Meski yang kusanding ini tidak ada tehnya, entah apa pula yang disebutnya susu, namun jahenya berganda-ganda, termasuk berbagai rempah serbat. Citra ini, meski dari waktu-waktu yang lebih lama lagi, bagiku tidak lebih dari jet penumpang berbadan sempit yang membawaku dari Jakarta ke Surabaya, dilanjut taksi ke Lamongan. Begitu saja aku memesan kamar di Hotel Kabila, tepat di sebelah Masjid Jami' Nur Salim, dan langsung jatuh sakit. Ketika itu bulan puasa. Alhamdulillah aku tak sampai membatalkan puasa, berbuka dan bersahur dengan nasi boranan.
Berapa lama aku di Lamongan, aku tak ingat. Berapa banyak uang yang kuterima dari Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Perikanan dan bagaimana caranya, apakah tunai atau ditransfer, itu pun lupa. Ramadhan 1432 itu, atau sepanjang Agustus 2011 itu, kuhabiskan setengahnya di India setengahnya di Lamongan, itu saja yang kuingat. Sekitar tiga bulan kemudian, bapaknya Soni meninggal karena stroke, setelah membawakan lagu-lagu Koes Plus untuk kali pertama di atas panggung. Belum sempat ia menyanyikan Dewi Impian, tatapan sudah kosong, lidah pun sudah kelu.
Cukuplah kisah sedih di hari minggunya, kini kita berbicara mengenai Nyai Ontohood. Namun baru saja menuliskannya aku sudah kehilangan gairah. Entah mengapa sudah berhari-hari ini aku tiada bergairah, yang mana adalah sesuatu yang baik. Di pojok kanan bawah gambar di atas itulah dapat ditemukan kepala dugong biru. Memang kalau lebih dekat lagi dengan duyung pirangnya akan terlihat tidak realistis. Kurasa jarang sekali, jika bukan baru kali ini, aku mendeskripsikan gambar. Tiba-tiba hidung mengingat aroma citarasa khas Super Bihun buatan Kuala Pangan.
Sedang kepalaku mengenang Minak Djinggo buatan Nojorono, Kudus, aku tidak punya kenangan apa-apa mengenai Kudus. Kenanganku dengan Minak Djinggo selalu di tebing bantaran Ciliwung, setolol-tololnya dengan mesin tik portabel berwarna hijau. Tidak banyak yang kuingat mengenai apa yang biasa kumakan saat itu, apakah memasak sendiri atau beli. Buku-buku yang tidak banyak, hanya satu rak kecil. Di situ jugalah kurasa aku menamatkan Quo Vadis oleh Henryk Sienkiewicz dan banyak bacaan lainnya, sedang naskah Opera Primadona kutamatkan di Gang Pancoran.
Aku tidak sedih meski tak lagi bisa asal-asalan sarapan Hokben atau McD, yang uangnya boleh didapat dari mengemis. Tak apalah, seperti pagi ini, sarapan dengan nasi hampir basi gara-gara ketololanku sendiri, menyimpan nasi di kontainer bekas menyimpan nasi yang umurnya lebih lama. Dalam keadaan seperti ini aku jadi sering berkhayal-khayal mengenai masak-masakan. Seperti semalam aku membayangkan sayur lodeh lengkap berlauk balado aneka isian. Semua orang baru bahkan melontarkanku ke Gang Pepaya: Panas dinginnya terkenang permainya.
Apa tidak boleh di sepanjang peron ada kios-kios orang berjualan. Apa tidak bisa dibuatkan pintu masuk khusus pemilik, penyewa, pengelola kios-kios itu. Apa lebih baik peron lengang terasa mubazir seperti sekarang. Buku-buku tua itu, ketika mataku belum rabun dekat, sungguh merupakan salah satu hiburan utama. National Geographic edisi tua ternyata juga menyenangkan Achmad Sulfikar, entah berapa banyak yang habis terbakar. Makanan memang tidak ada yang terlalu terkenang, bahkan tidak pula siomaynya; kecuali mungkin nasi uduk jauh ke selatan.
Ke situlah aku pulang setelah petualanganku ke India dan Lamongan. Adalah kurasa duduk sebentar di meja kerja abangnya Sopuyan yang sungguh makan tempat itu, merenungi bahan-bahan yang kudapat mengenai rencana minapolitan kabupaten Lamongan, yang bahkan tidak pernah kukerjakan sampai sekarang. Aku memang terlalu banyak gaya. Kukira aku ini siapa, cendekiawan, akademisi, peneliti, keturunan raja-raja Jawa. Aku ini badut belaka, gendut, botak. Aku tak berharga, tiada arti. Kusirami diri sendiri dengan peluhku yang berderai bagai tawa gadis.
