Wednesday, July 09, 2025

Ngarai, Bukan Bukit. Seperti Sianok, Bukan Apache


Kala 'ku s'orang diri, hanya berteman sapi dan angin molen. Aku sampai hari ini tidak pernah suka pisang molen, pisang yang dililit dengan adonan lalu digoreng itu. Namun lebih tidak mungkin lagi yang 'ku maksud adalah molen pengaduk beton itu. Jadi kemungkinan besar memang pisang molen. 'Ku coba merenungi Tatang jalan hidupku. Tatang bagaimanapun masih tetap nama yang terdengar lucu olehku, semacam Utuy Tatang Sontani begitu. Entah mengapa, tadi sambil menjaga gas konstan terbuka, menghemat pertalite yang tinggal dua strip lewat bersama Poppy Mercury.
Kembali lagi mencoba mengitiki dalam keadaan yang jauh dari ideal. Ini bukti bahwa entri sangat luwes dan kenyal. Ia tidak mensyaratkan situasi dan kondisi yang paling ideal seperti buku teks dan sebangsanya. Ia masih jauh lebih unggul dari model bahasa besar apapun, karena dengan yang belakangan ini aku masih terpaksa berpikir. Entri tidak memaksaku berpikir atau setidaknya tidak terlalu. Di titik ini sudah mulai terasa betapa sulit untuk meneruskan. Tidak karena berpikir, tetapi lebih karena situasi, kondisi, toleransi, pendekatan, dan dekadensi semakin tidak ideal.

Sejujurnya, aku tidak ingat siapa nama komandannya, apa pangkatnya. Baru saja mengetahui bahwa ia adalah seorang kolonel bernama O'Nolan, bisa jadi itu adalah satu resimen penuh atau setidaknya batalyon. Selalu 'ku ingat justru Sersan O'Hara dan O'Flanagan yang sekarang aku lupa mereka selalu bertengkar mengenai apa. Selain itu aku juga mengingat kentang gepeng, tomat gepeng, atau yang seperti itu; dan tentu saja Patronimo. Apakah dukunnya adalah Patrick O'Nolan, aku tidak seberapa ingat. Meski ada atau bisa diusahakan, seperti hakikat takwa, baikan tidak.

Dari sini aku terlempar ke kamarku di Uilenstede yang sempit memanjang itu. Apa mejaku masih di dekat jendela atau sudah 'ku pindah ke dekat pintu, aku lupa. Padahal pada saat itu saja aku terlempar ke pavilyun Yado 2 E4, gara-gara salah ingat aku tak dapat percaya itu benar ternyata kami katakan halo selamat tinggal. Goblog ini memang penuh kenangan akan khayalan-khayalan'ku tak berdaya, yang hanya satu impian semata, khayalanmu hanya Bu [Sri] Susi[-ana Suryandari]. Apa pula yang dapat dikhayalkan dari beliau. Kita semua sendiri dari kecil'ku, 'ngapa 'ngungun.

Kalau sekarang aku satu heli dengan Sersan Worcester dan Frantz, itu karena kami harus keluar dari tempat ini naik kuda-kuda liar. Aku mengenalnya dari Bapak. Di titik ini aku terhenti. Seperti biasa aku tidak sendiri tetapi merasa sendiri. Hanya satu hal yang membuatku merasa tidak sendirian, yakni keberanian yang menginginkan kekayaan ternyata tidak tahan panas hahaha. Memang tidak untuk air panas. Aku tidak peduli. Aku terus mengitiki meski tidak pernah benar-benar suka batu-batu menggelundung, karena ia, seperti segala sesuatu, pasti akan berlalu.

Sesungguhnya aku berkata kepadamu, menghabiskan lima gluntung dimsum terasa berat olehku. Awalnya sudah benar, cuma tiga gluntung. Eh, masih 'ku tambah dua lagi semata karena keisengan. Ini sekarang terasa edan karena di sekatan sebelah ada orang Batak presentasi, dan di sekatan tempatku berada juga sedang presentasi. Ini situasi yang menjengkelkan. Orang mudah saja bicara begini begitu. Aku tidak akan menyuruh mereka menjadi aku. Aku hanya akan berkata, bagiku tidak mudah. Aku bahkan tidak mencoba berdalih membenarkan keadaanku ini.

Sudah sampai paragraf terakhir dan entri ini masih tidak berjudul. Memang ada beberapa entri yang seperti ini. Ada juga yang sudah terpikir judulnya sejak lama, barusan isinya menyusul. Tidak berarti juga dengan ini aku kangen Baton Huda. Mungkin itulah sebabnya dinamakan komando taktis taruna bukan kompi meski terbagi ke dalam peleton-peleton. Tidak ada juga usahaku untuk memastikan mengenai struktur organisasi resimen chandradimuka, seperti bagaimana caranya warangka Kuntawijaya bisa berada dalam tubuh Jabang Tetuka. CN-235 jadi N-250.

Sunday, July 06, 2025

Jika Kau Tak di Sini, di Sisiku, Hanya Cintamu ['Ku]


Penggambarannya saja sudah heroik begini. Mengapa penggambaran selalu harus di bawah paragraf pertama, sedang aku menginginkanmu untuk menginginkanku. Uah, baru begini saja sudah terasa seperti meletus. Kentus itu ternyata nama lain dari kintel, meski tidak ada itu kemintel. Setu legi singkatan dari setengah tuwa lemu ginuk-ginuk. Uah lagi, gara-gara Nyonya Cahaya Purnama, tapi bukan Veronica apalagi Puput Nastiti Devi. Hanya saja, memang tidak pernah hujan di California selatan, menuju cahaya kota, tidak apa-apa, oom pasti bayar, 'man-teman.
Entri, 'Gar, memang tidak untuk dimengerti, apalagi kalau sampai terbaca oleh anak-anak. Ini memang bacaan dewasa yang lebih elit dari Matra, Popular, apalagi segala Majalah UntukNya itu. Tolol itu semua. Jika pun ada yang mendekati, mungkin majalah sastra Horison [halah!]. Entri gunanya untuk dicaci dan dibedaki, dimaki lalu dikecupi, dilumuri tahi. Ada doa-doa terselisip di antara-antaranya, di sela-menyela matangkep. Entri harus membuncah membahana, berbusa-busa tidak seperti demagog tua buang nafas, tetapi pestol gombyor dilumuri sabun dikocok-kocoknya.

Albert Einstein bahkan Leonardo da Vinci sekalipun jika melakukannya pasti tampak bersahaja. Coba kau bayangkan, pilih salah satu, Albert atau Leonardo, atau kau lebih suka Sir Isaac Newton, boleh juga, 'ngampar di kloset jongkok dengan pestol gombyor berbusa-busa sabun atau shampoo clear menthol yang bikin semriwing persis Patrick Ewing. Untunglah aku ditenangkan kembali oleh penyatuan kembali. Jika tidak, hampir saja 'ku olok-olok pula Kota Takakura dan Ryuzo Tanokura. Di sini 'ku amangkan sebatang ranting kering yang 'ku temukan di tengah jalan. 'Ku menantang. 

Kentang ketantang Susi Cola. Ada juga Crepe Suzette dan tentu saja kaget 'nyemprot. Bersama ini 'ku kembali ke ruang hidup di Jalan Yado 2 Nomor E4 di bulan-bulan terakhir 1990 atau awal 1991. Petang setelah maghrib dan berhujan. Sholatkah aku ketika itu, sungguh aku lupa. Hanya saja 'ku ingat di ruang depan pavilyun 'ku tengadahkan wajahku seakan-akan Tuhan berada di langit-langit. 'Ku lakukan lagi yang seperti itu sekitar tiga tahun kemudian di 1994, kali ini mungkin di Graha 5 atau bahkan kepada langit malam penuh berbintang di lapangan sepak bola itu.

Adakah sabtu-sabtu di taman mana. Taman itu tidak ada namanya, yang di depan Sportcentrum Vrije Universiteit Amsterdam itu, meski adanya di Amstelveen. Entah berapa kali 'ku kelilingi taman itu ketika tinggal di situ antara Januari sampai September 2020, atau sekadar 'ku lalui antara Maret sampai Desember 2018. Tidak ada yang berkesan kecuali bunga-bunga ceri bermekaran. Selebihnya mahasiswi-mahasiswi kebanyakan kaukasian berguling-guling bercengkerama bersenda-canda di situ, dan tentu saja Amstelveen Snack meski tidak tepat di taman itu tujuan utama.

