Baru saja kuteguk habis teh oolong dalam cangkir plastik merah kesayanganku. Tadi sempat menyusuri lorong-lorong Hypermart BBM yang dahulunya Giant, tidak ada satu pun gelas atau mug yang cocok seperti keinginanku. Apa harus kucari di TipTop. Gelas Leoku yang pernah berpose berisikan seduhan madu hangat, sepulang dari mengajar di Salemba. Entah di mana kau sekarang, seperti halnya yang sepertimu namun polos bening, kupecahkan karena terlalu lama dimagnetron. Sebentar ini akan kuisi-ulang gelas plastikku dengan air panas pengser.
Aku terhenti cukup lama gara-gara mainan Tokped. Tidak perlu kuceritakan di sini mengapa sampai bisa begitu; yang jelas, menjelang tengah malam ini, aku tidak perlu hujan buatan dari Yutub, karena memang sudah hujan sungguhan. Sementara aku akan menunggumu, yang sempat membuatku tercekat di dapur ndalem Yado, hujan rintik menderas di luar sana. Tepat di sini terhenti sepanjang malam sampai pagi menjelang, sedang pengisi-daya irfon blutut kubiarkan menganga begitu. Kaum pecinta bunga San Fransisco telah dilupakan Mamanya Afi.
Musim panas tahu bila menanggalkan gaunnya. Hanya itu yang kuingat sebelum kusuruh gadis kecil itu pergi. Siang bermendung begini aku berusaha menajamkan pendengaranku untuk menangkap ketak-ketik paling awal dari gerimis. Ada terlintas tadi untuk makan siang kemakmuran sapi, namun sudah berhari-hari ini sebenarnya aku kurang nafsu makan. Jika sampai terhidang makanan di hadapanku selalu kulahap habis, 'sih. Aku tidak tahu kalau yang tidak enak, karena beberapa hari terakhir ini hampir selalu makan enak. Kecuali sarapan, selalu warteg.
Gelas permata bau amis telur karena memang tidak benar-benar kucuci, hanya dibilas-bilas saja, sedang ia digunakan untuk menyeduh madu mentol jahe merah. Adanya bau amis itu, adalah aku sarapan nasi warteg Syifa dengan telur ceplok kuah pedas, tahu hancur--begitu namanya kata penjualnya, buncis udang yang tidak disiangi sungut-sungutnya. Selalu saja begitu menuku, empat belas ribu Rupiah, tidak pernah ganti. Dulu terkadang aku memesan capcay, tahu jamur tiram, atau teri kacang. Memang jangan cari gara-gara mengeluarkan jemuran jika cuaca begini.
Satu-satunya kelebihan irfon blutut Macson adalah ketiadaan kabel yang terkadang memang menuntut perhatian lebih, selain tentu saja harganya yang lebih dari sepuluh kali lipat. Dibanding irfon Miniso tiga puluh ribuan ini, Macson sama sekali tidak ada tendangan bassnya. Jangan-jangan gincing dan keces trebelnya pun tak ada. Ya sutra lah, let's do it again bersama seorang perempuan muda yang membangkitkan birahi namun tolol. Lagipula, buat apa cerdas barus, bijak bestari, jika sekadar untuk membangkitkan birahi. Apapun, inilah aku menari melonjak-lonjak.
Leher belakangku yang beruam belum sembuh sepenuhnya, sedang Karnaval Brasilia sudah sepenuhnya melaju menggebu. Aku tidak mengenakan kostum apapun, kecuali sepotong celana pendek bermotif kotak-kotak a la Skotlandia ini. Seperti selebihnya, aku menari melonjak-lonjak tertawa-tawa, sedang dada telanjangku bersimbah peluh keringat. Perut buncitku pun ikut melonjak-lonjak seirama lagu, yang semuanya semata ada dalam khayalku. Memang seingatku aku lebih sering memutar ingatan daripada koleksi keemasan, membawaku ke musim panas India.
Seketel air mendidih jauh lebih baik daripada mondar-mandir keluar-keluar tidak bisa diapa-apakan juga. Begitulah aku kembali pada kenyataan hidupku setelah hingar-bingar karnaval berlalu. Apa yang kuharapkan, bolehkah berharap jika tidak melakukan apa-apa. Hidupku bergelimang harta, tidak ada yang kuinginkan dan kubutuhkan yang aku tidak punya. Meski kadang entah bagaimana tersumbat, kembali lancar seperti biasa, ketika aku menjalani hari-hariku di Sepurderek. Tidak seperti di Uilenstede, aku tidak perlu keluar kamar untuk ke kamar mandi.
