Meski sama-sama di ketinggian, yang kupandangi ini bukan Monas. Meski sama-sama di ketinggian, ini bukan Menara Pengawas CGK, bukan Sentra Operasi Penerbangan, (Senopen) bukan pas yang ada tulisan shift leader-nya. Meski tetap ini mengenainya, karena yang kupandangi adalah gedung Fedex hampir di kaki langit. [Kali ini akan kucoba tanpa tanda-hubung ganda tolol itu] Entah mengapa aku kesakitan. Tidak bisa lain ini karena dosa-dosaku, ketololanku sendiri. Di ketinggian ini aku merasa tolol dan tidak berdaya. Hanya bersabar yang masih dapat diandalkan.
Ya, karena ini masih di dunia. Kelak di akhirat, [neraka...] sabar tidak ada gunanya. Sama saja engkau sabar atau tidak. Ampun Rabb hamba, ampun. Hanya satu harapan si Tolol ini, mana tahu semua kesakitan ini dapat mengikis habis semua dosa dan kedurhakaan, agar agak pantaslah si Tolol ini menghadapMu. Kutulis ini dalam keheningan malam, kecuali hembusan AC saja yang terdengar di ruangan berjendela kecil ini. Aku tidak suka jendela kecil, meski dari jendela ini kupandangi waktu-waktu, yang tampak begitu jelasnya menari-nari di hadapanku. Masa lalu tidak ada. Yang ada hanya yang di hadapanku ini.
Biarlah di sini kutuliskan betapa aku mulai kehilangan kepercayaanku, keyakinanku. Ya, itu aku di sudut, di bawah siraman lampu sorot, kehilangan kepercayaanku pada... Pancasila dan UUD 1945 hahaha. Menulis delapan alinea itu menguras imajinasi tauk. Namun apa yang sudah kaumulai harus kauselesaikan. Ini adalah, sebagaimana biasa, entri mengenai cinta. Cinta yang tidak pernah disampaikan sebagaimana harusnya cinta, karena tidak ada kata "musti" atau "mesti" dalam Bahasa Indonesia. Satu-satunya penanda bagi gagasan Kebangsaan Indonesia yang sungguh rapuhnya, yang mengeringkan jiwa karenanya.
Pergilah, pergi bersama Tuhan. Bunda Maria pun bersamamu, jadi untuk apa khawatir? Mengapa takut mencelupkan belati ke dalam daging hidup? Amboi, itu lebih baik, jauh lebih baik daripada mencelupkan daging ke dalam lubang berdaging berlendir. Jauh lebih baik, 'Nak. Semua kehidupan berharga, semua kehidupan adalah kehendakNya. Jangan kaucabut sekehendak hatimu, kecuali bila menjadi kehendakNya. Bagaimana aku tahu kehendakNya, Bapa? Sedangkan makan saja aku merasa bersalah. Haruskah aku mempertahankan hidupku dengan bernafas saja? [Aduhai, banyak sekali kata serapan dari bahasa Arab!]
Pada ketika itu aku memutar badan, memunggunginya, lalu melangkah pergi. Dramatis sekali! Sedangkan ia memandangi punggungku bergerak menjauh seakan-akan lesan sasaran bulat-bulat hitam di tengah-tengah. Aku tahu ia membidiknya. Lengannya sudah terangkat mengamangkan belati. Kuhentakkan dalam hati, "Lakukan! Sekarang!" "Bapa maafkan aku! Tuhan maafkan aku! Bunda Maria maafkan aku!" Ia meraung dan hanya seberapa ketika sesuatu kurasakan menghantam punggungku. Suatu bidikan yang sangat terlatih dan sangat tepat, bersarang di antara belikat di antara iga.
Darahku mengering karenanya, meninggalkan nadi-nadiku dengan cepat, mengosongkan otak dan jantungku. Jiwaku mengering karenanya, aku-ku kosong karenanya. "Terima kasih, 'Nak. Terima kasih, Tuhan." Itulah kata-kataku terakhir di minggu pagi yang cerah ini, yang lantas tidak punya arti. Engkau, 'Nak, yang masih harus mencari arti bagi hidupmu. Aku sudah tidak. Tidak ada bedanya kini apakah hidupku kemarin berarti atau tidak. Kau masih harus menjalani hidupmu yang penuh kesia-siaan, kecuali jika diisi dengan perbuatan-perbuatan baik, untuk menunjukkan penghambaanmu padaNya. Semata-mata.
Maka pergilah ia ke tempat ramai, di mana orang berkata-kata sesukanya. Pergilah ia ke pasar di mana orang saling menipu, bahkan meminta meratap agar ditipu habis-habisan. Baik si Penipu maupun si Tertipu tidak ada bedanya bagi ujung belatinya. Ia celupkan dalam-dalam terkadang di tempat-tempat di mana tidak ada pembuluh nadi. "Agar lebih lama ia kehabisan darah," gumamnya selalu sambil mengingatku, mengenang wajahku kala terakhir menatapnya. Dalam ingatannya, wajahku teduh penuh kasih, seakan wajah Bunda Maria sendiri memandangi putranya yang mengorbankan diri menebus dosa manusia.
Sampai suatu hari ia bertemu dengan seorang perempuan. Pertama, dipandanginya lekat-lekat perempuan itu pada dadanya. Selanjutnya, entah bagaimana ia merasakan suatu dorongan kuat untuk menubruknya, dada itu sepasang buahnya. Sungguh ranum di matanya, bagaikan kelapa tua. Ia tidak peduli lagi pandangan mata orang, bahkan mata, bahkan wajah perempuan itu. Matanya terpaku pada dada, dan hanya dada itu saja. Ia merasa selain belatinya ada juga yang mengacung. Ia menatap nanar sampai matanya terasa perih, sehingga tak terasa ia mengerjap-ngerjap. Ketika itulah ia melihat neraka.