Lho, mengapa jadi pantai-pantai mengantuk begini, sedang aku sulit sekali menahan mata tetap terbuka sambil menonton akademi-akademi militer di Amerika Serikat. Biarlah, sambil mengulum permen jahe gancet, sedang Bang Ade Sobari tidak henti-hentinya gerak badan dari pagi tadi, bergaul dengan tanam-tanaman, 'ku teruskan mengitiki, jika pun sekadar agar tidak jatuh tertidur terkantuk-kantuk. Pantai-pantai mengantuk sudah sampai pada akhirnya, kejutan apa yang akan aku hadapi kini. Dari sekarang, kau hanya seseorang yang biasa 'ku cintai. Aduhai, sedih sekali.

Entah mengapa tadi 'ku berhenti malah melahap garang asem kacang panjang dengan sedikit nasi dan telur asin yang kuningnya masir berminyak. Seperti biasa, air dari lambung naik kembali alias reflux lewat kerongkongan menggelitik pangkal tenggorokan, membuat batuk-batuk. Begitulah maka aku berakhir menonton mengenai akademi-akademi militer di Amerika Serikat, sedang sisa kerupuk bawang dari kulkas 'ku tamatkan juga. Begini saja isi entri-entri aku tak peduli, seperti tak satu pun peduliku. Cantik terbangun ingin makan solar atau hokben atau ricis.

Saturday, July 05, 2025

Bapak Keplek-keplek Karena Dikeluarkan dari AAL


Di Sabtu menjelang siang yang terik ini aku kembali menjalani mimpi burukku karena terkena pukulan mega ketujuh, yang dimulai dari anak yang sedang tidur, dilanjutkan jika kau pergi, dan sejauh ini bersimbah air mata. Biar tahu rasa kau 'Gar, ketika menyadari betapa dari penjara ke penjara tidak lebih sekadar macan gondrong. Uah, ternyata dilanjut seperti apa dia. Apakah ini sebelum makan siang, yang mana berarti berangkat pesiar. Aku sampai lupa. Makan siang dulu baru pesiar atau justru sebelum makan siang. Tidak penting, nan terpenting siapkan PDPS.
Kehancuranku sudah dimulai lama sebelumnya, sekarang dan selamanya. Tidak perlu pembenaran apapun, ketika kata Velen aku jenius namun tetap harus diampu Sopuyan. Sedang menjaga kesehatan sendiri saja aku malas, apalagi mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Lebih baik aku memijat-mijat jempol kaki sendiri dengan balsem di ruang mampus, dengan alasan melancarkan peredaran darah. Aku jauh lebih menjijikkan daripada itu. Apakah ini waktu yang tepat untuk merasa jijik pada diri sendiri, sedang aku harus 'lakukan sesuatu. Siapa bilang harus.

Obyek-obyek di cermin belakang dapat terlihat lebih dekat daripada sebenarnya ternyata sedih sekali, karena dahulu aku tidak pernah melihat visualisasinya. Setelah 30-an tahun baru 'ku lihat dan ternyata pesawatnya jatuh, terbakar. Mati terbakar seperti Diogo Jota. Aku nyatanya masih hidup sampai detik ini, mengitiki: Tuan-tuan dan Nyonya-nyonya, sebagaimana mafhum kami punya sesuatu yang istimewa di sini di Negeri Burung malam ini: Sebuah rekaman untuk Perusahaan Rekaman Nada-nada Biru, dilanjut lagi oleh adiknya Jacko. Harusnya sudah habis makan. 

Apa pernah aku berada dalam keadaan seperti ini sebelumnya. Apa ada keadaan yang lebih mengerikan daripada segala kemaluan yang pernah menimpaku di sepanjang hidupku. Bagaimana mungkin menghasilkan apapun yang heroik monumental dalam keadaan besar kemaluan seperti ini. Es vanila mengajak menggulung mereka, untung dilanjut ketika aku jatuh cinta, aku tidak pernah terpikir akan jatuh sejauh ini. Suasana ajaib yang ditimbulkannya, ketika aku jatuh cinta padamu. Padaku siapa cinta. Kengerian semoga tidak lagi pernah aku temui. Apapun bentuk ngerinya.  

Kau membuatku tersenyum tidak pernah 'ku kaitkan dengan Sarasan, justru Mas Gitosh. Mungkin karena terlalu cantik, sedang Sarasan, di belakangnya adalah sarang Mentor Yarli membantai kopral-kopral celaka. Sisi B dari Pukulan Mega Ketujuh ini memang tidak terlalu akrab entah mengapa, meski seingatku adanya hanya ini. Apa pernah benar-benar diganti dalam bulan-bulan itu, akhir 1994 sampai pertengahan 1995, maka aku tidak tahu Diana Ross menyanyikan puji-pujian bagi keajaiban cintamu. Ini juga, entah bagaimana, tidak tergandengkan dengan Sarasan. 

Apalagi dua terakhir dari teka-teki dan pembangunan yang tertahan, sama sekali tidak ada ingatanku mengenainya. Ya Allah, baru 'ku tahu Mentor Yarli sudah berpulang 28 Februari ini. Sekarang sudah masuk waktu dhuhur namun masih tersisa sekitar satu setengah paragraf lagi. Ya sudah 'ku selesaikan dulu saja. Sungguh menjengkelkan menunda-nunda menyelesaikan entri jelek, karena memang tidak pernah ada entri bagus. Entri heroik atau estetik mungkin ada. Entri bagus tidak akan pernah ada. Apa ini semua hanya asal goblek asal ngomyang. Peduli apa padaku siapa.

Entri ini adalah suatu refleksi eksistensial terhadapku sendiri sebagai seorang bapak yang keplek-keplek. Wajarlah jika aku berkhayal jadi bapak-bapak, lha wong mentor Yarli saja sudah meninggal. Aku yang masih hidup ini berusaha entah apa-apa, sedang di luar sepertinya cuaca sudah tidak seterik tadi, bahkan mendung kini. Musim kemarau basah apakah seperti lumpia basah atau apapun lainnya yang basah-basah, apa pernah 'ku lalui, ketika mesjid UI sudah berubah NU dari sebelumnya musholah. Lho ini mesjid atau musholah. Itu uniknya selama 20 tahunan. 

Sunday, June 29, 2025

Bulbul Effendi Bisa Jadi Bulbul Inggris Afrika Utara


Keheningan Belanda yang sebenarnya tidak pernah benar-benar hening. Di bulan-bulan dingin setidaknya ada dengung pemanas ruangan, atau desau, atau entah jangan-jangan hanya khayalanku saja. Kulkasnya Hadi yang belakangan 'ku jual kepada Bang Halim (benar begitu namanya?) memang sangat ribut bunyinya. Waktu masih di Amstelveen tiada berapa terasa karena aku di kamar sendiri, bahkan bisa dua daun pintu menyekatku darinya. Ketika pindah ke Kraanspoor, ia tepat di samping kasurku. Tidak bisa lain terpaksa diganti yang lebih kecil. Ah, hidup di Belanda harus ada kulkas, magnetron, kompor; semua di dapur mungil.
Kasihan anak-anak ini, malu ibunya babi; atau, kasihan ibu ini, malu anak-anaknya babi.
Di tepi Cikumpa ini, subuh-subuh begini, aku sudah seperti di Belanda: berjaket, bersarung tapinya, bukan bercelana training. Ini jelas tidak di Belanda, karena mesjid pesantren atau entah mana itu masih berbunyi-bunyi. Sepertinya mereka baru sholat subuh sedang mesjid Qoryatussalam sudah dari tadi. Aneh memang mesjid thoreqot ini. 'Ku rasa doaku terkabul mendengar banyak-banyak suara mesjid, yang sok-sok 'ku inginkan ketika di Belanda dulu. Kalau sudah begini lalu bagaimana. Menempel di tembok samping, di bawah menara air, mendengarkan suara mesjid di kejauhan menjelang maghrib, uah, itu barulah kenangan manis.

Aku sampai lupa bagaimana caraku menulisi buku harian ketika masih berbentuk buku dan masih harian. Berapa halaman setiap harinya, tiap-tiap 'ku tulis. Sejak kapan keteraturan tujuh paragraf ini 'ku ciptakan untuk merepotkan diri sendiri, belum rata kanan-kiri. Aku selalu ingat sebentuk puisi tolol mengenai kelamnya rasia malam. Aku juga suka puisi, 'Gar, tapi karena terlalu suka, akhirnya hidupku seluruhnya 'ku buat puitis; meski tidak mungkin menandingi puitisnya hidup Bagas. Mengapa sekarang jadi hidupnya kecoak yang terasa lebih puitis. Tidak lah. Lebih puitis lagi hidupku, setelah subuh begini mengitiki. Kenapa jadi sembilan.

