini hidupku adalah kambing dan orong-orong ramai datang ke sana bila aku membawa sekantung dua kresek berisikan entah soto betawi atau makanan-makanan speysyal lainnya. Setiap malam pun aku masih mengatur-atur seberapa banyak rolgordijntjes 'ku ulur atau 'ku gulung, rolgordijntjes yang sama hijau dengan yang ada di kamar sewaan di Sint Antoniuslaan. Rolgordijntjes yang kubayar bersama zwarte tapijt ketika masuk, namun tidak berhasil 'ku jual kembali ketika keluar. Lucu sekali memang ingatan-ingatan ini. Begini-begini aku ingat sangat, sisanya lupa.

Lantas troli belanjaan itu, seharga hampir EUR 20, yang pernah 'ku bawa berak di stasiun, seingatku hanya sekali itu dipakai belanja. Sisanya aku belanja entah di Molenwijk atau di Mosveld naik sepeda vanmoof putih berkantung, atau bahkan berjalan kaki saja sejak NDSM ada Albert Heijn-nya. Pengalamanku sekali belanja di Jumbo Spaarndammerstraat dilanjut beli kibbeling entah di mana sungguh buruknya, sampai aku tak ingin mengulanginya lagi, seperti kebodohan membawa berjalan-jalan seekor anjing sok keren di samping Masjid UI, buat apa punya anjing bikin repot.

Hidupku sejauh ini memang keren. Apa pantas ingin lebih keren lagi. Apa tak pantas doa seorang ibu di pusara Bung Karno sana. Apa tak pantas keinginan seorang bapak sebelum meninggalnya. Apa tak boleh Bazz Beto mampir di d'Terras RHS entah membeli apa, sedang aku harus menahan diri dari perkopian dalam bentuk apapun entah sampai kapan. Bazz Beto menunggu pesanannya sambil nangkring di kursi tinggi menghadap mesjid. Apakah pernah terpikir olehnya ketika dia masih seorang sniper dengan John Gunadi sebagai spotter-nya, dari hampir 15 tahun yang lalu.

Friday, January 03, 2025

'Dud Badud Sekarang 'Nyong Monyong Sembarang


'Kurasa ini sejenis dengan pamur yang kemudian menjadi pencak angkatan muda rasio[nal]. Betul-betul menyiksa bagi yang punya masalah penutupan (closure problem). Meski begitu menulisnya, ini bukan mengenai kesenian badud dari pedalaman Pangandaran. Hanya saja jika menyanyikannya, aku suka membacanya seperti itu, dengan 'dal', sehingga harus di-qolqolah, sehingga terdengar seperti 'badudu'. Memang penjelasan yang sangat berguna... tapi ya sutra lah, let's do it again. Mari seruput lagi teh jawa dalam cangkir plastik besar teh tong tji kesukaanku.
Ini sebenarnya mengenai badut-badut yang berkeliaran di jalan-jalan Jakarta dan pinggirannya, meski ketika menyebut "badut", yang dimaksud Bang Iwan Fals adalah anggota-anggota dewan perwakilan rakyat atau penyelenggara negara dan pemerintahan pada umumnya. Jika sampai di sini, salahkah aku jika kembali ke 1997, ketika begitu semangatnya aku mempelajari hukum kenegaraan. Salahkah aku jika tiga tahun sebelumnya tidak ada yang mendukungku secara emosional kecuali ibu, bapak, dan adik-adikku. Aku sekadar bocah yang kasihan, tiada sesiapa menyayangi.

Siapa sangka akhirnya aku sendiri jadi badut. Mengapa tidak kubeli saja topeng badut dari karet di awal 1990-an itu, yang bentuknya memang menyeramkan, yang membuat takut maminya Bunbun. yang karenanya akan dilempar bapak. Malam ini, cintailah aku malam ini tidak pernah berhenti menyamankanku entah sejak kapan. Sejak di kamar praktek dr. Hardi Leman itu kurasa. Apalah namanya itu, musik-musik manis keemasan, bergambar air terjun. Entah ke mana perginya, takkan kembali, seperti segala sesuatu dalam hidup ini berputrefaksi. Mari busuk bersama.

Jadi badud ini semacam seni pertunjukan, dengan beberapa pemeran mengenakan kostum bagong alias babi hutan, kera atau lutung, dan harimau sang raja hutan. Selain itu ada dua orang mengenakan topeng seperti yang terlihat dalam gambar. Aku tak hendak menganalisis apapun, jangankan di sini, di benak pun tak. Seperti halnya dengan badut-badut yang bertebaran di tepi-tepi jalan-jalan Jakarta dan pinggirannya, takkan kukomentari. Aku bahkan takkan bertanya-tanya apa sebabnya Ronald McDonald sudah tidak ditemui lagi di Indonesia, Ronald dan gengnya itu.

Selama ini hanya 'ku batin. Baru kali ini 'ku ungkap. 'Ku rasa, Pak Albert Nainggolan Lumbanraja sudah meninggal. Sampai beberapa tahun yang lalu beliau terus gigih menganjurkan. Sudah beberapa tahun ini tidak 'ku terima lagi anjurannya. Aku seharusnya bangga, karena banyak tokoh nasional sekaliber Mbak Titiek Soeharto yang juga menerima anjuran itu. Begitulah hidup seorang pejuang, secara beliau adalah seorang marinir korps baret ungu, pantang menyerah selama hayat masih dikandung badan. Jika benar dikau telah tiada, Pak Albert, aku masih terus berjuang. 

Memperjuangkan apa, dengan perut membuncit begini, kepala botak begini. Uah, mungkinkah seorang lelaki dan seorang perempuan yang mengiringi dansa step Howard Wolowitz sebelum bercengkerama dengan Letnan Kara Thrace dan Bernadette Rostenkowski di ranjangnya -meski ketika ia kebingungan, George Takei muncul mencoba menambah kebingungannya- adalah rendisinya Paolo Mantovani. Meskipun semenjak 1 Januari 2025, teori ledakan besar tidak lagi dapat ditemukan di bioskop jejaring jelantara, aku tak ambil peduli. Biasa. Biarlah baygon jadi baygon.

