Seperti sudah menjadi kebiasaan [halah!], beberapa tahun gregorian dalam goblog ini ada entri pada hari terakhirnya. Tidak selalu memang, namun bolehlah dikata sebagian besar. Terlebih jika menyanding semug 300 ml susu serbat jahe, sedang telinga disumpal bunyi-bunyian yang entah mengapa setelah sepuluh tahun menjadi menjengkelkan. Padahal sepuluh tahun lalu mendengar ini bisa membawa angan-angan cinta. Semenjak 2020-an pula semakin intens aku menggunakan alunan nada-nada tak berbait tak berulang untuk penggambaranku. Entah mengapa...
Lebih mengerikan lagi, jika angan-angan cinta t'lah tak mau kembali, masa yang tersisa tinggal babaduk. Kebutuhanku akan cinta memang sudah lengkap terpenuhi, dan aku menolak percaya jika setua ini masih butuh plerktekuk. Ini adalah waktu bagi kambing-kambing muda untuk kebingungan mengapa pikiran mereka tidak pernah bisa menyimpang dari kekentuan. Itu pula sebabnya kambing-kambing muda ini harus segera diaqiqah biar tidak keburu kawak dan tidak enak dimakan. Aku yang tinggal menunggu waktu ini atau harus 'ku menyongsongnya. 'Ku tak tahu.
Nyaman, hangat, dan sensual. Ah, masih ingat aku rasa-rasa itu dari usia duapuluhan, yang bahkan sudah ditinggalkan bangsanya Togar dan Hari. Efraim mungkin masih punya beberapa tahun untuk menikmatinya. Adit 'Cah Gemolong masih baru saja memulainya, meski tak dapat 'kubayangkan apa yang menurut mereka sensual. Nyaman adalah udara sejuk ber-AC. Hangat adalah selimut tebal namun halus lembut ketika sejuk sudah berubah dingin. Namun, sensual? Bahkan Savit sekalipun punya ide tentang bagaimana membuat dirinya terasa dan terlihat sensual.
Ah, di sini ini tepatnya orang mulai terpikir mengenai selimut hidup, artinya, didekap oleh seorang perempuan yang bukan ibumu. Untuk itu, seperti halnya ibumu, harus ada cinta. Maka ide tentang pengalaman pacar sungguh jahat dan bodohnya. Ide ini sama jahat dan bodohnya dengan persangkaan bahwa hidup hanya di dunia ini saja, bahwa tidak ada hidup sesudahnya di mana kita akan dimintai pertanggungjawaban atas hidup yang ini. Selimut bisa hidup, karena itu, karena cinta. Tanpa cinta, ia sekadar selimut, meski terbuat dari daging dan lemak berbalut kulit.
Ternyata masih sisa tiga, sedang secangkir plastik wedang serbat uwuh menemani. Aku justru terlempar kembali ke Kraanspoor 25 D8 sekitar setelah pulang dari Molenwijk. Apakah itu membeli stang untuk douchegordijntje, atau bahkan majalah NatGeo mengenai perubahan iklim, sangat bisa jadi. Bahkan bisa jadi kedinginan di Pontsteiger gara-gara ketinggalan feri, sampai harus menunggu setengah jam lagi. Gara-garanya, setelah dari Jumbo bersepeda agak jauh sekadar mencari kibbeling. Alhamdulillah, aku diselamatkanNya dari itu semua lahir batin.
Maka mengapa tidak segera diselesaikan. Insya Allah akan segera diselesaikan. Memang tidak pernah ada rencana yang berjalan mulus, seperti udara malam Magelang entah itu setelah menonton Under Siege atau Navy Seals. Apa benar aku membayangkan diriku seperti itu ketika pura-pura main kelahi-kelahian dalam kolam renang bersama Andri Supratman. Hahaha memang suatu ketololan yang paripurna. Jika saja semua keseriusan disimpan untuk yang sebenarnya, tiada sedikit pun keberatan padaku; karena memang itulah doa Bapakku untukku seorang.
Untuk sementara ini, aku lelaki paruh baya berbobot seratus tujuh kilogram. Terlalu muda untuk tidak segera serius mengumpulkan bekal, terlalu tua untuk berbuat ketololan apapun. Bagaimanapun, aku mencintaimu; meski mungkin mukamu mirip bapakmu, membuatku ngilu. Mukamu jika berkilat-kilat berminyak begitu, seperti ketika berfoto bersama Wisnu Kamulyan. Tidak mengapa. Aku tetap mencintaimu. Seandainya saja cinta sesederhana itu; sesederhana rasa nyaman secuil, sesepele apapun. Itulah cinta bagiku: rasa nyaman. Rasa baik-baik saja.