Ahaha, ternyata bulbul, Inggris pula. Dari tadi terpikir namun tidak segera 'ku periksa. Begitu 'ku periksa ternyata tepat sekali, bulbul Inggris. Entah mengapa terbangun jam tiga dini hari terpikir Ratu Camilla dan suaminya, Raja Charles III dari Inggris. Cocoklogi, silogisme, alat-alat untuk menarik kesimpulan bahkan memenangkan perdebatan. Kenapa tidak masuk pramuka saja kalau mau membuat simpul-simpul. Kenapa tidak bertinju saja, atau seni beladiri campur sekalian jika ingin menang daripada adu tarik urat leher. David Sanborn menegang urat lehernya meniup saksofon.

Semalam aku berangkat tidur sekitar jam sepuluhan, lima jam kemudian terbangun. Di Belanda aku juga sering seperti ini. Namun kalau begini, namanya baru tidur lima jam, tidak berapa lama aku pasti mengantuk lagi, harus tidur lagi. Mendekati penanda tiga jam biasanya kesadaran sudah mulai berkabut dan entri jelek seperti ini sungguh menjengkelkan jika tidak selesai dalam sekali pukul. Justru itu yang membuat entri jelek, karena dicicil per paragraf bisa jadi sampai berminggu-minggu. Bahkan Mochtar Lubis pun terkadang hanya punya beberapa baris untuk entrinya.

Dengan ini juga akhirnya aku tahu mignonne itu apa setelah berpuluh tahun, bahkan bisa mignonnette. Kalau Leroux dan Mignot aku tahu sudah lebih lama, hampir 40 tahun. Kata keparat ini baru saja aku sempat memeriksanya, dari 20 tahunan lalu. Sungguh, daripada yang itu lebih baik sekalian le cochon a la meuniere. Entah mengapa malah jadi ke Padalarang. Di mana pun di Indonesia ini, atau mungkin se-Asia Tenggara, pasti ada yang seperti itu. Baguslah yang seperti itu tidak terjadi padaku. 'Moga tak terjadi, setidaknya, pada orang-orang yang 'ku sayangi.

Langit, matahari, dan laut tidak pernah berhenti mempesonaku, meski tidak benar-benar laut, meski terkadang matahari bersembunyi. Hari-hari memandangi bendera berkebat-kebit dihembus angin kuat-kuat seakan hanya mimpi. Kehangatan yang diberikan akomodasi-akomodasi Duwo entah akankah dirasakan lagi. Di Maastricht aku tidak pakai Duwo, karena mungkin memang tidak ada. Adanya Tante Hindry, lanjut Bang Herman. Jauh lebih heroik Bang Herman daripadaku. Siapapun yang pernah merasakan jadi gelandangan di Belanda jauh lebih hebat dariku. Sungguh.

Friday, June 13, 2025

John "The Fuck" Gonnadie Bukan Judul yang Bagus


Ini adalah suatu percobaan yang akan mengakhiri gangguan pada pencurahan artistik entah apa maksudnya. Begitu entri ini tayang kau pasti akan segera melihatnya. Ya, entri bukan sekadar bunyi tanpa makna. Terlebih penting, entri adalah bentuk, dan perutku kembung setelah menyikat semangkok donoloyo tanpa irisan daun bawang yang membuatnya aromatik. Di luar ternyata hujan. Syukurlah ada atap di atas kepalaku, meski belum ada penyumbat telingaku. Akankah 'ku sumbat, seperti gagalku menyumbat pandangan. Diriku selalu tahu yang disukaiku.

Begitu 'ku lihat di pratinjau setelah satu paragraf aduhai menyakiti mata. Namun akan 'ku tahankan. Sudah gila rasanya saban-saban harus memeriksa pratinjau. Menghambat curahan artistik, terlebih ketika ia sedang membanjir membandang, meski sudah lama sekali yang seperti itu tidak terjadi. Aku senasib dengan Wak Karib dan tidak ada yang senasib dengan kecoak. Ungkapan terima kasih ini membawaku kembali ke lebih dari 35 tahun yang lalu, ketika segala sesuatu terasa seperti apa, ya. Aku tidak menemukan ungkapan yang tepat untuk itu, untuk waktu-waktu itu.

Semua ini sebenarnya berkisar pada urusan kesepian. Di tengah hiruk-pikuk, berseliwerannya orang-orang banyak sekali di sekitarku, aku selalu merasa kesepian. Terlebih setelah melihat-lihat foto-foto John "The Fuck" Gonnadie. 'Emang boleh mati?! 'Tuh, 'kan, sampai ada tanda bacanya, saking kesalnya. Di titik ini tiba-tiba aku terhenyak [halahmadrid]. Ini alasannya untuk menulis. Tidak usah dipikirkan. Mana tahu Paula tidak sendirian. Mana tahu ada lagi yang sepertinya, sudi membaca-baca entah apa. Anak biologisku entah di mana. Apa anak ideologisku di mana-mana.

Jika demikian, permalaikat segala aturan penulisan, apalagi... di sini 'ku hentikan. Baiklah. 'Ku ikuti sekadarnya, agar bisa diajukan biar mendapat cumshot, biar naik pangkat mumpung masih hidup. Itulah masalah entri belakangan ini, terputus-putus. Ini sudah pagi entah beberapa kali berapa harinya. Aku menyanding sekitar 300 ml air hangat, mungkin sekitar 60 derajat celsius. Seperti entah berapa kali pagiku selalu menghadapi Asus Vivobook -yang kini telah pergi entah ke mana- hanya ditukar uang seper-delapan lebih sedikit dari harga belinya. Uah, pertanda baik kalimat lari.

Padahal aku sekadar terbangun dari suatu kesepian eksistensial, dan sebuah entri sekadar harus diselesaikan, apalagi jika sudah mencapai paragraf ketiga dari terakhir. Selembar keju cheddar Amerika memang biasanya harus dikelupas dari sosis ayam tempat ia melekat karena dipanaskan, meski itu lebih mudah dilakukan jika sudah dingin. Namun, ketika dingin, rasanya tidak seenak ketika panas. Sudah cukup deskripsi tidak penting mengenai keju dan sosis, seakan-akan ini jauh di Eropa sana. Aku tidak pernah ingin mengevaluasi, apalagi mengevakuasi apapun.

Jika aku punya tenaga, judul itu akan 'ku ubah. Tidak bagus. Namun, menilik dari rasaku sekarang ini, sudah bagus jika entri ini selesai dan tayang, meski faedahnya bagi diriku sendiri apalagi dunia mungkin tidak ada. Aku yang ke mana-mana menjadi bahan tertawaan, namun tidak lantas pula aku merasa diriku Joker. Aku lebih Jester, yakni, Commander Rick Heatherly. Dari mana idenya aku menamai diri sendiri Viper, Gundo Panther, Reza Jaguar, Herman Puma. Aku ini sekadar Joker Fuel, bahkan sebelum joker, karena aku pengecut. Aku melarikan diri dari mana-mana.

Lima juta atau enam puluh juta dikali empat dalam setahun sama-sama duitnya, sama-sama habisnya. Perutku kekenyangan bisa gara-gara sekedar seporsi bakmi goreng Jawa, atau bubur ayam entah-entah, taco sarapan ala-ala, masih ditambah muffin sosis ayam, atau bakmi ayam masih harus menghabis fuyunghai dan capcay. Ketika aku sedih, terasa ada yang sakit entah di mana, aku makan. 'Kurasa orang-orang ada yang jika sedih maka tidak makan, tetapi menari menyanyi berlari-larian sesuka hati, seperti 'ku mengajar hukum perburuhan, tidak sesuai satuan acara.

This is Freddie Kruger's Friday the Thirteenth Post

Sunday, June 01, 2025

Pipitku Menggaruda Pancasila di Hari Kelahirannya


Inikah waktu mengitiki, lewat setengah jam dari tengah malam begini, ketika bahkan tadi bersin-bersin dan hidung tiba-tiba berair. Seperti biasa, saking saja Michael sedang menarikan tarian terakhirnya. Jika tidak mungkin aku akan membaca-baca alih-alih mengitik-kitik sendiri. Dahulu urutannya tidak begini, seingatku. Masa tarian terakhir diikuti dengan matahari terbenam Karibia. Memang keparatlah pembajak peracik kaset jaman dulu. Mengharu-biru anak kecil hanya untuk membuatnya tidak bisa kembali ke masa kecilnya, karena urutannya beda dari album aslinya.
Jika malam ini aku kesepian, tentu bukan berita baru. Apa ketika masih di Barepan sana aku pernah merasa kesepian. Jangankan itu, sejak kecil pun, sejak punya ingatan, aku selalu merasa kesepian. Aku selalu hidup dalam duniaku sendiri, yang sampai sekarang masih bergedung redaksi kartini dan ananda. Itu yang di atasnya ada antena-antena. Gedungnya sendiri tentu sudah entah ke mana, seperti halnya kartini dan ananda. Namun gedung itu dan antena-antenanya selalu rimbun di pelupuk mata vide Bang Tiyok. Bagaimana bisa ia berpikir dirinya penyair, tukang deklamasi.