Ya sutra lah let's do it again! Biar saja aku bersenda-canda di salju sambil menenteng kantong belanjaan. Kemudaan yang sudah tidak terlalu muda namun tetap tersia-siakan. Menjulur-julur selalu kian kemari, seperti kepala bodoh versi bintara peleton Huda dari Batalyon Sikatan. Bintara peletonku sendiri sebetulnya Sersan Muslih asli Madura, komandanku Letnan Kalok Awidura. Ah ya, di sinilah akhirnya aku benar-benar mendapat ranjang bawah, di atasku Kristiono. Dari pintu, ranjang kami kedua di kanan; di pojok Suryo Triatmojo (bawah) / David Hastiadi (atas).

Thursday, January 02, 2025

Delirium, Desiderium, dan Debilitatum: Gharāniq


Penggunaan istilah-istilah latin dan arab di sini tidak berarti apa-apa. Tidak seperti Gunawan Mohamad yang menggunakan istilah-istilah ajaib seraya memaknainya. Istilah-istilah ini semata-mata untuk gaya-gayaan. Sekadar untuk membuat jengkel Hari Prasetiyo van Cemeng. Sekadar untuk menunjukkan bahwa aku ini keturunan bangsawan yang hidupnya selalu enak. Selalu cukup pangan, sandang, papan, bahkan bergelimang kemewahan berupa pengetahuan dan kebijaksanaan dari seluruh dunia. Namun tetap saja sakit hatinya bila teringat cinta kirik, ya, anak anjing itu.
Itu karena hatiku masih berdegup-degup. Apa jadinya nenek moyang penutur bahasa austronesia ketika menyadari ia merancukan hati (liver) dengan jantung (heart). Yang tidak mungkin rancu adalah perhiasan-perhiasan yang tampak dari luar, yang menggelantung indah bagai bebuahan ranum. Ya, kata 'gantung' di situ harus diberi sisipan 'el' untuk menekankan betapa tidak hanya satu, tetapi dua. Meski entah secara genetis atau mungkin juga karena trauma bisa jadi tidak stereo, apapun itu, selalu sanggup membuat hati berdegup agak lebih kencang dari biasa. 

Maka kuajak saja Dalida ketemuan di Lavandou. Selalu saja Dalida dan selalu di Lavandou dari kecilku. Sedang anak-anak lelaki di generasiku berkhayal mengenai Lasmini khayalan Niki Kosasih, aku sudah menempelkan kepalaku rapat-rapat pada kehangatan dan kelembutan Dalida. Dan bagaimana caranya memberitahu kalian, anak-anak orang susah, apa itu Lavandou. Sebuah desa nelayan yang nyaman di selatan Perancis, menghadap ke Laut Tengah. Dapatkah kalian bayangkan silir-semilir udara laut diselang-seling harum lavender, kepalaku dielus Dalida.

Kini, setelah paruh baya, aku hanya bisa berdoa agar semua anak perempuan di dunia menjadi curahan kasih-sayang bapak-bapaknya, sehingga mereka tahu apa itu kasih-sayang dalam keluarga. Aku mungkin memang asosial bahkan antisosial sekaligus, namun aku tahu persis apa itu keluarga. Bapak dan ibuku memberiku dan adik-adikku sebuah keluarga yang utuh dan sepenuhnya berfungsi. Aku tahu bagaimana bapakku berusaha bahkan sampai melampaui batas kemampuannya untuk menjadi bapak terbaik bagi adik-adik perempuanku. 'Moga surga baginya. 

Lantas musim dingin yang hanya nyaman jika kita menemukan cara untuk tetap hangat. Jika tidak, maka musim dingin bisa berarti kematian. Itulah sebabnya akhir Oktober diperingati untuk mengenang orang-orang mati setiap tahunnya di negeri-negeri belahan utara. Akhir Oktober juga sering dijadikan batas terakhir untuk menuai apapun yang disemai, karena setelahnya hari-hari akan semakin pendek dan malam-malam semakin panjang dan dingin. Ini sekadar pamer pernah menghabiskan lengkap empat musim di negerinya langsung, terutama kepada yang belum pernah.

Bapaknya Sonny pernah membuatku menjadi anggota rombongan sirkus hahaha; sedang apapun yang tersisa padaku adalah dosa-dosa yang besarnya setara mahameru. Jika ada yang bertanya apa hubungan antara dua premis yang dihubungkan dengan 'sedang' maka kau harus bertemu Lisa. Tanyakan padanya. Ia pernah meninggalkan di rumahku potretnya. Aku tidak yakin, namun mungkin kalau tidak 8R ya 10R sekali ukurannya. Besar sekali. Aduhai apa benar yang terjadi padanya. Tanya Lisa mengapa premis satu harus masuk akalmu hubungannya dengan premis lainnya. 

Tidak harus, biar kubantu menjawabnya, Lis'. Apa kau tidak pernah dengar mengenai pilihan F di mana pernyataan dan alasan kedua-duanya salah namun menunjukkan hubungan sebab-akibat. Aku jauh lebih baik dari itu. Terkadang premis atau konklusinya kubuat benar, bahkan seringkali keduanya benar, meski mungkin bagimu tidak menunjukkan hubungan sebab-akibat. Lantas kau menggunakan matematika untuk menguji ada-tiadanya hubungan, dan merasa bahwa konklusimu lebih sahih, lebih absah. Berarti kau belum tahu dentuman. Apa itu dentuman.

Apa yang dapat membuatmu tahu apa itu dentuman 

Wednesday, January 01, 2025

Selamat Tahun Baru 2025. Fantastisisme Bermula


Jika aku sampai mengitiki, maka aku kesepian. Kugelitiki sekujur badanku sendiri, tiada yang geli. Entah aku punya ajian zirah emas dari kuil shaolin atau bagaimana. Cium-ciuman yang lebih manis dari anggur merah yang selalu memabukkan diri kuanggap belum seberapa dahsyatnya bila dibandingkan dengan kecupanmu selalu membuatku lesu darah. Kalimat sepanjang ini tanpa tanda baca apapun, seperti cahaya lampu berbahasa Perancis yang kunyanyikan dengan lirik salah dengar asal bunyi. Aa sembunyi, 'ku diapusi oleh buku lagu biarkan itu menjadiku ensiklopedia.
Mengapa aku masih berada di luar graha, di dinginnya udara malam Magelang setelah terompet istirahat malam berbunyi. Lampu-lampu taman menyala di antara graha, memendar cahayanya menembus melalui kaca-kaca buram. Tiga tahun di situ tidak pernah aku kebagian kasur bawah. Kelas satu di atas almarhum Ari Setiawan, kelas dua di atas Iron Setiawan, kelas tiga di atas Eri Budiman. Pernah ding sebentar di bawah Setyo Wibowo. Ya hanya tiga bulan itu kurasakan kasur bawah. Tiga bulan dalam tiga tahun hasilnya sesungging senyum di hangatnya sinar mentari.

