Ketakutan seperti merasa tidak mampu menunaikan kewajiban masih terus menghantuiku sampai kemarin sore. Sikap Bang Fred yang selalu cair seakan tidak ada bahaya menghadang sesungguhnya semakin membuatku takut. Ia mungkin atau pasti menjaga garisnya, tetapi kami yang mengamankan pinggang dan belakangnya selalu dirundung khawatir.
Dan aku memang belum berhasil melakukan apa-apa. Ige sudah mendapat kira empat halaman satu spasi dan itu banyak. Aku belum apa-apa. Namun tetap saja Bang Fred seperti tidak ada apa-apa, malam itu mengajak kami makan Mie di Bakmie Margonda. Dan begitu saja kami makan diteruskan obrolan ke sana ke mari, sampai kepalaku terasa sakit sekali dan aku terpaksa mohon diri.
Oh, betapa nyamannya sore ini, tenang seperti dahulu ketika kumulai semuanya. Seorang diriku di sini. Tidak juga, ada Ani dan War.
Kemudian aku dan Ige berjalan menuju kamar Shawn. Sekelebat Gus Dut dan Baron di kamar Shawn yang bau membuatku terlempar beberapa tombak lebih jauh dari biasanya. Ketika semua kembali tertata, begitu saja Ige menanyakan mengenai bahan bakar neraka. Dengan rasa badan yang tiada seberapa enak, betapa menakutkan pertanyaan itu. Manusia dan batu, sahutku. Ada di surat apa, lanjut Ige. Di al-Baqarah dan tempat-tempat lain di sekujur Qur'an. Aku semakin menggigil. Maka kuangkat serta-merta jasad malasku menuju air.
Ya Allah, tiada daya dan upaya kecuali denganMu. Hamba ini apalah. Sungguh, Sang Pencipta rasa iba dan belas kasih, tanpaMu betapa mengerikannya dunia ini. Kau liputi neraka dengan berbagai kesenangan yang melengahkan dan memperdaya. Siapa yang dapat luput darinya kecuali karena IbaMu dan Belas-KasihMu? Kesenangan itu dosa lebih baik sedih. Ampuni hamba, Ya Pengampun, Pengiba yang Selalu Berbelas-kasih.
Tertidur sejenak, terbangun, terkalahkan oleh hawa, tertidur lagi, terbangun lagi karena panasnya udara, diombang-ambingkan bisikan-bisikan. Kuputuskan untuk pergi ke LKHT karena ada AC. Ketika matari kesadaran sudah hampir tenggelam di ufuk tidur, dari kejauhan kulihat Dia Yang Putih menghampiri. Sungguh takut, sama seperti takutku beberapa jam sebelumnya. Kuberusaha menahan matari agar tidak tercelup sebagian dalam samudera kelelapan.
Ketika kusangka aku telah berhasil, Dia Yang Putih semakin hampir. Tiada besar seperti kusangka ketika Ia masih jauh. Ternyata masih anakan. Aku duduk di lantai depan cubicle Parul. Dia Yang Putih menggelesot manja di kakiku, kuelus-elus tengkuk dan dagunya yang lembut sampai beberapa saat. Sikuku menyentuh sesuatu yang ternyata kaki jasadku, dan membatin: Jasadku tidur. Saat itulah aku menyatu kembali dengan jasadku, terbangun geragapan.
Sore ini, ketika kumenulis, jasadku masih tertinggal beberapa langkah. Semoga masuk angin biasa. Sungguh Allah mengetahui semua yang di depan dan di belakang. Segala puji hanya bagiNya Penguasa alam.
No comments:
Post a Comment