Monday, March 31, 2025

Bebatuan Pijakan ngaIdul Fitri 1446 H. Takbirannya


Awal-awal masih stereo, namun di tengah-tengah berubah mutu. Apakah pembukaan ini lebih baik daripada apakah pantas lebaran-lebaran memandang melalui jendela kecil demi melihat langit di sebelah barat bermendung. Memang segala sesuatu ada waktunya, sebagaimana segala waktu ada sesuatunya. "Tinggal menunggu waktu," itulah prentah wasiat yang diberikan oleh Abangda Profesor Safri Nugaraha Allah yarham, yang 'ku pegang teguh hingga sekarang. Abangda Donbangi Dontiba Allah yarham juga telah tiada. Tinggal lagi Abangda Profesor Kurnia Toha. 'Tu.
Astaga, dengan kualitas analog begini justru semakin melangutkan jiwasraya. Dapat 'ku bayangkan Bapak beberapa tahun lebih muda dari 'ku kini, mengemudikan maestro sambil mendengarkan flut cantik ditiup seorang perempuan berkerudung lembayung. Uah, dari mana datangnya serenata tanpa jiwasraya ini. Tidak ditiup ia oleh perempuan itu, sehingga tidak pernah terdengar baik di radio dalam, cimone, radio dalam lagi, maestro, atau sebelah manapun tepian ciliwung. Padahal membelai menyamankan begini, seperti belaian ibu yang tidak pernah aku rasakan.

Bukan karena ibuku tak sayang padaku. Alhamdulillah ibuku juga masih segar-bugar dikaruniaiNya kesehatan lahir batin. Hanya saja tidak begitu cara beliau menyayangiku. Masih untung ada istriku yang suka membelai menyamankanku sekali dua, jika ia sedang tidak disibukkan dengan tugas menjodoh-jodohkan manik-manik kerajaan. Serbuan kantuk karena tidur kacau datang merayapi kesadaran. Semoga kelak ketika 'ku baca lagi sendiri entri ini, aku ingat bahwa penyebabnya adalah malam takbiran. Aku bahkan tak ingat ada orang gila di bukit dalam flut cantik. 'Ku paham.

Ya sutra lah let's do it again. Setelah naik sebentar, melahap potongan-potongan kecil ketupat ada sepuluhan, sayur pepaya dua macam, udang sambal batak dan dendeng lambok, perutku penuh lagi. Padahal tadi, setelah lasagna dan pastel tutup masing-masing sepotong kecil, enam biji pempek kecil membuat perutku penuh, sempat agak mengempis setelah segelas besar teh hijau. Dalam suasana begini apalagi kalau tidak makan, sedang besok masih harus makan lagi. Umur sudah terlalu banyak untuk makan lagi dan lagi. Makan sudah terlalu banyak untuk umur sebaya 'gini.

Ramadhan ini sungguh mengerikan. Semoga Allah menyampaikan 'ku lagi pada Ramadhan berikutnya, dalam keadaan yang jauh lebih baik dari sekarang ini lahir dan batin. Saat ini, cukuplah bagiku bersyukur dapat mendapat selingan meditasi dari Thais seperti bapakku dulu. Bapakku bukan penggemar opera sepertiku apalagi Andrew Beckett. Aku pun bukan seorang litigator top seperti Andrew meski sama-sama sarjana hukum. Jelasnya, padaku tidak ada lesi-lesi akibat terkomprominya kekebalan tubuh. Aranjuez cintaku selalu bersama sejak Francis Gayo. Iwan Goya...  

...adalah penyusun buku pintar yang terkenal itu, baik yang junior maupun senior. Bahkan yang senior teronggok begitu saja entah di rak mana perpustakaan bidang studi hukum administrasi negara yang semakin mengecil. Apa rasanya menemukan buku pintar ketika sudah kuliah. Mengapa dahulu aku tidak terpikir sama sekali untuk kuliah. Mengapa aku justru bergabung dengan akademi angkatan laut terkutuk itu. Kini aku punya jawabannya, untuk pertanyaan-pertanyaanku sendiri itu, yang tak seorang pun sudi menanyakannya padaku. Tidak menjadi apa pula begitu.

Bahkan perpus lama bidstu HAN 'ku rindukan, di sudut itu sering 'ku sendiri saja. Sejak jaman itu aku telah sering berebutan dengan Bu Cici dan Hari Pras. Jaman itu t'lah berlalu. Savit sudah jadi lektor, aku masih asisten meski ahli. Jadi semacam ass professor second class begitu. Jika mau kebanyakan gaya, kepangkatan akademik di Indonesia bisa semacam ini: (i) ass professor second class/ IIIA; (ii) ass professor/IIIB; (iii) assistant professor second class/ IIIC; (iv) assistant professor/ IIID; (v) associate professor second class/ IVA; (vi) associate professor (IVB); professor (IVC). Aku? Ass professor, as in jackass, or, ever better, asshole.

