Entah bagaimana caranya, ["entah bagaimana caranya" sering sekali kugunakan ketika aku harus mengungkapkan perasaan hatiku, mungkin karena aku seorang fatalis eksibisionistik] ketika aku tengah menyiapkan suasana hati untuk mengetik entri ini, terpikir olehku, jangan-jangan aku sudah tidak sanggup menghasilkan apapun yang lebih serius dari entri-entri konyol ini. Suatu pikiran yang mengerikan, meski entah mengapa, seperti biasa, ada terbersit perasaan tidak peduli—perasaan pura-pura panik padahal biasa saja. Entah bagaimana caranya, entah sejak kapan aku menjadi fatalis seperti ini.
Entri ini terutama adalah mengenai musim kemarau raya, kemarau yang gagah perkasa. Setelah Bapak menunjukkan, baru kuperhatikan bahwa daun-daun bambu di depan rumah tertunduk kering begitu. Cantik juga menambahi bahwa yang entah di mana itu malahan lebih parah daripada yang di depan rumah. Aku pasti sibuk sekali beberapa waktu terakhir ini, sampai hal sedemikian penting luput dari pengamatanku. Ini adalah El Niño yang hampir sama, atau bahkan lebih kuat dari El Niño pada 1997.
Apa yang kuingat darinya? Memasuki semester ketigaku di FHUI, sayup-sayup memang teringat olehku hari-hari panjang yang panas, malam-malam yang berpeluh keringat, angin yang menerbangkan debu, dan tentu saja bencana kebakaran hutan hebat yang kali pertama kuamati dalam hidupku. Musim kemarau, siapa yang menyukainya, tetapi siapa yang berani terang-terangan mengatakan tidak suka padanya. Aku hanya bisa menghela nafas sambil membumbungkan harapan-harapan, namun terang-terangan mencacinya, memang aku ini siapa? El Niño yang perkasa, konon kabarnya seorang diri meruntuhkan peradaban Maya.
Jika pun ada yang kulakukan, mungkin ia kujadikan alasan mengapa kesehatanku memburuk. Alhamdulillah, periksa darah lengkap menunjukkan hasil yang baik. Melegakan namun tidak menjelaskan, sehingga Mas Aru Ariadno menyuruhku USG abdomen. Di sini saja kuluapkan betapa aku tidak suka dokter, rumah sakit dan obat. Siapa juga yang suka? Satu-satunya hal yang memberatiku untuk melakukan USG abdomen ini adalah biayanya, meski 80 persen sudah ditalangi oleh asuransi Bintang Medika dari Ikatan Alumni Teknik Informatika ITB.
Terlepas dari apapun, aku lebih suka membicarakan mengenai Sang Kemarau nan Perkasa. Aku lebih suka menghabiskan waktuku mengaguminya, mengagumi Penciptanya. Jika Kemarau saja dapat seperkasa ini, betapatah Penciptanya! Aku tidak bisa memastikan apakah kemarau pada 2002 itu sama perkasanya dengan 2015 ini. Hanya saja, sungguh membekas olehku harap-harap cemas menunggu adzan Ashar, di bekas kamar kami, di pavilyun. Selain shalatnya itu sendiri, lingsirnya matahari ke ufuk barat seakan-akan mengangkat sedikit beban, menghapus peluh.
Pada saat seperti itulah, aku biasa mendekat-dekat pada Ibu yang sedang memberi makan beberapa belas kucing dengan isper, terkadang knalpot. Cuaca yang sudah ramah, keteduhan yang diberikan Ibu hanya dengan berdekat-dekat dengannya. Ah, itu sudah lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Sekarang Ibu sudah jauh lebih sepuh dari ketika itu. Pada saat itu, Ibu baru saja beranjak sepuh, meninggalkan kemudaperkasaannya. Sepuluh tahun lebih kemudian, apa yang sudah dapat kulakukan bagi Ibu yang sudah sepenuhnya memasuki usia sepuh?
Medoakan Ibu setiap habis shalat fardhu saja kulakukan seadanya, seringkali tanpa hati yang hadir, tanpa sedikitpun usaha untuk menghadirkan wajah Ibu dalam doa itu. Shalatku pun kurasa belum beranjak jauh, atau justru lebih buruk dari sepuluh tahunan yang lalu. Naudzubillah. Sepuluh tahunan yang lalu, kini pun aku bertemu kembali dengan Ibnul Qayyim dengan perumpamaan beliau mengenai shalat yang tidak khusyuk, bagaikan mempersembahkan jariah atau hamba sahaya perempuan yang buruk rupa, pincang lagi buntung kepada Sang Raja.