Lalu Monas dan gedung pusat Pertamina. Kau hanya perlu naik ke atas semacam pot permanen di depan jendela kamar depan dan sedikit berjinjit. Melalui pagar yang membatasi jalan apron timur terlihatlah puncak Monas yang berkilau keemasan ketika cahaya siang mulai redup, begitu juga puncak gedung pusat Pertamina dengan logo kuda laut kembarnya. Aku masih sebesar Sodjo sekarang. Ah, indahnya hidup ketika itu. Sedikit sekali ketakutan. Aku masih tahu lelepah meski entah bagaimana depannya ada "ha"-nya. Namun hidupku memang selalu indah.

Pagi ini contohnya. Sudah dua hari ini pagi bermendung tebal di Depok sini, bahkan mungkin seluruh Jakarta Bogor Depok Tangerang [Selatan] Bekasi. Jangan-jangan sampai kawasan Puncak dan Cianjur. Apa sih. Jelasnya, di kalimat ini sudah tidak pagi dan tidak ini. Ini bahkan nun di Pulo Gebang sana, seperti tertulis pada deteksi lokasi kartu selulerku, yang menyediakan akses internet bagi HP-11CBku. Apa pantas aku meneruskan mengitiki di sini, saat ini. Ruang Candra aduhai dingin sekali, meski sudah aku lepas kaus dalamku yang berkeringat, meski aku ganti berjaket batik. 

Uah, berminggu-minggu tidak maju-maju. Paragraf di atas bahkan dari minggu lalu, apalagi paragraf awal entri gak jelas ini. Entah kapan itu, namun sekarang ini, ketika aku sedang mengitiki begini, badanku terasa aduhai semlohai. Padahal aku tidak pernah sampai semlidut seperti Dyodoran, akankah aku menderita karenanya, karena mayoritas posting-posting instagramku. Di belakangku, Nadia mOmarah, seperti biasa, ribut saja, membuatku sulit berpikir. Lagipula, masa mengitiki begini saja pakai berpikir. Bahkan menyelesaikan satu paragraf ini saja terasa aduhai berat. 

Ya, sutra 'lah, let's do it again. Apalagi sekarang aku pakai celana mahal uniqlo yang sesak di perut. Bukan celananya yang salah, melainkan perutku yang 'ku penuhi nasi kuning lengkap dengan cungkring, tahu telur semur, masih pakai mie goreng diguyur sambal kacang, belum lagi tahu berontak. Apalagi dalam seperempat jam ini aku harus segera beranjak ke Audit untuk menemani Hari Prasetiyo mengawas ujian akhir semester Hukum Lingkungan. Apa 'ku bawa HP-11CB ke sana untuk mengitiki. Aku sudah tahu apa isi paragraf terakhir di bawah ini, yakni, mengenai teman. 

Teman apa. Difoto apanya: 'ngebornya. Sebuah entri bagaimanapun harus diselesaikan, sekacau apapun, sejelek apapun. Termasuk entri ini. Jelas ini bukan semacam kumpulan cerpen seperti bikinan Ahmad Tohari, Pramoedya Ananta Toer, atau Seno Gumira Ajidarma dan lain sebagainya. Ini adalah kumpulan entri asal goblek asal ngomyang. Tidak ada satu kecerdasan buatan pun, tidak ada model bahasa besar seperti apapun, yang dapat menggantikannya. Ini, 'Le, bagaimanapun, adalah kenangan mengenai impian yang takkan terwujud, keinginan yang takkan tercapai.

Friday, May 16, 2025

Belum Terlambat Untuk Menjatuhiku Cinta Luluna


Mari kita coba sekali lagi mengitiki dalam ambiens yang menjengkelkan. Hei, bahkan aku melakukannya masih dalam mode html. Ingat, ini beda lagi. Ini HP-11CB bukan Lenovo AIO 520. Mungkin sama-sama enam baris, tapi yang 11CB sampai mentok sedang 520 hanya sampai tengah-tengahnya. Minuman kaisar-kaisar Aztec ini ternyata kurang oye, karena dengan konsistensinya yang seperti ini, ia menahan ampas sampai tidak dapat tenggelam ke dasar cangkir. Padahal mungkin kalau tidak ada ampasnya, minuman ini bisa jadi agak boleh lah. 'tuh 'kan, 'mpe mentok.
Apa tidak ada idealitas di dunia ini. Apakah penggambaran harus selalu minta tolong kecerdasan buatan sekarang, atau pakai cara lama saja, menelusur, berselanjar di jagad jelantara dengan kata kunci asal-asalan. Apa harus seperti ini terus, menahankan serba seadanya, bahkan perut yang terasa kembung dan celana yang pinggangnya terlalu ketat. Apa harus 'ku dapat membedakan antara La Luna dan Vierra, sedang aku lebih kenal Patrick Vieira. Ternyata memang mustahil mengitiki dalam suasana yang tidak seperti tergelitik. Hanya sampai tengah-tengah, ini Lenovo 520.

Ya, sekarang ini di depan Lenovo AIO 520 setelah 12 jam dari suasana menjengkelkan. Haruskah aku menunggu selama itu, sampai lewat tengah malam. Saking saja tadi setelah sholat ashar 'ngantuknya aduhai 'gak ketulungan, maka tidurlah aku sampai menjelang maghrib. Inilah jadinya, menghadapi komputer pribadi atas-meja, di meja kerjaku yang jauh dari ideal. Hanya beberapa lembar kartu kwartet Upin Ipin itulah saja yang membuat meja ini seakan meja kerja. Sisanya, waktunya, berantakannya, semaknya, entahlah ini apa. Setua ini, idealitas nyatanya sebatas mimpi. 

Jadi intinya osidi itu tidak boleh masih waras sambil tertawa-tawa. Osidi itu sampai jelek mukamu berkeringat dingin begitu. Memang tidak sampai [terlalu] mengganggu gunaku sehari-hari, namun bagaimana menjelaskan perasaan seperti selalu pura-pura waras. Idealitas mungkin akan tercapai jika tidak berurusan SAMA SEKALI dengan manusia satupun. Namun kau akan kesepian. Jika kesepian sewalah tembikar, yang serbaguna tentunya. Jangan sampai kena lampu kristal, meski serbaguna. Tembikar yang tidak protes meski sekadar digelarkan tikar. Ini koq sampai mentok bagaimana.

Sepinya malam ini bukan malamnya yang sepi melainkan diriku. Mana bau tahi, mana perut aduh sakit gara-gara minuman kaisar-kaisar Aztec. Jika aku tidak menyebut nama-nama, itu karena nama-nama yang disebut-sebut sampai aku tahu hampir pasti tidak bisa ditiru. Yang pantas ditiru justru tak bernama. Halah, masih mencoba sok bijak. Cukuplah bila ketiak kanan dan kiri dibedaki Herocyn karena Purol sudah tiada. Yang biru, hijau, bahkan merah jambu, takkan sanggup menutupi bau nanah rajasinga. Kau tak bisa membodohiku. T'lah terlalu lama 'ku mencintaimu.

Semua hari-hariku sebagian besarnya seperti hari-hariku di ruang karantina penyakit menular, lengkap dengan kodoknya, lengkap dengan spesial pake telornya. Malam-malamnya aku sendiri, siang-siangnya sekadar dilalui. Aku tidak pernah benar-benar ingat pagi dan petang, kecuali suatu petang bermain di kolam ikan baru kepergok mentor Ili Dasili; memalukan sekali. Bukan kejadian itu, melainkan seluruh hidupku. Aku sekadar berusaha tidak memalukan untuk ibu dan istriku. Selebihnya, aku lebih nista dari badut dengan konsep tak jelas. Berkostum, mengemis.

Sekarang dan selamanya. Apa suasana siang menjelang sore di pavilyun yang sejuk. Apa karena banyak pohonnya, nangka, mangga, kol banda, yang besar-besar. Ada daun mangkokan juga. Akankah terwujud nyatanya hanya harus dijalani. Apa nista, apa bau tahi, bau bangkai sekali. Selokan kecil di depan pavilyun membuat susah disapu. Adikku selalu teringat alat pencucuk daun alih-alih sapu. Di situ juga menghisap entah sampoerna king, mengapa ini yang selalu terkenang. Mengapa tidak merek lain. Di situ juga berusaha mengorek keterangan hanya untuk ditepis. Angsokamu.

