...setelah menemukan kembali keberaniannya, Bu Andras dan Bu Hartini bergegas memanggil... Inkuisitor! Inkuisitor ini orangnya tinggi besar, hitam, keriting pula. Baiklah kita sebut ia Pak Widjongko. Pak Widjongko tidak membuang napas untuk berkata-kata. Entah bagaimana caranya, dicengkeramnya dua tempat dari piyamaku dan dengan satu sentakan saja aku melayang terjerembab ke lantai dingin. Rupanya, menyentakku cukup membuat Pak Widjongko tersengal-sengal; ataukah karena ia menahan marah? Kulirik dia dari posisi menelungkup di lantai. Perlahan-lahan, dan perlahan sekali memang sengaja, aku bangkit beringsut naik kembali ke ranjang. Ini membuat Pak Widjongko mengamuk dan mengamangkan tinjunya, namun diurungkan. Kurasa bukan hanya sesama siswa, pamong pun kalau sampai memukul siswa akan dikeluarkan. Ia mendengus marah, dan aku melanjutkan tidur.
Hitam tidaknya suatu ilmu tidak ditentukan oleh kandungan dari ilmu itu sendiri. Hati dari pembelajarnyalah yang menentukan sesuatu ilmu itu hitam atau tidak. Itulah yang kubatin sambil mengoreksi posisi tidurku. Entah bagaimana caranya, setelah dikoreksi, aku pun nyaris terlelap kembali, jika tidak karena sukubus bernama Bu Eko membuatku mimpi basah untuk kali pertama. Superman! Kenapa Bu Eko?! ...apapun itu, lebih baik daripada inkubus berbentuk Pak Widjongko. Sungguh aku jengah jika kawan-kawanku sudah mulai berfantasi seks dengan obyek pamong-pamong. Korban-korban utamanya adalah Bu Titik dan Bu Susi. Amboi, jahat benar pikiran kalian! Lagipula, pada saat itu pun aku sudah tahu bahwa tidak ada yang menarik secara seksual dari kedua perempuan itu. Bahkan mengatakan mereka "perempuan" saja aku merasa sangat kurang ajar. Belakangan aku baru tahu bahwa yang seperti itu bisa jadi merupakan tanda-tanda adanya kecenderungan sadistis. Jika pun sadis, itu selalu pada celana dalamku sendiri, yang terkena mani gara-gara mimpi basah; selalu kubuang!
Ketika setiap malam aku harus menghitamkan wajah karena manuver-manuver malam di Plempungan, aku tidak sempat berpikir mengenai ilmu hitam. Jangankan ilmu, berpikir saja tidak ada waktu. Memang begitu seharusnya jadi prajurit, jangan berpikir. Lalu buat apa kami dilatih untuk berdisiplin pribadi, berjiwa merdeka? Kesempatanku memerdekakan jiwa datang kurang lebih setahun kemudian sejak malam-malam di Plempungan itu, yaitu di suatu kamar tidak lapang tidak sempit di Morokrembangan. Waktu itu, aku sudah berkembang sempurna. Aku sudah tahu bahwa di bawah situ lubangnya dua; yang cukup besar, maksudku. Sampai ketika di Mbarepan, meski sudah melihat beberapa kartu remi, aku masih tidak paham benar ke mana harus dimasukkan. Pengetahuan mengenai lubang yang lain inilah yang menghambat usahaku memerdekakan jiwa. Pikiranku jadi sulit menyimpang dari kekentuan. Secara pribadi, aku sangat disiplin mengocok-ngocok. Secara merdeka, aku jadi tidak berjiwa! Setelah kurenung-renung, berarti apa bedaku dengan John Gunadi, yang berubah dari cerdas menjadi cerdas-barus gara-gara puber?
Khayalanmu tak berdaya
Hanya suatu impian semata
Khayalanmu hanya buSusi, buSusi
No comments:
Post a Comment