...melainkan bagaimana sebuah entri dibuka. Tentu saja setelah mampir Cinere jadi kepikiran abah-abah, meski tidak ada hubungannya dengan kuda. Ada Abah Sepuh, lantas Abah Anom, lantas Abah Aos. Aku cuma asal ngomyang saja, tahu apa juga tiada. Di Internet seperti biasa tersedia berbagai informasi mengenai apapun. Lantas aku terpikir: Akankah sama nasib informasi mengenai kaji-ulang. Tentu saja. Ia akan ditemukan oleh orang yang mencarinya. Yang tidak mencari biasanya tidak berjumpa. Selasa ini Insya Allah menghadap mentor Yussuf Solichien Martadiningrat, apa hendak dikata.
Tentu saja aku tidak benar-benar merindukanmu, seperti tiada pun yang menanti-nantikan kedatanganmu. Kata-kata panjang begini biasanya membuat jeda antarkata menjadi lebar-lebar. Aku, yang kukira menyukai bahasa ini, ternyata sudah tiada peduli; apatah lagi matematika. Namun satu kesempatan lagi dengan bunyi penyintesa dan dentaman bassnya memang selalu menimbulkan suasana tertentu, yang mana semua sudah berlalu. Adikku sekarang sudah banyak beruban. Aku, karena selalu gundulan, jadi tidak ketahuan. Jenggotku penuh beruban jika kubiarkan.
Kemarin aku menyusuri lagi Jayapura, Beta, Gama, Zeta, Nila, sampai Beringin yang hanya dua dari empat puluh lima tahun pernah singgah di hidupku. Satu langkah lebih dekat, demikian juga, selalu menimbulkan suasana tersendiri. Intinya, aku bersama dengan apapun yang pernah kukenal bertambah tua. Tiada guna kukenang-kenang Pondok Indah Mall ketika belum ada nomor-nomornya, yang memang tidak pernah manis kenangannya. Akankah dalam hidupku ini berhenti riwayatnya, sesuatu yang selalu bersamaku entah sejak kapan aku tidak ingat, selalu begitu itu.
Demikian pula, aku selalu intelek sepanjang ingatanku, seperti Sandy yang selalu menemani sejak kecilku. Bukan Sandy Maulana Prakasa yang perwira korps signal itu. Ini seorang gadis, yang kurasa menemaniku entah dalam perjalananku berangkat sekolah menyusur gang di pinggir kali itu, atau sepulangnya. Bau ikan goreng yang selalu menggelitik bulu hidung, aku terlahir sebagai seorang lelaki yang kurasa semakin lama semakin feminin karena selalu mengonsumsi produk olahan kedelai. Sandy gadisku, kucinta kau selamanya, meski kau tak pernah benar ada.
Seseorang yang percaya padamu, meski berasal dari waktu-waktu yang tidak dapat dikatakan terbaik, memang selalu membelai. Aku memang tidak peduli jika aku pecundang sekalipun, yang selalu berkhayal mungkin kelak waktuku akan datang. Jika setelah tiga puluhan tahun kemudian masih belum datang juga, aku tetap tidak peduli. Hanya kudoakan sungguh-sungguh, Bapak Ibu dan adik-adikku hendaklah bahagia. Untukku sendiri, cukup baik jika merasa baik. Terlebih J.J. Merel Bruinier, lelaki tangguh entah di mana, penyuka angin kencang, kencang.
Dunia ini penuh dengan orang-orang seperti Dokter Jul dan Mah Elis, mengapa pula aku merasa merana. Mengapa pula aku merasa boleh menunda-nunda pelaksanaan kewajibanku, pemenuhan janjiku. Aku memang sepele dan itu, kurasa, baik bagiku. Jadi buat apa menunggu datangnya entah apa. Begini terus merasa sepele, mana tahu di situ letaknya keselamatan, kedamaian. Uah, matahari terbenam! Dzikir adalah pedang! Lantas mana dzikirmu, habis sembahyang selalu langsung berdiri. Tadi aku sempat teringat kemenakan-kemenakanku laki-laki. Aku mamak.