Saturday, May 10, 2025

Sudah Delapan Tahun Berlalu Masih Me[ma]carimu


Tidak perlu umek mencari-cari penggambaran, sedangkan lukisan-lukisan dengan kata-kata sudah cukup lama berhenti. Tidur belum sampai lima jam semalam memang rasanya aduhai sudah beberapa hari ini. Apa, kau mengajakku jatuh cinta. Tidak, aku sudah pernah. Tak dapat 'ku lupakan ajakan jatuh cinta sambil menyusuri jalan-jalan selatan Jakarta, meski situasinya sangat tidak ideal. Apakah akan lebih baik jika ini adalah ruang flex dengan sejuk-sejuknya, bahkan ketika masih memakai baju rajut. Akankah 'ku biarkan yang seperti itu menjadi kenangan, seperti mimpiku.
Jika kau tanya padaku, rasanya seperti pengar jet. Apa masih relevan buku harian ini, yang bukan buku dan tidak harian ini, yang kata Paula puitis ini. Apa ada maksud padaku untuk menjadikannya puitis, setelah pusat-pusat perdagangan internasional di kota-kota besar di Indonesia bermatian. Jika belum menjadi nekropolis, setidaknya kopropolis. Ya, itu yang di Kebon Kalapa, aku yang masih saja perhatian mencari orang. Bahkan Pak Cecep yang mengatakanku begitu saja sudah mati, yang masih 'ku temui beberapa tahun lalu. Bahkan es tujuh teler-telernya sudah tiada.

Dalam keadaan seperti ini yang terasa adalah dorongan untuk pergi ke tip top membeli sekantung besar teh tarik. Mungkin memang lebih ekonomis, hampir 70 ribu tetapi bisa untuk dua bulan bahkan lebih. Betapa tololnya jika hanya gara-gara itu saja terpesona, apalagi sampai bermalam-malam. Teorinya, seperti biasa, aku sudah tahu. Mungkin memang sudah tidak waktunya menambah teori, di jam empatku tumpukan teori hampir setengah meter. Yang ada saja belum semuanya dipraktekkan, hanya sebagian sangat kecil malah. Setengah meter teori sudah gila apa. Praktek!

Tiga paragraf di atas umurnya sudah tiga hari. Kini aku meneruskannya ditemani gitar gutawar riang menyanyikan lagu suprafit yang kali pertama 'ku dengar di Sint Antoniuslaan 11, Maastricht. Uah, aku memang sedang di Belanda ini, sekarang di Uilenstede, Amstelveen. Setelah suprafit disusul saprodi, aku hanya bisa ngungun. Seperti berkebit tadi pagi, aku sudah melakukannya sejak entah kapan. Mengapa aku begini, mengapa mempertanyakan. Apakah semakin sering, bisa jadi. Suatu siang atau sore di bekas ruang praktek dokter Hardi Leman kali pertama menyadari. Crot!

Kini 'ku hirup-hirup, 'ku cecap-cecap, 'ku sesap-sesap secangkir plastik merah ukuran 200 ml cappuccino bergranula coklat. Jika demikian tentu besutan torabika. Selalu teringat betapa suatu pagi ditemani sesaset indocafe cappuccino di tepian Ciliwung, di suatu pagi bermendung. Apa ketika itu ada nasi uduk, apa sebungkus rokok entah apa mereknya. Semuanya kesakitan. Kesakitan saja yang tersisa. Entah mengapa beberapa waktu terakhir ini agak sering 'ku katakan sejak jaman nabi Adam, sejak jaman Firaun. Jika tiada lagi tersisa bagiku dari dunia fauna...

...masa remaja, baik dari high videlity maupun sepatu putih dan kumpulan pasangan, hanya 'ku harap cappuccino ini tak menyakiti. Apa masih kurang kesakitan yang semuanya hanya dalam bayangan. Terkadang semangat membuncah membanjiri, sampai-sampai meski kantuk menderu-dera masih dapat ditahan dengan secangkir cappuccino dan berondongan kitikan. Nama-nama itu, yang tinggal dalam tapisan benak karena butirannya lebih besar dari anyaman jala daya ingat. Nama-nama yang memang tidak tahu, atau pernah tahu dan sekuat tenaga dilupakan...

Besar dan bentuknya seperti seonggok tahi baluchitherium, dan tentu saja bau. Kasihan. Hanya bisa didoakan agar tidak bau lagi. Biarlah besar, bentuk, dan mungkin juga warnanya seperti seonggok tahi baluchitherium yang sudah sembelit agak beberapa hari, namun baunya harum mewangi seperti apa saja terserah. Mau bau bunga atau kue boleh saja, aku tidak peduli. Aku selalu ingat baunya, seperti vanila campur kayu manis atau yang semacam itu, dan tiada keberatan padaku sama sekali. Aku pernah muda, dan di umurku yang akhir 40 tahunan, aku ingin tua 'ku tak peduli.

Thursday, May 01, 2025

Sesuatu Kemanisan Kejahean. Kesusuan Kekinian


Suatu kesepian yang mendamba di tengah hiruk-pikuk tempik sorak-sorai. Suatu kesendirian yang mengapung-apung di tengah awan-awan sekadar memandang. Seekor merpati putih yang--seperti semua saja merpati--terbang sesuka hati. Tidak perlu pula aku mendoakan merpati-merpati harapan-harapan akan baik-baik. Seperti merpati-merpati di Maastricht atau Amsterdam, banyak yang kakinya cacat. Meski belum pernah melihat sendiri, katanya ada juga yang paruhnya cacat. Kalau tidak salah aku pernah melihat di sebuah gambar atau beberapa meski tiada yang putih. 
Seperti sekarang ini udara dalam senar G tidak berdaya menyekatku dari hiruk-pikuk lalu-lintas Jakarta di jam pulang kantor. Maka dengan perut melembung kembung dan pinggang celana yang terlalu ramping aku mengitiki. Seperti apa rasanya... aku sudah lupa, karena ini dari entah berapa minggu lalu. Sekarang situasiku tidak jauh beda, jika tidak lebih parah. Dalam keadaan seperti ini, percuma saja 'ku rasa menyumbat telinga dengan apapun. Sekarang bahkan belis-belis ini main petak umpet di sini. Edan. Dunia macam apa tempatku hidup ini. 'Ku harus hidup pun. 

Nah, mulai dari paragraf ini, takkan jadi catatan hari pun, terlebih laporan pandangan mata. Aku hanya bisa berharap, seperti segala sesuatu, ini pun akan berlalu. Seperti angin bertiup di sisiku, ooh, ooh. Ini semua ku telah mengerti: semua di dunia, semua di dunia, tiada yang abadi. Apalagi sekadar biang-biang yang mengeluarkan belis-belis ini. Jika tidak seperempat, mungkin satu jam lagi. Kalau sudah tidak tahan, aku tinggal menyingkir. Mungkin di hari permintaan tolong ini, yang lantas diliburkan ini, biang belis memanfaatkannya untuk membawa belis-belisnya keluar.

Benar 'kan. Aku tidak mengukur berapa lama tepatnya, tapi belis-belis bersama biang-biangnya sekali yang pada bermobil sudah hilang dari pandangan mata. Ya, setidaknya dari pandangan mata. Apakah kini sudah setenang pagi ketika hanya ada dirimu, suara berbisik-bisik, dan lagu-lagu lama daur-ulang. Belum, tapi ini jauh lebih baik dari setengah jam yang lalu. Setua ini, sedikit sekali yang masih menarik perhatianku. Inikah waktu mewedar kebijaksanaan. Adakah aku memilikinya atau sekadar berkhayal memilikinya. Alat tunjuk-tunjuk yang utara belum kosong juga.

Uah, bahkan sekarang aku dapat mendengar terlalu [cepat] gembira. Aku tidak pernah membacakan fatihah untukmu, John. Untungnya, kau pun bukan paus. Jadi, meski 'ku melakukannya, mungkin netijen Malaysia tidak akan menertawakanku. Terlalu gembira memang identik denganmu entah mengapa. Sekarang yang sepertimu yang masih tersisa tinggal Mang Imas. Apakah aku sebaik kalian, 'ku rasa tidak. Aku masih terlalu sombong dan itu menjengkelkan bagi siapapun. Sedikit sekali dari kalian yang dapat dikatakan menjengkelkan, hampir tidak ada malah, aku rasa.

