Para pembaca setia (halah!) mungkin sudah muak dengan entri-entri penuh pengode-ulangan dari kode terkode-kode di mana pesan utamanya adalah yang baju merah jangan sampai lolos. Maka di entri ini aku akan mencoba menulis [bukan mengitiki] yang normal-normal saja. Tidak ada kode, tidak ada ide cerdik. Topik biasa saja, seperti indomie telor. Jika di sana-sini masih ditemukan hiperbola atau melankoli. mohon dimaafkan. Ketahuilah, pura-pura normal itu sungguh melelahkan, dan aku sudah tua. Pura-pura normal memakan energi mental yang tidak sedikit.
Begitu pula, jika entri ini tidak rata kanan-kiri, mohon dimaafkan. Bisa jadi jumlah baris per paragrafnya tidak sama, ini juga mohon dimaafkan. Mungkinkah lebih dari tujuh paragraf, jangan keterlaluan. Siapa yang menyuruhku melakukan ini semua, tidak ada. Semua ini memang hanya ada dan selalu ada di kepalaku sendiri, jadi mohon dimaafkan. Indomie telornya mana, ini sebentar lagi. Apologia apa lagi yang harus 'ku buat, ya. Ah, sudahlah, mari kita memulai petualangan bersama indomie telor. Maafkan aku jika masih terus saja berusaha membuatnya delapan baris.
'Ku mulai dengan teknik kilas-balik. Baru saja ini aku memakan indomie telor rasa ayam bawang diberi saus sambal sasetan dua macam, d'besto punya dan del monte ekstra pedas. Sambil menyantap gurih-gurihnya menggoyang lidah kian-kemari, sambil membaca-baca mengenai pahlawan-pahlawan [yang menggunakan] kekuataan [fisik] dan sihir, anganku melayang pada indomie telor-indomie telor yang pernah 'ku santap. Pertama tentu saja di ruang approach sentra operasi penerbangan bandar udara Cengkareng, 'ku rasa, sekitar 1986. Ikut bapak dinas pagi belum sarapan, maka dibelikanlah indomie untukku dan adikku.
Ketika datang indomienya aku terkesiap: pakai telor! Adikku tanpa banyak tanya langsung tekun menyantap. Aku lupa apakah 'ku terpaku, namun aku masih ingat sekali perasaan ingin protes. Sejak kapan aku makan indomie pakai telor, aku 'kan tidak tahan amisnya, begitu batinku. Namun tentu saja itu semua hanya dalam hati. Tak mungkin pula aku minta ganti baru, bisa dijitak bapak. Maka dengan hati ditabah-tabahkan 'ku makan juga indomie telorku, dan ternyata... enak! Sejak itulah aku tidak pernah takut pada indomie telor. Bahkan aku hampir selalu memasak atau memesan indomie dengan telor kecuali kalau sedang tidak ingin.
Sesungguhnya, sejak indomie telor pertamaku ini sampai jaman AAL, aku gagal mengingat momen spesialku bersamanya. Doremi soto dan michiyo sop ayam paris memang takkan terlupa, dan kemungkinan besar bertelor. Namun mie-mie instanku sepanjang SMA sudah tentu dalam mug aluminium dan tanpa telur, kecuali... ya, kecuali mie dalam karantina, baik sebelum dan sesudah ada klinik. Jika dimasak pembantunya dr. Tien Tien telurnya dikocok, jika dimasak Pak Sachid aduhai jadi kubis rebus ada mienya sedikit, aku sampai lupa ada telurnya tidak. Pokoknya full kubis.
Kenangan menghabiskan enam cangkir mie instan ketika wisuda jurit tidak perlu dirinci di sini, karena mereka tak bertelor. Justru ketika nyoro di ruang karantina penyakit menular legendaris spesial pakai telor (SPT) terjadilah. Jika sebelum-sebelumnya kebanyakan mie rebus, maka SPT ini mayoritasnya indomie goreng, diberi bercabai rawit pula. Benar-benar spesial! Adakah ketika kumpul octopussy atau korjek mukbang ngecop indomie telor satu ember, bisa jadi. Jelasnya, aku pernah siang-siang makan SPT di kantin Kodikal, apakah goreng atau rebus tiada ingat.
Tinggal satu paragraf, maka 'kan 'ku devosikan pada sepiring indomie goreng jumbo biru rasa ayam panggang itu, yang piringnya seingatku fancy, dari melamin. Namun terlebih penting adalah sumpit yang fancy, mungil begitu bentuknya. Jika kemudian ia menjadi satu kardus, tak mungkin jika tanpa kode meski selapis. Di sini bisa jadi aku sibuk dengan kode, namun memang paragraf ketujuh ini sudah ditakdirkan. Apa 'ku melompat saja ke indomie telor Mang Ade Madris, aku lupa apakah berkornet. Bisa jadi, yang jelas mustahil berkeju karena itu Baron Depari.
