Suatu gambaran yang ngeselin untung ditawarkan oleh cuaca terik menyilaukan sedangkan berada dalam ruangan sejuk berpendingin udara. Seperti kata Sersan Elias Grodin, merasa baik sudah cukup baik; apalagi baik-baik saja. Dalam bahasa Indonesia, kebaikan itu lebih ke kindness daripada goodness. Jadi kalau segala kebaikan alam ada dalam suatu produk, nah, itu menjadi aneh. Betul alam baik, dan kebaikannya selalu kita rasakan dalam tiap tarikan dan hembusan nafas, dalam tiap kedipan mata. Akan tetapi, kebaikan dalam kalimat tadi bukan dalam konteks ini.
Paragraf di atas berasal dari sekira seminggu yang lalu. Dorongan untuk membuat entri ini apa lagi, entah sudah dari berapa minggu lalu dalam bulan Agustus. Akhirnya Agustus 2025 hanya memiliki satu entri. Tidak mengapa. Banyak bulan dalam jagad gondrong ini yang bahkan tidak ada entrinya. Beberapa minggu ini memang membawa macan berjalan-jalan merintang ruang dan waktu harus bersaing dengan menerbangkan kapal bermesin jamak. Belakangan bosan juga melakukannya, maka aku kembali lagi bersama macan yang perutnya gondrong, yang mana tak lain aku ini.
Hampir sejajar dengan mataku jika menengok ke kanan adalah pelat logam bercat hijau penunjuk jalan. RS UI/ KAMPUS UI, katanya, lalu di bawahnya Kelapa Dua, di bawahnya lagi Lenteng Agung, jika mengambil lajur kiri. Jika kanan maka berbelok ke timur ke arah Jalan Ir. H. Juanda, atau bisa juga masuk jalan tol Cijago, bahkan sampai ke Bogor. Di seberangnya tampak tulisan Michelle Bakery. Jika terhidang bagiku, sampai kapan pun aku akan lebih memilih Iyem, apapun depannya, Surt- atau Pon-, daripada Michelle, meski ma belle. Mending ma Cherie amour.
Entah apa yang menyebabkan Sopuyan menambahkan bunyi 'n' di depan amour, hanya dia dan Tuhannya yang tahu. Akan tetapi, ini akan selalu membawaku ke suatu pagi di geladak USS John F. Kennedy ketika memberi penghormatan lambung kanan kepada USS Arizona sebelum keluar dari Pearl Harbour. Akan halnya ia dilanjut Tante Geri yang sempat mengharu-biru remaja kencur dengan bisikan lembutnya "cintaku, cintaku", 'ku rasa 'ku takkan pernah tahu. Kesakitan dan kesepian dua teman setiaku sejak dulu, sejak kecilku. Semua ini cukup bagiku, Cintaku.
Akan halnya aku duduk bersebelahan lagi dengan Hari Prasetyo di meja terdekat dengan rak buku, seperti di hari-hari terakhir ketika bapak masih ada, entah apa maksudnya. Kenangan, ingatan akan selalu seperti ini, berkebit, berkebat. Seperti sebuah siang terik berdebu menyusuri melawai raya ke arah barito, lanjut ke radio empat, sedikit kramat pela sebelum radio dalam, setiap hari selama entah delapan bulan atau lebih; seperti itu saja semua siang terik dalam hidupku. Udara sejuk berpendingin begini sudah baik dibanding itu semua, bahkan kemudaan yang t'lah lama pergi.
Padahal, teringat siang terik berdebu tadi yang lebih lama lagi dari itu, sekitar setahun dua sebelum itu, entah di perumnas dua bahkan tiga, tapi kemungkinan besar karawaci dan seputaran kavling pemda. Jadi buat apa aku meratapi hutan bambu yang sudah hilang lenyap, musnah tak berguna. Bahkan jalan panjang berliku sudah 'ku tinggalkan sejak lama. Bahkan ke mana pun 'ku cari bapak di atas punggung bumi ini takkan 'ku temukan. Bahkan jika digali di Rorotan sana cuma peti kayu berisisa-sisa.
Ini lagi mengapa kopaja yang lewat duren tiga memang mau ke mana. Ini terbaca seperti karya sastra apa mau dikata, setelah takkan pernah mengecewakanmu lantas takkan pernah meninggalkanmu. Kalau yang dulu saja dikatakan asal goblek apatah ini asal ngomyang. Oh, betapa 'ku rindukan Sri Sumarah di siang terik berdebu ini, ketika badan masih sanggup mencerna nasi padang berkuah minyak bersayur kecambah berlauk peyek udang, bahkan masih ditambah lagi segelas es doger. Ya Allah itu semua uang Mami, apa yang dapat dilakukan 'tuk membalasnya.
