Aduhai, entri terakhir adalah dari Senin sedangkan sekarang adalah hari terakhir minggu ini. [Bilakah suatu minggu diawali, pada Minggu atau Senin?] Bila Senin itu aku menulis di lantai 2 STR, pagi ini aku menulis di lantai 4 Gedung D FHUI. Jika kutolehkan kepalaku ke arah kiri dan memandang lurus ke selatan, bukan lagi puncak-puncak pepohonan—dan kaki langit yang tak-tampak karenanya—yang kelihatan, melainkan bangunan-bangunan tinggi! Awal 2006 di arah yang sama hanya terlihat ujung Depok Town Square yang sok cerdik itu.
Kini di belakangnya, ke arah barat sudah berdiri apartemen entah berapa lantai. Lebih ke barat lagi, di dalam lingkungan Universitas Indonesia ada bangunan the Development of the World Class University. (sic!) Latar depan pemandangan ini, yaitu di sebelah selatan Masjid Ukhuwah Islamiyah terdapat bangunan mangkrak yang kalau tidak salah adalah sekolah seni yang tidak jadi. Dari arah selatan, jika pandangan diputar ke arah kiri atau timur, maka akan tampak Hotel Margo yang berdiri di bekas lapangan futsal Margo City—yang tampaknya tidak laku.
Hei, bahkan Gunadarma Pondok Cina pun kini punya bangunan tinggi! Tidak usah jauh-jauh. Aku masih ingat dari jendela selatan JHP ini dahulu aku masih bisa memandangi rumpun bambu di belakang mesjid yang lumayan rimbunnya. Lalu ada hutan Jati Super Monfori yang ditanam di tanah kosong tempatku dulu mencetak beberapa gol. Dulu. Selalu saja dulu, sedang yang kubicarakan ini adalah dari sepuluh tahun lalu ketika dampak perubahan iklim belum seterasa ini. [atau ini sekadar aku yang sudah bertambah tua sepuluh tahun?]
Bukan aku tidak percaya perubahan iklim, Bang Andri. Bukan begitu. Aku percaya perubahan iklim sedang terjadi. Aku termasuk golongan orang-orang yang bersikap, “tentu saja begitu,” bukan yang “ah, mustahil—secara aku jadi orang fatalistik-eskatologik. Nah, sesuai dengannya pula, yang aku tidak percaya adalah jika perubahan iklim ini terjadi semata karena sebab-sebab antropogenik. Iklim bertambah panas karena manusia terlalu banyak membakar bahan bakar fosil? Berikan padaku patah! Sampai kapan kalian manusia masih akan berpikir bahwa kalian bisa mengendalikan apapun?
Mengapa aku jadi bicara mengenai bangunan-bangunan tinggi dan perubahan iklim, padahal niat awalku adalah merekam apa-apa yang terjadi sepanjang minggu pertama Semester Gasal 2015/2016 ini? Minggu pertama dari 16 (enam belas) minggu, begitu kata Cantik tadi malam. Baiklah kucatat di sini, Rabu dan Kamis kemarin aku demam meriang panas, mirip dengan minggu lalu ketika subuh-subuh aku mengantar Cantik ke Tapsiun Depok Lama gara-gara ia pengen maen ke Pulau Pari, (lagi?!) kali itu bersama Riza Lestari.
Namun jika dirasa-rasa memang untuk apa itu semua dicatat. Cukuplah segala sesuatu yang telah berlalu disyukuri kepadaNya dan dimohonkan ampunanNya. Seperti sekarang ini, aku mengetik telanjang dada meskipun hanya kedua ketiakku yang terasa basah. [sebenarnya aku berharap agak sekujur dada dan punggung bagian atas, setidaknya, basah. Namun bagaimana bisa jika kerjaku sepagian ini hanya duduk?] Entah ilham dari mana, pagi ini aku mengetik-ngetik sambil mendengarkan lagu-lagu Queen dari Pukulan Terbesar Pertama dan Keduanya.
Jauh lebih patut dicatat, jangan sampai kita tertipu, terlena mencari kesenangan, mencoba menyenang-nyenangkan diri sendiri karena merasa perlu jeda dari penatnya hidup. Ini saja sudah senang, mengetik-ngetik begini, maka cukup dan cukupkanlah! Puji Tuhan, sungguh mengagumkan Cantik yang bisa bersetia dengan shalat dhuhanya. Aku setia dengan apaku? Wiridku sehabis shalat saja asal-asalan, apalagi shalat sunat rawatibnya. Hidup memang penat dan umur memang sudah cukup banyak untuk lebih sering dan lama merasa penat. Terima saja semua itu dengan Syukrulillah. Aamiin.
Tepat Betul Lima Ratus Lima Puluh!
No comments:
Post a Comment