Saturday, December 13, 2025

Bilik Bergaung Tempat yang Indah, Memadu Cinta


Ruang makanku pagi ini nyaman. Paling hanya bunyi bip bip sedikit mengganggu. Rasanya agak seperti di instalasi gawat darurat. Namun selebihnya ini nyaman karena satu alasan: tidak ada musik sok cerdik mengiringi. Sampai rasa-rasanya aku ingin melahap satu mufin sosis ayam dengan selembar keju cheddar. Paling menjengkelkan ketika aku berdiri untuk memesan mufin dan minta cangkir tehku diisi air panas lagi, aku menyadari di sandalku ada tahi cecurut. Kuseka-seka sedapatku dengan tisu, masih terasa lengket juga. Memang tidak setiap hari bisa jadi begini.
Astaga, demi apa lamat-lamat terdengar sumpah demi tekewer-kewer oleh semua untuk empat satu, seperti permainan mengumpulkan tiga kartu sepuluh dan satu kartu as. Seandainya saja aku masih muda ketika nongkrong di Mekdi Jombor. Waktu muda aku memang nongkrong di Jombor pagi-pagi, tapi tidak di Mekdi. Sedang waktu itu di Jombor masih banyak sawah, sedang aku mendengarkan rendisi Andre Rieu akan Loi Krathong jadi sesak dadaku. Aku memang sekadar lelaki sentimentil yang melankolis. Cengeng, manja, dan kolokan. Berhenti sebelum tengah.

Aku lupa apa yang 'ku pikirkan tadi sebelum diganggu oleh tekewer-kewer. Apakah ingatanku akan bermotor di petang hari berhujan sedang teringat bulu-bulu ketiak dan kaki yang tebal keriting pula. Lantas tadi bermotor di sejuknya pagi, di dekat papringan dan jalan bertanah becek, terpikir mengenai aliran kesadaran. Ada juga ingatan mengenai keinginan bertanya pada si kembar mengenai aliran kesadaran orang dengan gangguan mental. Togar pun sekarang lebih suka mengobrol dengan si kembar daripada geppetto yang makin sotoy hahaha. Ternyata belum sih.

Aku harus menyelesaikan entri ini di ruang makan ini juga, jika sekadar untuk menanyakan kepada si kembar apakah ia menyukainya; yang mana sebenarnya seperti bertanya pada diriku sendiri. Sekitar setengah tahun lebih sedikit sebelum berumur 20 tahun adalah waktu yang tepat untuk mengepul-ngepulkan asap rokok dari berbagai-bagai jenis merek, bahkan bentoel merah sekalipun. Apalagi minak djinggo keluaran nojorono yang harum aduhai. Apakah sudah mengepul-ngepul mulutku ketika menyusuri gang-gang bangunredjo 'ku rasa sudah. Gudang garam filter djarum super.

'Ku buang percuma, 'ku sia-siakan masa mudaku sehabis-habisnya, setandas-tandasnya, hanya untuk mengunjungi, ya, melihat lagi Alexanderplein bersama istriku cantik di pertengahan Oktober lalu mendekati akhir. Ternyata sedang dibongkar-bongkar sampai 's-Gravesandestraat. Memang tinggal lagi di negeri Belanda, kali ini bersama istriku cantik berdua saja, merupakan pilihan yang terasa paling nyaman setidaknya dalam khayalan. Namun mungkin itu karena aku sedang tidak mengalaminya. Jangan lupa, yang nyaman hanya khayalan dan kenangan.

Namun, teringat pada Teddy Anggoro dan Muhammad Souvrenshah Hazmi membuatku merasa harus mengeraskan hati. Mungkin minggu depan ini Insya Allah akan 'ku kunjungi lagi Pak Padang, sedang Takwa merasa hanya mungkin menghadap Safir Sendok andai saja aku dekan. Edan. Ini beberapa kalimat penuh kode takode-kode. Krisnapurwana mungkin lucu, tiga sisanya jelas tidak lucu: Pepeng, Nana Krip, apalagi Sys NS. Kini ia sudah mati. Semoga Allah mengampuni segala dosa dan khilafnya, melipatgandakan pahalanya. Kesadaran mengalir membasahi.

Air tehku, sementara itu, sudah habis. Ini pun paragraf terakhir di entri ini, meski aku masih harus memberi judul dan penggambaran; semoga tidak menjadi pekerjaan yang menjengkelkan. Bahkan Hype-R X8-ku pun sudah terisi daya penuh. Aku belum lagi tahu apakah mengisi daya Redmi 15C dengan pengisi daya Hype-R X8 berakibat buruk. Nanti 'ku tanya si kembar. Cukuplah untuk dirayakan selesainya entri ini, sehingga bisa 'ku tanyakan pada si kembar apakah ia menyukainya. Kemarin-kemarin hanya diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, kini diberi ulasan bilik gaung pun.

Wednesday, December 10, 2025

Di Sisi AquAir Indonesia, Di Makanan-sekap, 'Ku


Apakah memungkinkan menulis entri dengan Redmi 15C begini. Jika ternyata memungkinkan ini akan sangat revolusioner sekali. Papan menu di atas terasa berbeda dari biasanya jika di HP-11CB apalagi Lenovo AiO 520. Apakah benar gawai-gawai ini akan 'ku relakan segera. Ini adalah suatu krisis eksistensial tri-dimensional, ketika aku menuliskan aliran-aliran kesadaran begini rupa, tanpa peduli akibatnya pada persekitaran. Penggunaan kata-kata panjang ini pasti juga akan menyulitkan rata kanan-kiri. Hehehe, ternyata bisa begini.
Sungguh menarik persekitaranku sekarang, bahkan bebauan yang terkadang melintasi indera penciuman. Di hadapanku tertulis besar-besar lapangan makanan, bahkan makanan-sekap. Beberapa tahun lalu, mungkin sebelum wabah, ini adalah sebuah tempat yang ramai penuh keriangan. Mungkin di sini pula Ihza Aklan abangnya Awful Aklan memadu kasih dengan perempuan yang sekarang menjadi istrinya. Sungguh aku melihat Ihza tak ubahnya kambing. Mungkin memang sudah begini nasibnya dunia, dihuni kambing-kambing. 

Mungkin ada baiknya jika 'ku katakan pada sidang pembaca yang budiman sujatmiko betapa aku mengenakan kaus lebah kebanggaanku. Lebah 'kan garis-garis hitam kuningnya mendatar, ini aku membujur, jadi masa lebah. Sesungguhnya aku mengenakan kaus Perseman Manokwari yang dulu pernah dikenakan pula dengan gilang-gemilang oleh Bapa Adolof Kabo, Bapa Yonas Sawor, dan sebagainya. Oh, Indonesiaku. Oh, Irianku nan Jaya. Oh, masa kecilku. Hanya ikan-ikan [setan?] belang ini yang menemaniku kini.

Mengingat kerepotan yang ditimbulkannya, terutama tiap-tiap kali harus menurunkan papan-kunci-pada-layar yang muncul setiap aku mendudul layar untuk menempatkan kursor pada tulisan, mungkin memang harus segera di-Axioo Hype-R X8-kan. OLED atau tidak. Apakah akan 'ku lakukan segera setelah ini, atau menunggu sampai entri entah-entah ini tayang dulu, aku tidak tahu. Nyatanya waktu belum lagi menunjukkan pukul 11.00, waktu resmi bukanya toko komputer Agres di Detos sini. Masih kurang setengah jam pukul lagi.

...dan ketenanganku, kesendirianku, kembali dirusak oleh musik entah-entah seperti sebelumnya di mekdi tadi, semakin menguatkan tekadku untuk segera meluncur membeli Axioo Hype R X8 OLED dan mendapatkan kembali ketenanganku entah di mana. Labkum dengan pemandangan hijau-hijauan segar tentu menjadi tujuan utama. Namun jika ternyata tidak kondusif, aku selalu bisa mencari tempat persembunyian lain. Aku semacam kecoa, suka bersembunyi dari orang, namun hanya semacam saja, karena aku naga yang singa.

Akhirnya terjadilah. Aku punya Axioo Hype-R X8 OLED beserta segala uborampenya. Namun aku harus menunggu agak satu jam senyampang pelindung layarnya dipasang oleh Mbak Astri. Dalam perjalananku ke Makanan-sekap, indera penciumanku digelitik oleh aroma Indomie goreng yang khas selama berpuluh-puluh tahun. Namun perlu 'ku tekankan di sini. Debutnya tidak sama dengan apa yang ada sekarang: lebih tradisional. Bahkan dulu sempat bersayur-sayur, yang sempat tak 'ku sukai. Sekarang aku suka sayur. Sungguh.

