Kasihan... HP 520-ku ini mungkin memang sudah tua. Umur empat tahun untuk sebuah laptop mungkin memang sudah terbilang tua. Bunyinya sudah seperti hujan. Namun mungkin jika dibawa ke tukang servis laptop masih bisa diperbaiki. Kipasnya mungkin jadi tidak seribut ini. Dia ribut pasti karena prosesornya panas. Prosesornya panas karena apa? Entahlah. Prosesornya masih Intel Core Duo. Pada jamannya saja tidak termasuk yang tercanggih. Aku membelinya karena bentuknya sederhana, walaupun fungsinya juga ternyata sederhana. Masa colokan usb-nya cuma dua?! Hari ini panas sekali. Sama-sekali bukan berita. Ini memang sedang musim kemarau. Sambil menulis, aku mendengarkan If You Understand-nya George Baker Selection. Sedap dan manis selalu lagu ini. Belanda sekali. Nyaman. Terasa sepoi-sepoi di tengah panas menyengat dan kegerahan ini. Posisi dudukku tidak bisa dikata yang ternyaman. Sepertinya, meja ini justru lebih tinggi dari meja tulisku yang kini berada di Margonda Residence, kamarnya Sopiwan. Barang-barang itu. Seperti halnya meja tulis bekas Aerex-nya Bapak yang pernah begitu akrabnya denganku, awal 1996. Betapa dungunya aku waktu itu. Betapa dungu...
Kini kuputar I've Been Away Too Long, masih dari George Baker Selection. Bagus, tapi tidak manis dan sedap dan nyaman seperti lagu sebelumnya... eh... tapi harmoni vokalnya tetap manis ding. Yah... sedap juga lah. Bangun tidur pagi ini aku langsung sarapan Nasi Uduk Baba Gembul di Perpustakaan Pusat UI. Nasi uduk, telor ceplok sambel, tahu semur, tumis pare teri... ketika aku minta tambah telor dadar rajang, kata Bu Baba Gembul, itu berarti paket plus. Lalu ternyata sekarang ada ekstra teh tawar hangat tjap Prendjak. Jalan sebentar, ternyata masih haus, maka kubelilah Fatigon Hydro Orange Coco, yang sepertinya sudah tidak ada Fatigonnya itu. Wara-wiri sebentar... mungkin tidak sampai satu jam, melintas di depan warung mie ayam. Maka makan lagilah semangkuk mie ayam, ditambah segelas es kelapa muda dan S-tee. Masya Allah, banyak sekali makanku! Tadi malam, setelah membantu Sopiwan menyiapkan stan FH di Gelar Ilmu UI di Balairung, pergi makan ke Kopi Medan. Makan burger satu dan kentang mayo yang mungkin setidaknya habis satu porsi. Barusan aku ngopi White Koffie. Sungguh sangat mengganggu merek ini. White Coffee atau Witte Koffie, pilih salah satu! Ah sudahlah.
Rambutku sudah gondrong, pantas selalu berkeringat. Setiap kali cukur setidaknya delapan sampai sepuluh ribu rupiah. Mengapa begitu berhitung? Karena kenyataannya uangku tidak banyak sekarang. Ya Allah lancarkanlah, mudahkanlah semua urusan hamba. Tolonglah hamba ya Allah Illahi Rabbi. Kini Demis Roussos mendendangkan Goodbye, My Love, Goodbye. Eh, jadi ingat. Aku punya MP3-nya. Satu album lengkap Paul Mauriat Goodbye, My Love, Goodbye 1974, seperti kagungan-nya Ibu. Kaset yang sangat mengharu-biruku. Melodi-melodi yang membentuk suasana kejiwaanku. Sayang, sisi B-nya aku tidak pernah ingat orkestranya siapa... padahal seingatku aku justru lebih menyukai sisi itu. Dimulai dengan Tie a Yellow Ribbon yang teramat sangat manis, dilanjutkan oleh My Love yang aransemennya menyihir dan menghipnotis, kemudian Killing Me Softly yang... ah, tak mudah dilukiskan dengan kata-kata. Kini Demis Roussos membawakan From Souvenir to Souvenir. Ternyata tak satu lagunya pun kuhafal. Dan kurasa, kini aku sudah merasakannya, aku sudah terlalu tua untuk menghafal. Hafalanku semakin lemah dan aku semakin enggan menghafal... Ya Allah... Untunglah Forever and Ever menerobos relung kelam benakku, menenangkannya, menyamankannya...
Bawalah daku jauh melampaui khayal
Kaulah impianku menjadi nyata, pelipur lara
No comments:
Post a Comment