Mengapa pojokan sini terasa lebih dingin dari biasanya. Haruskah aku geser ke tempat di mana kadang angin hangat menghembus. Anginnya sih aku tidak berkeberatan. Orang lalu-lalangnya itu yang menjengkelkan. Uah, setelah belis-belis dan biang-biangnya, sekarang masalah dingin ini membuatku gelisah seperti siap-siap bergeser dari tempat pantatku menempel kini. Lagipula mengapa aku harus memilih tempat ini. Sudah banyak sekali 'ku habiskan sekadar gara-gara berada di tempat ini. Jangan-jangan, menulis di Omah Kranjinya Nugroho amat menginspirasi.

Namun sangat bisa jadi, suasana sepoi-sepoi seperti Omah Kranji justru membuatku mengantuk. Ya Allah, pekerjaan apa yang cocok untukku. Pertanyaan tolol macam apa itu. Apapun keadaanmu berusahalah berbuat sebaik mungkin sambil berharap yang terbaik. Begitu saja terus setiap hari. Langit siang ini bermendung. Entah siang terik atau bahkan malam dingin kita tidak pernah tahu. Bayangkan rasanya jadi Jesse. Kaki terjepit, mungkin remuk, udara dingin memenuhi paru-paru. Adakah Tom bersamanya sampai akhir, atau terpaksa harus meninggalkannya. Entah. 

Thursday, April 10, 2025

Apakah Rasanya Cuzco, Machu Picchu. Kau Bertanya


Meski ada Rian Hidayat di hadapanku, bukan berarti aku tidak merasakan kesepian akut yang kronis seperti biasa. Kesepian ini selalu menyelimuti dan menggerogoti dari dalam sejak kanak-kanakku. Bukan aku ingin menyalahkan kakekku untuk ini, karena mendoakanku menjadi seorang pemikir. Mungkin beliau tidak mendoakan dalam arti menginginkan. Beliau sekadar tahu bahwa aku yang manggala ini terlahir seorang pemikir dari rahim ibuku, anak perempuannya nan wuragil; sedang ibuku adalah seorang guru, sarjana. Kesepian 'lah sahabat sejatiku, sepanjang hidupku.
Sudah ada judulnya, sudah ada ilustrasinya, bahkan sudah sampai alinea kedua. Sudah banyak yang lupa. Sungguh hari yang aneh, tiba-tiba ada Hadi, tiba-tiba ada Arsil. Orang-orang dari hampir 30 tahun yang lalu. Bahkan ada Dede Rosyadah yang pernah dibelikan gusdut oleh Gundam. Ketuaan yang bacin. Keutekan yang lethek. Setua ini Alhamdulillah aku masih anak ibuku. Jelasnya, aku bukan anak-anak lagi. Hampir setengah abad usiaku, Ya Allah. Maka begitu saja kuucapkan selamat tinggal kepada Irfan Saleh dan Herbert ketika kami sama meninggalkan Graha 10 di 1992.

Di dalam akuarium ini tiba-tiba aku merindukan hingar-bingarnya pertempuran; merebut dan mempertahankan Cuzco dan Machu Pichu. Sebenarnya kalau dipikir-pikir tidak banyak bedanya antara membangun peradaban dan membangkitkan bangsa-bangsa. Hanya satunya bergiliran, lainnya waktu sejati. Selebihnya membangun-bangun berbagai-bagai bangunan yang seakan-akan memiliki makna sosial dan budaya, jadi lebih dari sekadar estetika fisik belaka. Itulah sebabnya jika letaknya salah langsung hancur, tak peduli banyak makanan, kayu, besi, emas terbuang. 

Namun itu kemarin. Sekarang aku sudah tidak di akuarium lagi. Aku justru berada di mana tayo berada. Sehabis minum secangkir besar neo mochaccino halia hangat badanku tak kunjung segar. Maka 'ku bereskan barang-barang menuju tayo. Relung ini dahulu diisi almarhumah Profesor Melda. Begitu Bu Tri jadi profesor, beliau mendapatkan relung ini. Beliau tidak pernah memanfaatkannya untuk bertapabrata, berdekat-dekat dengan Hyang Maha Kuasa. Puji Syukur 'ku panjatkan padaNya yang menyelipkan kebahagiaan kecil di relung hatiku melalui Dewi Komalasari.

Posisiku sekarang sebenarnya sudah dalam keadaan berwudhu, namun ketika memasuki bilik pengakuan ini masih basah sekali. Maka mengeringkan dulu dengan mengetik-ngetik begini. Dimulai dengan aku membatu cinta padamu sampai ini laguku, sekarang sudah kembali dari atas ke seorang lelaki dan seorang perempuan. Sampai berapa lama lagi tidak masalah jika mengingat betapa lambat waktu terasa di manapun kapanpun. Terutama mungkin ketika menunggu apapun itu, padahal tidak ada yang ditunggu kecuali yang sudah pasti itu. Menunggu kabarasa baik.

Biarlah 'ku relakan seorang lelaki tanpa cinta untuk bapaknya Farrel. Biarlah ia dulu memanggilku 'mas' sekarang diajak Masber untuk jangan sampai kalah dariku. Memang aku siapa. Aku hanya senang mengenang-ngenang bukan lanang manganang melainkan waktu-waktu ketika bapaknya Farrel masih suka makan mie lengkap dengan berbagai onderdilnya. Telur sudah pasti. Bahkan bisa bakso, sosis, otak-otak, mungkin juga kornet yang jarang-jarang 'ku rasakan. Mieku polos saja boleh beli dari koperasinya Chardin. Biar begini saja, biar doa mengamini.

Yang ditanam di Rorotan entah di sebelah mana itu sisa-sisa jasad bapakku, sebagai pengingat seperti apapun jasadmu tidak banyak berarti. Mau sebesar Sungadi atau siapapun korban bulimia, anoreksia nervosa, imperius furiosa, apapun. Namun bapak terus bersamaku, bahkan kini ke manapun aku pergi. Bapak selalu bersamaku. Dulu ketika masih berjasad, aku harus mengadakan waktu untuk bertemu dengan bapak. Jasad dengan jasad. Padahal yang sejatinya bertemu adalah jiwa dengan jiwa. Kini tidak ada lagi bapak, tidak ada lagi aku. Akulah bapak. Bapaklah aku. Sudah 'aja.

Thursday, April 03, 2025

Melodi-melodi Mimpi Italia 'Nampakkan Perhiasan


Ternyata di dalam krombuk masih tersimpan memento dari suatu petang yang dihabiskan bersama keluarga di sebuah rumah minum teh tarik. Ternyata tanpa asupan glukosa sangat sulit otak diajak berpikir. Ternyata struktur kalimat paling tua justru adalah konstruksi gunting di mana subjek diikuti objek baru diakhiri predikat. Aku selalu haus akan fakta, pengetahuan, entah sejak kapan. Dapat aku bayangkan bahkan di kumuhnya kamar sebelah ibunya nenek sihir, di rumah petakan belakang apa yang sekarang menjadi pesantren al-Hikam Kukusan, aku kehausan.
Entah sudah berapa lebaran aku tidak menghancurkan peradaban-peradaban. Lebaran ini aku tidak tepat menghancurkan peradaban, tetapi kota-kota. Jika di rumah, kerjaku tidur dan bertempur saja sambil menunggu waktu berbuka. Mendekati buka, setelah ashar biasanya aku keluar mencari-cari takjil entah apa-apa. Namun semakin mendekati lebaran dan setelahnya, jalan-jalan betapa sepinya. Sampai-sampai kambing dan orong-orong 'ku beri makan bakso sekali tiga butir seekor setelah rendang praktis habis. Sayuran campur edan karena tahu busuk. 

Dahulu kala ketika masih muda belaka tiada empunya sesiapa begini juga. Dahulu ada Dedi Sudedi sama-sama tidak tahu esok hari mau menjadi apa. Sudah tidak takut mati lagi, tidak seperti di awalnya. Di akhir dekade dua ribuan itu, sekadar tidak tahu saja mau apa. Kalaupun lulus lalu apa. Kini sudah lima belasan tahun berlalu dari waktu-waktu itu. Kini aku di tempat yang sama, pura-pura masih seperti dahulu. Paling enak bekerja di waktu-waktu seperti ini, kataku pada Bang Mansur. Aku hanya menipu diri sendiri. Semua tak sama, tak pernah sama, apa yang 'ku c'lepuk 'puk. 

