Uah, sudah saja kutulis! Biar tidak lama, meski diiringi dentingan piano memainkan melodi entah apa. Sementara dalam angan melambai-lambai membayang sesuatu yang jelas kesia-siaannya, seperti sia-sianya akhir pekanku kini. Eh, begitu pakai irfon bunyinya lumayan. Apa yang tadi terbayang seperti kesia-siaan tiba-tiba menjadi indah, menjadi syahdu mendayu. Ya, setidaknya begitu. Setidaknya apa? Baca berita! Berita apa? Difoto apanya? Tidak. Beginilah saja adanya. Gendut mbededet, mungkin air isinya, ditahan oleh garam. Bisa jadi.
Di meja makan, sementara itu, menungguku segelas liang teh yang sudah diteguk agak sedikit. Menunggu seperti teman misterius, mengawasi apa-apa yang diperbuat oleh benakku. Benak yang ditenagai oleh keju sisa martabak yang sedikit dilumuri susu kental manis, yang kesal karena kerang saos padang. Jangan lombok yang asin dipadu dengan nasi uduk, seharusnya pakai bala-bala. Maka jadilah kenangan SDN Cimone 3 di bawah asuhan Bapak Sawira. Jadilah Jalan Jayapura di akhir '80-an itu, yang enggan kukenang kini karena sakit saja terasa di hati.
Biar seribu tahun memutih rambutku, hatiku tetap selembut salju. Hahaha salju tidak lembut, Bos! Dan tawa itu hanyalah padaku yang hanya sejenak mengecap, seperti juga Sandra. Bahkan Ayu dan Budi sepertinya jauh lebih baik dari kami. Bagaimana Nuni, Nuri, Yolan, Bowo? Semua masa lalu belaka, sedangkan masa kiniku adalah kenyataan mengenai surat keterangan telah melaksanakan tridarma, atau dasasatya? Gimana sih? Hidup benar-benar memaksaku untuk percaya sepenuhnya bahwa kebutuhan, bukan keinginan, akan selalu terpenuhi.
Kalau tidak percaya rasanya seperti tidak ingin hidup, soalnya. Buat apa hidup jika hanya menahan gejolaknya keterbukaan, meski itu hanya satu di tempat yang sangat strategis. Selembar post-it merah sempat menampung keraguan yang sok yakin, hanya untuk berakhir uwel-uwelan di tong sampah. Akhirnya, berujung pada kelecetan yang satu sampai anyang-anyangen yang lain. Sedangan rasaku tidak nyaman seperti kebanyakan gula, dan musik-musik sok relaxing ini memang ngeselin kecuali sedang dipijat-pijat penuh kelembutan oleh terapis yang jarinya tidak jempol semua.
Apa katamu? Penari angin? Lalu ada lagi bocah main debat-debatan memancing murka. Aku selaku pendidik [halahmadrid!] tentu saja tidak boleh murka. Aku harus sabar, meski tarikan urat muka tampak jelas menahan bosan dan jijik. Setan, mengapa tidak kuusir saja bocah-bocah itu, biar menjadi pelajaran bagi mereka dan yang lain-lainnya. Apa yang kulakukan ini... sia-sia. Bahkan bocah-bocah ini mencibirku. Bocah! Betapatah dengan oom-oom. Diberakin ada juga. Ya Allah hamba mohon ampun. Hamba mohon pertolongan. Hamba mohon ampun.
Apa tidak lebih baik jatuh cinta? 'kan enak? Jatuh itu sakit, sakit itu enak. Enaknya seperti keropeng setengah kering digaruk-garuk dithithili. Seperti itu 'kan? 'tuh sana jatuh cinta pada koreksian Hukum Adat hahaha. Tidak pada apapun yang dimasukkan ke perut. Lebih tidak pada apapun yang dijejalkan ke otak, apalagi ke dalam sanubari... dan penari angin dengan monotoni ini benar-benar menggangguku, apanya yang relaks?! Bisa edan aku dibuatnya. Nah, ini agak bolehlah, secara aku pun biasa memainkannya: Kenangan yang ada lampu jalan dan keheningan jalan setapak.
Tidak, sekali-kali tidak! Tidak, sekali lagi tidak! Meski buntu jalanku, meski beku otakku, meski gelap mataku, meski remuk hatiku, hanya Yang Tersembunyi itu yang kudamba. Biarlah aku menenggelamkan diriku ke dalamnya, Telaga Sunyi itu, meski siap aku berbantah-bantah dalam sunyi. Kecipaknya, gericiknya, tidak ada. Denting-dentingnya tak bersuara. Hanya nyaman dan kempisnya perut kini kudamba, agar tidak sesak ketika duduk, sepantas patutnya hamba, sudah selayaknya. Menekur menekuk punggung melipat perut. Sungguh, aku khawatir.
No comments:
Post a Comment