Nah, nah, ini baru benar-benar edan! Aduh jangan, dong. Ayolah. Konsistenlah dengan judul yang sudah sangat manis dan tanpa dosa itu. Manis dan tanpa dosa? Tepat di sini aku berhenti. Benar-benar berhenti. Membasah semua di mana-mana, membuncah. Meremas, merengkuh, sedang jari-jari ini sudah tidak mantap. Mengapa ini semua harus terjadi, ketika beberapa malam Arthur Garfunkel terpesona? Saat ini aku benar-benar berharap pesona itu hadir bersamaku, tiap-tiapnya ketika aku sendiri begini. Hancurlah sudah judul yang begitu manis, begitu tanpa dosa. Hancur. Inilah adanya.
Bacin. Lethek. Solo? Hahaha... apa tidak ada sedikit saja yang mau kauabadikan? Apa? Piano di lobi itu? Piano Yamaha upright murahan itu? Atau sekarang Karin yang ngemsi bersamamu ketika kau masih cukup manis dan dosamu masih agak sedikit? Cukup manis? Dosa sedikit? Ini ternyata entri manis tanpa kol. 'Emangnya mie godog? Jika dibiarkan memang ini yang terjadi. Otak yang penuh tanda tanya, yang menemukan pembenaran dari Pippi Si Kaus Kaki Panjang dengan olahraga bertanya-tanyanya. Selain itu bisa melodi manis, bisa ketukan tolol. 'Tuh 'kan, manis lagi. Tolol tapi belum. Ini bisa edan!
Ini lagipula bukan Janet Jackson dan bukan pula satu-satunya untukku, melainkan mengapa Pebbles percaya. Ayolah. Fokus ke Solo. Solo? Tidak! Aku mau... menyembuhkan patah hatiku. Namun bagaimana, dengan apa? Piano, bisa? Seharusnya bisa, meski sangat boleh jadi aku akan dimaki Simon Cowell kalau sampai melakukannya. Suaraku jangan-jangan sekadar kaliber penyanyi kereta bawah tanah. Pengamen! Memang itu aku. Solo! Solo! Tidak! Aku... tidak berdaya. Aku lemas. Seperti biasa aku mencari pelampiasan. Tidak begitu juga. Tidak! Aku tidak mau dan tidak peduli Solo meski dipaksa bagaimana.
Ya, aku patah hati. Bagaimana kalau Wonogiri? Gila apa?! Sangiran? Ah, tapi aku tidak ke sana! Sudah, coba carikan lakban. Jangan sampai Johnny Logan memohon-mohon. Ini sakit juga. Ini seperti rokok Crystal yang baunya sebenarnya harum tetapi rasanya najis lagi menyakiti tenggorokan. Apa mau muda lagi. Tepat di sini aku menangis menggarung-garung sejadi-jadinya. Aku berguling-guling di lantai kamar mandi sedang tidak dipedulikan. Mengapa begini? Asepteven, aku yang baru menyingkap kegaiban malah jadi begini. Aku yang pulang dari Solo langsung meminum oli, tanpa bercelana!
Aduh, aduh, sakit. Di sini. Di mana-mana. Mana bisa membiara jika begini? Mana bisa jadi bola polo? Sedangkan distemper tidak membuatku jadi sugardaddy. Bagaimana jika suka sugardaddy? Masa bunuh diri seperti Jesse Alvin? Kami sama-sama pemain bass 'loh. Tidak 'lah. Membunuh? Mudah. Sekalian bikin horcrux. Aduh, sudahlah, Sayang, datang saja padaku sini. Hentikan aku, sedang jempol-jempol bergoyang-goyang berputar-putar begini. Apa kumaki saja melayangnya selembar seratus ribu? Selat Solo? Malam bisa jadi dingin. Siapa yang bisa menghangatkanku? Siapa yang tak bercelana?
Hei! Tinggal di sini! Di mana? Sedang tikus mati karena meminum susu kental manis coklat, padahal tidak habis. Lalu ini. Manis juga, berlumur dosa. Malu tidak kau bicara begitu, hah? Hanya Hari Prasetiyo yang tahu, dan sudahlah tidak perlu lainnya. Bisa dimulai? Bisa dihentikan? Belum. Sedikit lagi. Sudah sakit ini. Dari tadi juga begitu. Kau 'kan masokis. Aku sadis. Kau koprofil. Aku ngentutan. Solo. Solo. Solo. Tidak! Tidak! Tidak! Sugardaddy. Mau kucabik-cabik? Aku seperti pembacok ahli IT 'loh. [apa kabarnya] Kucekoki susu kental manis coklat? Coklat? Merah jambu. Kakinya berbulu.
Aku cuma harus mendekapmu dalam pelukanku. [atau memelukmu dalam dekapanku?] Kalau sudah apa? Membiarkanmu tertawa kecil ketika kukecup bibirmu, sedang bengkak menghitam begitu? Cupu 'kan? Aah! Sayang, kau menyakitiku... jangan dari situ lalu ke situ... Inilah yang dapat kubawa dari Solo. Ini oleh-olehnya. Bukan Javenir tapi javelin. Asli. Kutombak kau pakai javelin, begitu. Langsung menancap di hati dan sengaja tidak dicabut. Nanti ikut tercabut hatinya. Heart bukan liver 'loh yang kena. Haruskah kukelilingi seantero bumi jika ia bulat, atau kukembarai jika datar, untukmu?
