Hari ini sedang terjadi, seperti kata media, pertarungan jilid dua Foke-Nara versus Jokowi-Ahok. Kenapa gak Ahok aja sih, Pak Basuki. Saya lebih senang kalau Bapak dipanggil dengan nama itu. Terlebih kalau Bapak suka menggunakan nama Tionghoa Bapak, Zhong Wan Xie. Saya gak tau aturan memanggil nama Tionghoa dengan maksud menghormati, Pak Zhong kah? Mungkin orang banyak mengenalku sebagai seorang yang rasis, tetapi sesungguhnya aku sekadar sangat berminat pada masalah eks-golongan Timur Asing di Indonesia. Ya, khususnya golongan Timur Asing, meski golongan Eropa juga tidak luput dari minatku. Contohnya, aku punya seorang sahabat bernama Januar Jean Merel Bruinier. Ia menggunakan nama yang sangat Eropa, karena bapaknya dan kakeknya pun adalah Bruinier.
Sayangnya, saudara-saudara kita Tionghoa pernah mengalami sejarah yang, menurutku, pahit, ketika mereka harus mengubah nama-nama mereka, bahkan kebiasaan dan budaya mereka secara keseluruhan. Jadilah mereka terpaksa menggunakan nama-nama yang kiranya lebih "terdengar" Indonesia. Padahal, sungguh harus kita hormati dan hargai setinggi-tingginya pilihan saudara-saudara kita ini untuk menyebut diri mereka sendiri Bangsa Indonesia. Sesungguhnya memang itulah hakikat bangsa ini. Bangsa ini lahir dari orang-orang yang dengan penuh sadar mengikuti kata hatinya untuk menyebut diri sendiri orang Indonesia. Saya pun keturunan Jawa, dan secara sadar menyebut diri sebagai Bangsa Indonesia!
Mengenai Pemilihan Gubernur DKI Jakarta itu sendiri, yang jelas aku tidak punya hak pilih, karena aku menurut KTP adalah warga Kampung Gedong, Kemirimuka, Beji, Depok, Jawa Barat. Namun seandainya saja aku punya hak pilih, siapa yang akan kupilih? Foke-Nara atau Jokowi-Ahok. Itulah yang susah... Aku tidak suka Nara karena beliau lulusan Akabri Darat seangkatan SBY lagi. Aku tidak suka Jokowi karena... setuju dengan Mama dan Ibu, bentuknya ora pokro hahaha. Jadi aku mendukung Foke dan Ahok, tapi sayangnya tidak begitu pasangannya. Mungkin kalau pun aku datang ke TPS, akan kucoblos gambar Nara dan Jokowi karena aku tidak suka mereka, dan kubiarkan wajah-wajah Foke dan Ahok tetap mulus baik-baik saja. Akibatnya, kartu suaraku akan menjadi tidak sah pun.
Ciyus? Enelan? Cumpelo? Miapa? |
Baru saja Paul Mauriat mengakhiri Mon Amie La Rose-nya. Teringatnya, shubuh tadi aku bermimpi! Jadi, dalam mimpi itu sepertinya aku sedang mau naik pesawat terbang. Suasananya seperti Terminal Bandara Kemayoran ketika masih beroperasi di awal tahun '80-an dulu. Aku berjalan melintasi tarmac dan naik tangga ke dalam pesawat, yang sepertinya B737 tetapi bukan, karena bentuknya lebih kuno lagi. Namun yang kuingat mesinnya dua, meski lebih mirip B737 varian-varian baru. Begitu saja lepas landas dan sejurus kemudian aku terlelap. Entah berapa lama, aku seperti bermimpi [mimpi dalam mimpi] karena aku tiba-tiba melihat kami terbang dekat sekali dengan sisi sebuah bangunan bertingkat dengan jendela-jendala kaca di sisinya. Namun aku tidak melihat kursi-kursi penumpang lain. Aku seperti melayang di udara begitu saja.
Sambil melayang, tetap dalam posisi duduk, aku seperti menembus ke dalam bangunan itu dan melayang di atas dan sekitar orang-orang yang sedang makan. Tampaknya lantai tempat aku "masuk" itu semacam food court. Aku terus melayang menembusi dinding, sampai masuk ke suatu tempat yang seperti dapur, dengan meja-meja stainless steel-nya. Selama aku melayang itu, tampaknya tak seorang pun menyadari kehadiranku. Tiba-tiba saja aku berhenti melayang, terduduk di atas salah satu meja stainless itu, dan seseorang begitu saja menyiramiku dengan sesuatu yang mirip kecap dan saus tomat sampai bajuku kotor penuh dengannya. Ia terkejut bukan alang-kepalang dan meminta-minta maaf sambil berusaha membersihkanku. Kemunculanku tiba-tiba di dapur itu sepertinya menimbulkan kehebohan.
Aku keluar dari dapur itu dalam keadaan kotor dan bau, meski mereka sudah berusaha membersihkanku. Aku celingukan di food court yang ramai, dan entah kenapa aku merasa bahwa ini adalah Madiun. [aku belum pernah ke Madiun!] Sejurus kemudian muncul, dengan tiba-tiba juga, Bayu Mursito dan Budi Pru, dan sepertinya beberapa kawan-kawan alumni SMATN Angkatan II. Mereka menyerbuku dengan pertanyaan sedang apa di sini dan kenapa begitu keadanku. Aku bingung harus menjawab apa, namun seingatku yang keluar dari mulutku adalah, aku ingin bergegas ke Surabaya untuk mengejar penerbangan. Oh ya, aku berangkat dari yang seperti Kemayoran itu pagi-pagi sekali, jadi entah bagaimana kupikir aku bisa mengejar penerbangan dari Surabaya siang ini, dan sepertinya tujuanku adalah Papua.
Tak lama aku menemukan diriku di sebuah bangku besi, sepertinya di pelataran parkir gedung itu, masih kebingungan. Aku mencoba mencari informasi. Tiba-tiba saja BB-ku berbunyi menandakan ada BBM masuk. Ketika kubaca, entah dari siapa aku lupa atau tidak tahu, pesan itu berbunyi: Semoga musibah ini menjadi pelajaran bagi kita semua. Aku terkejut setengah hidup. Otomatis kuraih tabletku entah dari mana, dan ketika kunyalakan yang terlihat di layarnya adalah video sebuah pesawat terbang hancur terbakar di tengah laut entah di mana. Ketika itulah aku tak sengaja mendengar beberapa orang membicarakan berita kecelakaan pesawat terbang yang sepertinya ditayangkan di televisi. Begitulah maka aku terbangun...
Je Pense a Toi
No comments:
Post a Comment