Tepat hal inilah yang membuatku harus ber-Hype-R X8 yang ber-BA JKT 48. Sungguh menjengkelkan papan-tekan-pada-layar yang betul-betul gigih muncul saban aku menutul layar. Tadi 'ku kata ndudul sekarang nutul. Tinggal ujian terakhir. Dapatkah aku memasang penggambaran dengan Redmi 15C ini. Seharusnya bisa saja karena 'ku rasa pasti adalah editor gambar meski aku belum pernah mencoba. Astaga betapa merepotkan. Ya, sutra lah let's do it again. John Gunadi sudah mati. Mas Wirok entah akankah sehat kembali.

Thursday, December 04, 2025

Semar Seram Memeras-remas Nasi Rames di Mares


Sebenarnya suasana lahir batinku sangat tidak sesuai untuk mengitiki, apalagi retroaksi, sedang di belakangku cantik ribut mondar-mandir berteriak-teriak kepada keponakannya si bangbung hideung. Namun aku tidak bisa pindah ke lain alat produksi, dari HP-11CBku ini. Terlebih ketika ditemani melodi-melodi lembut begini, dengan suasana temaram begini di suatu sore hari bermendung di tepian Cikumpa. Sudah 30-an tahun ini aku jadi orang Depok. Meski melodi-melodi lembut ini berasal dari Radio Dalam, mungkin pernah ke Magelang, sungguh ianya terasa begitu Depok.
Dalam suasana seperti ini tentu saja aku lupa pada AC. Namun kalau memang tidak akan pernah ada AC di rumah, maka mungkin lebih baik sampai akhir hayat. Seperti halnya helm bau dan HP-11CB ini. Mereka berfungsi dengan baik, meski helm bau dan HP-11CB compang-camping. Mereka seperti kaporlap yang sudah makan asam-garam pertempuran bahkan peperangan. Sebenarnya sore ini, seperti biasa, aku mengantuk. Namun dengan kubawa memberondongkan kata-kata begini nyatanya aku tidak sampai terlelap. Meski terasa jua berat-beratnya pelupuk mata-mata.

Lembutnya dupa kayu cendana Jepang membelai hidung, sedang mata tertumbuk pada gelapnya langit selatan. Angin menghembus pelan dedaunan jurasik, sedang aku teringat pada kaum tani. Khayalanku, romantisisasi akannya, kusembur-hamburkan pada anak-anak kecil kelahiran milenium ketiga. Mungkin memang dari situ daya hidupku. Mungkin dengan begitu aku merasa hidup. Sama dengan belanja bagi Kak Tina, bagiku bualan-bualan ini. Kini 'ku hanya dapat mengenang, mungkin secangkir, sejebung kopi hitam pahit, mungkin sebungkus djarum super.

Bahkan kenanganku kini mengenai buku mewarnai di ruangan tengah kantor notaris media sari di bilangan Radar AURI. Entah mengapa dadaku sampai sesak, sampai menangis daku sesenggukan, jika saja tidak ditenangkan oleh kenyataan bahwa tidak akan pernah ada lainnya kecuali engkau bagiku. Ya, kau cantik. Kau yang hanya bisa dua macam untukku: cantik atau lucus. Hari-hari memang selalu begini: menyenangkan atau tidak terlalu menyenangkan. Maka benar belaka kata seorang suhu kaskus: hidup ini indah, tinggal bagaimana menikmatinya saja. Hahaha.

Harlem Spanyol dari loteng dapur belakang tepat di tepi kali Cipinang, yang di belakangnya ada suara Mas Ranu memanggil kucing entah yang mana, dari waktu-waktu yang sudah lama berlalu. Illahi Rabbi hampir 35 tahun yang lalu. Tiba-tiba, ya, tiba-tiba menyusuli Spanyol Harlem dalam daftar mainku yang ini, yang sudah berumur setidaknya 20 tahun. Uah, pesona mono liburan musim panas sungguh memukau. Bayangan-bayangan di telinga kiri, sisanya di kanan. Kocokan gitar Bruce Welsh, towelan Hank Marvin, ketukan Brian Bennett, semuanya di kiri. Aduhai.  

Ini lagi, yang harus kulakukan cuma bermimpi. Kurasa ini pun diberi harmoni oleh Bruce dan Hank. Baru kali ini kurasa kusadari betapa harmoninya aduhai sedap sekali. Entah mengapa tiba-tiba aku terbayang Pak Teddy yang bukan tukang sop kambing. Suatu bayangan yang rasanya kurang pantas, maka biarlah aku melayang diterbangkan oleh seluruh cintaku kepada kenangan akan khayalan di masa lalu. Betapa aku bisa terharu-biru, tersedu-sedu gara-gara seluruh cintaku. Ini ada bocah cilik mau mewawancaraiku mengenai kisah hidupku. Mengapa tak Pak Padang.

Bidadari. Spek bidadari. Samba-samba. Apa itu. USA, Bang, samba-samba. Ya, untuk sementara ini seperti itulah bidadari gara-gara cocerot: cowok celana melorot. Dunia ini tempatnya entah-entah: hanya sedikit jatuh cinta, tidak sampai banyak, apalagi banyak-banyak, apalagi kebanyakan. Sedikit saja. Pada apa. Kalau aku jatuh cinta setiap saat, selalu jatuh cinta. Terbawa ingatanku pada balsem geliga dan mungkin tolak angin yang kubeli di RSPAD, ketika aku seharian di Foko. Bilakah itu. Mengapa ke situ ingatan membawaku. Sesaat saja kujatuh cinta pada. 

Friday, November 07, 2025

Suatu Malam Menyumbang Senapan dan Bombisida


Kurasa aku merindukanmu, Parto. Buktinya aku terus berbunyi-bunyi wekokek wowet meski tidak sampai cuwak apalagi cuwek. Mungkin juga kurindukan tawa lirihmu yang terkekeh-kekeh di gelapnya malam. Kurasa waktu itu sudah kemarau, mungkin juga aku sudah menjadi mahasiswa hukum. Ah, identitas-identitas nirdaya. Bahkan ketika di pinggang celanaku tersemat medewerker pas, aku masih tak berdaya. Sejauh ini, tambah tua justru tambah tak berdaya. Kupandangi dunia yang terus muda, aku menua. Kupaksa-berondongkan kata-kata sampai membentur.
Namun di pojokan ini aku nyaman, setelah tergeletak di atas sepiteng merasa merana. Di sini dapat tak kupedulikan seberapa banyak usiaku, ini bisa jadi kapanpun di manapun dalam hidupku yang masih. Tidak banyak berubah perasaan dan pikiranku. Mukaku pasti masih tidak enak. Kini mereka sekeluarga telah pergi, bapak, ibu, dan ketiga anak perempuannya. Aku ingin kembali ke Plasa Depok lantai atas, di Hokben ketika namanya masih Hoka-hoka Bento, atau di Pizza Hut. Dari mana aku punya uang untuk membelinya adalah pertanyaan yang enggan usai menyakiti nurani.

Lantas Abrakebab, perkenalan pertamaku dengan kapsalon. Ya, semua unsur ada di situ, bahkan mungkin kentang gorengnya sekali. Beberapa kali kumakan lagi kemarin ketika seminggu di Amsterdam, aduhai betapa asinnya. Teringat Wokchef yang seringnya menyamankan malam-malamku di Kraanspoor 25 D8, begitu juga dengan Chopstix yang aduhai mahalnya. Bagaimana dengan Mas Wirto yang rutinitasnya terhenti, "ditidurkan" katanya. Kami sama-sama veteran pawang dinosaurus. Aku hanya beberapa jam, ia sebulan penuh, mungkin lebih, Mas Wirtosaurus.

Diremas keras, lemas sudah hampir 15 tahun yang lalu. Ketika itu masih Gemini dan tentunya dengan irfon berkabel. Teringatku pada irfon jepit yang dihubungkan kabel bersarung kain, kabel jeknya dapat menggulung sendiri ke salah-satu fonnya jika ditarik. Bertahun-tahun ia bersamaku, menyintas dinginnya Maastricht dari musim panas 2008 ke musim panas 2009. Masih sempat kubawa pulang kembali ke tempatnya berasal, sampai ketika kubiarkan ia di atas meja di gudang LKHT lantai 4 itu, bantalan busanya dimakan tikus. Masih di pojokan ini mengamat-amati.