Dengan pemandangan taman jurasik bagasnami dan jalanan blok mama, kupejamkan mataku untuk menyesapi cinta yang tak pernah kurasakan. Aku sekadar balon yang ditiup dengan penuh semburan liur ke dalamnya, bergulung-gulung tanpa daya. Terkadang dihembus angin lalu, teronggok di aspal berbatu setengah basah. Ditemu anak kecil, diinjak benjret. Kurentang lengan-lenganku menggapai entah apa. Uah, siapa sangka 'ku 'kan berhasil denganmu, nyaman-nyamannya, empuk-empuknya, belai-belai sayangnya, selalu saja dari entah bila-bila. Sayang, kau tahu bahwa...

...mimpi adalah bagi mereka yang tidur. Hidup adalah bagi kita untuk dijaga. Dan apabila kau bertanya-tanya apa maksud ini semua, aku ingin bersamamu mencapainya. Aku benar-benar berpikir kita akan berhasil. Namun sekarang adalah perayaan melodi yang tidak pernah berhenti cantik sejak bapak cina tua itu menjual lotere dan nasi uduk berlauk tempe bersambal. Seperti halnya sampai kini kesejukan minyak oles obat hidung yang bermula dari minyak lemon dari Gus Dut tidak pernah berhenti membelai-belai kepalaku yang sudah gundul sekali: 'ku sugus bukan agus. 

Satu-satunya yang patut dicatat di sini hanyalah bahwa 1 Januari 2025M ini bertepatan dengan 1 Rajab 1446H. Inilah sesungguhnya yang benar-benar harus dirayakan, seperti hakikat taqwa teronggok di meja berdebu. Di bawah tumpuk-tumpukan barang-barang fana, sedang seluruh alam ciptaan ini fana. Memang begitulah hakikat taqwa: mutiara terpendam. Di atasnya bertumpuk-tumpuk beban kegelapan menyelimuti, bahkan cangkang keras. Butuh usaha yang lebih keras untuk memecahnya. Mutiara'tu diselimuti otot lembut, mudah terluka hanya oleh pasir sebutir.

Lantas apa yang seperti dua potong oncom goreng tepung. Apa yang seperti dua mangkuk mie ayam wonogiri donoloyo. Makna dilambangkan dengan bunyi yang dilambangkan dengan gurat-guratan pada media penyimpan. Yang diingat adalah makna atau bunyinya, namun terkadang juga lambangnya. Suatu keteraturan yang mantap menuju satu-satunya tujuan: kehancuran. Bahkan itu pun bukan. Ketiadaan. Apalagi ini. Kau merasa tiada karena kau merasa ada. Ada dan tiada. Kosong itu Isi itu kosong. Di titik ini seperti biasa kujulurkan apa yang terasa seperti lengan.

Meski Jabadehat sempat beringsut-ingsut lewat mengecer-ecer lendirnya ke mana-mana, salah satu simpananku dalam laci-laci benak yang acap keluar dengan sendirinya adalah suatu simpulan mengenai kesedihan yang kiranya menetap seumur hidup. Namun aku memilih untuk mengenang latarnya, yakni stipwong ketika masih berada di lantai dua margo siti. Itu pun jika kau menyebut lantai yang berdiri sejajar dengan permukaan tanah lantai satu. Kenangan-kenangan itu biarlah berlalu, seperti berlalunya segala sesuatu dari sudut pandangku. Sesatunya yang 'ku tahu.

Tuesday, December 31, 2024

Selamat Ulang Tahun yang ke-20, Kopral Macan


Di hari ulang tahun ke-20 bohong-bohongan goblog ini, biarlah aku kembali ke 30 tahunan lalu. Tentu saja tidak tepat 30 tahun lalu, karena jika demikian, mungkin aku sedang berlayar di laut Jawa di atas KRI Teluk Sampit. Tepat di sini, seperti biasa, kereta pikiranku diganggu oleh kebatan yang membuatku, seingatku, membaca-baca jangan sekali-kali meninggalkan sejarah, dan mungkin beberapa hal lainnya. Bisa jadi juga pengganggu utamanya adalah sepotong risoles ragu ayam dan kroket ayam, dengan cecabean rawitnya sekalian, nan aduhai sulit betul diambil.  
Akan halnya aku terpelanting ke 30 tahunan lalu, itulah sebenarnya suasana yang kuharapkan ketika berada di sebuah food court sangat sederhana untuk ukuran mall-mall kekinian. Modalnya tentu tidak sebesar Transmart-nya Chaerul Tanjung, yang kata Bang Ian, menggendong ibunya ketika melewati X-ray, mengangkatnya dari kursi roda. Inilah contoh bisnis yang gagal move on, namun entah bagaimana mendapatkan perpanjangan nafas di pinggiran Depok. Bahkan meja dan kursi rotannya, risoles dan kroketnya, jingle-jingle iklannya, ah terasa awal 1990-an betul. 

Namun harapan sederhana akan suasana awal 1990-an itu buyar menjadi remah-remah ketika seorang ibu-ibu muda gemuk [karena kalau gemuk muda agak wagu, memang ada gemuk tua?] entah gagal atau memang tidak berkeinginan untuk menenangkan anak laki-laki balitanya yang menangis meraung-raung. Sehebat apapun kusabari, tak sanggup juga pada akhirnya. Maka kukemasi HP11-CBku dan segera beranjak dari situ. Sudah ada semingguan ini cuaca berhujan berbadai kehabisan tenaga. Mungkin ia sedang mengumpulkan tenaga baru. Badanku beradaptasi lagi.

Uah, kastil timun ini membawaku ke suasana yang jauh berbeda lagi, mundur hampir 40 tahunan. Mengapa selalu mundur. Mengapa tidak maju. Terserah apa mau dikata, semua orang yang bicara mengenai masa depan adalah penipu, atau setidaknya pengkhayal. Aku apa adanya saja. Hanya masa lampau yang ada padaku, terpampang terang benderang di depan mata. Aku seperti gorila koko yang setiap kali sudah makan dan ditanya jawabannya menunjuk ke depan. Jika kau mengerti pun seharusnya membawa kenangan indah, bukannya malah Dr. Abdul Salam.

