Internet Smartfren yang paket ini memang minta ampun lambatnya, yah, tapi setidaknya ia mampu membuka editor entri. Malam minggu begini, sendirian di rumah menulis Surat Cinta, sedangkan badan bau begini. Pernah ada masanya aku rajin menulis surat cinta, meski situasinya tidak sesempurna yang kubayangkan. Malam ini, meski badan bau begini, suasananya nyaris sempurna untuk menulis surat cinta. Betapa tidak, jari-jari rampak mengetuk-ngetuk kibor Asus X450C yang empuk ini, Lik Cliff menyenandungkan surat cinta yang diterimanya entah dari siapa. Kukatakan pada Togar pagi ini, membangun peradaban sangat tidak baik bagi kesehatan. Masih jauh lebih baik menulis Togarism, mana tahu dapat beberapa halaman. Itu jauh lebih bermakna daripada artikel mengenai aspek hukum administrasi negara dalam pengelolaan sumberdaya alam, misalnya. Ah, sudah terlalu banyak Togar kutulis. Aku sudah ditegur Rian Hidayat gara-gara ini.
Entri ini khusus mengenai politik. Politik. politiK. Sungguh, sebenarnya aku terlalu masa bodo untuk politik. Padahal politik tidak boleh masa bodo. Peduli apa aku sebenarnya pada sepuluh tahun yang lalu dan sepuluh tahun yang akan datang? Hehehe... yang akan datang mungkin aku tidak peduli, yang lalu? Uah, aku suka sekali! Sepuluh tahun lalu hari-hari begini... hahaha... adakah aku benar-benar merindukan masa itu? Seperti Patar mengenang makan nasi di tengah belantara Papua sana, sepuluh tahun lalu, sedangkan ia sekarang adalah seorang komandan batalyon? Sama jauhkah lompatanku dengannya, selama sepuluh tahun ini? Hari-hari begini sepuluh tahun yang lalu... LKHT masih ada, di bekas M-Web. Mungkin aku di situ. Apa yang tengah kulakukan saat itu? Aku bukan siapa-siapa. Kuliah pun tak. Benar-benar bukan siapa-siapa. Lalu tiba-tiba saja--ya, mungkin seperti itu juga yang dirasakan Patar. Tiba-tiba--aku menjadi dosen [tetap] FHUI!
Jiah, mana Lik Cliff dan Lik Olivia tiba-tiba nyanyi Tiba-tiba lagi. Kerinduan itu selalu ada. Lucu juga. Mungkin aku sekedar anak yang tidak pernah beranjak dewasa. Mungkin banyak yang sepertiku, maka beginilah dunia, dipenuhi anak-anak yang... bermacam-ragamnya, yang beranak-pinak pula! Astaga, bahkan Claradika pun siap beranak-pinak! Oh, manusia... Oh, Tuhan. Lalu ada Jepri yang percaya Godzilla. Aku pun percaya pada Godzilla. Kemarin waktu di Bandung aku sempat terpikir untuk menontonnya. Tidaklah. Menonton itu spesial harus bersama Cantik, karena ia suka menonton. Hotel Santika belakang BIP, ada dua malam aku tidur di situ. Adakah berkesan? Kecuali kenyataan bahwa aku sekamar dengan Sopuyan sebagai sesama ketua unit, sesuatu yang baru mungkin terjadi sekarang, maka tidak ada yang istimewa. Kecuali kenyataan sama-sekali tidak sulit, maka semua biasa saja. Makanan, biasa. Suasana, biasa. Yah, paling pengalaman pertama melewati terowongan Sasaksaat itu saja.
No comments:
Post a Comment