Harus banget ya judulnya seperti itu? Apakah yang Pertama dan Kedua juga seperti ini, ditemani oleh Penelope dan Burung Mekaniknya yang Mungil? Yang jelas, ini kutulis setelah bangun tidur, setelah sahur dan shalat shubuh, bahkan sempat tadabbur al-Qur’an. [Insya Allah] Yang Pertama dan Kedua seingatku ditulis sebelum tidur, di sini juga, di ruang tamu Bagasnami yang remang-remang temaram, dihembus dinginnya pendingin udara. Seingatku, Penelope justru tidak pernah menemani hari-hariku di Eropa. Selama di sana, Kerjaku hanya Memikirkanmu.
Teringatnya, aku sempat membaca postingan mengenai bagaimana ngeblog yang baik. Seingatku, hampir semua kiat di situ kulanggar hahaha. Aku memperlakukan blogku seperti sebuah diare, dan aku memang tidak ingin dan tidak butuh ngeblog, jika begitu definisi dan tujuan ngeblog. Aku sendiri pribadi. Namun kebutuhan untuk menulisi selalu kurasakan entah sejak kapan. Apakah sejak SMP ketika aku mulai menulis Bonoisme? Sangat bisa jadi. Ketika kebanyakan bocah baru gede mulai merintis karir sebagai pemain asmara, aku justru berpikir-pikir mengenai Bonoisme.
Akibatnya, nyaris tidak ada yang kuingat mengenai Metty Mediawati, Yashmine apalagi Ririn Andriani yang padahal sekompleks denganku. Uah, panjang sekali alinea di atas! Hanya karena ingin menulis nama-nama itu. Maka kupindahlah kalimat itu ke alinea yang ini. Ini bukan blog, karena apa yang kutulis di sini semata-mata mengenai aku dan aku saja. Lagipula, aku memang tidak tahu apa-apa yang lain kecuali diriku sendiri. Alangkah bodohnya jika aku merasa mengenal Nietzche, atau Feuerbach dan Freud sekali, hatta menyebut diriku Nietzcheian, Feuerbachian atau Freudian.
Sedangkan aku sendiri memaksa anak bocah untuk menulis makalah Owenian. Sedangkan kutegur Ciki karena ia merasa lebih menguasai bagian “ideologis” dari Hukum Koperasi. Jika demikian memang yang kaurasakan, Cik, maka lebih tepat jika engkau bersama Sopuyan saja. Lebih cucok jika engkau berusaha mencari jalanmu ke dalam Dasar-dasar Ilmu Hukum. Untuk sementara, karena jika sampai waktuku, kumau tak seorangpun kan merayu. [halahmadrid!] Asal goblek, asal ngomyang begini memang terasa sangat ideologis, terasa manis-manis filsafatinya.
Nyatanya, di sinilah kutemukan diriku. Apa yang kuinginkan? Semangkuk Sop Ikan Batam bersama nasi putihnya sekali, dengan rajangan cabe rawit direndam kecap asinnya? Apa kukira diriku Jason Yeoh? Apa karena aku terancam goblek ngomyang mengenai Protokol Nagoya lantas aku merasa berhak untuk melakukan itu semua? Apa karena Rosewitha Irawati berlebaran di rumah tahun ini, sedangkan Sopuyan merasa yakin akan kediktian tahun depan, lantas aku merindukan Sop Ikan Batam, padahal baru saja, apa sehari sebelum puasa, aku menikmatinya?
Jama’ah Goblekiyah yang [semoga] diampuniNya Sang Maha Berbelas-kasih, haruskah alinea ini juga kupenuhi dengan kalimat-kalimat tanya, meski memang masih ada satu tanya lagi yang mengganjal entah di bagian mana tubuhku? Atau jiwaku? Apa salah jika aku bersimpati pada apa yang diyakini oleh Bang Junaidi Madri? Terkadang aku merasa hatiku lunak pada abang-abangku, sedikit orang di dunia ini yang dengan sepenuh kerelaan kupanggil “Bang.” Sedangkan ia menuduh adik-adiknya pemuja setan. Tidakkah kau takut dituduh begitu?
Jiah, alinea terakhir ini seakan menunggu Toccata untuk menemaninya. Menemani jiwa yang dirundung, diharu-biru oleh entah apa, rasa sayangnya pada kedua orangtua atau sekadar masa lalu, atau sekadar khayalan konyolnya mengenai masa lalu. Sedangkan bunyi hapsicord itu masih terdengar, meski dalam ingatannya sepanjang lagu tanpa ditingkahi piano. Toccata ah Toccata, kaulah gadisku yang sebenarnya, yang selalu gadis, selalu perawan, selalu bulat montok, segar dan sebaya. Biar kau kunikmati di fananya dunia ini, nanti hanya WajahNya yang kuinginkan.