Aku terhenti cukup lama gara-gara mainan Tokped. Tidak perlu kuceritakan di sini mengapa sampai bisa begitu; yang jelas, menjelang tengah malam ini, aku tidak perlu hujan buatan dari Yutub, karena memang sudah hujan sungguhan. Sementara aku akan menunggumu, yang sempat membuatku tercekat di dapur ndalem Yado, hujan rintik menderas di luar sana. Tepat di sini terhenti sepanjang malam sampai pagi menjelang, sedang pengisi-daya irfon blutut kubiarkan menganga begitu. Kaum pecinta bunga San Fransisco telah dilupakan Mamanya Afi.
Musim panas tahu bila menanggalkan gaunnya. Hanya itu yang kuingat sebelum kusuruh gadis kecil itu pergi. Siang bermendung begini aku berusaha menajamkan pendengaranku untuk menangkap ketak-ketik paling awal dari gerimis. Ada terlintas tadi untuk makan siang kemakmuran sapi, namun sudah berhari-hari ini sebenarnya aku kurang nafsu makan. Jika sampai terhidang makanan di hadapanku selalu kulahap habis, 'sih. Aku tidak tahu kalau yang tidak enak, karena beberapa hari terakhir ini hampir selalu makan enak. Kecuali sarapan, selalu warteg.
Gelas permata bau amis telur karena memang tidak benar-benar kucuci, hanya dibilas-bilas saja, sedang ia digunakan untuk menyeduh madu mentol jahe merah. Adanya bau amis itu, adalah aku sarapan nasi warteg Syifa dengan telur ceplok kuah pedas, tahu hancur--begitu namanya kata penjualnya, buncis udang yang tidak disiangi sungut-sungutnya. Selalu saja begitu menuku, empat belas ribu Rupiah, tidak pernah ganti. Dulu terkadang aku memesan capcay, tahu jamur tiram, atau teri kacang. Memang jangan cari gara-gara mengeluarkan jemuran jika cuaca begini.
Satu-satunya kelebihan irfon blutut Macson adalah ketiadaan kabel yang terkadang memang menuntut perhatian lebih, selain tentu saja harganya yang lebih dari sepuluh kali lipat. Dibanding irfon Miniso tiga puluh ribuan ini, Macson sama sekali tidak ada tendangan bassnya. Jangan-jangan gincing dan keces trebelnya pun tak ada. Ya sutra lah, let's do it again bersama seorang perempuan muda yang membangkitkan birahi namun tolol. Lagipula, buat apa cerdas barus, bijak bestari, jika sekadar untuk membangkitkan birahi. Apapun, inilah aku menari melonjak-lonjak.
Leher belakangku yang beruam belum sembuh sepenuhnya, sedang Karnaval Brasilia sudah sepenuhnya melaju menggebu. Aku tidak mengenakan kostum apapun, kecuali sepotong celana pendek bermotif kotak-kotak a la Skotlandia ini. Seperti selebihnya, aku menari melonjak-lonjak tertawa-tawa, sedang dada telanjangku bersimbah peluh keringat. Perut buncitku pun ikut melonjak-lonjak seirama lagu, yang semuanya semata ada dalam khayalku. Memang seingatku aku lebih sering memutar ingatan daripada koleksi keemasan, membawaku ke musim panas India.
Seketel air mendidih jauh lebih baik daripada mondar-mandir keluar-keluar tidak bisa diapa-apakan juga. Begitulah aku kembali pada kenyataan hidupku setelah hingar-bingar karnaval berlalu. Apa yang kuharapkan, bolehkah berharap jika tidak melakukan apa-apa. Hidupku bergelimang harta, tidak ada yang kuinginkan dan kubutuhkan yang aku tidak punya. Meski kadang entah bagaimana tersumbat, kembali lancar seperti biasa, ketika aku menjalani hari-hariku di Sepurderek. Tidak seperti di Uilenstede, aku tidak perlu keluar kamar untuk ke kamar mandi.
No comments:
Post a Comment