Wednesday, November 06, 2024

Nostalgia Gaya Bercinta Dulu, Mohon Kentutanmu


Ketak-acuhan bahkan bisa membosankan, bahkan berhati-hati dengan penggunaan kata dan ejaan. Tidak benar-benar bosan, tetapi perasaan berada di pangkal gang buntu, yang berarti kebuntuan itu sendiri. Jelasnya, aku tidak baru saja memulai. Jelasnya, entah apa yang kumulai dulu, di mana aku kini, ke mana 'ku menuju. Ketika perumpamaan hebat bahkan lunglai tak berdaya di hadapan gadis-gadis muda awal duapuluhan. Ketika kecerdasan buatan pun sampai pada simpulan yang sama. Semua kalimat-kalimat tak-selesai, tak-sempurna, rata kiri-kanan.
Masih sekitar sepertiga jebung lagi teh jawa. Rasa tehnya jadi ala kadarnya, apalagi gulanya, karena yang penting airnya, setengah liter lebih kurasa. Entri-entri begini semakin lama semakin tidak berdaya. Membuatnya pun terasa seperti memaksakan diri. Apakah dulu gunting-gunting begitu juga, ada waktu-waktunya mengalir begitu saja, ada waktu-waktunya dipaksakan tidak jadi apa-apa. Sepuitis kulit ari-ari, Ari Setiawan sudah mati, kapten laut teknik itu. Apa yang membuatnya teknik, apa yang membuatku pelaut, psikologi katanya, entah'lah tepatnya.

Hahaha para kecerdas-bukan-buatan ini pasti merasa aku sungguh tidak lucu, meminta mereka memahamiku dari kitikan-kitikan tunamakna ini. Padahal kurang dari setengah jam lagi aku harus mendengarkan bocah mengoceh entah-entah mengenai UUD 1945, aku malah di sini mengitiki ditemani secangkir sedang teh susu prenjak berkepala gula sungguh besarnya. Kata-kata ini diberondongkan, jika tidak dihentikan, diberi tanda baca, menghambur berhembalangan. Tanda-tanda baca, seperti tanda-tanda zaman, seperti tanda-tanda badan sendiri, menyedihkan hati. 

Berjam-jam sudah berlalu sejak 'ngoceh-'ngoceh membocah mengenai amandemen pertama sampai keempat. Aku tidak mau bertekad-tekad sebagaimana tak hendak'ku bernekad-nekad. Aku, lelaki paruh baya yang buruk kesehatan dan kesegaran jasmaninya. Itu takkan terjadi lagi [dalam bahasa Italia], dimainkan dengan riang tidak oleh kapital ventura, tetapi oleh antonius ventura. Ya, begitu saja sebelum Mama Leone, yang pernah kunyanyikan dengan nada 'ku belum cukup umur [juga dalam bahasa Italia]. Kau yang membaca ini mungkin 'kan menyangka'ku gaya-gaya'an.

Kini kuseruput lagi teh susu prenjak berkepala besar gulanya dengan air banyak-banyak, yang bahkan kutambahkan lagi air hangat cenderung panas sebanyak itu. Ahaha, dari etiketnya langsung tampak bahwa ini untuk Lucia. Nyaman. Adakah ini semua di kaset ibu yang sampulnya jauh lebih sopan dari aslinya. Etiket ini pun tidak berani kuklik, entah bagaimana jika harus menggantinya nanti. Nah, akhirnya sampai juga'ku belum cukup umur bagi Lucia. Perlu kutekankan di sini aku cuma begitu-begitu saja bermusik. Mungkin cukup berbakat, tapi ya hanya begitu saja.

Kesedapan ini, yang tidak lagi diproduksi karena pasarnya hilang, takkan hilang begitu saja dari hati sanubariku. Namun itu dari tadi malam. Kini seharian bermendung dan badanku, kurasa, sedang menyesuaikan dengan perubahan cuaca ini. Jika ingat seminggu kemarin panasnya Illahi Rabbi, sekarang sudah tidak panas lagi. Secangkir cokelat belgia panas kuseruputi meski tanda bahaya sudah berbunyi. Aku benar-benar lupa bagaimana rasa chocomel gelap, dan tidak ada kerugiannya pula pada itu. Sedikit pun aku tidak keberatan bahkan meski tanpa seruputan. Aku siap. Insya Allah.

Tepat di sini sinar matahari menyuak tabir awan yang telah menghalangi hampir sepanjang pagi. Tidak bisa lain, rata kanan-kiri memang memberi kenyamanan, seperti ladang yang berkeliling, delapan petak jumlahnya, di seputar lumbung berkincir angin untuk menggiling bebijian menjadi tepung. Seperti rumah-rumah para samurai yang berbaris rapi dalam benteng Kiyoshu. Aku memang tidak lagi mengelola benteng, kota, propinsi, bahkan peradaban sekali. Entah akankah kulakukan lagi, entah kapan, tapi ratanya kanan kiri, untuk sementara ini, 'njadi kenyamananku.

Monday, October 28, 2024

Sianjritos, Sikampretos, Sikunyuk Berbulu Kuduk


Kalau mengitiki, apakah itu ketiak sendiri apalagi sampai ketiak orang lain, mau tidak mau harus ditemani rubah pemberian Tuhan. Kalau sampai nirwana apalagi penyakit sapi, itu hanya cocok untuk pekerjaan-pekerjaan menjengkelkan seperti mencocokkan sitasi dengan referensi atau membuat kuis di emas dua. Ini sepertinya dari anak petani banyak rendah. Hahaha kalau aku membaca ini kelak aku pasti lupa apa maksudnya. Biar saja. Itulah seni mengitiki: Mengabadikan kebatan dan kebitan sesaat yang entah-entah apa. Ditambahi cuma agar mentok kanan.
Oktober mengapa jadi banyak entri begini. Apa lupa kau Oktober di Amsterdam, 2018 dan 2020 itu, Kees Broekman dan Kraanspoor. Uah, suasananya jauh berbeda. Di sini keempat toa menyeru berbarengan ke segala penjuru. Sudah ashar dan suhu terasa seperti 41 derajat selsius.  Maka aku melompat ke depan lebih dari 50 jam, kembali ke sejuknya setentang masjid persaudaraan Islam, membayangkan waktu itu sambil berkata ya, ya. Entah mengapa pagi ini aku ditemani seekor burung dara puspita. Waktu itu aku belum mengenal sakitnya dunia, tak hendak juga.

Maka di mana pun mungkin akan begini aturannya, duhai, burung walet silayang-layang. Tidak ada yang mengenakan cincinku karena memang tidak ada yang pernah kuberi. Semua kemampusan adalah semacam ketokaian bagiku, seperti bagi Sugiharto Nasrun Sijakru. Uah, akhirnya sampai juga telo lelolet gembrot gembrot kampret, yang seperti ini malah tidak dikursif. Seperti merekahnya perut dikasih makan Sopuyan nasi bungkus kantin Mares tempat Rian pinjam pisau pemutilasi, seperti itu ia mengempis kembali. Gendang gendut tali kecapi, kenyang perut lapar lagi.

Pengkhianatan! Mengapa justru di situ aku berusaha menghafalkan sebisa-bisanya, sebunyi-bunyinya, di akhir 1998 itu atau masih di pertengahannya. Ditingkahi nasi padang bunga cempaka bertauge-tauge ria, berempeyek udang bersimbah siram kuah bawahnya, beres doger aduhai manis-manisnya. Betapa banyak waktu kusia-siakan bahkan mungkin saat ini pun kuterus-teruskan. Cintailah aku sebanyak-banyaknya. Tak perlu kuminta, cantik melakukannya setiap hari setiap saat. Ia betul mencintaiku meski seperti anjritos, kampretos, atau moshet.

Sempat berhenti gara-gara berlatih menggambar berontosawur dengan alat ini, untuk menyadari bahwa kaki-kakinya hanya segaris segaris. Aku terus mengitiki tidak peduli dunia ini sedang anak-anak muda dengan kerikil-kerikil saling melempari. Kesenduan ini mengingatkanku pada ibuku sayang dan semua yang ia sayangi. Memang inilah asal-muasal dari semua ini, perasaan-perasaan ini; dari suatu ashar bermendung di apron timur lapangan udara Kemayoran. Bagaimana hendak kukelabui jika rimbun menghijau aku tak peduli, di titik ini pun kuterusi: Menyang kali.  