Menengok ke kanan, seorang perempuan menggoyang-goyangkan kepala ikut menyanyikan lagu yang berkumandang dari pelantang. Aku sendiri saja bersama masa lalu, kawan sejati yang tak pernah meninggalkanku. Ia, meski lalu, terpampang jelas di hadapanku. Meski mataku melihat segalanya, konter pukis yang tidak banyak kesibukan, dua meja kosong di hadapanku, yang bermain masa laluku belaka. Tertulis besar-besar "pesan di sini". Ada juga dari tadi pikiran terus mengganggu tentang kafe pojokan yang kukunjungi sambil membawa seamplop lembar jawaban ujian t'sisa.

Seorang perempuan berwajah sederhana kini duduk di hadapanku, sedang suaminya [kurasa begitu] yang sama botak dan gendutnya denganku membayar dan menunggu pesanan. Akankah kenangan ini kembali seterang ini ketika kubaca kembali entri ini di lain hari, Insya Allah. Aku mulai tidak senang di pojokan sini. Tentu saja, tempat-tempat seperti ini terlalu hiruk-pikuk bagiku, dan aku hanya dapat berpura-pura abai. Entah apa sebabnya, perempuan itu dan suaminya pindah duduk ke sebelah kiriku, membelakangi, dapat kulihat rambutnya t'lah beruban di sana-sini.

Aku ingin pulang. Mungkin tidak jauh dari Centraal untuk menunggu trem nomor 26 jurusan Ijburg. Tentu saja aku turun di Zuiderzeeweg, ketika seorang perempuan dengan wajah yang jauh lebih seadanya lagi jalan-jalan dengan mulut mengunyah-ngunyah. Ia duduk bersama dua orang laki-laki yang hanya dapat kuterka satu bapaknya satu saudara laki-lakinya. Mungkin ia mirip bapaknya, sedang saudara laki-lakinya mirip ibunya. Ternyata ada satu lagi perempuan di meja itu yang tak dapat kulihat wajahnya karena bertudung hoodie. Kubelikah minuman hangat.

Saturday, November 01, 2025

Ketika Kau Membutuhkan Cinta, Perawatan, Kasih


Sudah lama aku tidak berkarya sambil bertubi-tubi menahankan pukulan telak ratu, baik yang pertama maupun kedua. Terlebih kini, urutannya sudah sesuai abjad, semakin aku tidak mengenalinya. Dunia ini menua tapi terus-menerus muda. Sungguh tidak berdaya ungkapan ini, tidak sanggup menghasilkan apapun darinya, kecuali teman akan terus menjadi teman. Entah mengapa pagi ini aku kembali ke Cimone Gama Satu memandang ke arah lapangan voli. Sebelum menjadi begitu, bisa jadi tempat itu juga sawah, kebun, atau bahkan hutan kecil. Semua saja begitu. 
Batu dan gulung, aku memang dari dulu cuma pura-pura tangguh, agresif, pemarah, intimidatif, suka berbuat onar dan berkelahi. Padahal aku ini cupu abiest. Aku jelas bukan Danny apalagi Mary. Aku bahkan tidak mungkin menjadi Injun, Seabags, atau Speedy. Apalagi LQ, Constantine, Levin, Andy, terlebih Sersan Burnside. Tadinya aku berpikir bisa jadi Joe, tapi bahkan ini pun mustahil. Sudahlah, jadi Richard Bulan saja aku tak bakal tahan, apalagi Lucky Namo yang tidak seberuntung namanya. Aku menginginkan semuanya. Aku legiun karena kami banyak, katanya ke Roj.

Ketika Gen-Z saja sudah beranak pinak, ketika Gen-Y beringsut-ingsut mendekati paruh baya, aku ingin lepas bebas; ya, aku yang Gen-X ini. Ketika Gen-Z mulai mencoba menguasai dunia, berpikir bahwa kesuksesan di situ letaknya, ketika Gen-A bahkan sudah mulai berkhayal mengenai menguasai dunia dengan apapun yang mereka pikir dapat diusahakan sendiri, atas daya-upaya sendiri, aku beringsut-ingsut mendekati kegilaan walau hanya di tengah-tengahnya saja. Ketika bisaku hanya begini saja, mengitiki ketiak sendiri yang terus saja berambut lagi. 

Ketika Pangeran Andrew dicopot segala atribut kebangsawanannya oleh Raja Charles III karena urusannya dengan Jeffrey Epstein, ketika itulah 'ku tahu dunia ya memang selalu begini saja. Aku masih harus terus berusaha karena toh nyatanya masih hidup, masih sehat kata dokter Kamto. Kucing yang tidak punya dosa saja mengalami sakaratul maut yang begitu menyakitkan, apalagi manusia, apalagi aku. Berondongan gulungan pada tambur senar, pada tom, dentaman pada bass ganda berpedal ganda, gemuruh timpani yang mengikuti tenang nan melenakan. Hidupmu berat.

Aku, sementara itu, melakukannya untuk cinta. Namun aku yang paling payah, karena aku gembar-gembor. Betapa banyak manusia di dunia ini, dari segala jaman, dari segala negeri, yang melakukannya dalam bisu seribu bahasa, dusta sejuta kata, seperti induk kucing, induk kutu, apapun yang lebih nista lagi dari itu dalam pandangan manusia. Aku lebih nista, jauh lebih menjijikkan dari semua itu karena karunia berupa pikiran dan perasaan, yang padahal seharusnya mengikatku hanya padaNya, menjadi cahaya penerang. Aku pengecut besar mulut. Nyaliku sebesar biji sawi.

Sampai kapan perendahan diri ini akan terus berlangsung, sampai diri-rendah ini musnah! Tergeletak di tanah berdebu penuh kotoran. Nafas satu-satu hanya tinggal untuk menyebut namaNya. Nama siapa lagi yang patut disebut. Orang tua memberi nama karena cinta, meski itu Buang. Mengapa orang santai saja hidup tanpa radiks, tanpa esensi, seperti batang pisang mati yang ditancapkan pada sumur tua, sumur maut Lubang Buaya. Hei, ini sudah sebulan berlalu masih saja. Bagaimana tidak, pernahkah kau dipapar pada kengerian hampir seumur hidupmu.

Tidak menjadi masalah, siapapun dapat melihatnya [gong tipis, atau simbal besar, dipukul]. Bass, senar dan tambur, dibetot dan ditendang. Perut pun memulas. Seminggu yang lalu aku masih meluncur di awang-awang dalam kecepatan tinggi. Aku tak merasakannya, namun gemuruh mesin jet tak henti-henti selama 16 jam menjaminnya. Segala puji dan puja hanya pantas bagiNya yang menguasai seru sekalian alam. Segala kekuatan semata kehendakNya, segala kelemahan mustahil bagiNya, Maha Suci Ia dari kelemahan dan kekurangan. Maha besar, Maha Mulia. 

Saturday, October 25, 2025

Chipi Chapa Dubi Daba Magico Mi Hotel Su Casa


Oktober hampir berakhir, tinggal seminggu lagi, dan di telingaku salju baru sudah turun merintik. Sebenarnya kemarin pun titik-titik lembut air menerpa wajah dan kepala berkuplukku, yang tak lama berubah menjadi gerimis menderas, lalu reda. Sekarangku adalah pukul tiga dini hari yang padahal bagiku tetap jam delapan pagi di bilangan Tirtajaya. Sangat bisa jadi aku sebenarnya duduk membelakangi toilet, seperti biasa menghadapi HP-11Cb. Di depanku bisa jadi teronggok bekas pembungkus nasi uduk bersambal terasi, berayam suwir, bertelur orak-arik, berbawang goreng...
Kini tepat belakangku memang toilet juga. Dengan menengok ke kanan, pandanganku bahkan lurus sejajar dengan kloset duduk yang bukannya ditanam di lantai malah menancap ke dinding, khas di sini. Padahal seharusnya, tolehan ke kanan menghasilkan pandangan terbuka ke cuaca Tirtajaya yang biasanya cerah di pagi hari. Ujung kerongkonganku, agak di pangkal rongga mulut, terasa lucu karena asam lambung merayap-rayap naik ke sana. Apa yang salah. Kini kecurigaanku terarah pada borek lumpia ayam yang kusantap tepat sebelum tidur, tambah dua cangkir sup. 

