Haruskah alat secantik ini terbatas kegunaannya hanya untuk mengitiki. Tentu saja tidak. Suatu hari nanti, yang Insya Allah tidak lama lagi, ia akan berguna untuk menuangkan berbagai buah pikiran yang runtut dan teratur. 'Tuh 'kan, untung saja aku memeriksa KBBI dulu. Hampir saja kugunakan "runut" alih-alih "runtut". Runut itu artinya jejak, sedang sifat sesuai urutan dan alur logika itu runtut. Itulah yang tidak ada dalam goblog ini. Bukannya runtut, adanya mbuntut, seperti halnya dulu Ibunya Sodjo waktu masih seumuran Aryo sekarang kalau sedang menempel di pagar.
Akan halnya menunaikan janji, sepertinya harus kulakukan dengan Asus Vivobook. Aku tidak memberi nama panggilan pada gawai-gawai ini, karena mereka bukan pesawat pembom apalagi kapal selam atau permukaan. Mereka sekadar gawai, meski secantik apapun, sekeren apapun. Biarlah Gomer Pyle memberi nama senapan serbunya, kalian semua tahu bagaimana ia berakhir, bukan. Aku tentu tidak ingin menjadi Gomer Pyle. Bahkan ketika aku masih tergabung dengan Peleton 3 Kotakta A Batalyon I Resimen Chandradimuka 1994 saja, bukan aku Gomer Pyle-nya, melainkan Dedi Kurnia atau Mulia Putra.
Meski begitu, jelas aku tidak setanding dengan mereka. Aku, dibanding mereka, kelas tahi kambing. Mereka prajurit-prajurit sejati. Aku bahkan tidak pantas disamakan dengan Bertram Bryce sekalipun, apalagi Desmond Doss. Aku, seperti kata Rumi, hanya bisa menghasilkan kekonyolan-kekonyolan. Aku hanya bisa berolok-olok. Kurasa, semua orang, Pak Harto sekalipun, pernah merasa rendah diri, tidak punya martabat, atau yang sejenisnya. Akan halnya aku, memang sudah lama tidak pernah memesan martabak, Maestro sekalipun, karena makan martabak dengan nasi dikecapi menyakiti perut; mungkin karena adonan kulitnya.
Terkadang aku kasihan pada Paolo Mantovani. Rendisinya yang sempurna tanpa cela terhadap nomor-nomor latin klasik kugunakan untuk berolok-olok, mengitiki ketiakku sendiri, pura-pura merasa geli sendiri padahal tidak. Di waktu-waktu yang lain, pernah juga aku menggunakannya untuk menemaniku menghasilkan hal-hal yang berguna di mata orang lain. Tepat di sini aku sungguh ingin berdoa, memohon pada Sang Hyang Maha Kuasa, untuk menunjukiku apa yang berguna bagi sebanyak mungkin orang, terlepas aku sendiri tahu atau tidak--mungkin lebih baik tidak tahu. Namun, seperti berulang kali kukatakan, ini bukan tembok ratapan.
Memang aku ini sungguh tidak tahu diri lagi tidak tahu malu. Apapun dalihku mengenai berbagai reaksi kimia dalam tubuhku, seperti ketika Rick Harrison menjelaskan mengenai sistem peredaran limfa, bukan alasan untuk membiarkan diri merugi terus-terusan begini. Oskar Schindler merugi terus-terusan karena menolong banyak-banyak orang Yahudi, lebih dari seribu katanya. Aku, merugi terus-terusan, siapa yang kutolong, berapa banyak, sampai Paolo Mantovani mengakhiri konsernya bertajuk Suasana Hati Latin, sambil mengucap "Pergilah bersama Tuhan."
Terpujilah Tuhan, Maha Suci Ia, sedang hamba yang tak tahu diri ini terus durhaka bergimang dosa. Meski begitu, Tuhan Maha Baik masih mengirimkan bagi hamba celaka ini burung-burung flamingo, dengan warnanya yang semu kemerah-merahan, ada pula yang cenderung jingga, karena banyak memakan binatang-binatang bercangkang yang kaya akan beta karoten. Flamingo-flamingo ini mengucap selamat malam padaku, koboi cengeng lagi tolol, berkepala botak dan kelebihan (banyak) berat badan, sebagaimana cercaan Chum Lee pada bossnya sendiri.