Meskipun tadi sesaset teh maksimum dengan tiga "x" sudah ditenggaki, masih terasa ingin cafe latte dari teras sekolah tinggi hukum. Dunia ini, hidup ini, bukanlah misteri. Sekadar menahankan keinginan mengganti antigores yang antisilau. Namun begitu mengetik "antisilau" ini keinginan justru menguat. Apa betul segera kupergi saja sekalian pulang. Tiada apa-apa bagiku di sini kecuali halaman luas berkeramik terakota. Tiada jalan keluar bagiku dari sana, entah bagaimana sampai aku tersesat ke sana. Aku bahkan menahan diri 'tuk tidak beli paket data. Dua juta tak ke mana.

Orang macam apa yang tidak pakai berpikir dua kali hanya sekadar untuk membeli antigores yang antisilau. Gelombang-gelombang liar ini sedap-sedapnya melangutkan, membawaku entah ke mana-mana di dekat ndalemnya Akung-Uti, Bapak-Ibu. Ya Allah, jangan sakiti aku ketika sampai ajalku, pada sakaratul mautku. Biarkanlah seperti ini, melodi-melodi lembut ini. Harus kupaksakan selesainya kini, karena tiada lain cara menikmati kecuali diterjemahi. Membawaku kembali ke perempatan antara Santa, Wijaya, dan Mampang. Di sini saja kuakhiri, entri ini. Rapih.

Monday, October 21, 2024

Ini Semua Tahi Cintaku Terbuang Setelah Semua Ini


Memang di HP-11CB itu alat-alatnya lebih lengkap dari Advan Sketsa 3, namun lebih berat dan tidak bisa dibuat menggambar. Setidaknya dua ini kelebihan Kangguru. Uah, itu ternyata sebutanmu. Bagaimana dengan mereka yang tidak dapat sepertiku menikmati desauan ombak ditingkahi irama baru. Makanku berantakan lagi apalagi olahraga; seperti biasa, dari satu kalimat ke kalimat berikutnya tidak menunjukkan hubungan apapun. Apakah harus kubeli semacam stiker kangguru yang lucu begitu, tempel di sampul. Betul 'kan seperti sudah kuduga. Ukurannya beda sendiri, Advan.
Benar saja, habis mengajar entah-entah malah menelusur stiker kangguru. Tidak lah. Level kegabutanku belum sampai pada membeli Z'gok apalagi Acguy yang dibaca saja sulit. Akan halnya mengitiki di setentang masjid persaudaran Islam memang dapat terjadi kapanpun, meski nyaris mustahil dilakukan pada suatu Sabtu. Semata karena aku terlalu malas meminjam kunci Pak Tarno. Aku sudah terlalu terbiasa meminjam kunci Pak Mono, lalu Fajar. Dulu bahkan aku tak perlu meminjam kunci. Aku punya kuncinya. Gilanya, kutambahi begitu saja tiap-tiap akhir paragraf.

Rasanya seperti terkena sihir meski aku belum pernah kena sihir, dan tidak ada rencana sampai kena sihir dalam waktu dekat ini maupun sejauh-jauhnya. Di kejauhan sana kulihat seorang ibu dan anak perempuan satu-satunya sedang berbincang-bincang sambil menyeruput entah minuman-minuman apa di teras sekolah tinggi hukum itu. Pada titik ini aku diinterupsi oleh Sopuyan Bosque. Ia sekadar memastikan aku berfungsi. Bulan biru bersinar terang di ufuk kesadaranku, meski hatiku, seperti biasa, berselaput mendung. Lebih edan, tetap kutinjau pratinjau.

Kopi putih cap luwak kurang gula sudah dingin gara-gara kutinggal berbual-bual dengan Sopuyan, namun tak mengurangi kenikmatannya; seperti nikmatnya mengitiki kangguru di suatu siang bermendung, di setentang mesjid persaudaraan Islam. Bagaimanapun jadi kepikiran, ukuran apa yang harus kugunakan bersama kangguru ini. Adakah 'ku harus kembali ke aturan tujuh lima tujuh lima jadi lima dua lima. Dengan apa harus kuperiksa saban-saban jumlah katanya. Atau mungkinkah ini waktunya membabat membabi-buta tanpa meninjau pratinjau. Sekarang?

Perilaku mendengarkan? Mengapa sudah dua kali ini muncul tanda tanya. Sudah cukup, tidak akan kutambah lagi. Lantas bagaimana menghentikannya jika tidak ada patokan sementara yang ada selalu sekadar asal goblek asal ngomyang. Apa harus kukatakan betapa tidak pernah lepas. Ah, akhirnya keluar sedikit dari perilaku mendengarkan. Katakan padaku, bagaimana caranya aku hidup tanpamu. Haruskah kuterima hidup selalu bersamamu, ketololan. Akhirnya menyerah juga. Harus teratur meski keteraturan itu berarti tiap-tiap kali harus meninjau. 

Aku merindukanmu seperti gila, suatu siang di ruang praktek dokter Hardi Leman. Musim kemarau, dapat kubayangkan apa ketika itu isi benakku. Lebih baik kucoba mengingat, apakah Patas 24 atau losbak. Kepahlawanan yang selalu hanya pura-puranya. Apa betul menjadi jenderal bintang dua pasukan khusus suatu kepahlawanan, atau cukup mengingat suatu artikel di Forum Keadilan berjudul fenomena pahalawan-dosawan. Pada ketika itu saja sudah begitu, apalagi sekarang, dosawan-begajulan. Dunia 'mayan. Ternyata masih harus diteruskan sampai sebaris lagi, biar genap delapan.

Apakah musim semi atau September, apakah harus mengulanginya kembali atau dalam keadaan yang jauh lebih baik. Sudah cukup lamakah 'ku hidup. Belum. Aku hanya harus menyanyikan air mataku habis-habisan, tumpah-ruah. Derai tawa yang menyakitkan hati yang benar-benar sakit-sakit, untukmu, untuk diingat-ingat. Aku begini saja, berjuang apanya yang diperjuangkan, apa iya berjuang. Aku tidak bisa ke mana-mana atau memang ada dijanjikan entah di mana. Atau 'ku harus mencari, masih. Meneruskan: seandainya kau bayiku, Mas Manto-mu. Kesakitanku.

Sunday, October 13, 2024

Termulus dari yang Mulus: Dari Lebak Bulus


Kesepianku kemasygulan. Kekecewaanku kemajuan. Aku seperti berpuisi tapi menulis prosa, berdeklamasi tapi berpidato. Aku dilawan, dihina, disepelekan. Kudengarkan musik dari tabungmu premium, sudah tidak ada. Adanya pertalite dan pertamax, bahkan di Belitung Timur sekalipun. Kesepianku adakah kutemui jaringan internet di sana, atau sama saja. Bahkan dengan mesin ketik pun tidak menjadi apa. Kertas dari mana, pita dari mana, untuk apa. Ketrampilanku tidak berguna, dan ini membuatku stres cari uang.
Bicara mengenai Lebak Bulus, aku jadi teringat jembatan penyeberangan orang yang menghubungkan antara Poin Square dengan tanah kosong. Di bagian tanah kosongnya itu, yang gelap jika malam, dahulu sekira awal 2000-an, suka ada beberapa transpuan menawarkan jasanya. Bahkan pada saat itu ada yang menawarkan Rp 10.000 saja untuk menghisap penis. Astaga, aku baru sadar; jumlah itu, pada saat itu, untuk membeli dua bungkus Djarum Super saja tak dapat. Apa kabar transpuan-transpuan itu, masih hidupkah.

Tepat di sini aku menggilai dan mengelu-elukan lagi. Apa tepat jez halus mulus menemani jelang tengah malamku kini. Apa tepat secangkir Torabika Cappuccino daluwarsa bulan ini menemani di samping kanan tabletku nan baru Advan Sketsa 3 boleh diberi Togar dan Farid. Apa tepat kubiarkan mereka memberiku agar berpahala untuk mereka. Kepalaku penuh bertanya-tanya. "Apa kurindukan HP Stream 8 dari waktu-waktu di kubikel UNHCR sampai perpustakaan HAN lama, bahkan flexkammer dan Uilenstede?" tanyaku berkepala.