Selancar-lancarnya jariku mengitiki, entah bagaimana caranya selalu menyisakan tiga. Begitu biasanya. Pada titik ini tergantung tenaganya. Seperti sekarang ini, di bawah cahaya bulan berkabut yang riang begini, aku tahu aku akan bahagia di sembarang tempat di mana pun, sepanjang aku bersamamu. Ya, tentu saja kau cantik. Tepat seperti yang selalu kusangka-sangka. Beberapa kali kutulis di sini [atau belum] kau seperti Bawuk, aku Hassanmu. Namun terbalik, kau yang Mandailing polit, aku yang Jawa keturunan priyayi; kedua-duanya dimatikan oleh Umar Kayam.

Mengucap selamat tinggal itu menyakitkan. Bagaimana rasanya mengucap selamat tinggal pada hidup, seperti yang dilakukan Letda Henry Herrick, komandan peletonnya sersan Ernie Savage. Ernie pada saat itu adalah seorang komandan regu. Ah, lebih baik menyesapi keajaiban ini, entah di mana ini, sepanjang gang mahali atau entah di mana. Seperti biasa aku tidak sabaran. Sebenarnya aku bisa begini, seperti sekarang ini di dekade ketiga Abad ke-21. Namun aku memaksakannya sejak di akhir Abad ke-20. Sudahlah. Ingat saja kata Gratio, teladani Stalin atau orang hebat lainnya.

Bukan untukku mengatakannya ada dua, setidaknya dalam laci-laci benakku. Di satu laci tentu saja Cliff Richard, di laci lain Johnny Mathis. Aku lupa apakah di masa-masa ketika the best oldies station masih ada di my little town, keduanya seringkali mengudara. Aku merasa lebih pasti dengan Cliff, tapi tidak dengan Johnny. Johnny justru mengingatkanku pada iProfile. Perusahaan pembuat website. Astaga, kuno sekali, padahal itu sudah memasuki abad ini. Ya, bahkan dalam satu abad yang sama, awalnya, pertengahannya, akhirnya, dapat berlainan sekali. Begitulah itu.

Apapun, Selamat Ulang Tahun, 'Pral.

Monday, December 30, 2024

Pergi Saja Engkau Pergi Dariku Biar Kubunuh. Diri


Berhubung esok besar kemungkinannya takkan sempat menulis entri (halah!), ada baiknya kutulis sekarang saja. Mumpung gabut. Ini koq rasanya seperti musim panas di Amsterdam atau Amstelveen. Aku tidak sempat merasakan musim panas di Kraanspoor. Musim panasku di Kees Broekman dan Uilenstede. Di Kees aku ingat sekali. Gelap-gelap begini lebih seperti kamarku di Uilenstede 79C. Masih ada jejaknya di Google Maps. Namun terangnya tidak dari depan begini. Dari samping. Kurasa di situ pula mulai kukumpulkan lagu-lagu menyek mengiringiku petang ini. 
Biarkanlah aku kembali ke petang yang lain lagi, 20 tahunan lalu bahkan di Palembang. Bukan aula benar, remang-remang suasananya, bersama bocil-bocil entah angkatan berapa yang sekarang pasti sudah menjadi bapak-bapak dan ibu-ibu. Nah, mending ini sekalian. Tidak ada kenangannya. Entah mengapa ia bisa berada dalam daftar ini. Menurut Angga ini adalah lagu tema anime. Liriknya dibuat menjengkelkan begini. Mengapa sekarang tema-tema seperti ini disukai. Uah, romansa memang tidak pernah baru sejak jaman Romeo dan Yuliet: sekadar diulang-ulang.

Nah, kalau ini di dalam taksi. Entah mengapa aku ingatnya taksi. Padahal naik taksi ke Radio Dalam baru nanti pagi, Insya Allah, tapi melodi cantik ini seingatku kudengar di sebuah taksi kali pertama. Tepat di perempatan Pondok Indah Mall sebelum berbelok ke kanan arah Margaguna. Sangat bisa jadi. Mungkin ketika itu juga membawa anak-anak. Ada dua seingatku yang begini kisahnya, anaknya Indra Lesmana dan anaknya Soegi entah siapa. Pintar anak-anak ini. Bagus, kata Pak Tino Sidin. Jika di situ ada Nino Kayam, mau bagaimana lagi. Cucunya Umar Kayam dia ini.

Berikutnya membawaku ke petang lain lagi, menyusuri graha bintaro entah lewat mana lagi. Mungkin tentu saja sampai sektor satu, deplu, veteran, tanah kusir, arteri, sampai masuk lewat kostrad, kwini, baru Yado. Astaga, dahulu badanku masih cukup perkasa melakukan itu, sekitar 12-an tahun lalu. Luka, luka, luka yang kurasakan. Bertubi-tubi-tubi yang kauberikan. Tak apa, 'Nak. Tadi sempat terpikir olehku, jika sampai tak ada padaku dan adikku anak, ada dua kemungkinan. (1) tak boleh diteruskan; atau, (2) harus diselesaikan sekarang juga, seperti senantiasa.

Apa tidak sebaiknya dihentikan dulu. Ya, baiknya begitu. Baru saja aku keluar dari kamar hotelku untuk mencari makanan. Ya, seperti sudah menjadi mafhum, layanan kamar biasanya harganya tidak bersaing. Maka turunlah aku menemukan warung mi aceh. Lapar, begitu tanyanya, mi aceh paling benar, begitu katanya. Malam ini tiada berapa ramai, mungkin seperti malam-malam yang telah lalu. Ada satu meja lesehan berisi satu keluarga. Di antaranya, seorang perempuan gemuk meminta mikrofon untuk berkaraoke. Setelah dua lagu ia berhenti, dilanjut setelah aku pergi.

Roberto Bellarmino Gratio memberiku oleh-oleh, yakni sebentuk patung dada Josif Stalin dari kuningan dan sebuah perjanjian baru dalam bahasa dan aksara Russia. Ia menjelaskan bahwa Stalin, walaupun penyusun utama Marxisme-Leninisme, adalah seorang eks-seminaris ortodoks, baik sebelum maupun pada saat perang besar patriotik dan setelahnya. Dia tetap menjaga keutuhan gereja Rusia dengan mengangkat Patriark Alexei. Maka, dua hal itu, Stalinisme dan kekristenan ortodoks, tidak terpisahkan. Nama baptisnya saja Josif, bapaknya Yesus Kristus. Gratio melanjutkan, semoga dalam menjalani hidup ini kita bisa meneladani Stalin, yang walaupun tidak kuliah, anak istrinya meninggal, dipenjara berkali-kali, sering direndahkan Trotsky, sering dikritik dan difitnah, tapi tetap teguh berjuang ke depan. Demikian penjelasan Gratio mengenai oleh-olehnya.