Demak Kota Wali
Bacin. Lethek. Solo? Hahaha... apa tidak ada sedikit saja yang mau kauabadikan? Apa? Piano di lobi itu? Piano Yamaha upright murahan itu? Atau sekarang Karin yang ngemsi bersamamu ketika kau masih cukup manis dan dosamu masih agak sedikit? Cukup manis? Dosa sedikit? Ini ternyata entri manis tanpa kol. 'Emangnya mie godog? Jika dibiarkan memang ini yang terjadi. Otak yang penuh tanda tanya, yang menemukan pembenaran dari Pippi Si Kaus Kaki Panjang dengan olahraga bertanya-tanyanya. Selain itu bisa melodi manis, bisa ketukan tolol. 'Tuh 'kan, manis lagi. Tolol tapi belum. Ini bisa edan!
Ini lagipula bukan Janet Jackson dan bukan pula satu-satunya untukku, melainkan mengapa Pebbles percaya. Ayolah. Fokus ke Solo. Solo? Tidak! Aku mau... menyembuhkan patah hatiku. Namun bagaimana, dengan apa? Piano, bisa? Seharusnya bisa, meski sangat boleh jadi aku akan dimaki Simon Cowell kalau sampai melakukannya. Suaraku jangan-jangan sekadar kaliber penyanyi kereta bawah tanah. Pengamen! Memang itu aku. Solo! Solo! Tidak! Aku... tidak berdaya. Aku lemas. Seperti biasa aku mencari pelampiasan. Tidak begitu juga. Tidak! Aku tidak mau dan tidak peduli Solo meski dipaksa bagaimana.
Ya, aku patah hati. Bagaimana kalau Wonogiri? Gila apa?! Sangiran? Ah, tapi aku tidak ke sana! Sudah, coba carikan lakban. Jangan sampai Johnny Logan memohon-mohon. Ini sakit juga. Ini seperti rokok Crystal yang baunya sebenarnya harum tetapi rasanya najis lagi menyakiti tenggorokan. Apa mau muda lagi. Tepat di sini aku menangis menggarung-garung sejadi-jadinya. Aku berguling-guling di lantai kamar mandi sedang tidak dipedulikan. Mengapa begini? Asepteven, aku yang baru menyingkap kegaiban malah jadi begini. Aku yang pulang dari Solo langsung meminum oli, tanpa bercelana!
Aduh, aduh, sakit. Di sini. Di mana-mana. Mana bisa membiara jika begini? Mana bisa jadi bola polo? Sedangkan distemper tidak membuatku jadi sugardaddy. Bagaimana jika suka sugardaddy? Masa bunuh diri seperti Jesse Alvin? Kami sama-sama pemain bass 'loh. Tidak 'lah. Membunuh? Mudah. Sekalian bikin horcrux. Aduh, sudahlah, Sayang, datang saja padaku sini. Hentikan aku, sedang jempol-jempol bergoyang-goyang berputar-putar begini. Apa kumaki saja melayangnya selembar seratus ribu? Selat Solo? Malam bisa jadi dingin. Siapa yang bisa menghangatkanku? Siapa yang tak bercelana?
Hei! Tinggal di sini! Di mana? Sedang tikus mati karena meminum susu kental manis coklat, padahal tidak habis. Lalu ini. Manis juga, berlumur dosa. Malu tidak kau bicara begitu, hah? Hanya Hari Prasetiyo yang tahu, dan sudahlah tidak perlu lainnya. Bisa dimulai? Bisa dihentikan? Belum. Sedikit lagi. Sudah sakit ini. Dari tadi juga begitu. Kau 'kan masokis. Aku sadis. Kau koprofil. Aku ngentutan. Solo. Solo. Solo. Tidak! Tidak! Tidak! Sugardaddy. Mau kucabik-cabik? Aku seperti pembacok ahli IT 'loh. [apa kabarnya] Kucekoki susu kental manis coklat? Coklat? Merah jambu. Kakinya berbulu.
Aku cuma harus mendekapmu dalam pelukanku. [atau memelukmu dalam dekapanku?] Kalau sudah apa? Membiarkanmu tertawa kecil ketika kukecup bibirmu, sedang bengkak menghitam begitu? Cupu 'kan? Aah! Sayang, kau menyakitiku... jangan dari situ lalu ke situ... Inilah yang dapat kubawa dari Solo. Ini oleh-olehnya. Bukan Javenir tapi javelin. Asli. Kutombak kau pakai javelin, begitu. Langsung menancap di hati dan sengaja tidak dicabut. Nanti ikut tercabut hatinya. Heart bukan liver 'loh yang kena. Haruskah kukelilingi seantero bumi jika ia bulat, atau kukembarai jika datar, untukmu?
Demak Kota Wali