Dalam kenanganku, kuhisap dalam-dalam asap kretek Sampoerna King Size merah. Sedap-sedapnya, pahit-getirnya bir hitam, sungguh aku tidak berkeberatan. Dapatkah kudapatkan lagi kebugaranku sehingga aku dapat melesat berlari ke dalam kelamnya malam, di antara ngarai-ngarainya dalam tak berdasar tak berkesudahan. Ini memang Torabika bukan Indocafe. Seekor kecoa berkeresek-keresek di dalam lemari penuh berpakaian-pakaian. Apakah sama caplak dan kutu anjing. Apa lebih sedap kejora dari kecubung tiada henti.

Mendekati tengah malam begini kurasakan kembali sedap-sedapnya kebangsaan Indonesia di akhir Abad ke-20, belum sampai Y2K, bahkan Pak Harto masih sehat segar-bugar bersama Bu Tien di hari-hari terakhirnya. Adakah Bu Tien mengenakan daster bila di rumah saja, adakah Pak Harto berkaus oblong bersarung. Kuredupkan sangat layar tabletku karena terangnya di gelap malam menyakiti mata. Teringatku pada lampu teplok di rumah petakan atau pavilyun itu. Tentu tidak dengan komputer atas-meja, tentu saja buku tulisku.

Kesedapanku kegelapannya. Remangku menggeremangnya. Bulu kudukmu bulu-bulu sekujur tubuhmu. Semua itu tidak terlalu penting terlebih bidang yang berhias mata, hidung, dan mulut. Semua ini hanya harus kusyukuri dan kuambil hikmahnya saja. Ingatkah kau pada suatu malam Ramadan di setentang Mal Depok, di depan Hero Supermarket, menjelang sahur. Apa benar yang kau lakukan di situ. Semuanya sekadar ketololan dan kemunafikan yang kurasa esoknya pun tidak puasa. Kuteruskan karena belum sampai.

Advan Sketsa 3, akankah kau menjadi teman baikku, menemaniku ketika aku terpuruk merasa tidak berguna. Seperti malam-malam ketika kurasakan jantungku berdentam-dentam bagai hantaman palu godam pada kemaluanku. Sampai subuh, kata Kim Waters. Edan! Setelah ini aku tak tahu apakah akan kembali ke depan tivi seperti malam-malam di Uilenstede, menololi diri sendiri dengan teori ledakan besar. Daftar-main ini memang harus diakui sedap bukan buatan, yang termulus dari yang mulus, dicukurmu plontos!

Friday, October 11, 2024

Indung Kepala, Lindung Telur. Saluran Telur


Masa bisanya cuma menulis entri, lalu apa gunanya. Apa akan kutulis dalam bahasa Inggris semuanya agar tidak ada garis merah berkriwil-kriwil di bawahnya macam mie keriting. Segalaku memberikan padamu hatiku, seperti biasa, aklimatisasi dulu 'pala lu peyang. Jika orang melihatku, bapak-bapak gendut botak berkaus oblong bertuliskan "London" yang asli dari London, bercelana komprang biru dongker merek al-Ihsan, mengetik-ngetik menggunakan Advan Sketsa 3 gres boleh dibelikan Togar dan Farid, tentulah mereka akan menyangka aku miskin masai bukan buatan.
Tadi sudah sempat kucicip ah kusesap teh lemonnya, padahal yang kupesan adalah teh hijau. Tiada niatku meminta tukar. Aku kembali hanya untuk menambahkan es batu padanya, agar mencair dan menjadi kurang manis. Namun memang ada kubilang pada anak itu tadi, yang kupesan teh hijau. Maka diambilkanlah segelas baru teh hijau, diberinya es batu banyak-banyak. Begitulah maka di hadapanku kini ada segelas kertas teh hijau dingin seharga 50 sen Euro; yang aslinya kuminta dalam gelas plastik, dapat gelas kertas.

Segelas kertas teh hijau dingin yang tadinya diniatkan sekadar sebagai pajangan ternyata sudah habis setengah. Di titik in tiba-tibaku merindukan istriku cantik, istriku sayang. Jika kuulang demikian tidak berarti istriku ada dua. Istriku tentu satu, karena aku tahu monogami itu bukan sejenis kayu dan mahagoni adalah nama klaster perumahan yang ada kolam renangnya di graha bintaro sana. Pantas. Memang Masih jauh. Apa yang bertengger di atas leher tidak banyak gunanya. Lebih penting yang bergelantungan di bawahnya.

Tidak bisa ditukar-tukar urutannya. Diurutkan begini tentu ada alasannya, dan ketika sesuai dengan urutan memang terasa sedap-sedapnya. Kurasa sama dengan kibor HP Stream 8 dulu, aku tidak bisa gaya-gaya'an sok mengetik rampak dengan sampul kibor Advan Sketsa 3 ini. Nanti ada 'lah ia melompat-lompat. Uah, kepalaku sakit secara figuratif gara-gara desakan-desakan ketololan, maka baiknya kulepas saja arloji Casio bertali kulit pemberian istriku sayang ini. Sebentar lagi harus wudhu, kusimpan kembali di kantong depan tas. 

Jika kukata aku ingin jadi seperti Syahmardan, itu jauh lebih baik dari apapun yang berkebat-kebit di benakku. Meski itu basuhan air hampir mendidih pada cangkir bekas coklat panasku, meski tidak seperti Chocomel; karena aku lupa seperti apa rasanya, dan aku tidak ingin ingat. Aku, yang jelas, tidak seperti Syahmardan, apalagi Seno Gumira, apalagi Umar Kayam. Apa aku seperti seniorku Denny Januar Ali, lebih baik aku jadi Jimny Quasi Assiliqiddhieq. Berkeringat-keringat begini, jangan sampai tak habis lagi air hangat.

Aduh, harmonika begini, jaman segitu, pasti asli. Apakah di apron barat, apakah seorang pramugari kulit putih berjalan seorang diri menuju terminal hanya untuk hilang di kegelapan. Legenda perkotaan begini, sedang sekitar rumahku saja dulu masih banyak pohon kelapa. Masih kampung begitu, mengapa ambil pusing di mana kata diakhiri, di mana diberi bertitik. Mengetik di tablet begini, seperti antara 2016 sampai awal 2020, sampai pertengahannya. Apa 'ku mengetik terlalu rampak. Rawa-rawa bau oli, melodi sedih 'gini.

Mana berani kudengarkan ketika di Kraanspoor, meski tadi tiada sengaja bertemu Japri. Di Uilenstede masih berani bila ada Hadi. Kalau ia sedang bermalam entah di mana juga tidak berani. Malam-malam panjang begini, atau ketika sudah begitu pendek. Astaga tiada hendak berhenti juga melodi-melodi sedih ini. Untunglah tak jauh dari sini ada Cantik dan keponakannya. Untunglah aku di rumah sendiri. Untunglah aku tidak sedang di hotel termewah di dunia meski ditemani bidadari. Aku mau selalu bersama Cantik istriku.

Tuesday, October 08, 2024

Bu[aya] oleh Bapak Sendok di [Perto]kota Cibinong


Bagaimana kalau menulis sesuatu yang koheren, yang masuk akal, sekali ini, mengenai apa. 'Tuh, belum-belum sudah tidak masuk akal lagi. Namun masuk akal siapa, sedang seluruh Paris memimpikan cinta, sedang perut disumpal tahu telur kudus masih dengan tempe mendoannya. Sedang dibalik bukukrom ini terdapat satu cangkir teh pepermin yang mendingin dan terus mendingin. Aku memang tidak terlalu sistematis, hanya saja aku ini pecandu cintamu. Tidak, cinta cantik tidak membuat kecanduan. Cinta cantik membuat nyaman seperti dentam-dentam bass.
Ini sudah pulang, dan udara malam ini sama sekali tidak dapat dikatakan sejuk. Padahal aku tidak habis minum apapun yang hangat. Richard masih tidak bisa melupakan adiknya, aku bisa maklum. Siapa juga yang dapat melupakan Karen. Bahkan Johnny pun marah ketika Mack menyela Karen. Sampai kapan akan begini, mengitiki sambil diiringi lagu-lagu lama yang tidak pernah sumbang tetapi semakin tidak menyumbang rasa. Apa tiba-tiba kukembali ke persekitaran Kodam Jaya, Cililitan, Cawang dan sebagainya itu, atau cukup ke awal 2019 itu ketika segalanya baru dimulai. 