Wednesday, March 26, 2025

Estrogen 'mBanjiri Aliran Darah. Testosteron 'Netes


Awas, jangan sampai lupa bahwa baru saja engkau mengendus masa mudamu dengan tasbih bermanik kuning fluoresen bahkan jam saku. Tidak mungkin juga engkau berharap masa muda tanpa ketololan karena masa muda memang waktu untuk tolol. Masa tidak sadar juga kau betapa puisi harus dideklamasikan seperti ayat-ayat Quran harus ditilawahkan. Akan tetapi, yang baru saja 'ku endus berasal dari waktu yang lebih dekat, dari Bang Ian sepulang haji agak setahun lalu atau lebih. Lucunya, terlintas masa muda tidak menimbulkan sensasi membuncah seperti dulu.
Tiba-tiba saja aku dijerembabkan kembali ke pojokan jaga DaviNet dari hampir 25 tahun lalu. Ya Allah betapa panjang waktu tololku. Tolol tak habis-habis bahkan sampai hari ini. Aku bergairah sendiri dengan segala sastra lisan, hak ulayat masyarakat hukum adat, konservasi tradisional padahal aku bukan apa-apa, bukan siapa-siapa. Aku sekadar tabib pengobatan tradisional karena cerdasku bukan cerdas yang biasa-biasa. Cerdasku barus, maka begitu saja 'ku hisap sebatang djarum super boleh mencatat dagangan Daud. Ya Allah betapa mengerikan waktu-waktu itu.  

Ketika bahkan aku enggan berdua-duaan saja dengan goblog ini, itu lebih mengerikan lagi. Sedang goblog ini adalah temanku satu-satunya yang tidak pernah mengecewakanku, selalu ada untukku. Sekarang pun ia tidak mengecewakan, dan seperti biasa di sini saja tinggal diakses. Syukurnya ada akses internet. Aku sudah terlalu terbiasa dengan akses internet di mana-mana ke manapun pergi. Bagaimana kalau tiba-tiba tidak ada. Rp 63 ribu yang 'ku belanjakan setiap bulannya hampir selalu percuma karena tidak pernah benar-benar habis. Di rumah ada, di kantor apa lagi.

Seperti biasa, aku di pojokan akuarium sini seperti seekor ikan sapu-sapu yang sudah kawak. Bedanya di luar sana panas terik dan aku baru saja bersin. Semoga baik-baik saja. Suasana hati seperti ini jangan sampai ditambahi dengan rasa badan yang tidak baik-baik saja. Mengapa harus 'ku ratapi hutan bambu yang sudah diberantas dibasmi. Mengapa harus diratapi tetangga belakang yang menembok rumah tinggi-tinggi sampai bertingkat. Mengapa harus dirindukan rumah yang lengang karena hewan-hewan masih dipegangi kecoa erat-erat. Memandangi kanal rindu.

Seperti biasa, jika aku kembali kepadamu, maka aku teramat sangat kesepian. Kemarin sekali lagi yang dibawakan oleh palank merah selalu membawaku ke ujung timur lapangan aru yang bekas landasan pacu itu. Untung tidak lama, aku segera terlempar ke Crea atau kamarnya Japri di Kraanspoor. Namun kini begitu saja aku terhembalang ke dalam akuarium lagi gara-gara cantik kesurupan perjodohan kerajaan. Jika tidak sibuk menjodoh-jodohkan demi mempercantik istana raja entah-entah, ia sibuk mendengarkan entah apa-apa. Begitulah aku kembali lagi ke akuarium ini.

Apapun itu, ini jauh lebih nyaman dibandingkan hari-hari mengelilingi pulau warga laut, yang di salah satu pojokannya ada restoran hadok. Ketololan memandangi jendela dari tepi jalan. Namun pada saat itu pulau warga laut masih kosong. Kini sudah penuh. Akankah aku tetap menyukainya setelah penuh begini. Adakah aku menyukainya ketika masih kosong dahulu. Jelasnya, aku selamat dari waktu-waktu itu, sampai-sampai aku dapat mengenangnya sekarang ini dalam akuarium begini. Baru lima sudah berhenti itu seperti Ronalzie dulu kala tes Akabri.

Ini bukan Amsterdam yang jaraknya belasan ribu kilometer dari cantik. Ini hanya akuarium yang sekitar sepuluhan kilometer jauhnya dari kasur dan bantalku sayang. Meski sudah kubeli nasi gudeg telor masih pakai tahu bacem dan acar kuning, bisa saja aku pulang setelah ashar, mampir dulu di tempat gorengan membeli beraneka ragam tempe, tahu, pastel, dan lontong isi, lengkap dengan bumbu kacang sekaligus. Makanan Akmil aku sudah lupa tepatnya seperti apa, namun segala makanan akan kehilangan kenikmatannya, seperti segala sesuatu. Sampai tetes testosteron terakhir.