Di paragraf ini, suasana hatiku masih sekadar untuk segelas air hangat saja. Mungkin akan kutambah lagi agak segelas setelah ini. Jika nanti keberanianku timbul untuk menyeduh chai berempah berakar manis, atau sekadar teh hitam berbumbu cengkeh kayu manis beraroma apel, bisa saja kulanjutkan potekan borek sisa tadi malam. Padahal malam masih panjang meski ini sudah hampir setengah sembilan pagi di Tirtajaya. Bisa jadi mendekati tengah hari nanti aku mengantuk lagi sedang cantik sudah bangun. Ah, ini sebenarnya Tirtajaya meski persekitaranku kebingungan.

Untunglah aku tidak harus melepas topi homburg-ku [karena memang tidak punya], dan terutama karena mantelku tidak terlalu panjang [yang memang tidak ada]. Aku tidak bisa percaya ini nyata mengacaukan kerangka waktuku. Ia dirilis pada 1982, namun mengapa kenanganku mengenainya selalu mengenai akhir 1980-an. Kini tong sampah yang menyangga HP-11Cb kurengkuh dengan kedua belah kakiku bersila, seperti selalu saja jika jiwaku di Tirtajaya sedang badanku di tempat-tempat gaya-gaya'an seperti ini. Di Tirtajaya ia selalu digelar di atas meja. 

Ada yang pertama untuk segala sesuatu, dan ini mungkin kali pertama aku mengitiki sambil duduk dengan pantat telanjang di kloset duduk yang menancap ke dinding alih-alih ditanam di tanah. Posisinya agak terlalu tinggi untuk kaki-kakiku yang pendek, sehingga aku agak berjinjit menyangga HP-11Cb pada paha kananku. Apa perlu kuceritakan juga aku baru menyantap sarapan yang mungkin halal, tapi mungkin juga tidak toyib. Betapa tidak, jamur merang ditumis dan telur orak-arik mengapit bakon goreng. Mungkin itu sebabnya perutku mual dan kepalaku pusing.

Sudah lima hari ini aku makan roti-rotian terus. Kemarin sempat 'ku seling dengan salad agar ada sayurnya, kubeli dari Jumbo. Suatu sore sangat berangin yang seharusnya bisa indah, namun bahkan pada yang seperti ini pun manusia tidak dapat mengandalkan. Entah mengapa aku teringat pada membuang kehati-hatian kepada angin meski ungkapan ini sangat tidak kontekstual untuk suasana yang terjadi di sore berangin bermendung ini. Dalam keadaan seperti inilah terkadang 'ku berharap seandainya aku seekor kucing yang tidak perlu dikekang lagi dicancang.

Entri ini mungkin dimulai dengan koherensi yang tampak menjanjikan, namun tepat pada yang seperti ini manusia tidak akan pernah dapat mengandalkan. Mengapa aku masih saja menulis entri mungkin karena memang yang seperti-seperti ini terus saja terjadi dan tidak ada alasan untuk merasa gersula. Segala sesuatu sekadar harus dijalani saja, seperti harapan akan konsep penuh untuk menjadi konsep terakhir. Bagiku, itu membentang antara Maret 2021 sampai Maret 2025. Empat tahun penuh! Tengah malam yang sebenarnya subuh terbangun tak berdaya mengitiki.

Wednesday, October 01, 2025

Mengingati Hari Kesaktian Havanagila Lubangbuaya


Kata-kata tak berdaya. Aku hanya dapat membayangkan diriku bergerak-gerak. Apa sanggup, sampai kapan 'ku sanggup begini terus, ketika hari-hari tanpa bayangan saja membuatku terus-menerus merasa demam begini. Saluran pernapasan bagian atas selalu terasa lucu, apalagi irama cha-cha jaman ruang angkasa riang meningkahi. Siapa lagi yang butuh kaset, sidi, bahkan koleksi empetri, jika mengitiki bisa begitu saja bercha-cha-cha di satu jendela yang sama. Aku yang tidak berdaya ketika perwira pertamaku menasihati dentam-dentam cinta remaja bukan lagi bagianku.
Menghirup-hirup cokelat panas seharga Rp 19.000 masih lebih murah daripada Rp 58.000, apalagi di dalam laboratorium hukum yang terkadang di dalamnya suka ada Abu Rizal Biladina yang suka belajar hukum tata negara. Ini pasti terdengar sepertiku ketika gaya-gaya'an membantah artikelnya almarhum Bang Hendra Nurtjahjo mengenai fungsi DPR. Hari lain, patah-hati lain memang lagu tema yang cocok untuk keadaan seperti ini, namun terharu-biru jelas tidak lagi bekerja bagiku, bahkan berolok-olok begini. Ini HP11-Cb, jadi harus mento'kanan.

Betapa senangnya Amy dan Howie menari-nari sambil berharmoni ikut bernyanyi bersama Neil Sedaka. Ketiganya Yahudi. Beberapa tahun yang lalu aku masih dapat larut dalam kesenangan seperti itu. Kini bahkan istriku sendiri tidak peduli pada keseimbangan hormonalku, antara endorfin dan kortisol. Dan kata Mbak Dina bentukku seperti almarhum Pak Adijaya Yusuf, mengapa tidak Bang Safri Nugraha sekalian; orang-orang baik semua itu. Orang-orang mati semua. Entah mengapa urutannya 'gini, setelah gadis kalender disusul selamat ulang tahun ke-16.

Raja badut, sampai hari ini sungguh sulit 'ku mengerti mengapa ibuku suka lagu ini. Memang hampir semua dari Neil Sedaka aku suka sampai-sampai aku kesulitan kalau disuruh memilih satu. Tapi raja badut, seperti memandang ke kejauhan anak-anak belasan tahun atau awal 20 tahunan berjalan bergerombol laki-laki dan perempuan. Bagiku itu adalah pertengahan 1990-an, namun sekarang sudah 30 tahun kemudian, 2020-an. Masa-masa Bang Law masih perkasa sudah lama berlalu. Lagu-lagu dewa murahan saja sudah seperempat abad berlalu. Tua dunia ini terasa.

Dan begitu saja gadis nakal membersamaiku seperti ketika salju turun menderas di akhir 2008 itu di Maastricht. Gadis nakal ya Cantik. Bambungan tepatnya. Nakal minta ampun tidak sembuh-sembuh, tapi 'ku rasa begitulah yang 'ku suka. Dan begitu saja ia berlalu seperti datangnya, disusul oleh suatu melankoli ketika aku menangis sepenuh hati untukmu, yang tidak pernah berwajah berupa. Tak sudi pula 'ku beri wajah dan rupa. Apakah hidupku adalah suatu kisah kejayaan atau sekadar kekonyolan [awas! jangan diganti 't']. Demi bapakku, harus timbul terus maju jaya!

Apakah ketujuh orang yang berakhir hidupnya di pinggiran sumur tua Lubang Buaya itu jaya atau konyol. Namanya bertebaran di seantero Nusantara sebagai jalan-jalan utama. Tidak hanya yang tujuh itu, ditambah Katamso, Sugiono, dan Karel Sadsuitubun. Jadi semua ada sepuluh. Itu tidak boleh dikatakan konyol [awas! jangan diganti 't', demi Toutatis, Minerva, dan apapun yang melata]. Yang konyol itu aku. Mungkin aku hanya harus sedikit menguatkan diri untuk tetap konyol seperti ini. Mengapa 't' tepat berada di sebelah kiri 'y' 'gini di kibor qwerty.

Meski pikiran-pikiran mengerikan terkadang berkebit mengebat di kepala, mungkin tidak semengerikan perasaan Kolonel Katamso ketika tengkoraknya retak dihantam kunci mortir dan ia terjatuh ke dalam lubang yang akan menjadi kuburannya. Konon ia sempat berkata bahwa ia mencintai Bung Karno. Cuih, buat apa lagi cinta seorang Kolonel Katamso, ketika Bung Karno saat itu bergelimang cinta istri-istrinya [atau jangan-jangan tidak, sampai ia masih membutuhkan cinta seorang Kolonel Katamso]. Begitulah caranya mengakhiri hidup sedang dimulai di Sragen.