Wallahua’lam bishawab
Teringatnya, aku sempat membaca postingan mengenai bagaimana ngeblog yang baik. Seingatku, hampir semua kiat di situ kulanggar hahaha. Aku memperlakukan blogku seperti sebuah diare, dan aku memang tidak ingin dan tidak butuh ngeblog, jika begitu definisi dan tujuan ngeblog. Aku sendiri pribadi. Namun kebutuhan untuk menulisi selalu kurasakan entah sejak kapan. Apakah sejak SMP ketika aku mulai menulis Bonoisme? Sangat bisa jadi. Ketika kebanyakan bocah baru gede mulai merintis karir sebagai pemain asmara, aku justru berpikir-pikir mengenai Bonoisme.
Akibatnya, nyaris tidak ada yang kuingat mengenai Metty Mediawati, Yashmine apalagi Ririn Andriani yang padahal sekompleks denganku. Uah, panjang sekali alinea di atas! Hanya karena ingin menulis nama-nama itu. Maka kupindahlah kalimat itu ke alinea yang ini. Ini bukan blog, karena apa yang kutulis di sini semata-mata mengenai aku dan aku saja. Lagipula, aku memang tidak tahu apa-apa yang lain kecuali diriku sendiri. Alangkah bodohnya jika aku merasa mengenal Nietzche, atau Feuerbach dan Freud sekali, hatta menyebut diriku Nietzcheian, Feuerbachian atau Freudian.
Sedangkan aku sendiri memaksa anak bocah untuk menulis makalah Owenian. Sedangkan kutegur Ciki karena ia merasa lebih menguasai bagian “ideologis” dari Hukum Koperasi. Jika demikian memang yang kaurasakan, Cik, maka lebih tepat jika engkau bersama Sopuyan saja. Lebih cucok jika engkau berusaha mencari jalanmu ke dalam Dasar-dasar Ilmu Hukum. Untuk sementara, karena jika sampai waktuku, kumau tak seorangpun kan merayu. [halahmadrid!] Asal goblek, asal ngomyang begini memang terasa sangat ideologis, terasa manis-manis filsafatinya.
Nyatanya, di sinilah kutemukan diriku. Apa yang kuinginkan? Semangkuk Sop Ikan Batam bersama nasi putihnya sekali, dengan rajangan cabe rawit direndam kecap asinnya? Apa kukira diriku Jason Yeoh? Apa karena aku terancam goblek ngomyang mengenai Protokol Nagoya lantas aku merasa berhak untuk melakukan itu semua? Apa karena Rosewitha Irawati berlebaran di rumah tahun ini, sedangkan Sopuyan merasa yakin akan kediktian tahun depan, lantas aku merindukan Sop Ikan Batam, padahal baru saja, apa sehari sebelum puasa, aku menikmatinya?
Jama’ah Goblekiyah yang [semoga] diampuniNya Sang Maha Berbelas-kasih, haruskah alinea ini juga kupenuhi dengan kalimat-kalimat tanya, meski memang masih ada satu tanya lagi yang mengganjal entah di bagian mana tubuhku? Atau jiwaku? Apa salah jika aku bersimpati pada apa yang diyakini oleh Bang Junaidi Madri? Terkadang aku merasa hatiku lunak pada abang-abangku, sedikit orang di dunia ini yang dengan sepenuh kerelaan kupanggil “Bang.” Sedangkan ia menuduh adik-adiknya pemuja setan. Tidakkah kau takut dituduh begitu?
Jiah, alinea terakhir ini seakan menunggu Toccata untuk menemaninya. Menemani jiwa yang dirundung, diharu-biru oleh entah apa, rasa sayangnya pada kedua orangtua atau sekadar masa lalu, atau sekadar khayalan konyolnya mengenai masa lalu. Sedangkan bunyi hapsicord itu masih terdengar, meski dalam ingatannya sepanjang lagu tanpa ditingkahi piano. Toccata ah Toccata, kaulah gadisku yang sebenarnya, yang selalu gadis, selalu perawan, selalu bulat montok, segar dan sebaya. Biar kau kunikmati di fananya dunia ini, nanti hanya WajahNya yang kuinginkan.
Wallahua’lam bishawab
No comments:
Post a Comment