Berapa lama aku di Lamongan, aku tak ingat. Berapa banyak uang yang kuterima dari Balai Besar Penelitian Sosial Ekonomi Perikanan dan bagaimana caranya, apakah tunai atau ditransfer, itu pun lupa. Ramadhan 1432 itu, atau sepanjang Agustus 2011 itu, kuhabiskan setengahnya di India setengahnya di Lamongan, itu saja yang kuingat. Sekitar tiga bulan kemudian, bapaknya Soni meninggal karena stroke, setelah membawakan lagu-lagu Koes Plus untuk kali pertama di atas panggung. Belum sempat ia menyanyikan Dewi Impian, tatapan sudah kosong, lidah pun sudah kelu.
Cukuplah kisah sedih di hari minggunya, kini kita berbicara mengenai Nyai Ontohood. Namun baru saja menuliskannya aku sudah kehilangan gairah. Entah mengapa sudah berhari-hari ini aku tiada bergairah, yang mana adalah sesuatu yang baik. Di pojok kanan bawah gambar di atas itulah dapat ditemukan kepala dugong biru. Memang kalau lebih dekat lagi dengan duyung pirangnya akan terlihat tidak realistis. Kurasa jarang sekali, jika bukan baru kali ini, aku mendeskripsikan gambar. Tiba-tiba hidung mengingat aroma citarasa khas Super Bihun buatan Kuala Pangan.
Sedang kepalaku mengenang Minak Djinggo buatan Nojorono, Kudus, aku tidak punya kenangan apa-apa mengenai Kudus. Kenanganku dengan Minak Djinggo selalu di tebing bantaran Ciliwung, setolol-tololnya dengan mesin tik portabel berwarna hijau. Tidak banyak yang kuingat mengenai apa yang biasa kumakan saat itu, apakah memasak sendiri atau beli. Buku-buku yang tidak banyak, hanya satu rak kecil. Di situ jugalah kurasa aku menamatkan Quo Vadis oleh Henryk Sienkiewicz dan banyak bacaan lainnya, sedang naskah Opera Primadona kutamatkan di Gang Pancoran.
Aku tidak sedih meski tak lagi bisa asal-asalan sarapan Hokben atau McD, yang uangnya boleh didapat dari mengemis. Tak apalah, seperti pagi ini, sarapan dengan nasi hampir basi gara-gara ketololanku sendiri, menyimpan nasi di kontainer bekas menyimpan nasi yang umurnya lebih lama. Dalam keadaan seperti ini aku jadi sering berkhayal-khayal mengenai masak-masakan. Seperti semalam aku membayangkan sayur lodeh lengkap berlauk balado aneka isian. Semua orang baru bahkan melontarkanku ke Gang Pepaya: Panas dinginnya terkenang permainya.
Apa tidak boleh di sepanjang peron ada kios-kios orang berjualan. Apa tidak bisa dibuatkan pintu masuk khusus pemilik, penyewa, pengelola kios-kios itu. Apa lebih baik peron lengang terasa mubazir seperti sekarang. Buku-buku tua itu, ketika mataku belum rabun dekat, sungguh merupakan salah satu hiburan utama. National Geographic edisi tua ternyata juga menyenangkan Achmad Sulfikar, entah berapa banyak yang habis terbakar. Makanan memang tidak ada yang terlalu terkenang, bahkan tidak pula siomaynya; kecuali mungkin nasi uduk jauh ke selatan.
Ke situlah aku pulang setelah petualanganku ke India dan Lamongan. Adalah kurasa duduk sebentar di meja kerja abangnya Sopuyan yang sungguh makan tempat itu, merenungi bahan-bahan yang kudapat mengenai rencana minapolitan kabupaten Lamongan, yang bahkan tidak pernah kukerjakan sampai sekarang. Aku memang terlalu banyak gaya. Kukira aku ini siapa, cendekiawan, akademisi, peneliti, keturunan raja-raja Jawa. Aku ini badut belaka, gendut, botak. Aku tak berharga, tiada arti. Kusirami diri sendiri dengan peluhku yang berderai bagai tawa gadis.
No comments:
Post a Comment