Memang enak ngegoblog, begitu kata Togar. Enak? Harus berapa kali kuulangi kalau mengitiki itu sungguh tidak enak, menyakitkan bahkan. Coba bayangkan, mengitiki ketiak sendiri. Masih mending kalau mengitiki Ramya Rachel seperti pernah dilakukan Sugiharto Nasrun, yang membuatku sangat ingin menghentikannya. Namun, sekarang maupun dulu, keputusanku tetap. Bukan urusanku! Apapun itu, beginilah nyatanya, seperti setahun lalu ketika aku memandangi dinding pemisah dengan Kristina Kefala, aku mengitiki. Bedanya, ketika itu mungkin aku ditemani secangkir macchiato vegan, sekarang segelas permata teh tarik.
Setiap hari aku berusaha menambah pengetahuanku, meski itu mengenai hal-hal yang tidak jelas manfaat, faedah, maupun kegunaannya. Hanya dengan itu aku merasa agak berguna, padahal sudah jelas pengetahuan-pengetahuan yang kutambahkan pada gulai benakku tidak berguna. Semoga teh tarik ini tidak menyakiti perutku. Cukuplah jika ia mengeluarkan kodok bangkong raksasa dari dalamnya. Tiba-tiba aku teringat Sarpakenaka, yang kukunya tajam dan panjang-panjang, saudara perempuan satu-satunya dari Rahwana, Kumbakarna, dan Wibisana. Uah, mustahil itu semua sekadar khayalan Resi Walmiki.
Aku berbicara mengenai kakak beradik ini seakan-akan kenal dekat, anak-anak Begawan Wisrawa dari istri keduanya, Dewi Sukesi. Habis sekitar seratus mililiter, teh tarik ini kelihatannya mulai beraksi. Tidak benar-benar menyakiti perut, namun perasaan tidak nyaman di wajah dan kepala ini jelas pertanda aksinya. Bagaimana aku bisa tahu jika kepalaku sudah beberapa hari ini terasa lucu. Aku mengatakannya lucu seakan-akan seorang marinir perkasa, seperti Kolonel Oni Junianto. Aku jelas bukan dia atau marinir manapun, yang paling gak setil sekalipun. Seperti John Gunadi, aku hanya menggemari marinir, entah mengapa.
Tepat di sini aku rasanya seperti ingin meminta bantuan, atau menenggak habis saja teh tarik di gelas permata. Haruskah mengheningkan cipta berbau gulai begini, atau memang salah satu efek gulai adalah memudahkan orang mengheningkan cipta. Mau dibawa ke mana ini, entah bagaimana, mengingatkanku pada Intan, anak perempuan berambut keriting seperti anakku. Apa kabarnya. Sudah sebesar apa sekarang. Semoga nasibnya baik. Aku saja sudah setua ini dan, Alhamdulillah, Allah masih terus berbelas kasihan kepadaku. Semoga demikian pula adanya ia, begitu juga semua anak Babe Tafran.
Dari putih diganti menjadi sepoi-sepoi masih lebih baik daripada orang lain menghantam-hantam selangkangan busuknya Jodie; apalagi jika orang itu sampai anaknya Yovie Widianto. Bahasa Inggrisku meniru seorang bintara peleton komunikasi elektronik Batalyon Dua Resimen Infanteri Marinir Keenam pada masa Perang Dunia Kedua, sedangkan caraku mengitiki meniru cara berpikir Mas Toni Edi Riwanto, begini koq mau jadi akademisi, menulis disertasi. Ini sama saja mengolok-olok semacam Profesor Andri G. Wibisana atau bahkan Aristyo Rizka Darmawan, yang meski lebih junior dari Ahmad Madison bahkan Rizki Banyu Alam, sudah jadi cepe euy gegara produktif menulis.
Nama bagus-bagus Ayu Putri Sundari dibuat jadi Ayuenstar itu biar apa coba. Aku yang djadoel ini mungkin tidak akan pernah bisa mengerti. Aku yang cuma pura-pura punya anak ini juga pasti tidak akan pernah paham bagaimana sebenarnya punya anak, apalagi perempuan. Asaptaga, jika tidak gara-gara Mbah Gugel aku tidak akan pernah tahu apa maksud "korban MiChat" yang tertulis pada bak sebuah truk. Mengerikan! Sementara gulai mengheningkan cipta ini terus terbakar, seperti merokok Minak Djinggo tanpa benar-benar menghirup asap jelaganya dalam-dalam memenuhi paru-paru dan lambung.
