Gambar di bawah ini menjengkelkan. Apa harus diganti ya. Tapi sungguh aku malas melakukannya, jadi biarkan saja. Aku juga sudah tidak ingat mengapa aku memasangnya. Ya, memang aku sendiri yang memasangnya, dan ruang santai malam ini sungguh nyaman, jika saja sekelilingku tidak seramai ini. Tapi Suhu Yo sedang berulang-tahun yang ke-41. Alangkah sedihnya ia jika tidak ada yang menghadiri. Keinginan lemah untuk membeli pendingin udara dikalahkan oleh perasaan senang yang kuat karena tagihan listrik kami sangat sedikit, jadi biarlah begini apa adanya.
Merasa senang di manapun, kapanpun. Merasa senang ketika kezaliman merajalela, meski kezaliman bertahta. Aku baru sadar bangku rotan di setentangku sudah hilang. Memang sejak selesai shalat tadi, bahkan bangku plastik jingga yang kududuki lenyap. Terlebih penting, colokan listrik di belakangku sekarang sudah dicolok oleh penjual sandal di punggungku. Aku merasa seperti Frank Carpenter yang menginap di Hotel Des Indes sambil memandangi kesibukan kanal Molenvliet di pagi hari, kesibukan yang berbeda dari Nieuw Achtergracht dipandangi dari de Brug.
Mengetiki hanya caraku untuk berteman dengan tiada sesiapa kecuali diriku sendiri, yakni, suatu kehidupan yang mengerikan seandainya saja tidak ada cantik. Karena semua saja sekadar saripati tanah yang terburai memancar ke segela penjuru, ditangkapi saluran telur dan rahim yang menerima dengan suka-cita atau terpaksa. Aku menggelesot di tanah kering berdebu, tahu persis bahwa baju dan celanaku akan kotor. Bahkan jika aku telanjang bulat sekalipun, masih ada keinginan untuk membersihkan badan meski tidak mudah; meski di pom bensin terdekat.
Engkau yang terus saja mengasup zat gizi nutraisi berupa cairan food tanpa pernah pakai kondom, karena kondom belum tentu aman maka jangan jajan. Tidak jajan pun yang kauhasilkan hanya manusia kecil menjerit-jerit karena keinginannya tidak kesampaian, atau bayi merah yang sudah dikerudungi kepalanya hanya karena berkelamin perempuan. Apa jadinya jika ia tidak berbedak setebal itu, sedang anak perempuan jaman sekarang lebih paham nada warna kulit daripada nada suara yang harus digunakan ketika berbicara dengan orangtuanya sendiri. Dunia fana.
Adegan dua pembantu rumah tangga bergumul, bergelut mesra dan hangat, bertelanjang bulat dengan dua raden mas, sebagaimana diulangi di sebuah hotel di Tokyo bersama dua ekor kucing anggora dan siam, sedang istri-istri mereka setia menunggu di rumah, menunggu dibelikan kimono biru tua bergambar bangau putih, menemaniku ke manapun kupergi. Dinginnya Maastricht, dinginnya Amsterdam, seakan aku orang hebat pelanglang buana. Kujalani hidupku sedapatku, sebisa-bisanya, karena aku tak pernah tahu keinginanku. Kacamataku tidak setebal Hatta.
Infantri lintas udara adalah jatidiriku terakhir bersama Dedy dan John Gunadi ketika kami sering berjalan kaki dari sekitaran kampus menuju ke Margo City atau Depok Town Square hampir duapuluh tahun lalu. Ketika itu kami bukan siapa-siapa. Tidak ada gadis-gadis manis yang menundukkan kepala sambil tersenyum manis menyapa kami. Semua berlalu tak peduli, kami tiga prajurit infantri lintas udara atau marinir penyerbu sekali tidak apa, sekadar gara-gara menonton sekumpulan saudara dan seruan pertempuran. Kami bukan sesiapa, orang tolol saja.
Tak pernah kusangka begini jadinya, dari dulu mahasiswa sampai tua bangka, ternyata begini-begini saja, tiada yang berbeda. Buah-buah dada terus bertumbuhan, bergelantungan. Aku bertambah tua, perutku tambah tumpah-ruah menjadi olok-olok semua. Misai jenggotku memutih, badanku semakin sering terasa tidak segar dan tidak sebertenaga dulu. Namun segala sesuatunya tetap seperti ini, dari jaman Raffles bahkan Daendels. Seorang penghibur baru sembilan belas tahun memanggil tua bangka yang pantas jadi kakeknya dengan sebutan "mas." Dunia tua-renta.
