Malam telah melewati tengah-tengahnya, namun aku masih tidak rela tidur seperti entah berapa malam dalam hidupku seperti ini. Ternyata sudah ada tempatnya maka segera saja aku mengetiki. Adakah terbersit kerinduan akan tulisan tangan, akan qalam kesayangan, buku tulis yang cantik bentuknya meski daur ulang dari beberapa buku tulis yang tidak habis terpakai, kemudian dijilid sampul keras. Aduhai semua itu sudah dari dasawarsa lalu bahkan lebih. Kini, ini yang kupunya, buku harian daring. Bisa kuketiki dengan Lenovo Aio 520 atau HP Cb 11, sama sajalah.
Jenggot, kumis, dan mungkin rambut kepala juga, meski di samping-samping dan belakang saja, hanya enam milimeter, menghiasi kepala bulat yang makin membulat karena pipi-pipi melembung. Aku jadi ingat musim panas 2018, menyusuri Molukkenstraat sampai hampir di ujungnya, menuju pangkas rambut Ramadhan hanya untuk digundul, sampai diberi diskon. Tentu saja terik matahari kala itu tiada seberapa dibanding yang kurasakan sekarang. Itu saja aku takut-takut, setakut kedinginan ketika pertama menjejakkan kaki di jalan itu. Di Javastraat ada lahmacun Saray.
Aku mundur lebih jauh lagi, hampir sepuluh tahun ketika aku bertahan satu cinta. Dengan gagah perkakas kupacu VarioSty ke mana-mana, tiada pernah ada keluhan ketika itu. Mungkin karena umurnya belum sampai lima tahun. Lima tahunnya adalah ketika aku mengepalai ICT Komintern, tidak sampai sepuluh tahunnya sudah menjadi milik Bu Nunung. Pada ketika itulah kira-kira aku naik ojek ke Pasaraya Manggarai, sambung Metro Mini S.62, sambung Miniarta M.04, sambung ojek sampai rumah. Betapa isengnya, saking takutnya naik kereta. Aku rasa baru 2019 berani.
Salahkah aku jika merindukan tembok tinggi berlubang, entah mengapa begitu desainnya, yang melaluinya dapat kupandangi sebarisan bambu di tepi Cikumpa sebelah Gema Pesona sana. Pada saat itulah bangun sebelum terang sekadar untuk berdiri di atas bordes, entah berdengung entah tidak, yang tidak mungkin kulakukan lagi saat ini. Aku belum memeriksanya. Mungkin masih bisa, tetapi untuk apa. Sekarang ini sudah akhir zaman, ingatlah nasihat Ustadz Adi Hidayat. Apakah kini waktunya kembali dipasangi pendingin udara dengan penghalang hembusan angin.
Kemarau, sayangnya, sedang melanda wajah desaku, hingga semakin pucat-pasi, tiada berseri. Entah mengapa, bukan sekadar hilang selera, aku bisa jengkel sekali melihat cuping telinga yang besar dan tebal, yang konon disukai orang Cina karena bawa hoki. Itu sekadar keanehanku saja, yang entah mengapa membawaku ke siang-siang di Cimone Beta Raya, di depan kedai nasi Ibu Toto, dan bibir yang selalu terlihat basah. Apakah ketika itu sudah ada pelembab atau pengilat bibir. Aku saja malas pakai selama musim dingin di Belanda. Aku hanya pernah ke Belanda, Belgia, Jerman.
Lantas aku terlempar ke malam-malam menunggu diterima tidaknya di SMA Taruna Nusantara. Aku pernah berak-berak, mungkin mencret, mungkin sampai kena celana, yang jelas sampai basah celana seragam SMP-ku. Kupakai berjalan kaki sepanjang dari rumah Rooseno Adi di daerah Cipete sampai rumahku di Radio Dalam. Apakah saat itu atau lainnya aku bertemu Sylvia teman SD-ku, berseragam SMP juga, di sekitar Pasar Blok A. Apakah ketika itu pula di kepalaku bersenandung cinta akan mengarahkanmu kembali, bisa jadi, meski tentu aku tiada seberapa yakin.
Kini aku tergulung-gulung berhembalang ke kemarau di kos Babe Tafran. Mungkin Intan dan teman-temannya sedang main di depan kamarku. Mengapa aku tidak ke mana-mana. Sakitkah aku. Ternyata aku tidak punya kenang-kenangan mengenai siang hari di kos Annisa kecuali ketika sakit demam beberapa hari, yang sampai memaksaku membeli parasetamol. Meski sakit, makan bubur snar guitar tanpa topping apapun kecuali korned goreng terasa nikmatnya. Begitu juga malam-malam masuk UI hanya 'tuk ke Alfamart beli nasi instan Garudafood rasa ayam bawang.
