Sunday, March 16, 2025

Hari yang 'Ku Sangka Takkan Pernah Lebih dari Satu


Ketika 'ku melintas di mulut Haji Nawi tadi, terlintas suatu nostalgi yang mendalam padaku dari lebih 20 tahun lalu. Kala itu mungkin lepas Maghrib, yang ada baru Pakin. Itu pun tiada. Jangankan Bunbun, Adjie saja belum ada kala itu. Ibu mengutusku membeli capcay dan mungkin menu lainnya lagi. Aku ingat badanku terasa segar ketika itu, sehabis mandi. 'Ku rasa aku naik Metro Mini S.72, yang waktu itu sudah belok kanan ke arah Pondok Indah lanjut Lebak Bulus. Berarti aku berjalan kaki ke gerobak pinggir jalan itu, s'orang lelaki akhir 20-an yang hancur-lebur.
Seorang lelaki pasti mengalami berbagai-bagai kejadian dalam hidupnya. Kejatuhanku, kebangkitannya kembali pasti tidak ada apa-apanya jika dibandingkan lebih banyak lelaki lain di dunia sepanjang sejarahnya. Sayangnya aku lupa menu selain capcay yang 'ku beli petang itu, apakah Bapak juga ikut dahar. Pada ketika itu, Bapak kira-kira seusia Pak Hadi Reog sekarang. Masih jos seingatku, sedang ikut bertempur dalam perang maskapai penerbangan sepanjang 2000-an di Indonesia. Aku kini bahkan lebih muda dari Bapak kala itu; se-Bapak ketika Pakin dalam kandungan. 

Kini aku di dalam akuarium lagi, memandangi jalan profesor Nugroho Notosusanto, sayap kanan atau utara Masjid Ukhuwah Islamiyah yang diguyur hujan. HP-11CB menyenandungkan lamat-lamat hujan dan air mata, meski tak setetes pun membasahi pipi siapapun. Puji syukur 'ku panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah menurunkan hujan setelah aku selamat sampai di dalam akuarium, atau mungkin lebih tepatnya terrarium atau herbarium. Semacam kandang reptil yang ada di Ragunan itu. Aku di dalamnya memandangi hujan mengguyur pelataran.

Meski sudah banyak sekali celoteh kode 'ku hamburkan di sini--celoteh, karena tidak bisa dinyanyikan--aku terus saja melakukannya sampai detik ini. Hujan mereda begitu saja, ditingkahi guruh di kejauhan agak dekat. Tiba-tiba terlintas kenangan Bapak mundut soto tangkar sedang samparannya bengkak, lenggah di kursi roda. Sedang aku tentu saja semacam nasi ramesan, entah mengapa tumis jamur tiram cabai hijau yang ada tahu gorengnya terbayang, meski mungkin cuma khayalan orang sedang puasa saja. Guruh guntur bersahut-sahutan sendu dari arah barat.

Aku selalu tahu ada tuba atau sousafon meningkahi bait-bait kedua dari anak-anak buku cerita, sebagaimana aku dapat menduga bahwa Sandra dan Andres--seperti halnya kucing-kucing Volendam--bukan orang-orang yang berbahasa ibu Inggris. Meski harus 'ku akui, aku tidak pernah menduga kalau permintaan untuk tersenyum bagiku diajukan oleh macan-macan Jepang. Hahaha kode-kode epik yang takkan terpecahkan meski dengan enigma sekalipun. Hanya yang memiliki kenangan-kenangan manis keemasan yang dapat menguraikannya, bakteri takkan sanggup.  

Ketika 'ku sangka hujan sudah sepenuhnya reda, ia turun lagi, membuat sedih orang-orang yang tidak membawa payung. Semoga mereka tidak memaki, malah mendesah membumbungkan ampun kepada Sang Pengampun di bulan suci Ramadhan 1446 H nan mulia ini. Masya Allah, hujan kembali deras. Ketika 'ku ingat-ingat tahun-tahun awal 2020-an, begitu saja aku ngeloyor entah sejak kapan. Sejak sate entah-entah setusuk dengan lontong beberapa potong seharga 50 Rupiah sampai nasi uduk bala-bala bersiram kuah seharga itu, aku suka caramu mencintaiku.

Begitu saja dalam satu alinea hujan reda lagi. Untung aku belum pergi ke Alfamart Psiko. Lagipula jalan ke sana sekarang pasti sudah becek-becek. Apa yang dirasakan Bapak ketika masih tinggal di pavilyun atau kamar tengah jalan radio dan ketika kembali ke sana di akhir abad ke-20. Seberapa berbedakah, setelah berbagai kesakitan dan tentu juga kebahagiaan-kebahagiaan kecil. Jelasnya, pada saat itu, saat seumurku ini, Bapak sudah haji. 'Ku rasa Bapak tidak pernah umroh seumur hidupnya. Seperti itulah aku juga. Aku ingin haji sekali saja meskipun jatah diktator.

No comments: