Rasanya seperti tersasar, berbaring dalam pelukan. Itulah jika daya cinta bekerja. Kalau daya kuda lain lagi. Mengapa aku tidak bisa membuat kalimat yang pendek-pendek saja. Mengapa kepalaku tidak bisa berhenti membuat bunyi-bunyian tak berbentuk tak bermakna. Mengapa tuyul anti pesawat udara terdampar di jalan masuk terminal Cimone yang sudah berubah menjadi embung. Mengapa perutku menggembung. Terkadang aku takut, tapi aku siap belajar mengenai daya cinta. Sudah dari sekitar 35 tahun yang lalu sebenarnya, ketika gitarku baru setaraf burung kakatua.
Dua nama muncul jika berpasokan udara: Syukran Wahyudi Makmun dan Abdul Qodir bin Agil. Uah, kenapa batangan semua, tak sedap dipandang mata hati. Bahkan malam-malam menjadi lebih baik ketika saling mendua, dua-duanya perempuan. Jika perut menggembung begini sulit bagi hati untuk mencinta, maka kembali saja aku ke Cimone Gama I No. 26. Pasokan udara bersampul dominan ungu, salah satu dari oleh-oleh yang jarang sekali dibawa pulang bapak. Itulah. Bapak memang tidak pernah punya cukup uang sepanjang hidupnya untuk seperti-seperti itu.
Apalagi malam ini, 'ku rasa aku memang sudah kelas tiga. Mustahil aku asal-asalan mainan compo pemutar kaset dek ganda di ruang kegiatan bersama (RKB) jika aku belum yang paling senior. Dari mana 'ku dapatkan kaset kosongnya, 'ku rasa beli ketika pesiar. Apa malam minggunya, lalu Minggu kuduplikasi kasetnya Syukran ke situ. Begitu pula kaset Nat King Cole Bu Eko, bagaimana aku sampai bisa tahu beliau kagungan itu. Mana teh yang 'ku sanding rasanya mirip-mirip dengan teh manis jambu RKB, atau perasaanku saja. Ah, kurang dua orang kesepian di dunia malam ini.
Sebagai seorang pahlawan kekuatan dan sihir, sudah pada tempatnya jika aku memakai artefak. Sejauh ini aku punya tiga artefak, yakni: (1) cincin giok Aceh wasilah kesehatan lahir; (2) kalung kinyang air wasilah kesehatan batin; (3) cincin akik hijau Tasik penghimbau keberuntungan. Tidak 'ku pakai semua hari ini, hanya giok Aceh dalam gambar di bawah. Gioknya Aceh, tehnya Tong Tji Tegal, badannya sehat segar sarira, hatinya lega lila mau sekalian dikawin atau dibeginikan tiap hari juga tidak apa-apa. Ngomong asal sembarangan njeplak memang sedapnya aduh terasa.
Sebuah entri jika ilustrasinya sampai dua berarti istimewa meski tidak juga. Di jagad gondrong ini, istimewa dan biasa seia-sekata seperti yoni kemasukan lingga. Yoni berkata lingga mengangguk-angguk mengiyakan sambil berseru trilili lili lili lili. Di sini aku kembali ke G10 bersama almarhum Ari Setiawan yang entah bagaimana datang-datang sudah bawa kaset. Apa ada pemutarnya juga aku lupa. Namun dari mana lagi sampai terngiang berbagai-bagai Iwan Fals sampai Def Leppard jika tak'da pemutarnya. Berani sekali kopral, aku pun baru punya walkman kelas dua.
Ari Setiawan nyatanya tidak bisa hidup, jika hidup itu tanpa aku. Setelah berdinas ia sempat mengirimiku email. Meski sekamar waktu kelas satu, 'ku rasa aku tidak pernah benar-benar akrab dengannya. Bagaimana Apix Prihantoro dan Budi Agus Dharma yang sejak TK sampai elek selalu bersama, bahkan sekarang masih sering ketemuan. Di sini baru 'ku sadar, aku tidak punya teman. Temanku hanya macan gondrong ini yang tiada lain adalah diriku sendiri. Apa yang 'ku kira teman selama ini ternyata kesendirian dan kesepianku sendiri. Cinta muda sudah sejak kelas 4 SD.