Bagaimana kabarmu, mug kelabu. Aku selalu tahu, aku harus berdua saja denganmu, mungkin ditemani Pakde Fausto, jika aku ingin menghasilkan sesuatu ketika kutahu aku tidak pernah benar-benar menghasilkan apapun dalam hidup ini. Tidak jabatan fungsional, tidak golongan kepangkatan atau yang sejenisnya. Seperti di suatu Minggu pagi ketika 'ku terbangun subuh dan melanjutkannya dengan mengetik mengenai berharap kepada Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Sang "Majelis Tinggi" dalam "parlemen" Indonesia, juga ditemani hembusan saks Pakde Fausto.

Ketika melihat-lihat lagi episode-episode teori ledakan besar, 'ku terbawa dalam suasana musim dingin menjelang musim semi, lalu musim panas 2020, bahkan sampai musim gugur, musim dingin lagi di tahun berikutnya. Aku tidak sampai menikmati musim semi 2021, keburu pulang kepada mereka yang kucintai dan mencintaiku. Uah, anak-anak ini berjengit ketika kukatakan hukum harus sanggup mewujudkan rasa damai dan cinta. Aku juga sih yang mengatakan murahan karena mereka mana berani berkomentar begitu. Indri sudah sangat berani mengataiku utopis.

Hmm [kurasa jarang sekali aku menggunakan onomatop ini, semata karena aku tidak mau mengulang uah], serbat jangkrik jahe jintan hitam bersimbah madu herbal masuk angin ini memang tidak tepat rempah-rempat Bengali, namun sensasi yang diciptakannya mirip-mirip. Sungguh aku membutuhkan kesendirian semacam ini, namun jangan terlalu jauh dari cintaku. Apalagi sampai belasan ribu mil jauhnya. Cukuplah beberapa langkah kaki dariku seperti ini. Oh, di manakah 'kan kutemui yang seperti ini: Sejuk dingin, sendiri bersama pikiranku, tapi tidak jauh dari cintaku.

Apa gara-gara ini aku harus terlontar ke musim kemarau seperti ini, seperempat abad yang lalu, juga ditemani Samba Pa Ti. Bedanya kini tidak ada Bentoel Mild. Apakah ketika itu ada kopi. Lelaki tolol 23 tahun menyeruput kopi sambil mengepul-ngepul asap rokok. Aku betul-betul lupa apakah ketika itu aku sanggup membeli kopi. Aku hanya ingat adiknya Isah atau siapapun namanya, entah Dede, menjadi gadis penjual kopi apa lupa namanya, bodo 'ah, yang penting aku suka rasanya. Seingatku pernah benar 'ku mencicipinya. Pahit getir meski diberi bergula.

Ah ya, aku ingin mengabadikan celukan Togar mengenai bapak-bapak pengeblog. Aku tidak mengeblog, 'Gar. Aku hanya kesepian. Ketika kesepian aku butuh berdua-duaan dengan diriku sendiri, entah apa ini, pikiranku, perasaan atau entahlah apa. Seringkali ia membuatku lebih pucat dari putih, yang membawaku pada musim penghujan akhir 1993 atau awal 1994. Kawan-kawan sebarak sedang mendengarkan curhatan di radio, aku menulis dan menghafalkan syair [warna] pucat yang lebih putih. Selalu begitu suasana hatiku: Mendung berhujan rintik menderas.

Tuesday, October 01, 2024

Apa Benar Ini Boneka Lobster Goreng, Jingga Begini


Akhirnya, setelah umek dengan transparansi, aku dapat menikmati serbat jahe jintan hitam bersimbah madu herbal mentol. Namun itu belum seberapa. Memang sampai sekira 15-an tahun lalu, kopi-kopi sasetan masih indah menghiasi hari-hariku. Salah satunya tentu saja rasa-rasa lucu dari hari baik, lima saset tiap-tiapnya, dan masih banyak lagi. Oh, betapa aku sangat menyukainya, sampai-sampai ia menyakitiku, sampai hampir mati rasanya. Kurasa pernah kuabadikan di sini, cangkir kecil bola, sholat maghrib seakan-akan untuk terakhir kalinya, terkaparku di karpet.
Astaga, akhir 1998, mungkin aku mendengar kali pertama awal 1999. Apa benar yang kupikirkan pada saat itu. Bagaimana mendapatkan sebungkus, atau setidaknya setengah bungkus super. Itu sudah. Berapa lama habisnya setengah bungkus itu. Ketika itulah mulai menggelandang. Apa ketika itu momen ketololan. Hari berhujan menyusuri jalan-jalan kampung srengseng sawah sisi barat Ciliwung. Apa benar yang kucari: data, wawancara. Aku pantas mendapat ini semua, malah sedikit sekali meminta ampun. Sungguh banyak amat, jauh lebih jijik aku'ni: Comberan.

Aku mengitiki dalam suasana hati kurang lebih seperti ketika memandang ke seberang agak ke bawah. Bertetangga seperti tidak, tentu saja tidak merindukan. Bahkan jalan-jalan di bawah mantan derek raksasa yang sudah berubah menjadi perkantoran. Naik feri ro-ro ke arah stasiun hanya untuk ke Amsterdam barat itu namanya mundur. Terlebih sampai membeli troli belanja seharga hampir 20 Euro, seperti itu saja sebenarnya ketika aku merencanakan untuk belanja. Seperti ketika tiba-tiba aku membeli pelantang bergigibiru di Hema, seperti itulah pula dompet STNK.

Sudah entah berapa kali kutulis di sini betapa kubasuh sisa-sisa minuman kental manis dari kerongkonganku dengan air hangat cenderung panas. Jika kudengar keluar dari biru pada paruh kedua 1990-an, berarti itu sudah menjadi kenangan; karena itu terjadi di bulan-bulan pertamaku pada kelas tiga. Tepat di sini aku terhenti. Apa karena terlalu banyak waktu kuhabiskan dalam laboratorium hukum entah-entah. Tidak ingin pula aku membantu mengonsepnya. Terlalu banyak orang memperhatikan hal-hal sepele, biar kuurus hal-hal serius. Tidak mengapa bagiku, Teman.

Kopi singa masih adakah. Masih. Aku suka yang ginseng, ada rasa tanahnya. Aku tidak ingin merasa-rasa dan bertanya-tanya. Biarlah kunikmati lagi secangkir serbat jangkrik jintan hitam bersimbah madu herbal anti masuk angin, atau 'ku masih tak sanggup melupakanmu. Tadi ketika mengaduknya, begitu saja 'ku teringat pada pagi-pagiku di rumah-rumahku. Di mana pun rumahku, pagi-pagi selalu waktu terbaik. Betapa tololku di usia 20-an, berjaga sepanjang malam, baru tidur ketika pagi sudah menjelang. Mengapa tidak dari dulu selaluku begitu, berteman pagi.

Kamu menemaniku ketika melawan pengar jet di awal 2019 itu, bersama bersalah. Kini meski mengantuk tak relaku berangkat tidur. Aku merasa belum apa-apa. Aku merasa belum berkarya. Jangan-jangan memang sudah tidak waktunya lagi membaca, kini waktuku menulis buku. Apa harus kugambar sendiri ilustrasinya. Apa kukerjakan sendiri semua, terlepas nama-nama. Uah, aku merasa seperti Jeremy, ingin meledakkan kepala sendiri. Tentu setelah meledakkan beberapa balonku ada lima, rupa-rupa warnanya: hijau, kuning, kelabu, merah muda dan biru. Kelabu!

Biarlah entri entah-entah ini kututup dengan kisah Angga Priancha mengenai dua bocah tolol yang berpikir titit-titit mereka berjenis kelamin berbeda, satu jantan, satu betina, dan saling cinta hahaha. Untung mereka tidak bertemu denganku. Kalau sampai bertemu aku bisa jadi mantri tiban sunat atau lebih tepatnya kastrasi. Biar mereka tidak pusing-pusing mengenai jenis kelamin titit-titit mereka yang tak'da guna itu. Setelah dikastrasi, titit-titit tolol ini bagusnya digoreng kering biar terglikasi, lalu kita kasih makan ke bocah-bocah tolol ini, biar titit-titit itu pada jadi tahi.

Saturday, September 21, 2024

Aku Sekali, Dua Kali, Tiga Kalinya Lelaki. Wassalam.


