Ada baiknya kita senantiasa mencoba teknik-teknik baru, meski beberapa tidak terlalu baru karena sebenarnya sudah biasa dipraktekkan di masa lalu—hanya saja setelah sekian lama tidak pernah digunakan lagi. Baru saja ini aku mencoba menulis langsung di editornya Blogger, akan tetapi segera kembali ke teknik yang telah kulazimkan cukup lama belakangan ini, iaitu menulis dulu di Word, pindahkan dulu ke Notepad untuk membersihkan skripnya, baru akhirnya dirapikan di editornya Blogger.
Mengapa begitu? Karena sedekat pengetahuanku hanya Word yang mampu membuat tanda baca “—” atau double dash dengan praktisnya. Adakah kode HTML untuknya? Aku belum periksa, malas pulak. Kesukaanku menggunakan strip ganda atau panjang itu ada kaitannya dengan kebiasaanku membuat kalimat panjang-panjang, majemuk bertingkat-tingkat. Mengapa pulak aku menganalisis gaya menulisku sendiri? Tentu saja untuk kepuasanku sendiri. Swakelola.
Hari ini, jam 10.15 Adnan Bahrum a.k.a. Buyung Nasution berpulang ke rahmatullah. Beliau adalah abang dari sahabatku beda paham beda ideologi, Abdul Qodir bin Agil. Semoga Allah menerima semua amal ibadah almarhum, melipatgandakan pahalanya, mengampuni dan memaafkan semua dosa dan khilafnya. Aamiin. Semoga karomah dan barokah almarhum diwarisi sahabatku itu. Aamiin.
Berarti sudah berhari-hari ini aku berasyiq wal masyuq dengan diriku sendiri, satu-satunya di dunia ini yang mengerti benar bagaimana mencintaiku. Jika pun benar aku psikopat, setidaknya aku memang pernah diresepkan haloferidol oleh dokter—dan aku tidak bangga dengan fakta ini. Catat itu! Hanya saja, hanya ini yang aku punya. Inilah adanya diriku. Seandainya saja aku dapat mencari kesenangan dengan cara lain, seandainya saja aku punya hobi, seandainya saja aku mentala mengomentari “keren” foto perempuan entah siapa-siapa di pesbuk, pasti sudah kulakukan. Masalahnya, beginilah caraku satu-satunya menyenangkan hati. Hanya ini yang kutahu.
Terlebih di ruang tamu Jl. Tangguh IV No. 17 Perumahan TNI-AL Kelapa Gading, Jakarta ini, satu-satunya ruangan di rumah ini yang berpendingin udara, di mana Istriku dan anak-anaknya tidur—sedangkan aku menghibur diri. Terlebih dengan iringan orkestra asuhan Paolo Mantovani, aku benar-benar merasa terhibur. Terlebih dengan jurus Dawai-dawai Sempoyongan yang khas beliaunya itu, aku serasa menikmatinya sendiri, benar-benar seorang diri saja, di tengah sebuah auditorium besar. Ini seperti termangu menyaksikan dedaunan musim gugur berjatuhan.
Tentu saja termangu itu seorang diri. Boleh-boleh saja seseorang berkhayal mengenai dua orang berbeda jenis kelamin saling berhadap-hadapan. Namun itu bukan termangu namanya. Itu lebih seperti saling pandang, saling tatap, saling menyungging senyum, di mana otot-otot wajah berkontraksi. Termangu itu rileks, lepas. Memandang tiada yang dipandang. Menatap tiada yang ditatap. Menyungging senyum tiada yang tersenyum. Dalam pada itu, orkestra sudah tidak perlu, yang penting ada orkestrasinya. Auditorium sudah tidak perlu, yang penting ada gemanya.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Laa ilaaha illallaahu. Allahu Akbar. Allahu Akbar wa lillahi al-hamd. Inilah sesungguhnya yang harus bergema malam ini, karena besok ‘Idul Adha. Pagi tadi aku sarapan bersama Cantik di Pizza Hut. Aku tidak biasa-biasanya memesan fettuccini yang pasti bersaus krim, semata untuk menghindari telur karena rasa-rasanya kemarin aku terlalu banyak makan telur. Dengan demikian, ini juga merupakan pengakuan bahwa aku tidak berpuasa Tarwiyah dan Arafah.
Alasannya, seperti biasa, kemarau. Takut dehidrasi. Padahal masalah sebenarnya adalah sudah bertahun-tahun aku tidak pernah bangun subuh. Inilah yang membuat mutu kesehatan dan kebugaranku menurun. Farid dan Togar sudah berhasil mengamalkannya. Aku belum. Mulai besok? Setelah Shubuh tidak tidur lagi karena harus langsung shalat ‘Id? Mengapa tidak? Toh kemana-mana naik taksi ini. Insya Allah. Bismillah. Malam ini, jika pun ada, yang agak kuharapkan adalah tidur malam yang nyenyak, yang nyaman penuh berkah di ruang tamu Bagasnami ini. Aamiin.