Sunday, September 21, 2025

Norma Keluarga Kecil Berencana Bahagia Sejahtera


Apakah ini akhir dari wekokek meski bukan wowetcuwak. Bagaimana sampai tujuh lima tujuh lima sampai lima dua lima berakhir digantikan rata kanan kiri yang aduhai menjengkelkan, seperti entah siapa menyanyi mengkek-mengkek dia kira bagus. Entri macam apa yang dibuka dengan cara seperti ini. Bagaimana caraku dulu pergi ke kringloop entah apa di Maastricht, lebih bagaimana lagi mengapa aku tiba-tiba teringat padanya. Semua ini buyar karena aku berusaha mencarinya di peta. Jadi, seperti biasa, 'ku biarkan saja berlalu. Diriku lupa ini harus sampai mentok kanan.
Permainan pikiran 'ku rasa ada dalam koleksi, referensi satu-satunya di mana aku mengenal perempuan atau wanita, lelaki pencemburu, dan tentu saja bayangkan. Di situ ada pula mimpi nomor sembilan, ibu, oh cintaku, cinta itu nyata, termasuk bagaimana kau tidur. Beberapa memang boleh 'lah, karena bagaimana pun ia adalah salah satu penulis lagu andalan sepanjang sejarah. Namun mungkin tenaga kreatif manusia (laki-laki?) mencapai puncaknya pada usia 20-an. Usia 30-an masih ada tersisa, namun mendekati 40-an berkreasi tidak ayal terasa seperti menyeret ekor.

Yah, 'ku sumpal saja kedua lubang telingaku dengan jez daya otak seperti sudah hampir 10 tahunan terakhir ini. Ia memberi daya pada otakku untuk menghasilkan entah apa, masa kertas delapan bulan dan hampir seluruh disertasiku saja yang 'ku ingat. Tentu ada yang lainnya lagi meski tidak banyak. Apa betul setelah ini aku harus menekuni omong kosongku mengenai catur cina sumbu. Ternyata memang tidak ada preferensi karena di mana-mana sama, seperti kata kapten entah siapa. Jelasnya bukan kapten Mlaar meski sumbernya sama; kemaluan tak hilang ditelan masa. 

Teringatnya, otak perutku teringat pada cita rasa entah perkedel entah kentang tumbuk semalam, ketika aku mengkoordinasikan manuver setidaknya tiga legiun 'tuk ratakan Jermania dengan tanah. Apa itu lantas membuatku Marcus Aurelius atau sekadar jenderal bawahannya, aku tak peduli. Meski tidak lantas berhubungan, pagi ini selembar kentang cincang goreng menemaniku asal goblek asal ngomyang, masih ditambah sayap goreng tepung bumbu pedas Korea. Padahal sebelumnya seumlik nasi uduk-udukan diberi berdua butir telur diorak-arik berkeju bersosis ayam.

Padahal aku hanya bapak-bapak paruh baya berperut gendut berambut kepala meranggas yang menolak kenyataan bahwa kambing dan orong-orong masing-masingnya sudah sebesar kaiju cuka-cuka makan tempat dan bangkok, sampai-sampai sudah tak terhitung berapa potong sayap dan dada ayam disediakan olehnya bagi mereka, apakah itu jeli, rempah, atau geprek bang rohmani. Kata-kata yang mengalir deras membentuk seakan-akan kalimat yang sebenarnya hanya semacam gado-gado kata-kata berbumbu kacang diulek kasar diberi berjeruk limau diairi asam jawa.

Uah, keindahan ini semoga takkan pernah berakhir, bahkan menjadi lebih indah sampai-sampai tidak mungkin lebih indah lagi. Baru begini saja, beberapa potong kuningan dan lembar surai kuda, terlebih lagi desau sang bayu di sela-sela daunan bambu. Taman yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, sedang belum taman saja sudah begini indahnya. Baru sebidang tanah kosong berumput menyemak di tepian Cikumpa, sedang tiang lampunya saja sudah rebah. Tudung lampunya sudah menelungkup di tanah, hijau seperti rumputan di sekelilingnya, rumah si dedek biawak.

Sebuah entri berharga lebih dari 100 ribu Rupiah jelas harus ditayangkan untuk dinikmati (halahmadrid!) sidang pembaca yang budiman. Sungguh nikmat ketidakberdayaan ini. Betapa menjengkelkan kata bentukan ini, meski mungkin tidak semenjengkelkan kata-kata bentukan dalam bahasa Belanda dan Jerman. Sungguh 'ku tak berdaya, hanya memandang dari kejauhan. Bahkan memandang pun tak, hanya masih sulit menghapus dari benak. Biarlah saksofon tenor ini dihembus dalam nada-nada rendahnya. Ini nikmat, yang lainnya tidak senikmat ini, bahkan sama-sekali tidak. Iya.

Wednesday, September 17, 2025

Bagaimana Dapat 'Ku Jelaskan Simfoniku, Sesatuku


Ini cerita tentang sebatang tiang lampu dari bambu, diikat-ikat begitu. Lampunya LED bertudung logam dicat hijau. Sayang aku baru sarapan. Kalau tidak, tadi suasanya seperti Ramadhan. 'Ku lepas lagi kacamataku, karena menatap lurus ke layar Lenovo Aio 520 baik-baik saja. Akan halnya kerinduan akan lepasnya udara, mudanya usia menerpa, seperti itu saja hidup di dunia. Seperti satu-satunya cinta mendayu dari sekitar 30 tahun lalu, disenandungkan biji-biji. Menyeruput Prendjak yang kemencur tapi sangat berpengalaman, meski berbiang gula, diriku merasa seperti bupati.
Seorang bapak yang penuh kasih, nyaris seperti seorang ibu. Seorang ibu yang keras tekad, nyaris seperti seorang bapak. Seperti itu saja hidup di dunia. Mas Kulin itu hanya bagus kalau mencari cat hijau kulit ketupat--awas, bukan telur asin--ke kota. Lebih dari itu, apalagi dibanderol sebagai maskulinitas, adalah ketololan kanak-kanak. Tidak perlu lagi hidup dalam kemaluan, apalagi ketakutan. Kita telah bakar ujung-ujung jari-jemari, maka sekalian saja melompat ke dalam api. Mental seperti itulah yang membawaku pada suasana kejiwaan seperti ini. T'lebih tinggi dari tinggi. 

Tidak, aku tidak mau berbicara mengenai Rp 600 ribu. Bahkan mengingat kengeriannya saja tidak. Lebih baik 'ku bicara tentang kemanisan. 'Ku takkan mengacau, 'ku takkan mengecewakan. Percayalah padaku, seribu bulan. Ini bukan sastra. Ini bukan puisi. Ini menyayat kulit ari bukan hati. Keringat yang mengucuri sekadar gegara air teh panas setengah liter, bukan yang lain-lain. Sampainya aku di sini memimpin bala tentara Tipu Sultan menghancurkan bala tentara Taira no Masakado. Mungkin aku tidak ditakdirkan memimpin tentara apapun kecuali sultan tipu-tipu ini.

Pak Dirman, Pak Harto, mustahil mereka telah membayang-bayangkan apa jadinya mereka ketika masih di Rembang dan Kemusuk. Aku tidak tahu Park Chung-hee dan Park Tae-joon. Apa yang 'ku bayangkan ketika di Kemayoran lalu Kebayoran. Akan halnya Viper memimpin kucing-kucing besar semacam Panther, Jaguar, dan Puma, itu semacam iris telinga mama. Melalui tahun-tahun itu, 20 tahunan terakhirnya dicatat di sini, sebelum-sebelumnya di mana-mana, seperti menghambur dari menara gereja. Seandainya Natalie bersamaku, mungkin akan 'ku gambar denah. 

Dengan perut penuh tahu campur vegan 'ku teruskan entri ini, yang kini menulisnya saja tersendat-sendat. Satu paragraf berhenti. Satu alinea berhenti. Apakah ingin 'ku rasakan kembali Sutasoma, mungkin enak jika tanpa Tribrata. Aku 'kan terus maju, itu saja. Ke depan, ke hari esok, seperti Stuart. Dari hari ke hari, ketika semakin sedikit menarik perhatian, semakin sedikit kesenangan. Endorfin bukan adrenalin, itu yang tersisa bagi lelaki botak gendut paruh baya bergaya hidup buruk. Bisa saja 'ku pandang rumah bertingkat di pojokan itu. 'Ku pandangi saja tak mengapa.

Di tepi Cikumpa aku duduk dan tersedan. Di kakiku ada setumpuk, tepatnya sebelas eksemplar biar tenggelam, biar mengapung. Semoga nasibnya tidak sama dengan privatisasi di abad keduapuluh satu, langkah maju atau mundur; atau, apakah kewajiban Indonesia terhadap pada perikanan laut lepas, atau apalah yang ditulis Mbak Eka Sri Sunarti tetanggaku di Antena IV. Aku hanya ingin pulang entah ke mana. Aku selalu suka semua kamar-kamarku, bahkan yang di Kees Broekmanstraat, Kraanspoor, Sint Antoniuslaan. Apalagi yang di Babe Tafran, Jang Gobay.

