Antara 3 sampai 5 Februari, aku berada di antara rembulan, Monas
dan Wantannas. Aku lelaki, berangkat pada Selasa pagi mencongklang Vario. Di
pagi yang mendung itu aku sampai di Jalan Radio. Masih juga menyempatkan diri
sarapan Ibu Tamin, lauknya telur dicabein, ada bihunnya, sayur nangkanya,
ekstra tempe goreng Ibu Tamin yang legendaris itu. Sepuluh ribu. Alhamdulillah
masih sempat mengobrol sebentar bersama Bapak Ibu. Sekira delapan lebih lima
belas, melangkah mantap ke pinggir jalan, menyetop Prima Jasa.
Begitulah segala sesuatunya berawal untuk mengawali Februari 2015
ini. Urutan sebenarnya adalah Wantannas, Monas, baru rembulan, karena pagi
datang dahulu mengemudiankan petang. Aku lelaki, terlalu sering cingcong pada
supir taksi. Mungkin sebaiknya jika cingcong demikian jangan tanggung-tanggung.
Langsung gjeger aja biar aamiin. Meski, seingatku, memakan waktu cukup lama juga
untuk gjeger. Akankah terjadi lagi padaku? Terjadi apa? Apa harus seperti itu
lagi? Apapun itu, asalkan efeknya sama atau bahkan lebih dahsyat pada
trajektori yang sama. Aamiin. Aamiin Yaa Rabbal ‘alamin.
Aku lelaki pantang mundur jika timbang cingcong doang,
karena hanya itu kebisaanku. Secara substansial, akibatnya, tidak ada yang
bertambah. Hanya saja harus selalu diingat untuk di mana pun berada memberikan
karya terbaik bagi nusa, bangsa, negara dan dunia. Lhah, agamanya mana? Katemi
saja berpesan begitu pada anak-anaknya, meski paku telah dicabut dari kepalanya. (atau
Suketi...? Ah, kurang nonton Apresiasi Film Indonesia, nih) Agama, setidaknya
terkait dengan Mesjid Darussalam yang selalu penuh, setidaknya selama jam kerja,
sudah seperti shalat Jumat saja.
Secara prosedural... ya, memang cara ITU saja titik beratnya.
Substansi dapatlah dinomorduakan dalam urusan ini. Analisis strategi, yang
bagiku tidak bisa lain kecuali menggeremang doa-doa dan harapan baik,
sebagaimana aku sendiri sangat membutuhkan doa-doa dan harapan baik sebanyak
mungkin. Meski terpisah di ujung-ujung magnet jarum kompas, ikatan itu tidak
akan pernah hilang. Terlalu banyak waktu yang kami habiskan bersama. Terlalu
banyak suka duka. Semoga Allah menolong kami semua. Kasihanilah kami, Oh Allah,
kami mahlukMu yang lemah tak berdaya.
Lalu hidangan-hidangan prasmanan yang sudah jelas
dipersiapkan oleh suatu katering atau semacamnya. Otsorsing mungkin.
Kudapan-kudapan juga bolehlah, meski entah mengapa teh tidak di situ tidak di
hotel rasanya sama. Tidak enak. Apalagi ditambahi krimer cair yang membuat
perut panas saja. Minum air putih, karenanya, menjadi alternatif yang sangat
masuk akal meski akibatnya pipis-pipis terus. Kantuk tidak pernah menjadi
masalah kecuali di hari kedua yang sampai malam itu. Sampai terpaksa menahan
leher dengan gulungan karpet, begitu saja di lantai mesjid.
Selebihnya, sungguh senang hari pertama ketika pulang ada
Istri Tersayang. Kurasa tidak ada yang lebih menyamankan hati daripada itu. Pulang kepada
orang-orang yang disayangi. Ada semua pada saat itu. Sesampainya di Jalan Radio,
kami masih sempat berboncengan Pario. Cantik tadinya minta bakso, tetapi
ternyata tidak ada bakso di Barito. Setelah membeli tiga plastik bubur ayam,
segera balik arah ke Radio Dalam dan mampir dulu di Salero Ajo. Entah mengapa
ia sepi, sedangkan yang di depan ex-Circle K justru ramai.
Selebihnya, ini urusan antara lelaki dan rembulan. Antara
Monas dan Wantannas. Hari ketiga itu bahkan pulang sudah tidak kuat. Kepala sakit
sekali, apakah karena makan terburu-buru. Mencongklang Pario hanya sampai
Kemang dan balik bakul, meski telinga sudah disumpal al-Baqarah. Tidak lama
setelah sampai di Jalan Radio, menyalakan AC sebentar maka tertidurlah untuk
bangun keesokan paginya. Alhamdulillah segar sehat bugar. Mampir dulu di
kampus, bertemu dengan Para Tamtama, masih sempat makan mie jamur pangsit
rebus. Pulang. Pulang. Lelaki pulang.
No comments:
Post a Comment