Suasana hati yang romantis ini datangnya dari mana, apakah dari seorang latina Venezuela blasteran Kandahar. Oh, aku tidak bisa berhenti konyol, berolok-olok, meski di sekelilingku penuh bertabur kecantikan hanya bagiku sendiri. Memang seperti itulah kecantikan seharusnya. Sangat pribadi, sangat intim. Sempat terbagi bahkan sekadar dua, maka tidak pantas menyandang gelar itu. Cantik hanya bagiku, apapun itu, kuhadapkan pada Penciptanya dengan tangan terangkat terentang penuh, sedang kepala tertunduk mohon belas kasihan, sedang hati dipenuhi rasa terima kasih.
Akan halnya menunaikan janji, sepertinya harus kulakukan dengan Asus Vivobook. Aku tidak memberi nama panggilan pada gawai-gawai ini, karena mereka bukan pesawat pembom apalagi kapal selam atau permukaan. Mereka sekadar gawai, meski secantik apapun, sekeren apapun. Biarlah Gomer Pyle memberi nama senapan serbunya, kalian semua tahu bagaimana ia berakhir, bukan. Aku tentu tidak ingin menjadi Gomer Pyle. Bahkan ketika aku masih tergabung dengan Peleton 3 Kotakta A Batalyon I Resimen Chandradimuka 1994 saja, bukan aku Gomer Pyle-nya, melainkan Dedi Kurnia atau Mulia Putra.
Meski begitu, jelas aku tidak setanding dengan mereka. Aku, dibanding mereka, kelas tahi kambing. Mereka prajurit-prajurit sejati. Aku bahkan tidak pantas disamakan dengan Bertram Bryce sekalipun, apalagi Desmond Doss. Aku, seperti kata Rumi, hanya bisa menghasilkan kekonyolan-kekonyolan. Aku hanya bisa berolok-olok. Kurasa, semua orang, Pak Harto sekalipun, pernah merasa rendah diri, tidak punya martabat, atau yang sejenisnya. Akan halnya aku, memang sudah lama tidak pernah memesan martabak, Maestro sekalipun, karena makan martabak dengan nasi dikecapi menyakiti perut; mungkin karena adonan kulitnya.
Terkadang aku kasihan pada Paolo Mantovani. Rendisinya yang sempurna tanpa cela terhadap nomor-nomor latin klasik kugunakan untuk berolok-olok, mengitiki ketiakku sendiri, pura-pura merasa geli sendiri padahal tidak. Di waktu-waktu yang lain, pernah juga aku menggunakannya untuk menemaniku menghasilkan hal-hal yang berguna di mata orang lain. Tepat di sini aku sungguh ingin berdoa, memohon pada Sang Hyang Maha Kuasa, untuk menunjukiku apa yang berguna bagi sebanyak mungkin orang, terlepas aku sendiri tahu atau tidak--mungkin lebih baik tidak tahu. Namun, seperti berulang kali kukatakan, ini bukan tembok ratapan.
Memang aku ini sungguh tidak tahu diri lagi tidak tahu malu. Apapun dalihku mengenai berbagai reaksi kimia dalam tubuhku, seperti ketika Rick Harrison menjelaskan mengenai sistem peredaran limfa, bukan alasan untuk membiarkan diri merugi terus-terusan begini. Oskar Schindler merugi terus-terusan karena menolong banyak-banyak orang Yahudi, lebih dari seribu katanya. Aku, merugi terus-terusan, siapa yang kutolong, berapa banyak, sampai Paolo Mantovani mengakhiri konsernya bertajuk Suasana Hati Latin, sambil mengucap "Pergilah bersama Tuhan."
Terpujilah Tuhan, Maha Suci Ia, sedang hamba yang tak tahu diri ini terus durhaka bergimang dosa. Meski begitu, Tuhan Maha Baik masih mengirimkan bagi hamba celaka ini burung-burung flamingo, dengan warnanya yang semu kemerah-merahan, ada pula yang cenderung jingga, karena banyak memakan binatang-binatang bercangkang yang kaya akan beta karoten. Flamingo-flamingo ini mengucap selamat malam padaku, koboi cengeng lagi tolol, berkepala botak dan kelebihan (banyak) berat badan, sebagaimana cercaan Chum Lee pada bossnya sendiri.
Suasana hati yang romantis ini datangnya dari mana, apakah dari seorang latina Venezuela blasteran Kandahar. Oh, aku tidak bisa berhenti konyol, berolok-olok, meski di sekelilingku penuh bertabur kecantikan hanya bagiku sendiri. Memang seperti itulah kecantikan seharusnya. Sangat pribadi, sangat intim. Sempat terbagi bahkan sekadar dua, maka tidak pantas menyandang gelar itu. Cantik hanya bagiku, apapun itu, kuhadapkan pada Penciptanya dengan tangan terangkat terentang penuh, sedang kepala tertunduk mohon belas kasihan, sedang hati dipenuhi rasa terima kasih.
No comments:
Post a Comment