Aku tidak bisa berkata lain kecuali akan kubrasso patung Stalin itu, karena di sana-sini sudah muncul karat kuningan. Kurasa ini lebih baik daripada membraso epaulet, pin kerah, tanda korps, dan kepala sabuk. Sudah lama sekali aku tidak punya alasan untuk membrasso apapun. Hampir 30 tahun! Gratio memberiku alasan. Padahal di rumah ada jam berbentuk kemudi kapal yang ada bagian kuningannya, dan cantik sudah membeli sekaleng besar brasso. Namun belum sekali pun kugosok jam itu. Akankah aku rajin membrasso patung Stalin, aku pun belum tahu. Kita lihat saja.

Sunday, December 29, 2024

Jika'Ku Setia Padamu Kar'na Kau Takkan Menyakiti


Begitu kubuka pintu masuknya, hidungku langsung disergap aroma yang membekas lembut pada ingatanku: buku kafe, dari 20 tahunan lalu. Biarlah aku hidup di masa lalu, meski ketika itu aku, seingatku, tidak pernah memesan kopi apapun. Jadi adalah tahun-tahun di mana lambungku tak tersentuh kopi sama sekali, setelah selama sekitar enam tahunan hampir tidak pernah tidak tersentuh kopi, tubruk maupun instan sasetan. Di sini ada beberapa jilid buku, tetapi kurasa lebih seperti pajangan saja. Dekorasi ruangan. Sedang di buku kafe dulu itulah menu utama, meski tetap harus pesan minuman juga, setidaknya, atau makanan.
Ambiens boleh saja, asal jangan mendominasi. Barusan kukecilkan volume pelantang agar jazz mulus dari kamar loteng ini tetap hangat mendekap jiwaku. Padahal yang kubuat ya hanya ini, entri ini. Kalau berkantor di sini, bisa jadi 50 ribu sehari tidak akan ke mana. Uh oh, apa akan ada musik hidup. Ini bisa jadi bencana. Aku tak ingin suarainti A20i-ku bersaing dengan salon-salon segede gaban. Awas kalau sampai mengganggu benar-benar akan kutinggal ke tempat lain, meski pada detik ini aku belum punya ide mau ke mana. Uah, benar-benar keras suaranya.

Sampai 'ku tak bisa mendengar otakku sendiri berpikir. Ia menyanyikan nuansa bening, lagunya Bung Ippul. Sungguh mengerikan waktu-waktu itu, di tepi Ciliwung ujung jalan kober, bahkan sudah lewat kobernya itu sendiri. Tempat bersemayam Bung Biawak, membuat jeri Bung Yori Yapani. Ia melanjutkannya dengan janji putihnya Doddie Latuharhary. Kalau tidak gara-gara dia, jangankan tahu, terpikir saja lagu ini tidak akan. Ini sudah memasuki lagu ketiga. Kopi susu masih sepertiga cangkir. Pantatku terasa seperti enggan geser. Telingaku masih mencoba bersabar. 

Baru tahu, ternyata makanan dari pondok gurame bisa dibawa ke sini. Di depanku sekeluarga bersantap siang lengkap. Dengan standar apapun yang pernah ditetapkan NATO atau Pakta Warsawa, ini semua sesungguhnya sudak tak berterima, kekacauan ini. Kaki kanan kuselonjorkan ke kursi depan. Kaki kiri kuletakkan santai di lantai. Setidaknya sekarang aku tahu minggu siang begini ada musik hidup di sini, jadi bisa dihindari. Libur t'lah tiba. Titik-titik penggilingan ini bisa jadi alternatif kantor, untuk berganti-ganti dengan suhu yo. Berapa lama.

Jangan diteguk lagi kopi susunya, paling tinggal tiga teguk lagi. Jadikan ia alasan untuk melatih kesabaran. Apa rasanya tampil di depan tiada sesiapa, tidakkah dalam hidupku beberapa kali pula kurasakan yang seperti itu. Seperti ketika kubawa gitar, bahkan mungkin ukulele sekalian, ke acara korjek. Bahkan bawa sisun segala. Seperti juga ketika kubawa gitar ke... apa dahulu nama tempat itu, ternyata teman seangkatanku malah ajep-ajep di dalam situ. Ah, sial, aku memang tidak pernah berhenti jadi pemain watak bahkan sampai kini. Keple'ne pol aku iki. Jan tenane

Orang keple sepertiku ini memang cocoknya ditakut-takuti dengan lelepah. Lelepah, lelepah. Panganane iwak mentah. Lalapane brambang uyah. Mangane neng tritis ngomah. Entah kesambet apa, ketika Pak Jeje menawarkan ada yang ingin menyanyi, kugantikan ia sebentar. Pasti sakit lama-lama memainkan senar-senar kawat itu. Ia ternyata seorang profesional. Semoga ia dibayar pantas, meski titik-titik penggilingan minggu siang ini sepi; hanya dua meja terisi penuh, ya oleh keluarga tadi. Salah satunya meja yang kupakai kemarin sesiangan 'sama istriku cantik.

Meski tak pernah benar-benar menonton pagelaran wayang kulit, apalagi yang semalam suntuk, [ha]lelepah selalu berada dalam benakku. Itulah kurasa yang menuntunku untuk berselancar mencari-cari wayang setanan. Betapa suara tangisan anak halelepah sangat lekat dalam ingatan, yang ternyata suara traktor penarik kereta-kereta bagasi yang terkadang melalui jalan apron timur, entah mau apa. Sekarang, aku cukup bersyukur badanku, setidaknya secara ritual, terhitung suci. Meski pikiranku lethek, karena aku wis tuwo, bacin. Amit-amit jangan sampai mati jadi halelepah.

Saturday, December 28, 2024

Untung Sempat Disimpan Jazz Klimis dari Loteng


Stereo nirkabel sejati (SNS)-ku bau tahi hahaha. Aku mengendus-endusnya sambil menahan tawa terbahak-bahak dengan harapan baunya segera hilang. Namun tak kunjung hilang juga hahaha. Ini seperti ketika kami main pleset-plesetan di rumah sebelah tiba-tiba penjaganya datang. Dengan sangat kesulitan kami memanjat pohon jambu klutuk satu-satunya jalan melarikan diri. Sudahlah batangnya licin, badan kami berlumuran deterjen, maka tertawa-tawalah kami riang-gembira. Adik dan Herman menyelamatkan diri ke atas citra kasih, aku dengan sok gagah berani menghadapi nasib demi mendengar suara bapak menggelegar memanggilku. Maka terhempaslah menghantam mesin cuci.