Lebih mengerikan lagi, jika angan-angan cinta t'lah tak mau kembali, masa yang tersisa tinggal babaduk. Kebutuhanku akan cinta memang sudah lengkap terpenuhi, dan aku menolak percaya jika setua ini masih butuh plerktekuk. Ini adalah waktu bagi kambing-kambing muda untuk kebingungan mengapa pikiran mereka tidak pernah bisa menyimpang dari kekentuan. Itu pula sebabnya kambing-kambing muda ini harus segera diaqiqah biar tidak keburu kawak dan tidak enak dimakan. Aku yang tinggal menunggu waktu ini atau harus 'ku menyongsongnya. 'Ku tak tahu.
Nyaman, hangat, dan sensual. Ah, masih ingat aku rasa-rasa itu dari usia duapuluhan, yang bahkan sudah ditinggalkan bangsanya Togar dan Hari. Efraim mungkin masih punya beberapa tahun untuk menikmatinya. Adit 'Cah Gemolong masih baru saja memulainya, meski tak dapat 'kubayangkan apa yang menurut mereka sensual. Nyaman adalah udara sejuk ber-AC. Hangat adalah selimut tebal namun halus lembut ketika sejuk sudah berubah dingin. Namun, sensual? Bahkan Savit sekalipun punya ide tentang bagaimana membuat dirinya terasa dan terlihat sensual.
Ah, di sini ini tepatnya orang mulai terpikir mengenai selimut hidup, artinya, didekap oleh seorang perempuan yang bukan ibumu. Untuk itu, seperti halnya ibumu, harus ada cinta. Maka ide tentang pengalaman pacar sungguh jahat dan bodohnya. Ide ini sama jahat dan bodohnya dengan persangkaan bahwa hidup hanya di dunia ini saja, bahwa tidak ada hidup sesudahnya di mana kita akan dimintai pertanggungjawaban atas hidup yang ini. Selimut bisa hidup, karena itu, karena cinta. Tanpa cinta, ia sekadar selimut, meski terbuat dari daging dan lemak berbalut kulit.
Ternyata masih sisa tiga, sedang secangkir plastik wedang serbat uwuh menemani. Aku justru terlempar kembali ke Kraanspoor 25 D8 sekitar setelah pulang dari Molenwijk. Apakah itu membeli stang untuk douchegordijntje, atau bahkan majalah NatGeo mengenai perubahan iklim, sangat bisa jadi. Bahkan bisa jadi kedinginan di Pontsteiger gara-gara ketinggalan feri, sampai harus menunggu setengah jam lagi. Gara-garanya, setelah dari Jumbo bersepeda agak jauh sekadar mencari kibbeling. Alhamdulillah, aku diselamatkanNya dari itu semua lahir batin.
Maka mengapa tidak segera diselesaikan. Insya Allah akan segera diselesaikan. Memang tidak pernah ada rencana yang berjalan mulus, seperti udara malam Magelang entah itu setelah menonton Under Siege atau Navy Seals. Apa benar aku membayangkan diriku seperti itu ketika pura-pura main kelahi-kelahian dalam kolam renang bersama Andri Supratman. Hahaha memang suatu ketololan yang paripurna. Jika saja semua keseriusan disimpan untuk yang sebenarnya, tiada sedikit pun keberatan padaku; karena memang itulah doa Bapakku untukku seorang.
Untuk sementara ini, aku lelaki paruh baya berbobot seratus tujuh kilogram. Terlalu muda untuk tidak segera serius mengumpulkan bekal, terlalu tua untuk berbuat ketololan apapun. Bagaimanapun, aku mencintaimu; meski mungkin mukamu mirip bapakmu, membuatku ngilu. Mukamu jika berkilat-kilat berminyak begitu, seperti ketika berfoto bersama Wisnu Kamulyan. Tidak mengapa. Aku tetap mencintaimu. Seandainya saja cinta sesederhana itu; sesederhana rasa nyaman secuil, sesepele apapun. Itulah cinta bagiku: rasa nyaman. Rasa baik-baik saja.