Sunday, March 16, 2025

Hari yang 'Ku Sangka Takkan Pernah Lebih dari Satu


Ketika 'ku melintas di mulut Haji Nawi tadi, terlintas suatu nostalgi yang mendalam padaku dari lebih 20 tahun lalu. Kala itu mungkin lepas Maghrib, yang ada baru Pakin. Itu pun tiada. Jangankan Bunbun, Adjie saja belum ada kala itu. Ibu mengutusku membeli capcay dan mungkin menu lainnya lagi. Aku ingat badanku terasa segar ketika itu, sehabis mandi. 'Ku rasa aku naik Metro Mini S.72, yang waktu itu sudah belok kanan ke arah Pondok Indah lanjut Lebak Bulus. Berarti aku berjalan kaki ke gerobak pinggir jalan itu, s'orang lelaki akhir 20-an yang hancur-lebur.
Seorang lelaki pasti mengalami berbagai-bagai kejadian dalam hidupnya. Kejatuhanku, kebangkitannya kembali pasti tidak ada apa-apanya jika dibandingkan lebih banyak lelaki lain di dunia sepanjang sejarahnya. Sayangnya aku lupa menu selain capcay yang 'ku beli petang itu, apakah Bapak juga ikut dahar. Pada ketika itu, Bapak kira-kira seusia Pak Hadi Reog sekarang. Masih jos seingatku, sedang ikut bertempur dalam perang maskapai penerbangan sepanjang 2000-an di Indonesia. Aku kini bahkan lebih muda dari Bapak kala itu; se-Bapak ketika Pakin dalam kandungan. 

Kini aku di dalam akuarium lagi, memandangi jalan profesor Nugroho Notosusanto, sayap kanan atau utara Masjid Ukhuwah Islamiyah yang diguyur hujan. HP-11CB menyenandungkan lamat-lamat hujan dan air mata, meski tak setetes pun membasahi pipi siapapun. Puji syukur 'ku panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah menurunkan hujan setelah aku selamat sampai di dalam akuarium, atau mungkin lebih tepatnya terrarium atau herbarium. Semacam kandang reptil yang ada di Ragunan itu. Aku di dalamnya memandangi hujan mengguyur pelataran.

Meski sudah banyak sekali celoteh kode 'ku hamburkan di sini--celoteh, karena tidak bisa dinyanyikan--aku terus saja melakukannya sampai detik ini. Hujan mereda begitu saja, ditingkahi guruh di kejauhan agak dekat. Tiba-tiba terlintas kenangan Bapak mundut soto tangkar sedang samparannya bengkak, lenggah di kursi roda. Sedang aku tentu saja semacam nasi ramesan, entah mengapa tumis jamur tiram cabai hijau yang ada tahu gorengnya terbayang, meski mungkin cuma khayalan orang sedang puasa saja. Guruh guntur bersahut-sahutan sendu dari arah barat.

Aku selalu tahu ada tuba atau sousafon meningkahi bait-bait kedua dari anak-anak buku cerita, sebagaimana aku dapat menduga bahwa Sandra dan Andres--seperti halnya kucing-kucing Volendam--bukan orang-orang yang berbahasa ibu Inggris. Meski harus 'ku akui, aku tidak pernah menduga kalau permintaan untuk tersenyum bagiku diajukan oleh macan-macan Jepang. Hahaha kode-kode epik yang takkan terpecahkan meski dengan enigma sekalipun. Hanya yang memiliki kenangan-kenangan manis keemasan yang dapat menguraikannya, bakteri takkan sanggup.  

Ketika 'ku sangka hujan sudah sepenuhnya reda, ia turun lagi, membuat sedih orang-orang yang tidak membawa payung. Semoga mereka tidak memaki, malah mendesah membumbungkan ampun kepada Sang Pengampun di bulan suci Ramadhan 1446 H nan mulia ini. Masya Allah, hujan kembali deras. Ketika 'ku ingat-ingat tahun-tahun awal 2020-an, begitu saja aku ngeloyor entah sejak kapan. Sejak sate entah-entah setusuk dengan lontong beberapa potong seharga 50 Rupiah sampai nasi uduk bala-bala bersiram kuah seharga itu, aku suka caramu mencintaiku.

Begitu saja dalam satu alinea hujan reda lagi. Untung aku belum pergi ke Alfamart Psiko. Lagipula jalan ke sana sekarang pasti sudah becek-becek. Apa yang dirasakan Bapak ketika masih tinggal di pavilyun atau kamar tengah jalan radio dan ketika kembali ke sana di akhir abad ke-20. Seberapa berbedakah, setelah berbagai kesakitan dan tentu juga kebahagiaan-kebahagiaan kecil. Jelasnya, pada saat itu, saat seumurku ini, Bapak sudah haji. 'Ku rasa Bapak tidak pernah umroh seumur hidupnya. Seperti itulah aku juga. Aku ingin haji sekali saja meskipun jatah diktator.