Masakan Senin malam begini malah mengitiki. Senin malam 'kan seharusnya belajar untuk mempersiapkan pelajaran-pelajaran Selasa. Meski aku tidak melakukannya dengan benar, dapat 'kupastikan aku tidak membuang-buangnya dengan cinta remaja. Ketika remaja aku tidak pernah mencinta. Aku selalu yakin akan diperlengkapi jika tiba waktuku. Ternyata setelah setua ini waktuku, 'kurasa, belum tiba juga. Aku malah dikelilingi anak-anak yang menanti-nanti tibanya waktu mereka. Ataukah memang waktu takkan pernah tiba untuk siapapun. Aku rasa demikian.
Tersesat dalam cinta adalah suatu malam dalam sebuah bilik pelacuran. Suatu sore yang mungkin seharusnya indah malah dikejutkan oleh burung menderita pilek. Mengapa aku yang tidak pernah mengalami cinta remaja ini justru bernasib begitu. Malam-malam sepi yang seharusnya mengerikan, yang 'kulalui dengan melangkah di antara tumpukan peti-peti kemas, untuk kemudian menyelinap di dekat Krida Braja. Aku tidak takut hantu. Lantas malam-malam menembus kabut antara asrama dan Kukusan. Uah, betapa banyak malam telah 'kulalui di mana-mana tempat.
Aku kehabisan ragaan. Aku hanya bisa terpesona. Namun apalah guna karena pesona memang selalu memesona. Memang itu gunanya. Ini jelas wujud tidak berdayanya aku, malam Selasa begini malah mendengarkan Themistocles dengan suaranya yang seperti tercekik. Bahkan pada umur sebegini lagu-lagu sudah mulai kehilangan pesona, mengapa tidak sekalian semua saja. Mengapa masih ada saja yang memesona. Seharusnya bisa, karena Warren saja sudah berpangkat letnan angkatan laut. Artinya, Kapten Henry sudah pasti lebih tua dari aku kini, dan tentu bukan kardus.
Ini bahkan sudah bukan malam Selasa. Ini sudah Selasa betul, dan aku masih saja mengitiki. Tidak juga. Aku sudah tidur, dan iklim sudah tidak sama dengan sebelum 2016 atau 2014. 'Kurasa 2014, karena 2015 adalah kemarau terpanjang yang 'kuingat. Betapa bahkan bebambuan meranggas. Mungkin dapat pula diperiksa entri-entri awal 2016, suasananya, tapi jangan sekarang. Jika mengecek entri, pasti tidak selesai entri ini. Lebih baik, mumpung rampak begini, terus memberondong mengitiki begini. Meski sudah berkeliling dunia, belum bertemu juga Lisa dengan bayinya.
Tidak tiba-tiba juga, meski Whitney merasa begitu. Aku merasa semua ini bertahap, perlahan-lahan. Dimulai dengan omelet dibungkus tortilla kecil diselipi salami tipis. Diselipi, bukan disumpili, karena tidak ada kata itu dalam Bahasa Indonesia. Bahkan masih ditambah roti gandum berisi dua potong sosis, telur mata sapi, dan selembar keju cheddar Amerika. Minumnya tentu saja teh hitam secangkir kertas. Jika sosisnya sepotong saja, tidak akan lebih dari goban. Sudah hampir setengah jam berlalu dan aku masih merasa baik-baik saja, berbeda pun dengan nasi dan lauk-pauk.
Maka begitu saja 'kutuang teh herbal Sabda Rasa, yang 'kuseduh dengan air mendidih banyak-banyak, mungkin lebih dari seliter. 'Kutuang ke dalam cangkir plastik merah kesayanganku yang tak bertelinga, sedangkan segalaku sekadar berharap menjadi bagian darimu. Aku adalah rama bagi anak-anakku, perempuan ada tiga jumlahnya, dan seekor kambing gibas. Teh herbal mengepul-ngepulkan uap, serayaku membatin, semua cinta di dunia tidak akan merenggutku darimu; karena aku hanya punya cinta untukmu, Sayang, jikapun harus berakhir dengan berpidato di tepi sumur.
Tidak perlu sok seram. Cukup seperti Nick Wallace saja, karena yang biasa, yang sehari-hari, justru yang paling seram. Apalagi kalau sampai dibiasakan. Aku tidak nyaman jika sudah sampai ke sini. Setelah ini bisa saja aku kembali ke depan tivi seperti berbulan-bulan terjadi di Uilenstede 79C, padahal waktuku sudah habis; sudah lewat jauh bahkan. Wiyono semalam menyapaku. Aku sudah jadi pengemis dan ini benar 'kurasa yang menyakiti lambung. Bahkan ibu penjual nasi uduk menangis jika mengenang pengalamannya mengemis. Aku sekadar teriris di lambungku.