Bilakah itu, di elkapeu yang sekarang sudah menjadi lkihi bersama Dedi Sudedi. Adakah aku menyetel simfoni cinta langsung dari kasetnya. Menipu diri seakan waktu masih sama, setidaknya seperti ketika di tepian Ciliwung atau pavilyun. Luka itu tidak pernah sembuh. Semua beranjak melanjutkan perjalanan, aku terjerembab memegangi perut dengan luka menganga. Semua bertanya mengapa tak kau obati, mengapa tak upayakan kesembuhan. Dengan bibir menjebik 'ku desiskan: 'ndasmu. Seperti kantong laut, aku tinggal hanya menunggu kematian John Gunadi.

Santa Maria Immakulata. Santa Maria Asumpta. Santa Maria Innosensia. Aku memanggil-manggil Ibunda Yesus Kristus seakan-akan ibuku sendiri, seperti yang dilakukan Sersan marinir Joe Enders sebelum kematian menjemputnya. Lihat, aku tidak beranjak sedikitpun dari ketika John Gunadi membaca-baca seruan perang milik Pak Bendot, yang tidak pernah dikembalikannya. Ya, karena ia sekarang bersemayam di rak buku di rumahku, setelah 'ku keraskan sampulnya, 'ku rasa, di Barel tempat Bang Ippul. Ya, 'ku rasa itu lebaran juga, ketika kami pun berjaket logam penuh.

Sendiri, seorang diri, hanya berteman senandung seruling logam. Adakah suatu cara untuk tetap cerdas barus meski perut terasa seperti habis ditonjok sersan mayor taruna. Kalau sersan taruna pasti lebih sakit dari ini. Ini mah tonjokan sayang dari mentor sendiri. Uah, aku betul-betul tidak sanggup beranjak dari kenangan-kenanganku sendiri. Dikata buruk tapi kok pahit-pahit manis seperti senyuman karamel. Dikata manis tapi kok pedih-pedih nikmat seperti koreng hampir sembuh digaruki dithithili. Aduhai ini apa serenata manis begini yang datangnya dari hatiku sendiri.  

Di atas langit-langit kamar hama padi ada cemeng ditinggal induknya. Setiap terbangun menangis ia memanggil-manggil induknya. Bagaimana drama ini akan berakhir. Akankah ia berakhir dengan bau busuk selama kurang lebih seminggu sampai dua minggu. Biarlah terangnya rembulan melupakanku dari drama yang belum jelas tragedi atau komedinya ini. Sekarang bahkan sudah ada Rembulan yang gelap kompleksinya, yang Akung tidak sempat melihatnya. Aku selalu yakin akan datangnya hari ketika Akung dan Rembulan akan saling bertemu dalam keadaan terbaik.

Terang bulan, terang di hati 

Monday, March 31, 2025

Bebatuan Pijakan ngaIdul Fitri 1446 H. Takbirannya


Awal-awal masih stereo, namun di tengah-tengah berubah mutu. Apakah pembukaan ini lebih baik daripada apakah pantas lebaran-lebaran memandang melalui jendela kecil demi melihat langit di sebelah barat bermendung. Memang segala sesuatu ada waktunya, sebagaimana segala waktu ada sesuatunya. "Tinggal menunggu waktu," itulah prentah wasiat yang diberikan oleh Abangda Profesor Safri Nugaraha Allah yarham, yang 'ku pegang teguh hingga sekarang. Abangda Donbangi Dontiba Allah yarham juga telah tiada. Tinggal lagi Abangda Profesor Kurnia Toha. 'Tu.
Astaga, dengan kualitas analog begini justru semakin melangutkan jiwasraya. Dapat 'ku bayangkan Bapak beberapa tahun lebih muda dari 'ku kini, mengemudikan maestro sambil mendengarkan flut cantik ditiup seorang perempuan berkerudung lembayung. Uah, dari mana datangnya serenata tanpa jiwasraya ini. Tidak ditiup ia oleh perempuan itu, sehingga tidak pernah terdengar baik di radio dalam, cimone, radio dalam lagi, maestro, atau sebelah manapun tepian ciliwung. Padahal membelai menyamankan begini, seperti belaian ibu yang tidak pernah aku rasakan.

Bukan karena ibuku tak sayang padaku. Alhamdulillah ibuku juga masih segar-bugar dikaruniaiNya kesehatan lahir batin. Hanya saja tidak begitu cara beliau menyayangiku. Masih untung ada istriku yang suka membelai menyamankanku sekali dua, jika ia sedang tidak disibukkan dengan tugas menjodoh-jodohkan manik-manik kerajaan. Serbuan kantuk karena tidur kacau datang merayapi kesadaran. Semoga kelak ketika 'ku baca lagi sendiri entri ini, aku ingat bahwa penyebabnya adalah malam takbiran. Aku bahkan tak ingat ada orang gila di bukit dalam flut cantik. 'Ku paham.

Ya sutra lah let's do it again. Setelah naik sebentar, melahap potongan-potongan kecil ketupat ada sepuluhan, sayur pepaya dua macam, udang sambal batak dan dendeng lambok, perutku penuh lagi. Padahal tadi, setelah lasagna dan pastel tutup masing-masing sepotong kecil, enam biji pempek kecil membuat perutku penuh, sempat agak mengempis setelah segelas besar teh hijau. Dalam suasana begini apalagi kalau tidak makan, sedang besok masih harus makan lagi. Umur sudah terlalu banyak untuk makan lagi dan lagi. Makan sudah terlalu banyak untuk umur sebaya 'gini.

Ramadhan ini sungguh mengerikan. Semoga Allah menyampaikan 'ku lagi pada Ramadhan berikutnya, dalam keadaan yang jauh lebih baik dari sekarang ini lahir dan batin. Saat ini, cukuplah bagiku bersyukur dapat mendapat selingan meditasi dari Thais seperti bapakku dulu. Bapakku bukan penggemar opera sepertiku apalagi Andrew Beckett. Aku pun bukan seorang litigator top seperti Andrew meski sama-sama sarjana hukum. Jelasnya, padaku tidak ada lesi-lesi akibat terkomprominya kekebalan tubuh. Aranjuez cintaku selalu bersama sejak Francis Gayo. Iwan Goya...  

...adalah penyusun buku pintar yang terkenal itu, baik yang junior maupun senior. Bahkan yang senior teronggok begitu saja entah di rak mana perpustakaan bidang studi hukum administrasi negara yang semakin mengecil. Apa rasanya menemukan buku pintar ketika sudah kuliah. Mengapa dahulu aku tidak terpikir sama sekali untuk kuliah. Mengapa aku justru bergabung dengan akademi angkatan laut terkutuk itu. Kini aku punya jawabannya, untuk pertanyaan-pertanyaanku sendiri itu, yang tak seorang pun sudi menanyakannya padaku. Tidak menjadi apa pula begitu.

Bahkan perpus lama bidstu HAN 'ku rindukan, di sudut itu sering 'ku sendiri saja. Sejak jaman itu aku telah sering berebutan dengan Bu Cici dan Hari Pras. Jaman itu t'lah berlalu. Savit sudah jadi lektor, aku masih asisten meski ahli. Jadi semacam ass professor second class begitu. Jika mau kebanyakan gaya, kepangkatan akademik di Indonesia bisa semacam ini: (i) ass professor second class/ IIIA; (ii) ass professor/IIIB; (iii) assistant professor second class/ IIIC; (iv) assistant professor/ IIID; (v) associate professor second class/ IVA; (vi) associate professor (IVB); professor (IVC). Aku? Ass professor, as in jackass, or, ever better, asshole.

Wednesday, March 26, 2025

Estrogen 'mBanjiri Aliran Darah. Testosteron 'Netes


Awas, jangan sampai lupa bahwa baru saja engkau mengendus masa mudamu dengan tasbih bermanik kuning fluoresen bahkan jam saku. Tidak mungkin juga engkau berharap masa muda tanpa ketololan karena masa muda memang waktu untuk tolol. Masa tidak sadar juga kau betapa puisi harus dideklamasikan seperti ayat-ayat Quran harus ditilawahkan. Akan tetapi, yang baru saja 'ku endus berasal dari waktu yang lebih dekat, dari Bang Ian sepulang haji agak setahun lalu atau lebih. Lucunya, terlintas masa muda tidak menimbulkan sensasi membuncah seperti dulu.
Tiba-tiba saja aku dijerembabkan kembali ke pojokan jaga DaviNet dari hampir 25 tahun lalu. Ya Allah betapa panjang waktu tololku. Tolol tak habis-habis bahkan sampai hari ini. Aku bergairah sendiri dengan segala sastra lisan, hak ulayat masyarakat hukum adat, konservasi tradisional padahal aku bukan apa-apa, bukan siapa-siapa. Aku sekadar tabib pengobatan tradisional karena cerdasku bukan cerdas yang biasa-biasa. Cerdasku barus, maka begitu saja 'ku hisap sebatang djarum super boleh mencatat dagangan Daud. Ya Allah betapa mengerikan waktu-waktu itu.  

