Tidak ada. Yang ada hanya lingkungan tepian Cikumpa. Indah. Permai. Nyaman. Kalau tidak percaya tanya saja Sandoro, Togar dan Erwin. Di situ pulalah aku terbangun pagi ini ketika matahari sudah lumayan tinggi, dan begitu saja aku mencongklang Vario Sty menuju ke tukang nasi uduk di prapatan kantor PLN. Ternyata tahunya habis, ya sudah, akhirnya dengan tempe, kentang dan telor bulet seperti biasa. Aku juga heran kenapa jadi kentang semur, padahal sebelumnya sudah ditawari perkedel kentang. Kentang semur kalau pas lumayan juga loh. Nasi uduk di sini ada semurnya. Kalau yang di tapsiun UI dulu, aku lupa, seingatku tidak ada semurnya; tetapi koq tetap becek ya. Membandingkan antara hidup di Gang Pepaya dan Tepian Cikumpa... di Pepaya dulu staple-nya nasi goreng depan atau kadang soto ayamnya, lebih jarang lagi mie-mieannya, paling mie rebus. Itu dulu ada namanya deh, aku lupa. Kemudian tetangga waktu terakhir mau pindah jualan mie ayam, lumayan, tapi sepertinya yang jadi langganan cuma aku. Lalu warung nasi yang di gang kecil mau ke tapsiun itu. Kemudian nasi uduk tentunya di pagi hari, lebih jarang lagi ketupat sayur Padang depan Nurul Fikri; itu sih kesukaan Cantik. Kalau nasi uduk tapsiun ga jualan, nasi uduk Sawo itu deh. Malam hari, kalau tidak sate padang pinggir Margonda ya ketoprak depan bekas Darma.net.
Ini masih jauh lebih bagus dari yang di pinggir Jl. Kemakmuran itu. |
Agak menjelang Maghrib begitu Cantik pulang. Malam ini kami habiskan bersama sup Jepang-jepangan dengan bumbu boleh beli di Lotte Mart Gancit ateys, dan melon golden royal. Lalu menonton Liverpool yang masih kalah kualitas dibanding Arse, Mancit dan Celsi, lalu... menamatkan UAS Hukum Lingkungan pada jam 01.30 setelah berganti hari. Ooh... pekerjaanku. Mengapa tidak ada orang mau membayarku untuk melakukan hal-hal yang... kusukai? Ya ga mungkin ada lah. Gila apa?! Menulis, aku suka. Nih, buktinya, entah apa-apa kutulis semua di sini. Makanya jadi seperti ini, 'kan, ketika kau mengerjakan sesuatu yang kausukai? Kau memang tidak banyak gunanya, apa-apa yang kau bisa. Lalu apa kausebut dirimu sendiri dan orang-orang sepertimu? Seniman? Tuh, lihatlah di pinggir Jalan Kemakmuran, ada orang punya galeri-galerian memamerkan lukisannya yang cuma segitu doang. Mungkin, ketika ia masih kecil, banyak orang memuji, atau sekurangnya orangtuanya sendiri: wah, Cep, pandai benar kau menggambar, biar jadi pelukis ya nanti kalau sudah besar. Ya, benar jadi pelukis... di pinggir jalan; menjajakan lukisan yang, aduh, cuma pantas dipajang di rumah-rumah orang susah. Itu pun jaman dulu, karena orang susah jaman sekarang daripada memajang lukisan lebih suka memberi anak-anaknya uang jajan lebih, agar bisa main game online.
No comments:
Post a Comment