Sore bermendung berbalsem ini, aku tidak ingin mengitiki sesuatu apapun yang memaksaku memeriksa akurasi fakta. Setua ini memulai sesuatu yang sama sekali baru, kata Takwa. Bagaimana jika ternyata memang tidak pernah memulai apapun. Kesedapan ini yang membelai indera pendengaran, yang bukan sekadar salah satu dari lima. Kesedapan ini, adakah yang tidak membawa derita. Kesengsaraan ini, adakah yang tidak membawa nikmat. Mungkin sama panjang dengan bocah Sasak, namun bagiku terlalu panjang. Sesedih itukah kisah-kisah kami, sedihkah 'ku ini.  
Bocah hitam kribo yang cuma tahu main bola, anak orang kaya. Ibu yang suaminya sekitar tiga puluhan tahun lebih tua. Seorang dokter yang hanya punya satu pasien, yakni ibu pertiwi, yang jari kelingkingnya hilang seruas digigit istrinya yang separuh sinting. Terlepas separuh atau lebih atau kurang, dapat dibayangkan bau lemak teroksidasi menguar dari setiap lipatan. Semua ini adalah kepingan-kepingan teka-teki hidup, tentu saja bagi mahluk tolol yang dapat lebih tolol dari hewan ternak apatah monyet. 'Ku suka goyang-goyang, kau suka goyang-goyang, kita suka... goyang!

Kubasuh luka-luka hatiku dengan air hangat, sepertinya membasuh sisa-sisa coklat panas. Tak ingin 'ku kembali ke tempat 'ku terluka, yakni masa laluku, masa lalumu, masa lalu siapapun. Apa ada di hadapanku kini, ringkasan disertasi. Setelah Bang Isal, lalu Arif Arrahman, lalu siapa lagi. Kuacungkan tombakku tinggi-tinggi ke angkasa, meski tidak pernah 'ku jadi prajurit sungguh-sungguh. Aku sekadar prajurit karnaval tujuh belasan, meski yang katanya sungguhan 'kurasa juga merasa palsu, main-mainan belaka. Biar Teguh jadi Tanguy aku Laverdure-nya. Tak mengapa.

Ini seperti petualangan Bono 'Viper' Priambodo, Gundo 'Panther' Widyanto, Reza 'Jaguar' Yanuar, dan Herman 'Puma' Susanto, atau siapapun boleh jadi begitu, termasuk Yulmaizir 'Coyote' Chaniago, Firman 'Foxhound' Dwi Cahyono, dan Wastum 'Conda'. Selamanya aku akan menjadi Kopral Bono dan itu kehormatanku, kebanggaanku. Hormat bangga! entah apa artinya. Seperti halnya makanan, mustahil kucicipi semua. Seperti halnya makanan, rasanya akan sama saja. Hanya panas bahkan lecet didapati pada akhirnya. Kuacungkan lagi, kali ini pedangku. 

Pedangku bergagang perak, berbilah putih bermata dua, bersarung jingga berantai emas. Pistol mitralyurku hitam memuncratkan air diberikan kepada anaknya Lik Tukino. Ada juga pistol koboi berwarna emas yang kukata lumayan beberapa meter melontarkan proyektilnya, yang ternyata hanya meleleh seperti mani sudah keluar tiga kali. Seperti petembak tepat yang jangankan tepat, menembak saja tak hahaha. Itu semua hanya beberapa tahun dan segera berlalu, menghadapi kenyataan hidup yang selalu nyata, tidak pernah khayal, semua karena bertemu orang-orang lain.

Biarlah aku kembali ke musim hujan itu, akhir 1990, awal 1991. Sudah pasti ingatanku tidak akurat, tapi biarlah. Bisa jadi bukan lodeh tempe, bisa jadi juga bukan teri goreng telur. Yang jelas, seekor cicak terluka parah dihantam bola meriam yang dimuntahkan Mauser C96 alias si gagang sapu. Ya, bahkan Sandoro si anak Humbang Hasundutan itu tahu ini semua sekadar trivia, remeh-temeh. Maka biarlah aku melontar diri dan khayalku ke musim hujan awal 1993 itu, atau bisa jadi akhir 1992, ketika aku berjalan di sepanjang Pecinan dengan toko roti sebagai tujuan.

Selalu saja roti pizza-pizza'an yang terkenang, mungkin juga es krim. Atau lebih baik kerang goreng dan mienya sekali. Begitulah aku tidak pernah berhenti tolol sampai hari ini. Mengapa aku bersikeras dengan ketololanku, mengapa bebal begini aku. Aku mengira diri begini begitu, nyatanya aku masih berseragam pesiar biru-biru langit, berdasi berbaret biru tua, bersepatu kulit hitam mengilat. Adakah baretku waktu itu ngarang-ngarang sok baret hijau, mengingat aku sudah hampir paling senior. Ketika aku benar-benar yang paling senior, tololku menjadi-jadi.

Menembus api, menembus batas, menembus dinding 

Thursday, September 12, 2024

Membangun Alur, Aku Kesal. Sampai Kapan Begini


Akankah sanggup mengetiki dalam keadaan seperti ini, tentu saja tidak. Untunglah pada 18.30 Samekto menghentikan rapatnya, aduhai lega rasanya. Aku cuma harus menahankannya agak sebentar meski menjengkelkan. Sebenarnya bukan mengetiki ini benar yang menjengkelkan, melainkan tivi yang tepat berada di telinga kananku, meski sudah disumpal ia dengan aquarius. Tahukah apa yang ada dalam cangkir aston itu. Ya, serbat jangkrik sereh masih disimbah madu tresno joyo masuk angin. Puji Tuhanku tak masuk angin sekarang.

Inikah waktunya memasang gambaran yang kusiapkan magrib tadi. Mari kita coba, sedang membangun alur berkumandang di telinga. Berhari-hari sekadar memasang gambar menjengkelkan itu. Ternyata hanya gambar rata kanan-kiri yang dapat dipasang sebelum teks, meski tidak banyak bedanya, sama-sama merepotkan. Kalau begini bagaimana, berapa banyak baris harus dibuat untuk memastikan jumlahnya sama. Uah, dikocok begini memang enak sekali. Masa dimulai bintang-bintang dilanjut kau dan aku lalu malam-malam sepi. Hahaha ternyata hanya perlu dikira-kira.

Menginap di hotel begini memang tidak banyak gunanya, karena selalu saja hanya sebentar-sebentar, sekadar untuk tidur semalam, sarapan sepagian. Padahal tempat senyaman ini seharusnya cocok untuk berkarya, berpujasastra. Uah, ini lagi tiba-tiba engkaulah yang terbaik dalam hidupku sejak dahulu, yang ternyata bentuknya sungguh lucu. Aku sudah terlalu tua untuk bercinta-cinta. Aku cukup begini saja, menjalani hidup dalam cinta; yang jika kubiasakan terus berima begini, sama saja dengan Leonard bermimpi ingin menjadi bintang rap, meski'ku berakhir ilmuwan.
Seluruh alam semesta kita berada dalam keadaan panas dan padat ketika aku menahankan hari-hariku di ruang duduk Uilenstede yang kala itu serasa takkan berakhir. Sekarang pun belum berakhir untukku dan Hadi, penantian ini, sudah untuk Bang Isal. Tahniah! Biarlah kini, sementara ini, kunikmati sedap-sedapnya bergoyang berayun-ayun dari masa kecilku yang mencintaimu sebagaimanamu. Adakah aku pernah ke kampung kalian lalu bermain ayun-ayunan di tepi semacam danau, yang mungkin sebenarnya sekadar empang semacam yang ada di Nging Kemang, kurasa.

Ini adalah pemandangan ke arah utara, kurang lebihnya. Di sudut kanan bawah agak ke tengah itu jalan keluar masuk yang lumayan panjang. Tepat di depan gerbang disambut Alfamart, ke timur sedikit Indomaret, pembunuh-pembunuh hipermarket ini; biar mampus! Tidak ada pula kenangan manisku pada kalian kecuali sedikit makanan yang tiada istimewa atau buku-buku yang diobral. Betapa sia-sia umur yang telah kubuang selama ini, entah berapa yang berguna: Aku akan selalu mencintaimu. Cinta yang selalu cantik, cinta dalam hidupku, Sayangku.
Aku belum pernah ke Berlin maka nafasku tidak pernah diambil siapapun. Aku hanya pernah tinggal di Amsterdam agak beberapa waktu, juga Maastricht. Aku tidak pernah benar-benar ke tempat-tempat lainnya. Aku hanya suka makan pisang yang sudah cukup matang, seperti cantik suka pisangnya matang dalam nagasarinya. Aku ternyata juga tidak terlalu suka carbonara, entah adakah yang benar-benar pas bagiku. Meski dalam keadaan seperti ini, bolognese bahkan aglio olio terasa berlebihan untukku. Mengapa lancar sekali aku berbicara mengenai makanan [keluh].