Ketika bahkan aku enggan berdua-duaan saja dengan goblog ini, itu lebih mengerikan lagi. Sedang goblog ini adalah temanku satu-satunya yang tidak pernah mengecewakanku, selalu ada untukku. Sekarang pun ia tidak mengecewakan, dan seperti biasa di sini saja tinggal diakses. Syukurnya ada akses internet. Aku sudah terlalu terbiasa dengan akses internet di mana-mana ke manapun pergi. Bagaimana kalau tiba-tiba tidak ada. Rp 63 ribu yang 'ku belanjakan setiap bulannya hampir selalu percuma karena tidak pernah benar-benar habis. Di rumah ada, di kantor apa lagi.

Seperti biasa, aku di pojokan akuarium sini seperti seekor ikan sapu-sapu yang sudah kawak. Bedanya di luar sana panas terik dan aku baru saja bersin. Semoga baik-baik saja. Suasana hati seperti ini jangan sampai ditambahi dengan rasa badan yang tidak baik-baik saja. Mengapa harus 'ku ratapi hutan bambu yang sudah diberantas dibasmi. Mengapa harus diratapi tetangga belakang yang menembok rumah tinggi-tinggi sampai bertingkat. Mengapa harus dirindukan rumah yang lengang karena hewan-hewan masih dipegangi kecoa erat-erat. Memandangi kanal rindu.

Seperti biasa, jika aku kembali kepadamu, maka aku teramat sangat kesepian. Kemarin sekali lagi yang dibawakan oleh palank merah selalu membawaku ke ujung timur lapangan aru yang bekas landasan pacu itu. Untung tidak lama, aku segera terlempar ke Crea atau kamarnya Japri di Kraanspoor. Namun kini begitu saja aku terhembalang ke dalam akuarium lagi gara-gara cantik kesurupan perjodohan kerajaan. Jika tidak sibuk menjodoh-jodohkan demi mempercantik istana raja entah-entah, ia sibuk mendengarkan entah apa-apa. Begitulah aku kembali lagi ke akuarium ini.

Apapun itu, ini jauh lebih nyaman dibandingkan hari-hari mengelilingi pulau warga laut, yang di salah satu pojokannya ada restoran hadok. Ketololan memandangi jendela dari tepi jalan. Namun pada saat itu pulau warga laut masih kosong. Kini sudah penuh. Akankah aku tetap menyukainya setelah penuh begini. Adakah aku menyukainya ketika masih kosong dahulu. Jelasnya, aku selamat dari waktu-waktu itu, sampai-sampai aku dapat mengenangnya sekarang ini dalam akuarium begini. Baru lima sudah berhenti itu seperti Ronalzie dulu kala tes Akabri.

Ini bukan Amsterdam yang jaraknya belasan ribu kilometer dari cantik. Ini hanya akuarium yang sekitar sepuluhan kilometer jauhnya dari kasur dan bantalku sayang. Meski sudah kubeli nasi gudeg telor masih pakai tahu bacem dan acar kuning, bisa saja aku pulang setelah ashar, mampir dulu di tempat gorengan membeli beraneka ragam tempe, tahu, pastel, dan lontong isi, lengkap dengan bumbu kacang sekaligus. Makanan Akmil aku sudah lupa tepatnya seperti apa, namun segala makanan akan kehilangan kenikmatannya, seperti segala sesuatu. Sampai tetes testosteron terakhir.

Sunday, March 16, 2025

Hari yang 'Ku Sangka Takkan Pernah Lebih dari Satu


Ketika 'ku melintas di mulut Haji Nawi tadi, terlintas suatu nostalgi yang mendalam padaku dari lebih 20 tahun lalu. Kala itu mungkin lepas Maghrib, yang ada baru Pakin. Itu pun tiada. Jangankan Bunbun, Adjie saja belum ada kala itu. Ibu mengutusku membeli capcay dan mungkin menu lainnya lagi. Aku ingat badanku terasa segar ketika itu, sehabis mandi. 'Ku rasa aku naik Metro Mini S.72, yang waktu itu sudah belok kanan ke arah Pondok Indah lanjut Lebak Bulus. Berarti aku berjalan kaki ke gerobak pinggir jalan itu, s'orang lelaki akhir 20-an yang hancur-lebur.
Seorang lelaki pasti mengalami berbagai-bagai kejadian dalam hidupnya. Kejatuhanku, kebangkitannya kembali pasti tidak ada apa-apanya jika dibandingkan lebih banyak lelaki lain di dunia sepanjang sejarahnya. Sayangnya aku lupa menu selain capcay yang 'ku beli petang itu, apakah Bapak juga ikut dahar. Pada ketika itu, Bapak kira-kira seusia Pak Hadi Reog sekarang. Masih jos seingatku, sedang ikut bertempur dalam perang maskapai penerbangan sepanjang 2000-an di Indonesia. Aku kini bahkan lebih muda dari Bapak kala itu; se-Bapak ketika Pakin dalam kandungan. 

Kini aku di dalam akuarium lagi, memandangi jalan profesor Nugroho Notosusanto, sayap kanan atau utara Masjid Ukhuwah Islamiyah yang diguyur hujan. HP-11CB menyenandungkan lamat-lamat hujan dan air mata, meski tak setetes pun membasahi pipi siapapun. Puji syukur 'ku panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah menurunkan hujan setelah aku selamat sampai di dalam akuarium, atau mungkin lebih tepatnya terrarium atau herbarium. Semacam kandang reptil yang ada di Ragunan itu. Aku di dalamnya memandangi hujan mengguyur pelataran.

Meski sudah banyak sekali celoteh kode 'ku hamburkan di sini--celoteh, karena tidak bisa dinyanyikan--aku terus saja melakukannya sampai detik ini. Hujan mereda begitu saja, ditingkahi guruh di kejauhan agak dekat. Tiba-tiba terlintas kenangan Bapak mundut soto tangkar sedang samparannya bengkak, lenggah di kursi roda. Sedang aku tentu saja semacam nasi ramesan, entah mengapa tumis jamur tiram cabai hijau yang ada tahu gorengnya terbayang, meski mungkin cuma khayalan orang sedang puasa saja. Guruh guntur bersahut-sahutan sendu dari arah barat.

Aku selalu tahu ada tuba atau sousafon meningkahi bait-bait kedua dari anak-anak buku cerita, sebagaimana aku dapat menduga bahwa Sandra dan Andres--seperti halnya kucing-kucing Volendam--bukan orang-orang yang berbahasa ibu Inggris. Meski harus 'ku akui, aku tidak pernah menduga kalau permintaan untuk tersenyum bagiku diajukan oleh macan-macan Jepang. Hahaha kode-kode epik yang takkan terpecahkan meski dengan enigma sekalipun. Hanya yang memiliki kenangan-kenangan manis keemasan yang dapat menguraikannya, bakteri takkan sanggup.  

Ketika 'ku sangka hujan sudah sepenuhnya reda, ia turun lagi, membuat sedih orang-orang yang tidak membawa payung. Semoga mereka tidak memaki, malah mendesah membumbungkan ampun kepada Sang Pengampun di bulan suci Ramadhan 1446 H nan mulia ini. Masya Allah, hujan kembali deras. Ketika 'ku ingat-ingat tahun-tahun awal 2020-an, begitu saja aku ngeloyor entah sejak kapan. Sejak sate entah-entah setusuk dengan lontong beberapa potong seharga 50 Rupiah sampai nasi uduk bala-bala bersiram kuah seharga itu, aku suka caramu mencintaiku.

Begitu saja dalam satu alinea hujan reda lagi. Untung aku belum pergi ke Alfamart Psiko. Lagipula jalan ke sana sekarang pasti sudah becek-becek. Apa yang dirasakan Bapak ketika masih tinggal di pavilyun atau kamar tengah jalan radio dan ketika kembali ke sana di akhir abad ke-20. Seberapa berbedakah, setelah berbagai kesakitan dan tentu juga kebahagiaan-kebahagiaan kecil. Jelasnya, pada saat itu, saat seumurku ini, Bapak sudah haji. 'Ku rasa Bapak tidak pernah umroh seumur hidupnya. Seperti itulah aku juga. Aku ingin haji sekali saja meskipun jatah diktator.