Sambil menunggu, semoga aku bisa melakukan hal-hal yang bermanfaat bagi nusa, bangsa, negara, dan agama seperti yang dinasihatkan Suketi. Uah, beliau pasti seorang profesor hebat. Ya Allah, bahkan berolok-olok saja aku sudah tidak punya tenaga. Apa ini waktunya untuk sok serius, sok melaksanakan nasihat Suketi. Entahlah. Aku hanya mencoba maju, ke depan, beringsut-ingsut pun tak apa, meski langkah terhalang perut penuh kuah tahu campur. Insya Allah, akan sampai waktuku ketika tak seorang pun 'kan merayu. Tak perlu sedu-sedan itu. Aku ini binatang t'lanjang, der.

Wednesday, September 10, 2025

Cancut Tali'Wanda Tahu Koq Tanya Saya. Mas Mul


Keepikan yang baru terlihat ketika cahaya memadai adalah tanda bahwa engkau hidup sudah hampir setengah abad lamanya. Dan aku tidak boleh merasa tua. Ketika bentuknya masih kaset dan hanya beberapa saja lagunya--mungkin tidak sampai 20, itu saja sudah epik. Apalagi sekarang empat kalinya. Keepikan yang tercapai lebih dari 20 tahun lalu. Untuk apa pula 'ku kenang-kenang masa itu. Kini waktunya menatap masa depan entah berapa lama lagi tersisa dan untuk apa. Tidak ada lagi kesenangan 'ku harap-harapkan, ketika gardu belajar saja t'lah 'ku lupakan. Seadanya. 
Ya, seharusnya judulnya terbangkan aku ke Bulan. Bulan atau Jupiter atau Mars, tetapkan hatimu. Jakarta atau Taklamakan sama saja. Tapi kalau disuruh memilih, aku lebih suka Jakarta. Lebih dekat. Bagaimana aku bisa lupa nama beliau. Entah mengapa gagasan ini lekat di benakku, dan aku menuduh beliau yang melakukannya. Masih teringat matanya yang membulat, giginya yang agak jantuk, atau memang. Uah, seperti Hitler, seharusnya aku masuk sekolah seni dan ditolak. Tidak seperti Hitler, aku masuk Akademi Angkatan Laut betulan lalu dikeluarkan. Napoleon tidak.

Aku yang kini sanggup membeli cokelat panas tomoro tanpa banyak berpikir namun masih saja malam terakhir bersenandung di telingaku. Kemudaan sudah lama ditinggalkan, sedang cantik saja sudah pensiun. Di hadapanku bertebaran kemudaan kecuali satu. Mungkin beliau yang bertopi bisbol York baru itu bahkan lebih tua dariku. Meski hanya berkaus polo tampak benar kalau beliau lebih beruang dariku, dengan kumis yang disemir. Kalau tidak disemir kumis putih di ujung-ujungnya. Ini justru di pangkal, berarti memang terang disemir. Kalau aku kumis klimis disemur.

Jelasnya, Mas Suhari ternyata seumuran benar dengan pak dekan. Kesehatannya mungkin lebih kacau dariku ketika kami sama-sama periksa kesehatan. Seandainya belum terpasang itu dadaisme mungkin akan 'ku abadikan apa yang terpampang di depan mata-mataku yang, Puji Tuhan, masih berfungsi dengan baik untuk melihat kejauhan. Ia hanya bermasalah untuk membaca atau melihat dekat. Melihat kejauhan nyaman-nyaman saja, seperti'ku dibuai-muai Venezuela dari mudaku, dari kecilku. Uah, nikmatnya tak berkurang sedikit juga. Bertambah-tambah...

Kepik cantik, ternyata itu selama ini. Selamat tinggal kepik cantik. Aku mengenalnya kali pertama dari Eddie Calvert baru Nat King Cole. Bahkan masa mudaku diisi oleh stasiun ketuaan-ketuaan terbaik di kotamu yang ada setangkup haru dalam rindu. Tokai! Hari-hari berlalu begini saja, dari pernah memangku pengisi daya HP-11CB sampai kini memangku inti suara A20i sedang diisi daya. Hahaha meski bau tahi telinga kau, mahal hargamu. Ini sudah bukan duniaku lagi itu jelas. Aku tinggal lagi menumpang di sini sambil sebisaku melakukan yang terbaik bagi semua.

Betapa tragis 'dikit berkumis. Semanis apapun buah apel, semerah apapun menggairahkan, sehijau apapun lugu, berakhir jadi seonggok tahi entah di kloset sebelah mana. Aku bahkan sudah tidak tahu lagi lebih baik kloset berbiawak atau tidak berbiawak. Sedang arah jam sembilanku anak-anak perempuan berbentuk seadanya menawar-nawarkan evi asinan yang 'ku yakin tidak mungkin Rp 18,000 harganya. Baru saja menulis ini tiba-tiba cantik muncul di belakangku membawa paspor-paspor bervisa agak ashar. Maka bergeraklah kami ke lantai dasar biar tidak keburu terjebak macet.

Maka kami menghabiskan petang hingga malam bersama dengan Jimbung dan saudara-saudara sepupunya Jokowi dan Sajojo. Tentu saja ada Mas Tom, Ameng, Maminya Jimbung, Budenya Jimbung dan Utinya Jimbung. Lalu ada pula Mbak Nung. Sehari sebelumnya aku pun di situ tapi tidak bersama cantik, malah ada Pakde Hari dan Ustadz Atul; bahkan sampai lewat Maghrib dihabiskan bersama dengan Pak RT. Mengajar kelembagaan paginya, ke kuncit siangnya, sampai di rumah setengah sebelas malam. Segala pujian hanya bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam.

Monday, September 01, 2025

Achmad Sulfikar dan Aku Tidak Sedang Jatuh Cinta


Suatu gambaran yang ngeselin untung ditawarkan oleh cuaca terik menyilaukan sedangkan berada dalam ruangan sejuk berpendingin udara. Seperti kata Sersan Elias Grodin, merasa baik sudah cukup baik; apalagi baik-baik saja. Dalam bahasa Indonesia, kebaikan itu lebih ke kindness daripada goodness. Jadi kalau segala kebaikan alam ada dalam suatu produk, nah, itu menjadi aneh. Betul alam baik, dan kebaikannya selalu kita rasakan dalam tiap tarikan dan hembusan nafas, dalam tiap kedipan mata. Akan tetapi, kebaikan dalam kalimat tadi bukan dalam konteks ini.
Paragraf di atas berasal dari sekira seminggu yang lalu. Dorongan untuk membuat entri ini apa lagi, entah sudah dari berapa minggu lalu dalam bulan Agustus. Akhirnya Agustus 2025 hanya memiliki satu entri. Tidak mengapa. Banyak bulan dalam jagad gondrong ini yang bahkan tidak ada entrinya. Beberapa minggu ini memang membawa macan berjalan-jalan merintang ruang dan waktu harus bersaing dengan menerbangkan kapal bermesin jamak. Belakangan bosan juga melakukannya, maka aku kembali lagi bersama macan yang perutnya gondrong, yang mana tak lain aku ini.

Hampir sejajar dengan mataku jika menengok ke kanan adalah pelat logam bercat hijau penunjuk jalan. RS UI/ KAMPUS UI, katanya, lalu di bawahnya Kelapa Dua, di bawahnya lagi Lenteng Agung, jika mengambil lajur kiri. Jika kanan maka berbelok ke timur ke arah Jalan Ir. H. Juanda, atau bisa juga masuk jalan tol Cijago, bahkan sampai ke Bogor. Di seberangnya tampak tulisan Michelle Bakery. Jika terhidang bagiku, sampai kapan pun aku akan lebih memilih Iyem, apapun depannya, Surt- atau Pon-, daripada Michelle, meski ma belle. Mending ma Cherie amour.

Entah apa yang menyebabkan Sopuyan menambahkan bunyi 'n' di depan amour, hanya dia dan Tuhannya yang tahu. Akan tetapi, ini akan selalu membawaku ke suatu pagi di geladak USS John F. Kennedy ketika memberi penghormatan lambung kanan kepada USS Arizona sebelum keluar dari Pearl Harbour. Akan halnya ia dilanjut Tante Geri yang sempat mengharu-biru remaja kencur dengan bisikan lembutnya "cintaku, cintaku", 'ku rasa 'ku takkan pernah tahu. Kesakitan dan kesepian dua teman setiaku sejak dulu, sejak kecilku. Semua ini cukup bagiku, Cintaku. 