Begitu pula, jika entri ini tidak rata kanan-kiri, mohon dimaafkan. Bisa jadi jumlah baris per paragrafnya tidak sama, ini juga mohon dimaafkan. Mungkinkah lebih dari tujuh paragraf, jangan keterlaluan. Siapa yang menyuruhku melakukan ini semua, tidak ada. Semua ini memang hanya ada dan selalu ada di kepalaku sendiri, jadi mohon dimaafkan. Indomie telornya mana, ini sebentar lagi. Apologia apa lagi yang harus 'ku buat, ya. Ah, sudahlah, mari kita memulai petualangan bersama indomie telor. Maafkan aku jika masih terus saja berusaha membuatnya delapan baris.
'Ku mulai dengan teknik kilas-balik. Baru saja ini aku memakan indomie telor rasa ayam bawang diberi saus sambal sasetan dua macam, d'besto punya dan del monte ekstra pedas. Sambil menyantap gurih-gurihnya menggoyang lidah kian-kemari, sambil membaca-baca mengenai pahlawan-pahlawan [yang menggunakan] kekuataan [fisik] dan sihir, anganku melayang pada indomie telor-indomie telor yang pernah 'ku santap. Pertama tentu saja di ruang approach sentra operasi penerbangan bandar udara Cengkareng, 'ku rasa, sekitar 1986. Ikut bapak dinas pagi belum sarapan, maka dibelikanlah indomie untukku dan adikku.
Ketika datang indomienya aku terkesiap: pakai telor! Adikku tanpa banyak tanya langsung tekun menyantap. Aku lupa apakah 'ku terpaku, namun aku masih ingat sekali perasaan ingin protes. Sejak kapan aku makan indomie pakai telor, aku 'kan tidak tahan amisnya, begitu batinku. Namun tentu saja itu semua hanya dalam hati. Tak mungkin pula aku minta ganti baru, bisa dijitak bapak. Maka dengan hati ditabah-tabahkan 'ku makan juga indomie telorku, dan ternyata... enak! Sejak itulah aku tidak pernah takut pada indomie telor. Bahkan aku hampir selalu memasak atau memesan indomie dengan telor kecuali kalau sedang tidak ingin.
Sesungguhnya, sejak indomie telor pertamaku ini sampai jaman AAL, aku gagal mengingat momen spesialku bersamanya. Doremi soto dan michiyo sop ayam paris memang takkan terlupa, dan kemungkinan besar bertelor. Namun mie-mie instanku sepanjang SMA sudah tentu dalam mug aluminium dan tanpa telur, kecuali... ya, kecuali mie dalam karantina, baik sebelum dan sesudah ada klinik. Jika dimasak pembantunya dr. Tien Tien telurnya dikocok, jika dimasak Pak Sachid aduhai jadi kubis rebus ada mienya sedikit, aku sampai lupa ada telurnya tidak. Pokoknya full kubis.
Kenangan menghabiskan enam cangkir mie instan ketika wisuda jurit tidak perlu dirinci di sini, karena mereka tak bertelor. Justru ketika nyoro di ruang karantina penyakit menular legendaris spesial pakai telor (SPT) terjadilah. Jika sebelum-sebelumnya kebanyakan mie rebus, maka SPT ini mayoritasnya indomie goreng, diberi bercabai rawit pula. Benar-benar spesial! Adakah ketika kumpul octopussy atau korjek mukbang ngecop indomie telor satu ember, bisa jadi. Jelasnya, aku pernah siang-siang makan SPT di kantin Kodikal, apakah goreng atau rebus tiada ingat.
Tinggal satu paragraf, maka 'kan 'ku devosikan pada sepiring indomie goreng jumbo biru rasa ayam panggang itu, yang piringnya seingatku fancy, dari melamin. Namun terlebih penting adalah sumpit yang fancy, mungil begitu bentuknya. Jika kemudian ia menjadi satu kardus, tak mungkin jika tanpa kode meski selapis. Di sini bisa jadi aku sibuk dengan kode, namun memang paragraf ketujuh ini sudah ditakdirkan. Apa 'ku melompat saja ke indomie telor Mang Ade Madris, aku lupa apakah berkornet. Bisa jadi, yang jelas mustahil berkeju karena itu Baron Depari.