Demikian pula, masker bila sudah berbau gulai, meski Orlee sekalipun mereknya, harus dibuang. Sebenarnya bukan karena itu benar. Sebenarnya sudah beberapa hari ini dia sudah berbau gulai, bahkan mungkin kena air liur. Hanya saja, sekarang sudah mulai bersabut-serabut maka kubuang. Dunia ini, Jagad Dewa Batara, sungguh mengerikan. Sanggupkah aku terbang tinggi menuju nirwana, lembut menembus rahasia, kukuh menahan putaran waktu, bersatu dalam damai. Seperti masker, mungkin begitu saja kumit tipitku suatu hari nanti. Sekarang saja tiada yang peduli, apatah lagi nanti.
Setiap hari aku berusaha menambah pengetahuanku, meski itu mengenai hal-hal yang tidak jelas manfaat, faedah, maupun kegunaannya. Hanya dengan itu aku merasa agak berguna, padahal sudah jelas pengetahuan-pengetahuan yang kutambahkan pada gulai benakku tidak berguna. Semoga teh tarik ini tidak menyakiti perutku. Cukuplah jika ia mengeluarkan kodok bangkong raksasa dari dalamnya. Tiba-tiba aku teringat Sarpakenaka, yang kukunya tajam dan panjang-panjang, saudara perempuan satu-satunya dari Rahwana, Kumbakarna, dan Wibisana. Uah, mustahil itu semua sekadar khayalan Resi Walmiki.
Aku berbicara mengenai kakak beradik ini seakan-akan kenal dekat, anak-anak Begawan Wisrawa dari istri keduanya, Dewi Sukesi. Habis sekitar seratus mililiter, teh tarik ini kelihatannya mulai beraksi. Tidak benar-benar menyakiti perut, namun perasaan tidak nyaman di wajah dan kepala ini jelas pertanda aksinya. Bagaimana aku bisa tahu jika kepalaku sudah beberapa hari ini terasa lucu. Aku mengatakannya lucu seakan-akan seorang marinir perkasa, seperti Kolonel Oni Junianto. Aku jelas bukan dia atau marinir manapun, yang paling gak setil sekalipun. Seperti John Gunadi, aku hanya menggemari marinir, entah mengapa.
Tepat di sini aku rasanya seperti ingin meminta bantuan, atau menenggak habis saja teh tarik di gelas permata. Haruskah mengheningkan cipta berbau gulai begini, atau memang salah satu efek gulai adalah memudahkan orang mengheningkan cipta. Mau dibawa ke mana ini, entah bagaimana, mengingatkanku pada Intan, anak perempuan berambut keriting seperti anakku. Apa kabarnya. Sudah sebesar apa sekarang. Semoga nasibnya baik. Aku saja sudah setua ini dan, Alhamdulillah, Allah masih terus berbelas kasihan kepadaku. Semoga demikian pula adanya ia, begitu juga semua anak Babe Tafran.
Dari putih diganti menjadi sepoi-sepoi masih lebih baik daripada orang lain menghantam-hantam selangkangan busuknya Jodie; apalagi jika orang itu sampai anaknya Yovie Widianto. Bahasa Inggrisku meniru seorang bintara peleton komunikasi elektronik Batalyon Dua Resimen Infanteri Marinir Keenam pada masa Perang Dunia Kedua, sedangkan caraku mengitiki meniru cara berpikir Mas Toni Edi Riwanto, begini koq mau jadi akademisi, menulis disertasi. Ini sama saja mengolok-olok semacam Profesor Andri G. Wibisana atau bahkan Aristyo Rizka Darmawan, yang meski lebih junior dari Ahmad Madison bahkan Rizki Banyu Alam, sudah jadi cepe euy gegara produktif menulis.
Nama bagus-bagus Ayu Putri Sundari dibuat jadi Ayuenstar itu biar apa coba. Aku yang djadoel ini mungkin tidak akan pernah bisa mengerti. Aku yang cuma pura-pura punya anak ini juga pasti tidak akan pernah paham bagaimana sebenarnya punya anak, apalagi perempuan. Asaptaga, jika tidak gara-gara Mbah Gugel aku tidak akan pernah tahu apa maksud "korban MiChat" yang tertulis pada bak sebuah truk. Mengerikan! Sementara gulai mengheningkan cipta ini terus terbakar, seperti merokok Minak Djinggo tanpa benar-benar menghirup asap jelaganya dalam-dalam memenuhi paru-paru dan lambung.
Demikian pula, masker bila sudah berbau gulai, meski Orlee sekalipun mereknya, harus dibuang. Sebenarnya bukan karena itu benar. Sebenarnya sudah beberapa hari ini dia sudah berbau gulai, bahkan mungkin kena air liur. Hanya saja, sekarang sudah mulai bersabut-serabut maka kubuang. Dunia ini, Jagad Dewa Batara, sungguh mengerikan. Sanggupkah aku terbang tinggi menuju nirwana, lembut menembus rahasia, kukuh menahan putaran waktu, bersatu dalam damai. Seperti masker, mungkin begitu saja kumit tipitku suatu hari nanti. Sekarang saja tiada yang peduli, apatah lagi nanti.
No comments:
Post a Comment