Jenggot, kumis, dan mungkin rambut kepala juga, meski di samping-samping dan belakang saja, hanya enam milimeter, menghiasi kepala bulat yang makin membulat karena pipi-pipi melembung. Aku jadi ingat musim panas 2018, menyusuri Molukkenstraat sampai hampir di ujungnya, menuju pangkas rambut Ramadhan hanya untuk digundul, sampai diberi diskon. Tentu saja terik matahari kala itu tiada seberapa dibanding yang kurasakan sekarang. Itu saja aku takut-takut, setakut kedinginan ketika pertama menjejakkan kaki di jalan itu. Di Javastraat ada lahmacun Saray.
Aku mundur lebih jauh lagi, hampir sepuluh tahun ketika aku bertahan satu cinta. Dengan gagah perkakas kupacu VarioSty ke mana-mana, tiada pernah ada keluhan ketika itu. Mungkin karena umurnya belum sampai lima tahun. Lima tahunnya adalah ketika aku mengepalai ICT Komintern, tidak sampai sepuluh tahunnya sudah menjadi milik Bu Nunung. Pada ketika itulah kira-kira aku naik ojek ke Pasaraya Manggarai, sambung Metro Mini S.62, sambung Miniarta M.04, sambung ojek sampai rumah. Betapa isengnya, saking takutnya naik kereta. Aku rasa baru 2019 berani.
Salahkah aku jika merindukan tembok tinggi berlubang, entah mengapa begitu desainnya, yang melaluinya dapat kupandangi sebarisan bambu di tepi Cikumpa sebelah Gema Pesona sana. Pada saat itulah bangun sebelum terang sekadar untuk berdiri di atas bordes, entah berdengung entah tidak, yang tidak mungkin kulakukan lagi saat ini. Aku belum memeriksanya. Mungkin masih bisa, tetapi untuk apa. Sekarang ini sudah akhir zaman, ingatlah nasihat Ustadz Adi Hidayat. Apakah kini waktunya kembali dipasangi pendingin udara dengan penghalang hembusan angin.
Kemarau, sayangnya, sedang melanda wajah desaku, hingga semakin pucat-pasi, tiada berseri. Entah mengapa, bukan sekadar hilang selera, aku bisa jengkel sekali melihat cuping telinga yang besar dan tebal, yang konon disukai orang Cina karena bawa hoki. Itu sekadar keanehanku saja, yang entah mengapa membawaku ke siang-siang di Cimone Beta Raya, di depan kedai nasi Ibu Toto, dan bibir yang selalu terlihat basah. Apakah ketika itu sudah ada pelembab atau pengilat bibir. Aku saja malas pakai selama musim dingin di Belanda. Aku hanya pernah ke Belanda, Belgia, Jerman.
Lantas aku terlempar ke malam-malam menunggu diterima tidaknya di SMA Taruna Nusantara. Aku pernah berak-berak, mungkin mencret, mungkin sampai kena celana, yang jelas sampai basah celana seragam SMP-ku. Kupakai berjalan kaki sepanjang dari rumah Rooseno Adi di daerah Cipete sampai rumahku di Radio Dalam. Apakah saat itu atau lainnya aku bertemu Sylvia teman SD-ku, berseragam SMP juga, di sekitar Pasar Blok A. Apakah ketika itu pula di kepalaku bersenandung cinta akan mengarahkanmu kembali, bisa jadi, meski tentu aku tiada seberapa yakin.
Kini aku tergulung-gulung berhembalang ke kemarau di kos Babe Tafran. Mungkin Intan dan teman-temannya sedang main di depan kamarku. Mengapa aku tidak ke mana-mana. Sakitkah aku. Ternyata aku tidak punya kenang-kenangan mengenai siang hari di kos Annisa kecuali ketika sakit demam beberapa hari, yang sampai memaksaku membeli parasetamol. Meski sakit, makan bubur snar guitar tanpa topping apapun kecuali korned goreng terasa nikmatnya. Begitu juga malam-malam masuk UI hanya 'tuk ke Alfamart beli nasi instan Garudafood rasa ayam bawang.
No comments:
Post a Comment