Mengapa begitu? Karena sedekat pengetahuanku hanya Word yang mampu membuat tanda baca “—” atau double dash dengan praktisnya. Adakah kode HTML untuknya? Aku belum periksa, malas pulak. Kesukaanku menggunakan strip ganda atau panjang itu ada kaitannya dengan kebiasaanku membuat kalimat panjang-panjang, majemuk bertingkat-tingkat. Mengapa pulak aku menganalisis gaya menulisku sendiri? Tentu saja untuk kepuasanku sendiri. Swakelola.
Hari ini, jam 10.15 Adnan Bahrum a.k.a. Buyung Nasution berpulang ke rahmatullah. Beliau adalah abang dari sahabatku beda paham beda ideologi, Abdul Qodir bin Agil. Semoga Allah menerima semua amal ibadah almarhum, melipatgandakan pahalanya, mengampuni dan memaafkan semua dosa dan khilafnya. Aamiin. Semoga karomah dan barokah almarhum diwarisi sahabatku itu. Aamiin.
Berarti sudah berhari-hari ini aku berasyiq wal masyuq dengan diriku sendiri, satu-satunya di dunia ini yang mengerti benar bagaimana mencintaiku. Jika pun benar aku psikopat, setidaknya aku memang pernah diresepkan haloferidol oleh dokter—dan aku tidak bangga dengan fakta ini. Catat itu! Hanya saja, hanya ini yang aku punya. Inilah adanya diriku. Seandainya saja aku dapat mencari kesenangan dengan cara lain, seandainya saja aku punya hobi, seandainya saja aku mentala mengomentari “keren” foto perempuan entah siapa-siapa di pesbuk, pasti sudah kulakukan. Masalahnya, beginilah caraku satu-satunya menyenangkan hati. Hanya ini yang kutahu.
Terlebih di ruang tamu Jl. Tangguh IV No. 17 Perumahan TNI-AL Kelapa Gading, Jakarta ini, satu-satunya ruangan di rumah ini yang berpendingin udara, di mana Istriku dan anak-anaknya tidur—sedangkan aku menghibur diri. Terlebih dengan iringan orkestra asuhan Paolo Mantovani, aku benar-benar merasa terhibur. Terlebih dengan jurus Dawai-dawai Sempoyongan yang khas beliaunya itu, aku serasa menikmatinya sendiri, benar-benar seorang diri saja, di tengah sebuah auditorium besar. Ini seperti termangu menyaksikan dedaunan musim gugur berjatuhan.
Tentu saja termangu itu seorang diri. Boleh-boleh saja seseorang berkhayal mengenai dua orang berbeda jenis kelamin saling berhadap-hadapan. Namun itu bukan termangu namanya. Itu lebih seperti saling pandang, saling tatap, saling menyungging senyum, di mana otot-otot wajah berkontraksi. Termangu itu rileks, lepas. Memandang tiada yang dipandang. Menatap tiada yang ditatap. Menyungging senyum tiada yang tersenyum. Dalam pada itu, orkestra sudah tidak perlu, yang penting ada orkestrasinya. Auditorium sudah tidak perlu, yang penting ada gemanya.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Laa ilaaha illallaahu. Allahu Akbar. Allahu Akbar wa lillahi al-hamd. Inilah sesungguhnya yang harus bergema malam ini, karena besok ‘Idul Adha. Pagi tadi aku sarapan bersama Cantik di Pizza Hut. Aku tidak biasa-biasanya memesan fettuccini yang pasti bersaus krim, semata untuk menghindari telur karena rasa-rasanya kemarin aku terlalu banyak makan telur. Dengan demikian, ini juga merupakan pengakuan bahwa aku tidak berpuasa Tarwiyah dan Arafah.
Alasannya, seperti biasa, kemarau. Takut dehidrasi. Padahal masalah sebenarnya adalah sudah bertahun-tahun aku tidak pernah bangun subuh. Inilah yang membuat mutu kesehatan dan kebugaranku menurun. Farid dan Togar sudah berhasil mengamalkannya. Aku belum. Mulai besok? Setelah Shubuh tidak tidur lagi karena harus langsung shalat ‘Id? Mengapa tidak? Toh kemana-mana naik taksi ini. Insya Allah. Bismillah. Malam ini, jika pun ada, yang agak kuharapkan adalah tidur malam yang nyenyak, yang nyaman penuh berkah di ruang tamu Bagasnami ini. Aamiin.
No comments:
Post a Comment