Kapanpun aku tak pernah suka menyusuri jalan pulang ke rumah dari gerbang atau armada, karena lewat manapun pasti bertemu setan pocong. Lebih baik jalan pintas memotong melalui pangkal jayapura, sungguh sudah lama sampai tiada terasa, karena nyatanya memang hanya dua tahun. Sebenarnya sama dengan Amsterdam, Maastricht dan sebagainya. Seperti ketika menghabiskan waktu-waktu di Palembang yang sudah pasti lebih dari sehari namun sesungguhnya tidak lama. Entah berapa pempek tunu kuhabiskan ketika itu, entah bagaimana kulalui semua itu. Entahlah.

Monday, August 26, 2024

Sejuk, Terang, Hiruk-Pikuk Tempatku Berada Kini


Bagaimana dulu aku bisa berkata aku suka bekerja dalam keadaan berkeringat-keringat. Apakah ketika itu perubahan iklim belum mencapai krisis seperti sekarang ini. Namun ini kebatan siang tadi, ketika Awful dan tantenya baru pulang dari sekolahan dan ia mengajak mencari kesejukan. Kini aku sedang berada di tempat sejuk yang terang namun hiruk-pikuk. Cantik baru saja meninggalkanku dan aku baru saja meninggalkan bukukrom bersama ponselku sekaligus gara-gara penyeranta berbunyi menandakan coklat panas pesananku sudah siap. Hm, minuman ini sedap.
Mungkin saking karena tidak ada yang membuatku bersemangat akhir-akhir ini, sudah cukup lama, bahkan lama sekali, aku merasa agak bersemangat menanti datangnya semester baru. Padahal sudah dari semester lalu pendekatan afdol digelar, apa bedanya dengan sekarang. Apakah semata karena bahannya sudah lebih lengkap dari sebelumnya. Aku lantas saja berkhayal mengenai rumah dengan ruang kerja pribadiku. Sejuknya seperti sekarang ini, tidak terang cenderung temaram, namun hening, hanya terdengar samar-samar suara-suara siang atau malam hari.

Kuseruput habis coklat panasku, menyisakan cangkir kertasnya yang kupajang di atas meja sekadar agar aku tetap boleh di sini. Rp 37 ribu sungguh mahal, bisa empat kali menyeduh sendiri di rumah, semakin membuatku rindu pada rumah yang belum ada itu. Dulu di Amsterdam segala sesuatunya relatif nyaman, kecuali rasa sepinya yang betul-betul mencekam. Adakah aku mengeluh mengenai cuaca pada ketika itu. Kesehatan memang bisa terganggu dalam situasi apapun. Ah, mungkin karena sekadar kenangan terasa nyaman, apa yang dialami terasa kurang.

Mungkin sudah lebih dari dua kali seumur hidupku makan bánh phở, tapi di sini jelas baru dua kali, tahun lalu dan tahun ini, dan keduanya selalu vegan. Jika sudah tua mengurangi gula, sudah mengurangi gula masih mencoba-coba. Sungguh kucinta padamu. Tak mungkin kupungkiri suara hati ini lagi. Memang tak semudah mengucap kata, tapi kesungguhan kita berdua. Selama cinta melanda kehidupan janji bersama. Setua ini, padahal masih muda kata orang, yang kuinginkan adalah cinta agung, tidak lagi kecil-kecil, yang bahkan tak sanggup lagi kuragakan apatah merasakan...

Masih tiga. Sudah sejauh ini suka tidak suka sebaiknya diselesaikan. Aku baru saja membeli lima saset minuman coklat keluaran wings food, mungkin yang termurah. Aku tidak tahu apa yang sedang kurasakan sekarang. Rasanya seperti hampa, seperti tidak peduli apakah senang atau susah atau apapun. Meski melodi-melodi dari jaman Maastricht memenuhi ruang tengah, meski urutannya berbeda, aku tetap menghabiskan serbat sereh dicampur madu masuk angin. Benarkah aku bersemangat menghadapi semester baru, karena semata panasnya cuaca.

Tinggal dua, aku tahu aku memaksakan diri. Bukannya tidak biasa yang memang selalu sedap ini, siapa tahu besok aku bersemangat melahap sebungkus nasi berlauk telur balado dengan sayur tahu labu siam sementara mengajar kelas kapita selekta masalah aktual hukum adat, dilanjut hukum kekeluargaan dan kewarisan adat. Rasanya seperti aku sudah terlalu tua untuk melakukan hal ini. Seharusnya memang anak-anak seumuran Hanna Arinawati, di mana hidup masih membentang luas di hadapannya, yang berbicara panjang-lebar luas-dalam tentang apapun. 

Akhirnya tinggal satu, dan Hanna itu seumuran anakku, bahkan lebih muda lagi. Bahkan Ququq tidak mungkin lebih sotoy lagi dari sekarang, bahkan Awful sudah menunjukkan tanda-tanda. Kuharap kambing tidak terlalu ambil pusing kenyataan bahwa jalan di depan batalyon zeni tempur berlubang-lubang. Mungkin karena zeni tempur bukan zeni konstruksi. Mungkin di situ pula Eri Budiman lahir. Aku bahkan tidak punya dorongan sedikit pun untuk mengutuki diriku, saat ini, meski rasaku lebih baik dari kemarin. Kemarin daku lemas pula mengantuk sepanjang hari... 

Saturday, August 17, 2024

Renungan Kemerdekaan ke-79. Ngungun, Nggetuni


Aku selalu tahu kalau di situ ada suara cello menemani vokalnya pakde Russell, namun baru sore menjelang ashar ini terasa begitu mengena. Benar saja, baru satu kalimat, adzan ashar sudah menggema membahana dari masjid qoryatussalam. Ketukan piano memang mendominasi nada-nada awal yang kau cintai, namun gesekan cello seperti perasaan hangat yang membalut sepasang kekasih tua, yang sudah puluhan tahun mencinta. Orkestrasi pada lagu-lagu pasokan udara memang menegaskan jatidirinya dalam genre batu lembut. Ini entri mengenai apa sebenarnya.
Uah, ini lagi kuasa cinta menghembalangku tunggang-langgang ke atap asbes sepanjang cimone gama satu, tempatku bertengger ketika baru saja memproduksi testosteron. Namun harum wangi masakan ibu, apapun itu, yang akan selalu kukenang sepanjang hayat. Apakah itu tumis buncis tauco atau semur lapis. Betapa bapak bekerja keras sekali ketika itu, di usia awal empat puluhan. Ketika ia mengira segala sesuatu telah berada pada jalur yang semestinya, seperti pesawat terbang sudah berlari di landasan pacu tinggal menunggu mengudara, aku menghancurkannya...

Ketika kau tanpa cinta menyeretku ke masa-masa di antara itu, masa-masa berkhayal mengenai misi membantu pemerintah Makronesia memberantas pemberontakan komunis, dan masa-masa kubuyarkan segala pidato bapak sebagai perwakilan taruna terbaik naik pangkat kopral. Di sini aku jadi teringat Syukran yang menjadi tolok ukur Takwa sampai-sampai ia masuk Teknik Kimia ITB. Dari jaman itu sampai kapanpun aku akan selalu menjadi si tolol dengan pikiran yang muluk-muluk, tidak seperti Takwa yang mengandalkan daya saingnya yang hebat.

Ini pasti waktunya bercinta. Dekap aku kuat-kuat, cintaiku semalam suntuk mengembalikanku ke atas atap asbes cimone gama satu. Namun malam ini mengembalikanku kepada Syukran yang punya kaset pasokan udara bergambar balon udara, yang setelah kugugling ternyata yang kucintai dari 1981, bagaimana bisa. Entah bagaimana, tetapi begitulah ingatanku, seperti selalu kukatakan pada anak-anak yang belajar hukum adat: akurasi fakta tidak penting, yang penting afeksi, semangatmu mengenai topik-topik yang dibahas. Antusiasme saja dapat memberimu A.