Namun kresek-kresek ini sungguh mengganggu, membuatku bertetap hati ke kampus besok, Insya Allah, mencari Pak Cecep. Kini suara dangdutan dan Mas Dikdik menggosok-gosok dingding menemani alinea terakhir entri ini. Aku sudah makan siang, sepotong tempe kemul, bakwan, sekitar setengah liter teh vanili bersimbah jahe merah gula aren, masih ditambah kemal-kemil ikan bayi, kacang mete, dan jari keju sisa lebaran. Habis ini mungkin aku akan mandi, kaos penuh jejak garam begini. Siang bermendung sejak pagi, kurasa harus pakai air hangat mandiku siang ini.
Tentu saja aku tidak benar-benar merindukanmu, seperti tiada pun yang menanti-nantikan kedatanganmu. Kata-kata panjang begini biasanya membuat jeda antarkata menjadi lebar-lebar. Aku, yang kukira menyukai bahasa ini, ternyata sudah tiada peduli; apatah lagi matematika. Namun satu kesempatan lagi dengan bunyi penyintesa dan dentaman bassnya memang selalu menimbulkan suasana tertentu, yang mana semua sudah berlalu. Adikku sekarang sudah banyak beruban. Aku, karena selalu gundulan, jadi tidak ketahuan. Jenggotku penuh beruban jika kubiarkan.
Kemarin aku menyusuri lagi Jayapura, Beta, Gama, Zeta, Nila, sampai Beringin yang hanya dua dari empat puluh lima tahun pernah singgah di hidupku. Satu langkah lebih dekat, demikian juga, selalu menimbulkan suasana tersendiri. Intinya, aku bersama dengan apapun yang pernah kukenal bertambah tua. Tiada guna kukenang-kenang Pondok Indah Mall ketika belum ada nomor-nomornya, yang memang tidak pernah manis kenangannya. Akankah dalam hidupku ini berhenti riwayatnya, sesuatu yang selalu bersamaku entah sejak kapan aku tidak ingat, selalu begitu itu.
Demikian pula, aku selalu intelek sepanjang ingatanku, seperti Sandy yang selalu menemani sejak kecilku. Bukan Sandy Maulana Prakasa yang perwira korps signal itu. Ini seorang gadis, yang kurasa menemaniku entah dalam perjalananku berangkat sekolah menyusur gang di pinggir kali itu, atau sepulangnya. Bau ikan goreng yang selalu menggelitik bulu hidung, aku terlahir sebagai seorang lelaki yang kurasa semakin lama semakin feminin karena selalu mengonsumsi produk olahan kedelai. Sandy gadisku, kucinta kau selamanya, meski kau tak pernah benar ada.
Seseorang yang percaya padamu, meski berasal dari waktu-waktu yang tidak dapat dikatakan terbaik, memang selalu membelai. Aku memang tidak peduli jika aku pecundang sekalipun, yang selalu berkhayal mungkin kelak waktuku akan datang. Jika setelah tiga puluhan tahun kemudian masih belum datang juga, aku tetap tidak peduli. Hanya kudoakan sungguh-sungguh, Bapak Ibu dan adik-adikku hendaklah bahagia. Untukku sendiri, cukup baik jika merasa baik. Terlebih J.J. Merel Bruinier, lelaki tangguh entah di mana, penyuka angin kencang, kencang.
Dunia ini penuh dengan orang-orang seperti Dokter Jul dan Mah Elis, mengapa pula aku merasa merana. Mengapa pula aku merasa boleh menunda-nunda pelaksanaan kewajibanku, pemenuhan janjiku. Aku memang sepele dan itu, kurasa, baik bagiku. Jadi buat apa menunggu datangnya entah apa. Begini terus merasa sepele, mana tahu di situ letaknya keselamatan, kedamaian. Uah, matahari terbenam! Dzikir adalah pedang! Lantas mana dzikirmu, habis sembahyang selalu langsung berdiri. Tadi aku sempat teringat kemenakan-kemenakanku laki-laki. Aku mamak.
Namun kresek-kresek ini sungguh mengganggu, membuatku bertetap hati ke kampus besok, Insya Allah, mencari Pak Cecep. Kini suara dangdutan dan Mas Dikdik menggosok-gosok dingding menemani alinea terakhir entri ini. Aku sudah makan siang, sepotong tempe kemul, bakwan, sekitar setengah liter teh vanili bersimbah jahe merah gula aren, masih ditambah kemal-kemil ikan bayi, kacang mete, dan jari keju sisa lebaran. Habis ini mungkin aku akan mandi, kaos penuh jejak garam begini. Siang bermendung sejak pagi, kurasa harus pakai air hangat mandiku siang ini.
No comments:
Post a Comment