Entri ini terutama adalah mengenai musim kemarau raya, kemarau yang gagah perkasa. Setelah Bapak menunjukkan, baru kuperhatikan bahwa daun-daun bambu di depan rumah tertunduk kering begitu. Cantik juga menambahi bahwa yang entah di mana itu malahan lebih parah daripada yang di depan rumah. Aku pasti sibuk sekali beberapa waktu terakhir ini, sampai hal sedemikian penting luput dari pengamatanku. Ini adalah El Niño yang hampir sama, atau bahkan lebih kuat dari El Niño pada 1997.
Apa yang kuingat darinya? Memasuki semester ketigaku di FHUI, sayup-sayup memang teringat olehku hari-hari panjang yang panas, malam-malam yang berpeluh keringat, angin yang menerbangkan debu, dan tentu saja bencana kebakaran hutan hebat yang kali pertama kuamati dalam hidupku. Musim kemarau, siapa yang menyukainya, tetapi siapa yang berani terang-terangan mengatakan tidak suka padanya. Aku hanya bisa menghela nafas sambil membumbungkan harapan-harapan, namun terang-terangan mencacinya, memang aku ini siapa? El Niño yang perkasa, konon kabarnya seorang diri meruntuhkan peradaban Maya.
Jika pun ada yang kulakukan, mungkin ia kujadikan alasan mengapa kesehatanku memburuk. Alhamdulillah, periksa darah lengkap menunjukkan hasil yang baik. Melegakan namun tidak menjelaskan, sehingga Mas Aru Ariadno menyuruhku USG abdomen. Di sini saja kuluapkan betapa aku tidak suka dokter, rumah sakit dan obat. Siapa juga yang suka? Satu-satunya hal yang memberatiku untuk melakukan USG abdomen ini adalah biayanya, meski 80 persen sudah ditalangi oleh asuransi Bintang Medika dari Ikatan Alumni Teknik Informatika ITB.
Terlepas dari apapun, aku lebih suka membicarakan mengenai Sang Kemarau nan Perkasa. Aku lebih suka menghabiskan waktuku mengaguminya, mengagumi Penciptanya. Jika Kemarau saja dapat seperkasa ini, betapatah Penciptanya! Aku tidak bisa memastikan apakah kemarau pada 2002 itu sama perkasanya dengan 2015 ini. Hanya saja, sungguh membekas olehku harap-harap cemas menunggu adzan Ashar, di bekas kamar kami, di pavilyun. Selain shalatnya itu sendiri, lingsirnya matahari ke ufuk barat seakan-akan mengangkat sedikit beban, menghapus peluh.
Pada saat seperti itulah, aku biasa mendekat-dekat pada Ibu yang sedang memberi makan beberapa belas kucing dengan isper, terkadang knalpot. Cuaca yang sudah ramah, keteduhan yang diberikan Ibu hanya dengan berdekat-dekat dengannya. Ah, itu sudah lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Sekarang Ibu sudah jauh lebih sepuh dari ketika itu. Pada saat itu, Ibu baru saja beranjak sepuh, meninggalkan kemudaperkasaannya. Sepuluh tahun lebih kemudian, apa yang sudah dapat kulakukan bagi Ibu yang sudah sepenuhnya memasuki usia sepuh?
Medoakan Ibu setiap habis shalat fardhu saja kulakukan seadanya, seringkali tanpa hati yang hadir, tanpa sedikitpun usaha untuk menghadirkan wajah Ibu dalam doa itu. Shalatku pun kurasa belum beranjak jauh, atau justru lebih buruk dari sepuluh tahunan yang lalu. Naudzubillah. Sepuluh tahunan yang lalu, kini pun aku bertemu kembali dengan Ibnul Qayyim dengan perumpamaan beliau mengenai shalat yang tidak khusyuk, bagaikan mempersembahkan jariah atau hamba sahaya perempuan yang buruk rupa, pincang lagi buntung kepada Sang Raja.
No comments:
Post a Comment