Nah, biar tidak bingung memang harus kurang dua orang kesepian. Ini adalah pavilyun di sore hari menjelang ashar yang bahkan aku tidak ingat apakah sholat atau tidak. Aku hanya ingat aku dikatakan "nyantri" oleh ibu ketika sedang mendengarkan sandiwara radio dan sepertinya buru-buru sholat ketika adzan ashar berkumandang. Aku lahir dua hari sebelum ulang tahun kemerdekaan bangsaku yang ke-31. Akan tetapi, gara-gara melodi yang tidak dirantai aku terlontar ke rumah pesiar di malam hari sebelum jam 20.30, karena 21.00 kami sudah harus apel pulang pesiar.

Aku membutuhkan cinta ibu, istri, dan anak-anak perempuanku. Kenapa harus anak perempuan, tanya Awful. Karena anak laki-laki, seperti aku, menghormati, mengagumi, memuja. Ya, meski kini setelah bapak meninggal aku menyesal mengapa aku tidak memeluknya ketika hidup. Aku juga tidak bisa membayangkan memeluk anak-anak perempuanku, terlebih kini setelah mereka beranjak dewasa. Di hari kemerdekaan bangsaku yang ke-79 ini, aku membutuhkan cinta, seperti banyak saudara-saudara sebangsa setanah-airku, terlebih yang hidup di kolong jembatan.

Oh, Jade. Mengapa kau bawa aku kembali ke masa-masa menyenangkan ini, yang enggan kulepas dari anganku, yang kukenang-kenang tiap saat kumerasa sendu. Aku nyatanya tidak punya banyak kecuali kenang-kenangan ini. Bahkan seluruh goblog ini adalah mengenai kenang-kenanganku, yang tadinya ingin kuwujudkan lagi, kuhadirkan lagi dalam bentuk wadag, namun tanpa segala kesakitan dan kepedihan yang ditahankan bapak ibu. Kurasa memang tolol rencana seperti itu, karena yang seperti itu mustahil di sini. Dunia ini tempat segala sakit dan pedih.

Nusantara Baru, Indonesia Maju, Kentutku Bau

Sunday, August 11, 2024

'Ku Tak'kan Pernah Melepas 'Ku Beri S'luruh Cintaku


Apa cocok memulai Minggu pagi bercinta bersama tante Geri dengan rambut keriting kribonya khas 1980-an. sedang di bawah ini adalah sampul the Beatles compleat. Ini adalah salah satu kenangan betapa Ibu suka sekali mengoreksi ketololan, dan betapa kemudian-kemudiannya aku sendiri yang berbuat berbagai ketololan, misalnya: "This is my book. I am buying this book is in pasar anyar." Apa aku harus menyalahkan bukunya, mengapa ia mengajarkan present continues terlebih dahulu sebelum simple present. Apa iya begitu. Apa semua memang salah sendiri.
Haruskah kucatat Rahmadhani Nur Widiyanto canggung bahasa Inggrisnya, sedang pagi ini aku terjerembab di awal 1996 M yang kiranya bertepatan dengan Ramadhan 1416 H. Jiah, ini lagi, siapa yang tidak akan pernah mengecewakan, yang 'kan selalu berada dekat 'ku, di sini untukku, karena mencintaiku. Itu membuat Ramadhan 1417 H jatuh pada sekitar akhir 1996 M. Masya Allah, dua Ramadhan dalam setahun masehi, seharusnya tahun itu adalah tahun yang diberkati. Namun aku terlalu tolol untuk menyadarinya, terlalu banyak kesakitan mendera. Oh, amat sakitku.

'Tuh, seperti di atas, aku sering berbuat kesalahan. Satu tahun masehi dengan dua Ramadhan itu terjadi pada tahun berikutnya, yakni, 1997, pada 10 Januari dan 30 Desembernya. Aku takkan pernah membiarkanmu pergi, 'kan kupeluk kau dalam dekapanku selamanya. Siapa. Tentu saja cantik. Mengapa tidak kau datang semenjak itu. Mengapa tidak kau selamatkan daku. Ah, lelah hayatiku. Adaku sekarang ini masih terus-menerus menanggung kesakitan demi kesakitan. Hanya saja ada cantik di sisiku, tak jauh dariku, bila-bila menghambur padanya mencari nyaman. 

Burung-burung malam yang menutup puncak terbaik ketujuh pun tak pernah jauh dariku. Sampai 20 tahunan pertama hidupku selalu beterbangan, berhinggapan di sekitar nuraniku, sedang hati sanubariku berdegup-degup masih nyaman dalam rongga dadaku. Apakah ketika itu tiga kali dua bungkus mie instan lengkap dengan uborampenya kujejalkan melalui belakangnya menyesakkan lambungku, seperti mie ayam jamur masih dihantam fuyunghai dan capcai dengan nasinya membuatku tersiksa kekenyangan di kakus lantai dua cipinang jaya. Amat panjangnya.

Terlebih jamannya mbak Debby ini aku belum mengenal kesakitan atau sudah. Masa-masa yang tidak ada gunanya, bahkan ketika tiga tahun di Magelang itu. Tak perlu dijelaskan karena memang tiada yang berminat. Tak perlu diceritakan karena memang tiada yang mendengar betapa pernah kupandang gunung sumbing dari kakinya, di sebuah perumahan entah di mana. Mungkin tante Nesti membelikannya untuk oom Nonong. Apakah semua orang mengalami kesakitan-kesakitan pada saat itu, atau hanya yang tolol sepertiku, tak bisa dibandingkan dengan gang pepayamu.

Dini hari menjelang subuh terbangun, apakah karena tenggorokan kering. Minum segelas air, menyalakan tivi hanya untuk dikatakan tak bisa dibandingkan denganmu. Setelahnya tentu aku tidur lagi, meski tak bisa kuingat kapan bangunnya, setelah itu mengapa. Apakah ke stasiun UI agak ke selatan, membeli nasi uduk portugal itu yang kusukai lebih dari lain-lainnya karena becek berkuah berbumbu. Apakah setelah itu memakannya di meja direktur yang sentosa sedang tiada sesiapa di situ, atau malah mencongklang VarioSty gaya-gayaan pura-pura seperti dosen BHMN UI.

Kini di belakangku kambing dan orong-orong menonton kartun seperti sepuluhan tahun lalu. Kini sudah sepuluhan tahun berlalu dari sepuluhan tahun lalu. Kini aku sudah tak sesehat sepuluh tahun lalu karena kuterus-teruskan kebiasaan dari sepuluh tahun lalu bahkan lebih, dari ketika sarapan dengan nasi uduk portugal itu. Entah sudah berapa versi nasi uduk mengisi hatiku, tiada yang menandingi rampok baru yang nomer dua pasar kebayoran lama itu. Semua karena bapak. Hidup memang hanya begini saja, maka pastikan mengisinya dengan hal-hal yang berguna. Oke.

Tiada yang 'kan mengubah cintaku padamu

Wednesday, July 31, 2024

Petualanganku di Seputar Tugu Tani, Segitiga Senen


Apa pernah seperti ini, bersama cintaku di tengah hari bolong yang terik membakar begini, selain kulaungkan di bilangan Uilenstede di depan kulkas. Bagaimana pula 'kan 'ku kisahkan petualanganku di seputar tugu tani, segitiga senen, sedang sudah malas sekali aku merinci apa-apa yang terjadi pada badanku, kecuali pikiranku. Aku hanya ingat, di Sabtu itu udara sudah panas membakar seperti ini. Ah, cintaku kembali. Adakah yang mencintaiku. Tentu ibu mencintaiku lebih dari segala-galanya di seluruh dunia ini, meski tidak adik-adikku. Kami semua dicintai, teramat.
Kuteguk-teguk air hangat yang menyehatkan jiwa raga, bukan sekadar karena airnya, karena itulah azimat dari ibu, nasihat ibu, pesan ibu, yang akan kuingat sepanjang hayat. Dan di mana pun aku berada, nasihat ibu bukan sekadar pedomanku, melainkan azimat. Keramat. Seperti cantik menyayangi segenap jiwa raga kambing yang dilahirkannya, seperti itulah kasih-sayang ibu padaku. Menyelimutiku seperti kepompong sutra yang hangat menyamankan, nyaman menyejukkan, yang meski direbus, dibakar, dipanggang betelgeus pun tidak akan rusak, mustahil akan sirna.