Merasa senang di manapun, kapanpun. Merasa senang ketika kezaliman merajalela, meski kezaliman bertahta. Aku baru sadar bangku rotan di setentangku sudah hilang. Memang sejak selesai shalat tadi, bahkan bangku plastik jingga yang kududuki lenyap. Terlebih penting, colokan listrik di belakangku sekarang sudah dicolok oleh penjual sandal di punggungku. Aku merasa seperti Frank Carpenter yang menginap di Hotel Des Indes sambil memandangi kesibukan kanal Molenvliet di pagi hari, kesibukan yang berbeda dari Nieuw Achtergracht dipandangi dari de Brug.
Mengetiki hanya caraku untuk berteman dengan tiada sesiapa kecuali diriku sendiri, yakni, suatu kehidupan yang mengerikan seandainya saja tidak ada cantik. Karena semua saja sekadar saripati tanah yang terburai memancar ke segela penjuru, ditangkapi saluran telur dan rahim yang menerima dengan suka-cita atau terpaksa. Aku menggelesot di tanah kering berdebu, tahu persis bahwa baju dan celanaku akan kotor. Bahkan jika aku telanjang bulat sekalipun, masih ada keinginan untuk membersihkan badan meski tidak mudah; meski di pom bensin terdekat.
Engkau yang terus saja mengasup zat gizi nutraisi berupa cairan food tanpa pernah pakai kondom, karena kondom belum tentu aman maka jangan jajan. Tidak jajan pun yang kauhasilkan hanya manusia kecil menjerit-jerit karena keinginannya tidak kesampaian, atau bayi merah yang sudah dikerudungi kepalanya hanya karena berkelamin perempuan. Apa jadinya jika ia tidak berbedak setebal itu, sedang anak perempuan jaman sekarang lebih paham nada warna kulit daripada nada suara yang harus digunakan ketika berbicara dengan orangtuanya sendiri. Dunia fana.
Adegan dua pembantu rumah tangga bergumul, bergelut mesra dan hangat, bertelanjang bulat dengan dua raden mas, sebagaimana diulangi di sebuah hotel di Tokyo bersama dua ekor kucing anggora dan siam, sedang istri-istri mereka setia menunggu di rumah, menunggu dibelikan kimono biru tua bergambar bangau putih, menemaniku ke manapun kupergi. Dinginnya Maastricht, dinginnya Amsterdam, seakan aku orang hebat pelanglang buana. Kujalani hidupku sedapatku, sebisa-bisanya, karena aku tak pernah tahu keinginanku. Kacamataku tidak setebal Hatta.
Infantri lintas udara adalah jatidiriku terakhir bersama Dedy dan John Gunadi ketika kami sering berjalan kaki dari sekitaran kampus menuju ke Margo City atau Depok Town Square hampir duapuluh tahun lalu. Ketika itu kami bukan siapa-siapa. Tidak ada gadis-gadis manis yang menundukkan kepala sambil tersenyum manis menyapa kami. Semua berlalu tak peduli, kami tiga prajurit infantri lintas udara atau marinir penyerbu sekali tidak apa, sekadar gara-gara menonton sekumpulan saudara dan seruan pertempuran. Kami bukan sesiapa, orang tolol saja.
Tak pernah kusangka begini jadinya, dari dulu mahasiswa sampai tua bangka, ternyata begini-begini saja, tiada yang berbeda. Buah-buah dada terus bertumbuhan, bergelantungan. Aku bertambah tua, perutku tambah tumpah-ruah menjadi olok-olok semua. Misai jenggotku memutih, badanku semakin sering terasa tidak segar dan tidak sebertenaga dulu. Namun segala sesuatunya tetap seperti ini, dari jaman Raffles bahkan Daendels. Seorang penghibur baru sembilan belas tahun memanggil tua bangka yang pantas jadi kakeknya dengan sebutan "mas." Dunia tua-renta.
No comments:
Post a Comment