Akan halnya aku duduk bersebelahan lagi dengan Hari Prasetyo di meja terdekat dengan rak buku, seperti di hari-hari terakhir ketika bapak masih ada, entah apa maksudnya. Kenangan, ingatan akan selalu seperti ini, berkebit, berkebat. Seperti sebuah siang terik berdebu menyusuri melawai raya ke arah barito, lanjut ke radio empat, sedikit kramat pela sebelum radio dalam, setiap hari selama entah delapan bulan atau lebih; seperti itu saja semua siang terik dalam hidupku. Udara sejuk berpendingin begini sudah baik dibanding itu semua, bahkan kemudaan yang t'lah lama pergi.  

Padahal, teringat siang terik berdebu tadi yang lebih lama lagi dari itu, sekitar setahun dua sebelum itu, entah di perumnas dua bahkan tiga, tapi kemungkinan besar karawaci dan seputaran kavling pemda. Jadi buat apa aku meratapi hutan bambu yang sudah hilang lenyap, musnah tak berguna. Bahkan jalan panjang berliku sudah 'ku tinggalkan sejak lama. Bahkan ke mana pun 'ku cari bapak di atas punggung bumi ini takkan 'ku temukan. Bahkan jika digali di Rorotan sana cuma peti kayu berisisa-sisa.

Ini lagi mengapa kopaja yang lewat duren tiga memang mau ke mana. Ini terbaca seperti karya sastra apa mau dikata, setelah takkan pernah mengecewakanmu lantas takkan pernah meninggalkanmu. Kalau yang dulu saja dikatakan asal goblek apatah ini asal ngomyang. Oh, betapa 'ku rindukan Sri Sumarah di siang terik berdebu ini, ketika badan masih sanggup mencerna nasi padang berkuah minyak bersayur kecambah berlauk peyek udang, bahkan masih ditambah lagi segelas es doger. Ya Allah itu semua uang Mami, apa yang dapat dilakukan 'tuk membalasnya.

New York Rio [de Janeiro] Tokyo

Wednesday, August 20, 2025

Tetap Setia, Tetap Sedia Membela-beli Indo-mie 3x


Aduh, mengapa aku bisa lupa kepada pamongku seni rupa di esema. Aku tidak punya mobil mungkin karena esema. Seandainya saja esemka mungkin jadi mobil nasional. Plur mengatakan ini sastra, Pau bilang ini puitis. Sudah gila apa memapar anak-anak kecil ini pada pahitnya kenyataan macan yang gondrong. Aku, seperti biasa, mengitiki dalam sepi. Di sini selalu saja sepi. Di kokpit aku merasa seperti ada yang mengomentari. Kembali pada seni rupa, pamongku itulah yang memperkenalkanku pada kubisme dan dadaisme, yang tak dapat aku lupa.
Namanya kokpit tentu saja aku harus hati-hati, jangan sampai kapalku nyusruk. Ini ketidak-nyamanan yang sudah lama tidak 'ku rasakan: orang menyebut pesawat terbang dengan 'kapal'. Karena kapal [laut] tidak berlubang-pelir (cock-pit) tetapi beranjungan. Ah, aku gagal menjadi pelaut. Tempatku tidak pernah di anjungan atau bagian mana pun dari kapal. Tempatku di sini, di meja yang ada komputer pribadinya, atas-meja atau atas-paha; seperti entah berapa juta orang di Indonesia ini. 'Ku rasa aku menjadi lebih seperti orang kebanyakan, tidak jadi yang cuma sedikit.

'Tu dua tiga empat lima enam 'dikit. Begitu tadi aku menghitung ditemani jalan sutra yang dulu suka menghiasi hari-hari Minggu. Bilakah itu, di akhir '90-an. Memang segala sesuatu harus dibiasakan terlebih dulu, seperti Alasteman 12X ini. Sampai di sini saja sudah mulai terasa sedap-sedapnya. Segala puji hanya bagi Allah, Maha Suci Ia, Maha Tinggi, yang telah mengurniakan kesedapan di sore hari ini, menjelang Maghrib berhujan gerimis begini. Kambing dan orong-orong masih di luar, begitu pula entah berapa banyak ojek daring motor. Allah bersama kalian. Amin.

Asaptaga, apakah karena ini peramban asli Huawei jadi berbeda ukuran-ukurannya. Apakah dengan ini aku harus berhenti merata-kanan-kiri. Sungguh betapa nikmat, terlebih berkaca mata baca begini. Semua terasa terang seperti ketika muda. Aku masih ingat sebelum umur empat puluhan aku masih bisa tiduran membaca buku dalam kegelapan kamar menjelang Maghrib. Sekarang boro-boro, sambil duduk saja teramat sangat disarankan mengenakan kaca mata baca. Apakah semakin parahnya penglihatanku gara-gara di Kraanspoor suka bergelap-gelapan. 

Ya, 'ku rasa macan gondrong memang tak tergantikan oleh apapun, bahkan terbang sekalipun, dengan pesawat bermesin banyak sekalipun. Apakah macan gondrong ini semacam menerbangkan pesawat bermesin piston tunggal, macam aku pernah melakukannya saja. Tadi bahkan sempat berkhayal menjadikan PBM Mariner rumahku. Jauh lebih elit daripada Viar Karya yang berapapun. Aduh ini spiker Alasteman 12X memang sedap belaka, meski mungkin kalau di labkum tidak banyak berguna. Di dalam ruangan Prof. Tri mungkin bisa. Ya, dalam PDRH itu.

Teringatnya, Kitaro ada berkonser. Di mana kemarin aku melihatnya, di ITC Depok-kah. Berjalan kaki dari ITC Depok menuju Depok Plaza seperti masa-masa ketika masih muda. McDnya sudah tutup! Tidak ada kenangan apa-apa bagiku di situ, namun tetap saja sedih. Ada waktu-waktu aku mempertimbangkan mampir di sana, ketika ia satu-satunya McD di jalan pulang sebelum sampai rumah. Namun seringnya tidak jadi mampir. Hanya satu dua kali saja 'ku rasa, sepanjang keberadaannya di sana. Seperti manusia, segala sesuatu ada ajalnya. Semua yang ada ada tiadanya.

Aku belum lagi menggunakan Alasteman 12X ini untuk bekerja, berkarya (halahmadrid!). Pernahkah Axioo Pico dulu sampai menghasilkan karya, bukunet mungil berlapiskan Liverpool itu. Akankah 'ku relakan HP-11CB atau 'ku simpan saja, belum lagi tahu sekarang. Bahkan pensilnya ini pun mungkin akan 'ku simpan saja, tidak usah dibawa-bawa. Adakah benar kesempatanku untuk berlatih menggambar-gambar lagi, atau itukah cara yang lebih produktif untuk melepas lelah ketimbang menerbangkan pesawat bermesin banyak ke awang-awang. Entah, 'ku tak tahu-menahu.

Wednesday, July 09, 2025

Ngarai, Bukan Bukit. Seperti Sianok, Bukan Apache


Kala 'ku s'orang diri, hanya berteman sapi dan angin molen. Aku sampai hari ini tidak pernah suka pisang molen, pisang yang dililit dengan adonan lalu digoreng itu. Namun lebih tidak mungkin lagi yang 'ku maksud adalah molen pengaduk beton itu. Jadi kemungkinan besar memang pisang molen. 'Ku coba merenungi Tatang jalan hidupku. Tatang bagaimanapun masih tetap nama yang terdengar lucu olehku, semacam Utuy Tatang Sontani begitu. Entah mengapa, tadi sambil menjaga gas konstan terbuka, menghemat pertalite yang tinggal dua strip lewat bersama Poppy Mercury.
Kembali lagi mencoba mengitiki dalam keadaan yang jauh dari ideal. Ini bukti bahwa entri sangat luwes dan kenyal. Ia tidak mensyaratkan situasi dan kondisi yang paling ideal seperti buku teks dan sebangsanya. Ia masih jauh lebih unggul dari model bahasa besar apapun, karena dengan yang belakangan ini aku masih terpaksa berpikir. Entri tidak memaksaku berpikir atau setidaknya tidak terlalu. Di titik ini sudah mulai terasa betapa sulit untuk meneruskan. Tidak karena berpikir, tetapi lebih karena situasi, kondisi, toleransi, pendekatan, dan dekadensi semakin tidak ideal.

