Dalam kepalaku masih tersimpan ide-ide untuk sebuah novel atau roman; ada dua tepatnya. Satu mengenai nekromansi, satu mengenai sebuah negara pulau. Nekromansi akan kugunakan sebagai tamsil bagi cara-cara bertahan hidup dalam kemiskinan, dalam suatu peperangan abadi antara mereka yang menganggap kekayaan adalah suatu kewajaran, dan mereka yang menganggap orang-orang yang berlebihan kayanya wajar dibasmi. Cerita itu kubuka dengan adegan Tuan Putri dan Pamannya memandang sekelompok petani sedang bersukaria memanen hasil bumi, sedangkan mereka memimpin tentara yang terdiri dari kawanan Setan Kuburan; yang harus diberi makan dan ditambah jumlahnya dalam peperangan panjang ini. Aku membayangkan hubungan yang kompleks antara Tuan Putri dan Pamannya. Hubungan keluarganya mungkin seperti hubungan antara Sengkuni dan para Kurawa, akan tetapi aku ingin membuat suatu hubungan cinta yang platonik antara Paman dan keponakannya yang Tuan Puteri ini.
Sang Paman adalah seorang Jinjang atau Nekromanser, yang terobsesi mempelajari ilmu pengobatan dan, kemudian, sihir, karena, pertama, meski seorang ksatria, ia tidak berani mengayunkan pedang apalagi saling menebas dengan lawan yang juga berpedang; kedua, ia ingin menghidupkan kembali ibu yang sangat disayanginya, yang mati bunuh diri membela kehormatan diri daripada ditawan oleh musuh, yang kemudian menjadi kakak iparnya. Tuan Puteri adalah anak perempuan dari kakak iparnya itu yang seorang raja, yang karena seluruh anggota keluarganya tumpas selain ia sendiri dalam suatu penjarahan, menjadi pewaris tahta sah dan satu-satunya dari kerajaan ayahnya; jika ia berhasil merebutnya kembali dari tangan musuh. Sang Jinjang berada dalam posisi yang sulit. Ia menemukan dirinya berperang melawan musuh dari musuhnya, karena tak seharipun dalam hidupnya ia memaafkan apa yang telah diperbuat kakak iparnya. Terlibat dalam perang ini adalah hal terakhir yang diinginkannya, namun berperang juga ia karena... jatuh cinta pada keponakannya itu.
Ketika penjarahan terjadi, ia menjadi satu-satunya penghuni keraton yang selamat karena memang sedang tidak berada di sana. Ia sedang berada di padepokannya, di mana ia sudah menjadi asisten guru membantu mengajar cantrik-cantrik yang lebih muda. Salah satu kesaktiannya membuatnya mampu mengetahui bahwa sedang terjadi apa-apa terhadap kakaknya dan, terutama, keponakannya yang diam-diam semenjak remaja ia sukai itu. Ia segera menyelinap memacu tunggangannya pulang ke Keraton, untuk mendapati semua saja sudah tumpas menjadi mayat di situ dalam keadaan yang sangat mengenaskan. Diperiksanya satu persatu mayat-mayat itu, sampai ia menemukan keponakannya yang ternyata belum mati, hanya saja dalam keadaan sekarat. Ia segera mengerahkan segenap kemampuannya untuk mengobati luka-luka yang diderita keponakannya, yang segera diketahuinya telah diperkosa begitu banyak orang. Keponakannya tidak pernah benar-benar siuman, sampai ia akhirnya memutuskan untuk menggunakan ilmu yang sangat rahasia, ilmu membangunkan mayat; dan bangunlah keponakannya itu, sebagai mayat hidup.
Tuan Puteri, semasa hidupnya, meski kini pun belum mati, adalah seorang prajurit yang justru jauh lebih baik dari kakak-kakak laki-lakinya yang lebih suka berfoya-foya. Setelah menjadi mayat hidup pun kemampuan olah keprajuritannya tidak hilang, bahkan meningkat. Ia hanya perlu mendengar jerit kesakitan, maka seperti badai azab ia akan menyapu musuhnya sampai tumpas sama sekali. Kemampuan ini menjadikannya Panglima bagi balatentara Setan Kuburan Pamannya Sang Jinjang, yang terdiri dari mayat-mayat prajurit kakak iparnya yang relatif masih utuh lengkap dengan senjatanya. Hanya satu kelemahannya, Tuan Puteri selalu lupa berbicara dengan suara manusianya, padahal hal tersebut akan memberi tahu para mayat hidup Setan Kuburan bahwa di dekat mereka ada manusia segar, dan mereka serta-merta akan memangsanya. Selain itu, sebenarnya ada kelemahan lain dari Tuan Puteri. Sebagai manusia yang sebenarnya masih hidup, ia selalu membutuhkan mandi.
Itulah sebabnya novel ini tidak kunjung jadi
No comments:
Post a Comment