Paragraf di atas berasal dari sekira seminggu yang lalu. Dorongan untuk membuat entri ini apa lagi, entah sudah dari berapa minggu lalu dalam bulan Agustus. Akhirnya Agustus 2025 hanya memiliki satu entri. Tidak mengapa. Banyak bulan dalam jagad gondrong ini yang bahkan tidak ada entrinya. Beberapa minggu ini memang membawa macan berjalan-jalan merintang ruang dan waktu harus bersaing dengan menerbangkan kapal bermesin jamak. Belakangan bosan juga melakukannya, maka aku kembali lagi bersama macan yang perutnya gondrong, yang mana tak lain aku ini.
Hampir sejajar dengan mataku jika menengok ke kanan adalah pelat logam bercat hijau penunjuk jalan. RS UI/ KAMPUS UI, katanya, lalu di bawahnya Kelapa Dua, di bawahnya lagi Lenteng Agung, jika mengambil lajur kiri. Jika kanan maka berbelok ke timur ke arah Jalan Ir. H. Juanda, atau bisa juga masuk jalan tol Cijago, bahkan sampai ke Bogor. Di seberangnya tampak tulisan Michelle Bakery. Jika terhidang bagiku, sampai kapan pun aku akan lebih memilih Iyem, apapun depannya, Surt- atau Pon-, daripada Michelle, meski ma belle. Mending ma Cherie amour.
Entah apa yang menyebabkan Sopuyan menambahkan bunyi 'n' di depan amour, hanya dia dan Tuhannya yang tahu. Akan tetapi, ini akan selalu membawaku ke suatu pagi di geladak USS John F. Kennedy ketika memberi penghormatan lambung kanan kepada USS Arizona sebelum keluar dari Pearl Harbour. Akan halnya ia dilanjut Tante Geri yang sempat mengharu-biru remaja kencur dengan bisikan lembutnya "cintaku, cintaku", 'ku rasa 'ku takkan pernah tahu. Kesakitan dan kesepian dua teman setiaku sejak dulu, sejak kecilku. Semua ini cukup bagiku, Cintaku.
Akan halnya aku duduk bersebelahan lagi dengan Hari Prasetyo di meja terdekat dengan rak buku, seperti di hari-hari terakhir ketika bapak masih ada, entah apa maksudnya. Kenangan, ingatan akan selalu seperti ini, berkebit, berkebat. Seperti sebuah siang terik berdebu menyusuri melawai raya ke arah barito, lanjut ke radio empat, sedikit kramat pela sebelum radio dalam, setiap hari selama entah delapan bulan atau lebih; seperti itu saja semua siang terik dalam hidupku. Udara sejuk berpendingin begini sudah baik dibanding itu semua, bahkan kemudaan yang t'lah lama pergi.
Padahal, teringat siang terik berdebu tadi yang lebih lama lagi dari itu, sekitar setahun dua sebelum itu, entah di perumnas dua bahkan tiga, tapi kemungkinan besar karawaci dan seputaran kavling pemda. Jadi buat apa aku meratapi hutan bambu yang sudah hilang lenyap, musnah tak berguna. Bahkan jalan panjang berliku sudah 'ku tinggalkan sejak lama. Bahkan ke mana pun 'ku cari bapak di atas punggung bumi ini takkan 'ku temukan. Bahkan jika digali di Rorotan sana cuma peti kayu berisisa-sisa.
Ini lagi mengapa kopaja yang lewat duren tiga memang mau ke mana. Ini terbaca seperti karya sastra apa mau dikata, setelah takkan pernah mengecewakanmu lantas takkan pernah meninggalkanmu. Kalau yang dulu saja dikatakan asal goblek apatah ini asal ngomyang. Oh, betapa 'ku rindukan Sri Sumarah di siang terik berdebu ini, ketika badan masih sanggup mencerna nasi padang berkuah minyak bersayur kecambah berlauk peyek udang, bahkan masih ditambah lagi segelas es doger. Ya Allah itu semua uang Mami, apa yang dapat dilakukan 'tuk membalasnya.
New York Rio [de Janeiro] Tokyo