Jika kulanjutkan di sini bahwa ini kali pertama akhirnya aku berada di dalam titik-titik pabrik, ini karena paksaan cantik yang terinspirasi oleh helen yang bukan dari troya; mungkin dari kroya, aku tidak tahu. Biasanya aku hanya melintasinya. Seringkali malah tidak memperhatikan, karena ia berada tepat di sebuah belokan tajam ketika jalan raya kaesu membelah cikumpa. Namun pagi ini aku benar-benar berada di dalamnya, hanya kami berdua, aku dan cantik. Sisanya adalah teh thai panas dan es kopi susu, serta baru saja datang ini, patat, kentang goreng a la belgia perancis.

Jika aku sedang malas mengkapital-kapitalkan, mengkursif-kursifkan, mohon dimaafkan. Jika aku agak berkeringat-keringat, mungkin karena habis menyantap mi nyemek [awas, 'm' dan 'ny' jangan dipertukarkan] dengan tingkat kepedasan sedang. Mi menyeknya enak. Harganya yang Rp 40,000 memang untuk membeli suasana. Namun jika dipikir-pikir, di solar pun harganya segituan, bahkan tidak pakai suasana. Di sini diberi berbantal kursi bertuliskan "Ethiopian Mocha Sidamo. 100% coffee product. Arabica 18-3227 wt. 100 lb". Jadi pura-puranya karung biji kopi. 

Tadi sempat terpikir untuk menulis ulasan yang agak patut mengenai tempat ini. Siapa tahu dengan begitu lalu-lintas ke goblog ini jadi agak meningkat. Ah, tanpa ulasan patut pun sudah cukup banyak kunjungan hanya dari Sampoerna King dan mantra santet. Jadi, seperti biasa, asal goblek asal ngomyang aja. Itu 'kan satu-satunya fungsi goblog ini sekarang, setelah bapak berpulang. Mustahil kuwujudkan impian kema[cangondrong]an (gantilah 'cangondrong' dengan 'yor') di atas bumi ini. Jasad bapak sudah di dalam bumi Rorotan, di taman makam syuhada.

Setelah mengulas (halah!) mi nyemek, kini kita bicarakan sedikit teh thai. Aku memesannya karena sudah cukup lama ini aku agak brutal dengan perkopian bungkusan, bahkan kopi kekinian. Aku sampai tahu bedanya kopi teras sekolah tinggi hukum milik Rapin dari orang-orang cerdas. Di titik ini anganku melayang pada rintihan minta tolong. Astaga, itu saja yang terpikir olehku. Akan halnya Rendi mengaku berminat seakan-akan karena suatu alasan praktis, ada terbersit sedikit ejekan dalam hatiku. Untuk itu aku minta maaf. Kecerdasan juga tak banyak gunanya, meureun.

Bapak itu menelekan kepala pada sandaran sofa, memejamkan mata. Istrinya di sebelahnya sama-sama setengah rebah, memilin-milin rambut keritingnya, ditarik ke atas kepala. Tiga ekor anaknya bercericau ramai seperti sekumpulan burung betet. Yang tertua perempuan, berambut keriting seperti ibunya. Kedua adiknya laki-laki berambut lurus, mungkin seperti bapaknya. Aku tak bisa mengatakan dengan pasti karena rambut bapaknya dicukur pendek a la serdadu; sementara jazz klimis dari loteng ini menghentak nikmat di telingaku, menutupi ambiens yang arusutama. 

Aku suka, ya, bahkan cenderung bangga bila entah bagaimana judul disebut dalam badan tulisan. Jadi seperti tulisan benar-benar. Semacam cerpen yang kepanjangannya cerlana pendek, ya, seperti yang sering dipakai selena gomes. Hanya saja dalam entri ini belum dijelaskan mengapa ilustrasinya begitu (halah!). Itu adalah seorang raksasi (ogress) dari Harsan. Harsan dari bagian India yang mana entahlah. Itulah. Orang seringnya terlalu cepat menyimpulkan. Jika bentuknya tidak tipikal atau konvensional, dikata bukan perempuan, dikatai raksasi. Padahal ia bukan.

Friday, December 27, 2024

Balada Sebutir Granat, Sepucuk Pistol. Seselesainya


Kopiku encer, musikku menyek, rokok kretekku mana. Lonte punya selera, jarum super filter, jarum super internasional. Aku paham sepenuhnya maksud diberinya selongsong kardus pada cangkir kardus, agar tidak panas memegangnya. Namun, selain tidak panas, selongsong itu membuat peganganku tidak mantap pada cangkir kardus; jadi meleset-meleset begitu. Aku hampir lupa rasanya ketika aku membenci mereka, ketika yang kuinginkan adalah sepucuk pistol dan sebutir granat. Ketika mereka bercericau, lemparkan granat ke tengah-tengahnya [onomatope ledakan]. 
Pistolnya untuk apa. Karena aku pada dasarnya gak tega'an, jadi untuk mengakhiri penderitaan yang tidak langsung mati. Karena granat Mk. II alias granat nanas serpihannya bisa besar-besar, bisa memangkas anggota badan bahkan leher, tapi bisa juga sekadar merusak jaringan namun tidak fatal. Sebutir peluru tepat di kening akan mengakhiri penderitaan terpangkas anggota badan oleh serpihan granat, atau rusak jaringan namun tidak fatal lainnya. Itulah benar mungkin yang mendorongku masuk tentara. Seragam, apalagi kekayaan, aku tak peduli. Granat! Pistol!

Hahaha, nyatanya semua berakhir dengan romansa. Cintaku pada rakyat jelata dan kepapaan mereka sudah dipupuk sejak dini. Aku bersahabat dengan anak-anak pedagang beras, supir bajaj, dan supir bis malam. Kecintaanku kepada mereka semakin mendalam, melesak ke dalam gua garba, menghunjam liang-liang kewanitaan mereka. Bersama mereka aku merasa seperti menemukan pembenaran, alasan untuk ada, dan, terlebih penting, cinta. Ya, aku menemukan cinta bersama mereka, menghapus berbutir-butir granat dan berpucuk-pucuk pistol beserta munisinya sekali.