Sejujurnya, aku tidak ingat siapa nama komandannya, apa pangkatnya. Baru saja mengetahui bahwa ia adalah seorang kolonel bernama O'Nolan, bisa jadi itu adalah satu resimen penuh atau setidaknya batalyon. Selalu 'ku ingat justru Sersan O'Hara dan O'Flanagan yang sekarang aku lupa mereka selalu bertengkar mengenai apa. Selain itu aku juga mengingat kentang gepeng, tomat gepeng, atau yang seperti itu; dan tentu saja Patronimo. Apakah dukunnya adalah Patrick O'Nolan, aku tidak seberapa ingat. Meski ada atau bisa diusahakan, seperti hakikat takwa, baikan tidak.

Dari sini aku terlempar ke kamarku di Uilenstede yang sempit memanjang itu. Apa mejaku masih di dekat jendela atau sudah 'ku pindah ke dekat pintu, aku lupa. Padahal pada saat itu saja aku terlempar ke pavilyun Yado 2 E4, gara-gara salah ingat aku tak dapat percaya itu benar ternyata kami katakan halo selamat tinggal. Goblog ini memang penuh kenangan akan khayalan-khayalan'ku tak berdaya, yang hanya satu impian semata, khayalanmu hanya Bu [Sri] Susi[-ana Suryandari]. Apa pula yang dapat dikhayalkan dari beliau. Kita semua sendiri dari kecil'ku, 'ngapa 'ngungun.

Kalau sekarang aku satu heli dengan Sersan Worcester dan Frantz, itu karena kami harus keluar dari tempat ini naik kuda-kuda liar. Aku mengenalnya dari Bapak. Di titik ini aku terhenti. Seperti biasa aku tidak sendiri tetapi merasa sendiri. Hanya satu hal yang membuatku merasa tidak sendirian, yakni keberanian yang menginginkan kekayaan ternyata tidak tahan panas hahaha. Memang tidak untuk air panas. Aku tidak peduli. Aku terus mengitiki meski tidak pernah benar-benar suka batu-batu menggelundung, karena ia, seperti segala sesuatu, pasti akan berlalu.

Sesungguhnya aku berkata kepadamu, menghabiskan lima gluntung dimsum terasa berat olehku. Awalnya sudah benar, cuma tiga gluntung. Eh, masih 'ku tambah dua lagi semata karena keisengan. Ini sekarang terasa edan karena di sekatan sebelah ada orang Batak presentasi, dan di sekatan tempatku berada juga sedang presentasi. Ini situasi yang menjengkelkan. Orang mudah saja bicara begini begitu. Aku tidak akan menyuruh mereka menjadi aku. Aku hanya akan berkata, bagiku tidak mudah. Aku bahkan tidak mencoba berdalih membenarkan keadaanku ini.

Sudah sampai paragraf terakhir dan entri ini masih tidak berjudul. Memang ada beberapa entri yang seperti ini. Ada juga yang sudah terpikir judulnya sejak lama, barusan isinya menyusul. Tidak berarti juga dengan ini aku kangen Baton Huda. Mungkin itulah sebabnya dinamakan komando taktis taruna bukan kompi meski terbagi ke dalam peleton-peleton. Tidak ada juga usahaku untuk memastikan mengenai struktur organisasi resimen chandradimuka, seperti bagaimana caranya warangka Kuntawijaya bisa berada dalam tubuh Jabang Tetuka. CN-235 jadi N-250.

Sunday, July 06, 2025

Jika Kau Tak di Sini, di Sisiku, Hanya Cintamu ['Ku]


Penggambarannya saja sudah heroik begini. Mengapa penggambaran selalu harus di bawah paragraf pertama, sedang aku menginginkanmu untuk menginginkanku. Uah, baru begini saja sudah terasa seperti meletus. Kentus itu ternyata nama lain dari kintel, meski tidak ada itu kemintel. Setu legi singkatan dari setengah tuwa lemu ginuk-ginuk. Uah lagi, gara-gara Nyonya Cahaya Purnama, tapi bukan Veronica apalagi Puput Nastiti Devi. Hanya saja, memang tidak pernah hujan di California selatan, menuju cahaya kota, tidak apa-apa, oom pasti bayar, 'man-teman.
Entri, 'Gar, memang tidak untuk dimengerti, apalagi kalau sampai terbaca oleh anak-anak. Ini memang bacaan dewasa yang lebih elit dari Matra, Popular, apalagi segala Majalah UntukNya itu. Tolol itu semua. Jika pun ada yang mendekati, mungkin majalah sastra Horison [halah!]. Entri gunanya untuk dicaci dan dibedaki, dimaki lalu dikecupi, dilumuri tahi. Ada doa-doa terselisip di antara-antaranya, di sela-menyela matangkep. Entri harus membuncah membahana, berbusa-busa tidak seperti demagog tua buang nafas, tetapi pestol gombyor dilumuri sabun dikocok-kocoknya.

Albert Einstein bahkan Leonardo da Vinci sekalipun jika melakukannya pasti tampak bersahaja. Coba kau bayangkan, pilih salah satu, Albert atau Leonardo, atau kau lebih suka Sir Isaac Newton, boleh juga, 'ngampar di kloset jongkok dengan pestol gombyor berbusa-busa sabun atau shampoo clear menthol yang bikin semriwing persis Patrick Ewing. Untunglah aku ditenangkan kembali oleh penyatuan kembali. Jika tidak, hampir saja 'ku olok-olok pula Kota Takakura dan Ryuzo Tanokura. Di sini 'ku amangkan sebatang ranting kering yang 'ku temukan di tengah jalan. 'Ku menantang. 

Kentang ketantang Susi Cola. Ada juga Crepe Suzette dan tentu saja kaget 'nyemprot. Bersama ini 'ku kembali ke ruang hidup di Jalan Yado 2 Nomor E4 di bulan-bulan terakhir 1990 atau awal 1991. Petang setelah maghrib dan berhujan. Sholatkah aku ketika itu, sungguh aku lupa. Hanya saja 'ku ingat di ruang depan pavilyun 'ku tengadahkan wajahku seakan-akan Tuhan berada di langit-langit. 'Ku lakukan lagi yang seperti itu sekitar tiga tahun kemudian di 1994, kali ini mungkin di Graha 5 atau bahkan kepada langit malam penuh berbintang di lapangan sepak bola itu.

Adakah sabtu-sabtu di taman mana. Taman itu tidak ada namanya, yang di depan Sportcentrum Vrije Universiteit Amsterdam itu, meski adanya di Amstelveen. Entah berapa kali 'ku kelilingi taman itu ketika tinggal di situ antara Januari sampai September 2020, atau sekadar 'ku lalui antara Maret sampai Desember 2018. Tidak ada yang berkesan kecuali bunga-bunga ceri bermekaran. Selebihnya mahasiswi-mahasiswi kebanyakan kaukasian berguling-guling bercengkerama bersenda-canda di situ, dan tentu saja Amstelveen Snack meski tidak tepat di taman itu tujuan utama.

Lho, mengapa jadi pantai-pantai mengantuk begini, sedang aku sulit sekali menahan mata tetap terbuka sambil menonton akademi-akademi militer di Amerika Serikat. Biarlah, sambil mengulum permen jahe gancet, sedang Bang Ade Sobari tidak henti-hentinya gerak badan dari pagi tadi, bergaul dengan tanam-tanaman, 'ku teruskan mengitiki, jika pun sekadar agar tidak jatuh tertidur terkantuk-kantuk. Pantai-pantai mengantuk sudah sampai pada akhirnya, kejutan apa yang akan aku hadapi kini. Dari sekarang, kau hanya seseorang yang biasa 'ku cintai. Aduhai, sedih sekali.

Entah mengapa tadi 'ku berhenti malah melahap garang asem kacang panjang dengan sedikit nasi dan telur asin yang kuningnya masir berminyak. Seperti biasa, air dari lambung naik kembali alias reflux lewat kerongkongan menggelitik pangkal tenggorokan, membuat batuk-batuk. Begitulah maka aku berakhir menonton mengenai akademi-akademi militer di Amerika Serikat, sedang sisa kerupuk bawang dari kulkas 'ku tamatkan juga. Begini saja isi entri-entri aku tak peduli, seperti tak satu pun peduliku. Cantik terbangun ingin makan solar atau hokben atau ricis.