Memilikimu dekatku seperti ini sungguh sedapnya, mau dipandang dari sebelah manapun. Aku terbiasa denganmu yang seperti sekarang ini. Aku tidak punya kenangan apapun ketika kamu kurus. Agak lebih kurus dari ini mungkin pernah, tapi aku tidak begitu suka. Aku sukanya kamu yang sekarang ini, meski kau kata aku menggelitiki. Biarlah begini. Biar hidupku berakhir dengan kenangan ini. Aku belum lagi tahu adakah kenangan dibawa mati atau tidak, seperti mimpi yang masih teringat setelah bangun. Dibawa atau tidak, aku mau kamu yang seperti ini, Cinta.
Dua nama muncul jika berpasokan udara: Syukran Wahyudi Makmun dan Abdul Qodir bin Agil. Uah, kenapa batangan semua, tak sedap dipandang mata hati. Bahkan malam-malam menjadi lebih baik ketika saling mendua, dua-duanya perempuan. Jika perut menggembung begini sulit bagi hati untuk mencinta, maka kembali saja aku ke Cimone Gama I No. 26. Pasokan udara bersampul dominan ungu, salah satu dari oleh-oleh yang jarang sekali dibawa pulang bapak. Itulah. Bapak memang tidak pernah punya cukup uang sepanjang hidupnya untuk seperti-seperti itu.
Apalagi malam ini, 'ku rasa aku memang sudah kelas tiga. Mustahil aku asal-asalan mainan compo pemutar kaset dek ganda di ruang kegiatan bersama (RKB) jika aku belum yang paling senior. Dari mana 'ku dapatkan kaset kosongnya, 'ku rasa beli ketika pesiar. Apa malam minggunya, lalu Minggu kuduplikasi kasetnya Syukran ke situ. Begitu pula kaset Nat King Cole Bu Eko, bagaimana aku sampai bisa tahu beliau kagungan itu. Mana teh yang 'ku sanding rasanya mirip-mirip dengan teh manis jambu RKB, atau perasaanku saja. Ah, kurang dua orang kesepian di dunia malam ini.
Sebagai seorang pahlawan kekuatan dan sihir, sudah pada tempatnya jika aku memakai artefak. Sejauh ini aku punya tiga artefak, yakni: (1) cincin giok Aceh wasilah kesehatan lahir; (2) kalung kinyang air wasilah kesehatan batin; (3) cincin akik hijau Tasik penghimbau keberuntungan. Tidak 'ku pakai semua hari ini, hanya giok Aceh dalam gambar di bawah. Gioknya Aceh, tehnya Tong Tji Tegal, badannya sehat segar sarira, hatinya lega lila mau sekalian dikawin atau dibeginikan tiap hari juga tidak apa-apa. Ngomong asal sembarangan njeplak memang sedapnya aduh terasa.
Sebuah entri jika ilustrasinya sampai dua berarti istimewa meski tidak juga. Di jagad gondrong ini, istimewa dan biasa seia-sekata seperti yoni kemasukan lingga. Yoni berkata lingga mengangguk-angguk mengiyakan sambil berseru trilili lili lili lili. Di sini aku kembali ke G10 bersama almarhum Ari Setiawan yang entah bagaimana datang-datang sudah bawa kaset. Apa ada pemutarnya juga aku lupa. Namun dari mana lagi sampai terngiang berbagai-bagai Iwan Fals sampai Def Leppard jika tak'da pemutarnya. Berani sekali kopral, aku pun baru punya walkman kelas dua.
Ari Setiawan nyatanya tidak bisa hidup, jika hidup itu tanpa aku. Setelah berdinas ia sempat mengirimiku email. Meski sekamar waktu kelas satu, 'ku rasa aku tidak pernah benar-benar akrab dengannya. Bagaimana Apix Prihantoro dan Budi Agus Dharma yang sejak TK sampai elek selalu bersama, bahkan sekarang masih sering ketemuan. Di sini baru 'ku sadar, aku tidak punya teman. Temanku hanya macan gondrong ini yang tiada lain adalah diriku sendiri. Apa yang 'ku kira teman selama ini ternyata kesendirian dan kesepianku sendiri. Cinta muda sudah sejak kelas 4 SD.
Memilikimu dekatku seperti ini sungguh sedapnya, mau dipandang dari sebelah manapun. Aku terbiasa denganmu yang seperti sekarang ini. Aku tidak punya kenangan apapun ketika kamu kurus. Agak lebih kurus dari ini mungkin pernah, tapi aku tidak begitu suka. Aku sukanya kamu yang sekarang ini, meski kau kata aku menggelitiki. Biarlah begini. Biar hidupku berakhir dengan kenangan ini. Aku belum lagi tahu adakah kenangan dibawa mati atau tidak, seperti mimpi yang masih teringat setelah bangun. Dibawa atau tidak, aku mau kamu yang seperti ini, Cinta.