Dari mereka pula, kaum jembel mudlarat ini, aku belajar betapa cinta itu tak ragawi. Seberapa banyak pun gua garba kujelajahi, sebanyak apa pun tahi macan kuecer-ecer di dalamnya, seberapa pasang pun buah-buahan kukeremus kugelegak [daftar ini bisa panjang sekali jika diteruskan], tak membuatku menemui cinta, apalagi Cinta. Baru kutersadar, aku seperti ibunda rahwana yang meminta sastra jendra ketika selaput daranya masih utuh, belum ditembus oleh pestol gombyor calon bapak mertuanya sendiri. Di titik ini aku tertawa-tawa sambil mencengkam pistolku sendiri. 

Tidak setiap hari, setiap saat aku cerdas barus begini; semoga kelak aku masih ingat bagaimana sampai secerdas barus ini. Modalnya hanya 50 ribu lebih sedikit, namun entah kerugian apa yang ditimbulkan pada kesehatan badan. Di dunia macan yang perutnya gondrong ini, aku cerdas barus sendiri, aku senang sendiri. Mau kuecer-ecer tahi sebanyak apapun takkan seorang pun peduli. Takkan pula mau kutambah modal sendiri. Tak mungkin pula terus-terusan seberuntung ini, dua bulan terakhir ini. Uah, rampak sekali aku mengitiki ketiak sendiri. Seperti biasa, tidak geli.

Eh, baru sadar. Pistol masih dalam genggaman, yang bila diberi bersabun sedikit, diberi air sedikit, lalu genggaman digerakkan ritmis maju mundur, bisa geli. Inilah kegelian hakiki. Ustadz Firanda boleh berkata sesuka hati. Jika ukurannya masih ragawi, maka kubulatkan jari-jemari, kutarik ke belakang sambil kurapalkan "kamehame.." lantas kudorong ke depan sambil berseru "HA!" Siapapun bebas berkata-kata apapun suka-suka hatinya. Namun jika kau belum pernah main monopoli melawan Ahmad Suroji, Siswanto, dan Sumanto, cari tahulah siapa Kamehameha. Tak apa.

Tahukah engkau bahwa ketika ibunda Kamehameha mengandungnya, ia mengidam mata-mata hiu putih raksasa. Ayahnya yang juga seorang raja menyadari bahwa anak perempuannya ini sedang mengandung seorang calon raja besar. Di titik ini aku menari-nari berputar-putar, sedang pelir dan biji-bijinya sekalian berayun-ayun riang gembira. Ya, aku tak berkain tak bercelana. Apa ini seperti pengelana menjadikan dirinya umpan untuk menangkap entah megalodon atau mosasaurus, membagi-bagi dagingnya dengan dua perempuan dewasa dan kecil, sedang ia 'ndiri makan matanya.

Thursday, December 26, 2024

Menyusumu Berbeda dari Menyusuimu. Sensasinya


Kreasi, konstruksi itu memakan tenaga dan biaya yang tidak sedikit. Sebaliknya, kau hanya membutuhkan sebungkus indomie goreng jumbo putih, sebutir telur, dua tahu bakso, dan sepotek gorengan chikunguya sok cerdik marugame udon untuk melakukan destruksi. Meski kau tahu bukan itu benar yang mendestruksi. Bahasa, kesukaanku dari lama, bahkan kian melelahkan. Aku terlambat sadar jika aku menyukainya, tapi biarlah. Aku menyukainya, namun seperti halnya segala sesuatu di dunia, ia tidak perlu menyukaiku balik. Aku hanya harus menyukai. Hidup itu butuh menyukai.
Segelas susu jahe emprit bakar sudah tandas. Aku sudah tidak punya tenaga untuk membela kehormatan, apalagi melakukan sesuatu ditenagai kebencian. Jikapun masih ada, tenagaku kiranya tersisa untuk mencinta. Lebih mengerikan lagi, jika aku masih hidup meski dalam fasa vegetasi mental, lantas aku butuh dicinta. Sekarang saja ketika aku masih sanggup mencinta tiada cinta bagiku. Bagaimana jika mentalku sudah sangat mundur sampai secerdas sawi, siapa yang 'kan sudi mencintaiku. Itulah sebabnya, secangkir merah kopi luwak putih kini menemaniku, di sini ini.

Bahkan kini bajigur panas yang ditulis tangan dengan cat kayu pada sepotong papan. Ini bajigur aduhai mantap. Manisnya ada tetapi sopan sekali. Kesukaan bapak, minuman ini. Sebelum ini, aku minum bajigur di Karawang sekali. Sayang suasananya kurang dapat dinikmati. Tidak seperti sekarang ini. Bertelanjang dada, berpeluh-keringat menghadapi meja kerja sendiri, menghadapi jendela berkasa nyamuk hastakarya istri sendiri, menghadapi kebun kecil depan rumah nan subur menghijau. Inilah kenikmatan hidup sejati, meski kesakitan demi kesakitan mendera. 

Jika 'ku sedang mencoba bertahan satu cinta semacam ini, tiada rasa sakit yang 'ku rasakan. Hanya senyum keindahan, bukan senyum kehancuran, yang 'ku balas. Maka biarlah 'ku menyusuri kembali gang haji mahali, dengan masjid jami' khairatul musliminnya, meski anakku Fathia Rizki Khairani lahir di gang satunya lagi, gang kober, di tempat bidan haji hilah. Anakku Khairadhita-lah yang membuatku bertahan satu C-I-N-T-A. Anakku Aisyah Putri Nurafifah temanku sarapan, dan tentu saja anak kambingku satu-satunya Fawaz Hamdou Nitisemito. Empat inilah anakku.

Kini 'ku teguk seseruputan, atau 'ku seruput setegukan, entah berapa sandyakala telah kulalui dalam hidupku, entah berapa keindahan kunikmati. Perasaan mengganjal itu semoga segera pergi, karena itulah yang dapat kukendalikan. Satu lagi pejuang meninggalkan kita, begitu kata Takwa, tepat pada hari natal 2024 ini, Profesor Kaelan. Aku bukan pejuang. Aku keple. Maka mendekati tengah malam ini, aku masih belum terbiasa kehilanganmu, meski itulah yang harus kulakukan. Maka kuteguk lagi seseruput demi seseruput. Kuseruput lagi seteguk demi seteguk, Cinta.