Tersesat dalam cinta adalah suatu malam dalam sebuah bilik pelacuran. Suatu sore yang mungkin seharusnya indah malah dikejutkan oleh burung menderita pilek. Mengapa aku yang tidak pernah mengalami cinta remaja ini justru bernasib begitu. Malam-malam sepi yang seharusnya mengerikan, yang 'kulalui dengan melangkah di antara tumpukan peti-peti kemas, untuk kemudian menyelinap di dekat Krida Braja. Aku tidak takut hantu. Lantas malam-malam menembus kabut antara asrama dan Kukusan. Uah, betapa banyak malam telah 'kulalui di mana-mana tempat.
Aku kehabisan ragaan. Aku hanya bisa terpesona. Namun apalah guna karena pesona memang selalu memesona. Memang itu gunanya. Ini jelas wujud tidak berdayanya aku, malam Selasa begini malah mendengarkan Themistocles dengan suaranya yang seperti tercekik. Bahkan pada umur sebegini lagu-lagu sudah mulai kehilangan pesona, mengapa tidak sekalian semua saja. Mengapa masih ada saja yang memesona. Seharusnya bisa, karena Warren saja sudah berpangkat letnan angkatan laut. Artinya, Kapten Henry sudah pasti lebih tua dari aku kini, dan tentu bukan kardus.
Ini bahkan sudah bukan malam Selasa. Ini sudah Selasa betul, dan aku masih saja mengitiki. Tidak juga. Aku sudah tidur, dan iklim sudah tidak sama dengan sebelum 2016 atau 2014. 'Kurasa 2014, karena 2015 adalah kemarau terpanjang yang 'kuingat. Betapa bahkan bebambuan meranggas. Mungkin dapat pula diperiksa entri-entri awal 2016, suasananya, tapi jangan sekarang. Jika mengecek entri, pasti tidak selesai entri ini. Lebih baik, mumpung rampak begini, terus memberondong mengitiki begini. Meski sudah berkeliling dunia, belum bertemu juga Lisa dengan bayinya.
Tidak tiba-tiba juga, meski Whitney merasa begitu. Aku merasa semua ini bertahap, perlahan-lahan. Dimulai dengan omelet dibungkus tortilla kecil diselipi salami tipis. Diselipi, bukan disumpili, karena tidak ada kata itu dalam Bahasa Indonesia. Bahkan masih ditambah roti gandum berisi dua potong sosis, telur mata sapi, dan selembar keju cheddar Amerika. Minumnya tentu saja teh hitam secangkir kertas. Jika sosisnya sepotong saja, tidak akan lebih dari goban. Sudah hampir setengah jam berlalu dan aku masih merasa baik-baik saja, berbeda pun dengan nasi dan lauk-pauk.
Maka begitu saja 'kutuang teh herbal Sabda Rasa, yang 'kuseduh dengan air mendidih banyak-banyak, mungkin lebih dari seliter. 'Kutuang ke dalam cangkir plastik merah kesayanganku yang tak bertelinga, sedangkan segalaku sekadar berharap menjadi bagian darimu. Aku adalah rama bagi anak-anakku, perempuan ada tiga jumlahnya, dan seekor kambing gibas. Teh herbal mengepul-ngepulkan uap, serayaku membatin, semua cinta di dunia tidak akan merenggutku darimu; karena aku hanya punya cinta untukmu, Sayang, jikapun harus berakhir dengan berpidato di tepi sumur.
Tidak perlu sok seram. Cukup seperti Nick Wallace saja, karena yang biasa, yang sehari-hari, justru yang paling seram. Apalagi kalau sampai dibiasakan. Aku tidak nyaman jika sudah sampai ke sini. Setelah ini bisa saja aku kembali ke depan tivi seperti berbulan-bulan terjadi di Uilenstede 79C, padahal waktuku sudah habis; sudah lewat jauh bahkan. Wiyono semalam menyapaku. Aku sudah jadi pengemis dan ini benar 'kurasa yang menyakiti lambung. Bahkan ibu penjual nasi uduk menangis jika mengenang pengalamannya mengemis. Aku sekadar teriris di lambungku.
No comments:
Post a Comment