Daripada kusut urusannya, baiklah segera kujelaskan di sini. Jika harus ada hukum positif Indonesia, jika harus ada sistem hukum nasional Indonesia, maka itu harus tunggal dalam bentuknya, dalam wadahnya. Meski demikian, tidaklah mungkin dielakkan bahwa hukum positif Indonesia yang tunggal itu dibentuk dan diisi oleh berbagai-bagai ramuan yang berasal dari hukum-hukum agama dan hukum-hukum "adat" yang bermacam-ragam itu, sebagai sebuah bangsa yang majemuk: bahkan hukum "Barat." Jadi, biarkan orang mengenali sendiri-sendiri, misalnya, hukum perkawinan dan kekeluargaan Indonesia sangat diwarnai oleh hukum Islam, atau hukum kebendaan Indonesia sangat dipengaruhi "hukum adat". Meski begitu, tetap saja hukum perkawinan dan kekeluargaan Indonesia BUKAN hukum Islam, 'kan? Tetap saja hukum kebendaan Indonesia bukan, misalnya, hukum "adat" Jawa atau Dayak atau Papua yang entah sebelah mana, 'kan? Jadi, terlebih lagi, tidak perlulah itu diajarkan dalam mata kuliah tersendiri di fakultas hukum, "Hukum Islam" dan "Hukum Adat". Jika demikian, lalu apa isi dari mata kuliah "Pengantar Ilmu Hukum"? Apa isinya "Pengantar (Sistem) Hukum (Nasional) Indonesia?" Nyatanya, sampai hari ini, isinya adalah hukum "Barat"!
Ya, aku selalu terpanggang bara jika berbicara mengenai hal ini. Buah pikiran meletup-letup bagaikan jagung-letup (popcorn) ditaruh di atas alat pemanggang. Terlebih lagi, baru-baru ini ada panggilan intelektual. Nah, ini dia pekerjaan yang cocok bagi seorang akademisi sepertiku! Doel Salam memberitahuku bahwa pada 5 Desember nanti DRC FHUI akan mengadakan Kuliah Peringatan (Memorial Lecture) [pakai Bahasa Indonesia saja boleh ngga, Bang Doel?] bagi Safri Nugraha. Wow! Kuliah Peringatan Safri Nugraha (KPSN) a.k.a Safri Nugraha Memorial Lecture (SNML). Jadi, untuk kesempatan itu, aku diundang ikut menulis mengenai sumbangan Safri Nugraha pada hukum administrasi Indonesia dan perkembangannya pada umumnya, untuk diterbitkan menjadi sebuah buku. Bang Safri almarhum memang layak mendapatkan ini, Insya Allah. Bagiku pribadi, ia sangat mendukungku berkegiatan akademik, dan terus meyakinkanku akan kemampuanku untuk itu. Ia sangat berjasa bagiku dalam hal ini; dan ia adalah sahabatku. Terlebih khusus lagi, ia sangat mendukung minatku pada Hukum Adat. Ia bahkan menunjukkan persetujuannya bahwa Hukum Adat sesungguhnya sangat terkait dengan bidang yang digelutinya, yakni Hukum Administrasi.
Itulah juga yang Insya Allah akan kuangkat dalam kontribusiku. "Hukum Adat memandang Hukum Administrasi Negara Indonesia," begitulah kira-kira judulnya. Aku membutuhkan semua literatur Hukum Adatku, namun sebagian besar, kalau bukan semua, berada dalam kardus. [hiks] Apakah aku harus menyatroni perpustakaan untuk ini? Ya, kenapa tidak. Oh, aku sangat bersemangat mengerjakan ini. Apa yang akan kulakukan sebenarnya sederhana saja; akan kucari semua indikasi yang dapat kutemukan dalam literatur-literatur itu, yang menjurus pada bagaimanakah seharusnya "hukum administrasi" negara Indonesia Merdeka. Mungkin tulisan itu, paling mudah, akan kususun menurut para ahli yang menyampaikan pendapat-pendapatnya. Namun, bila waktu mengijinkan, ada baiknya jika kukelompokkan berdasar topik yang diangkat. Sejauh ini, petunjuk awal yang kumiliki adalah terdapat dua kubu besar, setidaknya. Pertama, di bawah pimpinan van Vollenhoven sendiri, ia secara garis besar tidak menghendaki pencemaran "modernitas" terhadap hukum adat sebagai hukumnya pribumi, termasuk dan terutama, oleh kebijakan-kebijakan kolonial yang sebenarnya merupakan "hukum administrasi" pada saat itu; dan, Kedua, murid-muridnya, khususnya yang pribumi, yang berpendapat bahwa (i) hukum adat itulah "hukum administrasi" Indonesia; atau, (ii) hukum administrasi Indonesia harus "dijiwai" hukum adat.
No comments:
Post a Comment