Kausangka 'Gar, ya, kaukira kata-kata di sini hanya sekadar kuhamburkan saja sampai-sampai tak bermakna. Kau salah sangka, salah kira. Tiap makna yang terkandung dalam tiap kata kuletakkan hati-hati samping-menyamping, susul-menyusul. Mungkin tidak ada gunanya menjelaskan ini kepada kawanku Hari Prasetiyo, tapi Angga Priancha mungkin sudi mendengarkan penjelasanku. Makna di sini, alih-alih membentuk estetika semantik, justru menyusun estetika visual atau terkadang audio berselang-seling, atau suka-suka hatiku. Jadi lupakanlah dahulu rasio apalagi logika.

Alih-alih bapak penjaga parkiran indomaret KSU Tirtajaya, aku lebih seperti bapak yang berkantor di antara sinar garut baraya 2 dan pecel lele 212 tole iskandar. Sepertiku, bapak itu juga dengan cermat dan hati-hati menggunting-gunting bekas bungkus kopi sasetan atau entah bungkus apa saja, menyibukkan diri dengan kerajinan tangan. Namun, tidak sepertiku, siapa tahu apa yang berada dalam benak bapak itu. Siapa yang tahu apa yang membasahi bibirnya. Siapa tahu apa yang menggema dalam relung-relung jiwanya. Satu silabel saja, maka bapak itulah kasunyatan itu 'ndiri. 

Wednesday, December 25, 2024

Malam Natal Ini... Damai di Bumi, Damaiku di Hati


Ini adalah postingan malam natal. Tidak ada salahnya jika 'ku ceritakan di sini bahwa 9 tahun lalu, ketika aku masih kuat menyongklang variosty, 'ku rasa dari Radio Dalam ke Depok, 'ku hentikan tungganganku di dekat panti pijat satu putri di mulut tol pancasila arah Depok, hanya untuk mengapdet setatus pesbuk demikian: "Di malam natal ini aku seorang diri namun tak merasa sepi, karena hatiku menyala-nyala, menyambar-nyambar terbakar bara revolusi, yang laksana malaekat menyerbu dari langit. Semoga Tuhan memberkati sumpah dan janjiku untuk menyerahkan seluruh jiwa raga bagi cita-cita perjuangan bangsaku. Bapak, ibu, guru-guru, mohon doa restu." Begitu kataku, seperti biasa, pada diri sendiri. Memang hampir selalu begitu aku. Sunyi sepi sendiri merintangi.

Namun kini bapak telah tiada, begitu juga mpok mar. Sudah barang tentu ibu warung laler, begitu juga penjual ketan bakar suami mpok mar. Yang masih ada adalah penjual bubur kacang ijo ketan item madura, yang buka di samping rumah tante yunani, yang sudah sejak lama menjadi sushi tengoku. Artinya, 9 tahun setelah 'ku tulis status itu aku masih seorang diri namun tak merasa sepi, karena hatiku menyala-nyala, menyambar-nyambar terbakar bara revolusi, yang laksana malaekat menyerbu dari langit jalannya revolusi Bung Karno. Setelah 9 tahun aku masih berjuang.

Dalam pada itu aku seperti merah. Aku anung-un-rama. Tak hendak 'ku menuruti keinginan grigori untuk mengundang ogdru jahad ke alam dunia ini. Sebaliknya, seraya 'ku memeluk berkah Tuhan, aku diliputi api kebiruan tak berasap tak berbau, menyelimutiku bagaikan dekapan ibu yang tak pernah 'ku rasakan setelah aku mengerti pembicaraan. Seperti itulah malam natalku tahun ini. Tidak lagi seperti ketika suaraku tercekat, dan ketika 'ku paksa keluar, parau mengatakan pada diriku sendiri: "natal ini aku pulang". Di ambang jendela itu, tiada sesiapa, dingin di luar sana. 

Natal itu aku memang tidak pulang. Baru natal tahun berikutnya aku di rumah, tanpa kehadiran ragawi bapak. Namun bapak tentu saja selalu di hati, bahkan di tiap detak jantungku, bahkan dalam tiap kejatan pikiranku. Karena aku adalah bapak. Segala sesuatu mengenaiku adalah bapak, dan tentu saja ibu. Saat ini indera pendengaranku terpapar pada geremang beratus-ratus orang, namun biasanya ia dibelai-belai untaian nada mengalun yang biasa membuai jiwa ibu. Bapak adalah apiku, ibu airku. Ragaan tak berdaya bagai khayalanmu mengenai Bu Susiana Suryandari. 

Berdamai dengan hati sendiri tidak perlu sampai mengikuti kursus apapun, meski itu menurutku sendiri. Aku tidak punya uang, lagipula, untuk membayar biaya kursus, kursus apapun. Seperti Nugroho menyewa sepeda di pare kampung inggris. Ia hanya berkeliling-keliling naik sepeda di situ, tidak mendaftarkan diri ke salah satu tempat kursus bahasa inggris yang menjamur di situ. Ia justru lebih tertarik pada kenyataan bahwa di pare yang dulu merupakan pusat kota kediri terdapat maskapai trem uap. Ya, Nugroho berdamai dengan hatinya sendiri. Sepertinya, aku pun begini.

Ada lagi satu kata dalam bahasa Indonesia, kata sifat, yang dapat digunakan untuk menggambarkan suasana ini: teduh. Dulu aku sangat terpukau dengan saat teduh, buletin jumat, sedarlah dan sebangsanya itu. Sesungguhnya sampai detik ini juga, meski keterpukauan itu harus disiram air comberan agar padam, karena dapat menimbulkan gejolak jiwa yang merusak keamanan dan ketertiban masyarakat. Lihatlah orang-orang yang kausebut di paragraf kedua tadi. Engkau pasti suka berpikir jika mereka sudah merasakan kedamaian, bukan, dalam istirahat panjang.

Namun Yesus Kristus belum beristirahat. Ia akan kembali di tengah-tengah kita membunuh si penipu yang mengaku juru selamat. Aku yang buta tuli mata telinga hati ini masih terus merasa tertipu habis-habisan setiap hari, jadi mungkin saja sang penipu ulung ini belum mati. Berarti Yesus Kristus belum berada kembali di tengah-tengah kita. Jika pun takkan pernah 'ku saksikan matinya si penipu dengan segala tipuannya, aku berdoa kepada Allah agar anak-anakku sempat menyaksikannya sebelum mereka sendiri mati. Kerinduanku, kedamaian dalam hati nurani.

Selamat Natal dan Tahun Baru. Damai di Bumi, Damai di Hati.