Aku baru saja pulang makan siang bersama keluargaku. Aku, Istriku dan kedua anakku. Kami makan di Es Teler 77 Grand Depok City. Oh, betapa sulitnya mendapatkan suasana hati yang tepat untuk menyelesaikan pekerjaan ini, memberi nilai. Suasana hati seperti apa yang sesuai untuk pekerjaan membaca-baca entah apa-apa yang ditulis oleh sekian ratus bocah, yang pada kepingin jadi sarjana hukum ini? Hei, bocah, mengapa kalian ingin jadi sarjana hukum, sebanyak ini kalian semua? Lhah Bapak sendiri ngapain jadi sarjana hukum? ...Aku pun tak tahu... Ya, sudah kalau tidak tahu, tak usah banyak mulut. Segera saja nilai pekerjaan kami dan umumkan! Baiklah... Bapak? Bocah? Anak? Di otakku yang tua, kotor dan berbau busuk ini, selalu terdapat pikiran-pikiran yang mengerikan, yang tanpa sadar kulatih setiap hari hanya, ya, hanya karena aku ingin melipur lara. Mengapa lara? Laraku tidak ada bedanya dengan lara siapapun manusia hidup di muka bumi ini. Aku pun, seperti halnya semua saja manusia yang lara di muka bumi ini, melipur laraku, dengan satu atau lain cara. Namun, caraku melipur lara ini hanya menimbulkan kesakitan yang terus menumpuk dan terus menumpuk, dalam hati dan jiwaku. Lara. Dilipur. Lara. Dilipur. Lara...
Mater Dolorosa oleh van der Weyden |
Melipur lara dengan lara. Apa pun yang kau gunakan untuk melipur lara, apa pun yang kaupikir sanggup melipur laramu, tiada lain adalah lara juga. Apa pun itu, selama masih dari dunia ini asalnya! Apalagi kalau itu masih bisa dibeli, masih dapat dihargai dengan uang. Itu yang paling menyakitkan. Ya Allah, betapa banyak kesakitan yang telah kutimpakan kepada banyak sekali orang. Ya Allah, sungguh aku tidak tega bahkan sekadar menghadirkan wajah-wajah mereka dalam ciptaku. Ya Allah, aku hanya bisa menyebut-nyebut namaMu, jika teringat akan semua itu, Ya Allah... Lidah ini kelu, tenggorokan tercekat, kata "maaf" hanya terkurung dalam benakku tanpa mampu membebaskan diri; sedangkan aku hanya mampu memandanginya dari kejauhan sanubari. Lidah dan benakku seakan terpisah oleh rawa-rawa yang gelap, bau dan menyeramkan, tak satu langkah pun sanggup memperpendek jaraknya. Kata "maaf" berteriak-teriak meronta-ronta dalam siksaan picis yang tak tertahankan, sementara lidah tak mampu berbuat sesuatu apa; apalagi aku... Ya Allah... jeritnya sungguh memilukan, menggerus nyali menjadi kaldu, menumbuk hati menjadi remah-remah... dan ini semua disebabkan oleh, diatasnamakan kepada... cinta.
Cinta, betapa keindahanmu sanggup membawa selaksa derita. Ya Allah, apa ini yang Engkau ciptakan di dalamku, di dalam kami semua? Mampukah kami yang berjasad bangkai ini menerima anugrahMu yang Maha Lemah-Lembut namun Maha Perkasa? Mampukah aku yang nista ini men-Cinta, tanpa tertipu oleh tipuan-tipuan ragawi, kepalsuan-kepalsuan duniawi? Mampukah kami menerimaMu? Akhirnya, manusia yang ilahi selalu terjerembab dalam kebinatangannya. Akhirnya, binatang yang berjalan tegak sempurna di atas kedua kakinya ini selalu gagal menghayati kualitas ilahiyahnya. Hah! Ini adalah asal ngomyang seperti orang mabuk kecubung! Waktu Ashar sudah masuk, seselesainya paragraf ini, maka, Insya Allah, aku akan segera mengambil wudhu. Hanya itulah yang aku tahu dan itu pula yang akan kukerjakan. Semoga Allah mengganti semua rasa sakit baik lahir maupun batin ini dengan rasa tenang dan nyaman sebagai hambaNya yang khusyu'. Sungguh suatu permintaan yang kurang ajar, keterlaluan, tidak tahu malu dan tidak tahu diuntung dari seorang hamba nista yang suka berbuat durhaka terang-terangan di hadapan Rajanya, yang Maha Hidup, Maha Awas. Ampuni hamba, Ya Allah. Maafkan hamba... Kasihanilah hamba, Ya Illahi Rabbi...
No comments:
Post a Comment