Kalau saja aku menulis ini lebih serius, mungkin dapatlah ia kutayangkan di akun Kompasianaku, atau bahkan Institut Pancasila. Mungkin nanti setelah tumpukan amplop coklat yang ditakuti ini habis menipis. Mungkin nanti setelah aku berkantor di Jeruk Purut. Sementara itu, biarlah gagasannya saja kucatat di sini, dibumbui dengan letupan-letupan perasaanku. Ini topik penting mengenai dua orang yang... penting. Soeharto dan Marcos, mungkin harus kumasukkan juga di sini Park Chung Hee. Meski ada kemiripan, Soekarno tidak bisa dimasukkan dalam daftar ini.
Soekarno tidak suka kekerasan. Aku membaca di memoarnya Pak Mangil mantan komandan Detasemen Kawal Pribadi, (DKP) [atau Pak Bambang Widjanarko?] pernah suatu kali Bung Karno menonton film bersama pengawal-pengawalnya, sebuah film perang. Tersebutlah ada suatu adegan yang sebenarnya mengandung kekerasan tetapi ada unsur humornya juga. Tertawa-tawalah para pengawal. Bung Karno marah melihatnya dan menghardik mereka. Itulah Bung Karno, yang melihat darah ayam saja bisa pingsan. Terlebih lagi, Bung Karno terlalu suka perempuan dan mengawini mereka banyak-banyak. Itu juga aku tidak cocok.
Soeharto, Marcos [...dan mungkin Park Chung Hee] adalah... diktator? Tiran? Ya, Bung Karno juga—setidaknya dari 1959 – 1966—adalah seorang diktator. Mengapa benar ia membiarkan naskah pidatonya yang diperluas menjadi garis-garis besar haluan negara (GBHN)? Seandainya bukan naskah itu sendiri—semuanya mentah-mentah—yang dijadikan GBHN. Seandainya—katakanlah—naskah itu hanya sekadar ‘ilham utama’ atau apalah sebutannya, mungkin masih lebih elok. Ini keseluruhan naskah—setelah diberi penjelasan sekadarnya oleh Cak Ruslan Abdulgani—dijadikan GBHN. (sic) Intinya, Bung Karno sejak 1959 itu membiarkan dirinya menjadi seorang diri. Dwi Tunggal menjadi Dwi Tanggal.
Akan tetapi, ini cerita mengenai Soeharto dan Marcos. Pada akhir-akhir kekuasaannya, Marcos pun seperti Bung Karno sakit-sakitan. Sakitnya Bung Karno, demikian pula sakitnya Marcos, dapat menimbulkan keresahan baik di kalangan pendukung maupun musuh-musuhnya; karena mereka berdua seorang diri! Mereka berdua membiarkan kekuasaan politik seluruhnya bertumpu pada DIRI PRIBADI mereka, pada gerak-gerik, gelagat, pada kesehatan badan mereka seorang diri. Inilah yang paling salah dari mereka berdua. Mengapalah mereka tidak membaginya pada beberapa kolega yang setara, sepadan dan setanding wibawa dan kebijaksanaannya?
Kekuasaan memang harus terpusat. Jika tidak bukan kekuasaan namanya. Akan tetapi, sesuai kodratnya, kekuasaan yang terpusat pastilah merupakan beban yang teramat sangat berat. Itulah sebabnya jangan ditopang oleh sepasang bahu saja. Setidaknya beberapa pasanglah. Akan tetapi jangan banyak-banyak juga. Apa ukurannya? Itulah sebabnya bukan sekadar bahu sebenarnya yang menopang kekuasaan, melainkan hati. Hati yang dipenuhi dengan damba akan Terang. Hati yang diharu-biru oleh Belas-kasihan. Hati yang tidak pernah ragu mengambil tindakan yang diperlukan demi Kebenaran. Masih belum eksak ukurannya?
Ya, ukuran untuk urusan ini memang tidak mungkin eksak. Tidak mungkin kuantitatif. Jadi berapa banyak seharusnya? Apakah harus 1000 atau 500 saja sudah cukup? Amboi, mengapa terpaku pada angka?! Sudah berulang kali kukatakan, jika benar angka dan hitung-hitungan sepenting itu, sudah barang tentu Tuhan menurunkan kitab suci dalam notasi matematika. Namun demikian, apa kenyataannya? Tuhan menurunkan wahyuNya dalam bentuk puisi dan prosa! Apa gunanya? Untuk melembutkan hati yang keras, untuk mengeraskan hati yang lembek. Lembut, agar menjadi cermin bagi KebijaksanaanNya. Keras, agar bersikukuh pada KebenaranNya!
Lalu Soeharto. Aku mendapat kisah ini dari Pak Teddy Rusdy, yang sendirinya sudah menyampaikan secara langsung, bertatap muka dengan Pak Harto, agar pada akhir PELITA IV itu Pak Harto lengser keprabon untuk kemudian madeg pandito menjadi 'Guru Bangsa,' atau 'Bapak Pembangunan.' Namun Pak Harto pada saat itu mungkin mengalami apa yang pernah dialami oleh Bung Karno juga. Beliau berdua beranjak tua dan kehilangan ketajamannya. Pak Harto lemah menghadapi Istri dan anak-anaknya. Bung Karno semakin lemah menghadapi perempuan. Sangat manusiawi.
Soekarno memang tidak suka harta. Soeharto dan Marcos [mungkin] tidak suka perempuan. Satu pelajaran yang mungkin dapat dipetik, janganlah SEORANG BAPAK kita jadikan penguasa. Cepat atau lambat, ia pasti akan kelelahan. Penguasa hendaknya terdiri dari beberapa orang yang kolegial hubungannya, camaraderie. Penanggung-jawab? Nah, ini memang harus satu, namun sifatnya mandataris; jadi kewenangan, kekuasaan, tetap berada di tangan penguasa-penguasa yang kolegial tadi itu. Lagipula, sungguh amat keterlaluan jika sampai aki-aki kita paksa-paksa untuk terus-terusan menjadi penanggung-jawab.
No comments:
Post a Comment