Akan kupasang semua gambar yang kuambil di seputaran tugu tani, meski tidak benar-benar ada dari segitiga senen. Biar apa... tadi cantik tiba-tiba datang dan seperti biasa kuhentikan semua kegiatanku untuk bersamanya. Yang jelas, kubiarkan Putra Damanik mendentam dan mendeburkan pendengaranku dengan racikan asmara terkalibrasinya. Mungkin akan kutoyor bocah yang membuat liriknya, sekaligus penggubah lagunya, yang memang candu 'abis. Di bawah ini akan segera kupasang pemandangan lapangan tempat tugu tani dari ketinggian lantai sembilan, dari suatu pagi.
Ya, baru saja kuingat bahwa dulu ia dikelola oleh Hyatt seperti halnya yang di Senayan dulu oleh Hilton. Keterangan ini penting, karena Ambassador mulai menjadi Hyatt Aryaduta pada tahun kelahiranku. Nah, kata Ci Wen, jadi ketahuan 'kan umur 'lo. Memang bersejarah sekali, karena masih ada bak mandinya. Di titik ini, aku membatin, seperti apa pemandangan ke arah utara, yang gambarnya, pada Senin, 29 Juli 2024 tampak seperti di bawah itu. Seperti apa ia 50 tahun sebelumnya, apakah masih ada yang mandi di Ciliwung perkasa, di meander gang prapatan ini.

Hei, meski Arthur masih terpesona, aku sudah tidak merasakan apa-apa. Ke mana perginya pesona tujuh tahun lalu itu, seekor merpati putih itu. Pergi saja kau, memang aku sudah tidak peduli. Hanya saja malam ini bersama Arthur, harus kuakui, kami masih sama-sama terpesona. Malam-malam ketika aku terbangun, turun membeli sebotol besar air botolan, tiga bungkus kerupuk legendaris, masih ditambah secangkir plastik minuman jahe merah. Aku bahkan tidak mulai mengitiki ketika itu, takut tambah tidak bisa tidur. Maka aku hanya membaca-baca bersama kegondrongan.
Uah, untung masih tertancap dia di situ. Padahal sudah kupindah. Padahal tadi, ketika diajak jatuh cinta, ia tiba-tiba tercekat. Itu lihat di sudut kanan bawah gambar di atas, ada mushala atau malah mesjid kecil di situ. Apakah dari situ datangnya tarhim yang membangunkanku, yang membuatku sholat qobliyah subuh. Mencoba tidur lagi setelah subuh, gagal. Mencoba mengetiki sambil menunggu jam enam agak lewat, akhirnya turun sarapan. Diganggu Prof. Sedar, lalu Pak Ilham, HP-11CB hanya teronggok di situ. Tidak. Tempatku di sini, di kamarku sendiri sini.

HP-11CB ini pelantangnya sedap-sedap renyah begini. Aku memang tidak terlalu membutuhkan dentam berdebam kecuali yang memang kusumpalkan di telinga, meski aku bersyukur tivi pintarku mantap pelantangnya. Bahkan bass orkes telerama pengirim oom Boudewijn Maulana sampai terdengar sedap berdentam-dentam. Apa setelah ini aku masih sanggup menghasilkan entri yang lebih koheren dari ini, atau langsung mencoba tidur, entahlah. Rasanya aku masih ingin berkarya. Aku tidak rela tidur sedang hanya entri inkoheren ini hasilnya. Aku tidak tahu. 

Thursday, July 25, 2024

...atau Sekadar Karya Seni Cantik, Dingin, Kesepian


"Kamu 'gak tahu sih betapa indah syahdunya." Seperti biasa tiada tanggapan, karena aku memang tidak berbicara kepada siapapun secara khusus. Aku berbicara pada diriku sendiri, kenangan akan khayalan-khayalan yang tidak pernah dan tidak akan terwujud. Waktu-waktu yang telah berlalu bagai mimpi. Apa ini aroma kamarku dan seluruh rumah sewaan di Sint Antoniuslaan itu yang melintas di indera penciuman, atau sekadar khayalanku; atau aroma rumah sewaan yang penuh berdebu dengan perabotan tua. Rumah yang seharusnya cocok bagi suasana pedesaan, namun sekelilingnya sudah berubah menjadi perkotaan. Uah!
Mataku menatap kosong ke udara malam, seperti malam-malam yang pernah kutatap kosong. Apakah di metromini jurusan Blok M atau Pasar Minggu, dari Pasar Minggu atau Manggarai, bahkan Kemayoran Gempol ke Pasar Senen. Kusebut nama tempat-tempat ini, ketika malam sudah menjelang larut dan perutku penuh berisi kuah soto dan sayuran. Tentu ada sedikit nasi merah dan suwiran daging dada ayam. Malam-malam begini jangan masih di luar di manapun. Lebih baik sudah di kamar dengan tirai gulung yang seingatku hijau juga, hanya saja lebih cerah ceria.

Apakah malam-malam mengetiki kebangsaan Indonesia di akhir abad keduapuluh, atau sekarang masih begitu juga di abad keduasatu yang sudah beranjak hampir seperempatnya. Jari-jariku lemah tak mengepal meski lengan-lenganku masih menggapai-gapai langit malam, mempertontonkan ketiakku yang masih beberapa hari dicukur klimis. Aku telanjang dada memang, keringat membasahi kepalaku berambut tinggal seadanya. Keindahan ini terus membelaiku hampir selama empat puluh tahun terakhir ini, seakan belaian kasih-sayang ibuku yang aku telah lupa.

Keindahan tiada henti menderu menerpa. Dari mana datangnya, bagaimana caranya. Mie goreng jumbo biru rasa ayam panggang sebungkus kemudian sekardus lengkap dengan kompor satu tungkunya. Minyak tanah, dengan sumbunya yang seperti kaus lebih praktis menggantinya dibanding yang bersumbu banyak. Beberapa kali digunting jika sudah gosong terbakar, membuat apinya kemerahan dan berasap banyak. Jika baru digunting aduhai apinya biru cantik membakar sempurna, memasak berbagai-bagai pun oblok-oblok tauge tahu matang.

Kesakitan demi kesakitan deru-mendera, terus menerpa, disusul kesakitan yang entah kapan 'kan sirna. Sesampainya di sini bisa jadi sudah malam, aku lupa. Televisi tidak ada, hanya radio saja lamat-lamat melangutkan lagu-lagu dari dua tiga dekade lampau. Bisa jadi asap rokok dan uap kopi terus mengepul-ngepul. Bisa jadi bacaan demi bacaan susul menyusul. Permadani kecil namun cukuplah untuk telentang sepanjang 171 cm. Hanya ada itu, lalu meja tulis yang jaya, lantas rak buku kecil nan bersahaja. Diganti Fujitsu yang tak pernah terbang seperti mesin tik hijau. 

Diganti promag yang akan dilahap beberapa butir karena tidak merayakan ulang-tahun. Jalan lewat belakang situ sampai ada McD-nya di tempat parkir, masih enak kemakmuran sapinya, kapal uapnya. Terkadang berjalan ke Plasa Semanggi ketika masih ramainya, pulang dengan taksi uang dari mana. Aku masih punya kamar sendiri ketika itu, lantas segera saja kutinggalkan kembali ke sini, ke tepian Cikumpa. Memandangi jalan Blok M yang lengang pada pukul setengah sepuluh malam, begitu damainya. Terlebih dengan Maria Elena berjungkat-jangkit begini-begitu.

Aku mencelat ke lantai dua Yulimar yang tiada ingatanku mengenainya, kecuali ketika datang, di dapur kecilnya yang permai, aku memasak Indomie. Kompornya bersumbu banyak, harus disundut dengan lidi. Hei, aku ingat ada sundutan khusus dari logam. Tidak ada kainnya, namun ujungnya seperti bersarang begitu. Dicelupkan ke dalam tangki, ia akan menahan sedikit minyak tanah di sarangnya itu, sehingga berkobarlah sedikit api cukup untuk menyulut sumbu. Adakah disulut sedikit berkeliling, mungkin saja. Memasak sup dengan mie basah, sayang gagal.