Awal-awal masih stereo, namun di tengah-tengah berubah mutu. Apakah pembukaan ini lebih baik daripada apakah pantas lebaran-lebaran memandang melalui jendela kecil demi melihat langit di sebelah barat bermendung. Memang segala sesuatu ada waktunya, sebagaimana segala waktu ada sesuatunya. "Tinggal menunggu waktu," itulah prentah wasiat yang diberikan oleh Abangda Profesor Safri Nugaraha Allah yarham, yang 'ku pegang teguh hingga sekarang. Abangda Donbangi Dontiba Allah yarham juga telah tiada. Tinggal lagi Abangda Profesor Kurnia Toha. 'Tu.
Astaga, dengan kualitas analog begini justru semakin melangutkan jiwasraya. Dapat 'ku bayangkan Bapak beberapa tahun lebih muda dari 'ku kini, mengemudikan maestro sambil mendengarkan flut cantik ditiup seorang perempuan berkerudung lembayung. Uah, dari mana datangnya serenata tanpa jiwasraya ini. Tidak ditiup ia oleh perempuan itu, sehingga tidak pernah terdengar baik di radio dalam, cimone, radio dalam lagi, maestro, atau sebelah manapun tepian ciliwung. Padahal membelai menyamankan begini, seperti belaian ibu yang tidak pernah aku rasakan.
Bukan karena ibuku tak sayang padaku. Alhamdulillah ibuku juga masih segar-bugar dikaruniaiNya kesehatan lahir batin. Hanya saja tidak begitu cara beliau menyayangiku. Masih untung ada istriku yang suka membelai menyamankanku sekali dua, jika ia sedang tidak disibukkan dengan tugas menjodoh-jodohkan manik-manik kerajaan. Serbuan kantuk karena tidur kacau datang merayapi kesadaran. Semoga kelak ketika 'ku baca lagi sendiri entri ini, aku ingat bahwa penyebabnya adalah malam takbiran. Aku bahkan tak ingat ada orang gila di bukit dalam flut cantik. 'Ku paham.
Ya sutra lah let's do it again. Setelah naik sebentar, melahap potongan-potongan kecil ketupat ada sepuluhan, sayur pepaya dua macam, udang sambal batak dan dendeng lambok, perutku penuh lagi. Padahal tadi, setelah lasagna dan pastel tutup masing-masing sepotong kecil, enam biji pempek kecil membuat perutku penuh, sempat agak mengempis setelah segelas besar teh hijau. Dalam suasana begini apalagi kalau tidak makan, sedang besok masih harus makan lagi. Umur sudah terlalu banyak untuk makan lagi dan lagi. Makan sudah terlalu banyak untuk umur sebaya 'gini.
Ramadhan ini sungguh mengerikan. Semoga Allah menyampaikan 'ku lagi pada Ramadhan berikutnya, dalam keadaan yang jauh lebih baik dari sekarang ini lahir dan batin. Saat ini, cukuplah bagiku bersyukur dapat mendapat selingan meditasi dari Thais seperti bapakku dulu. Bapakku bukan penggemar opera sepertiku apalagi Andrew Beckett. Aku pun bukan seorang litigator top seperti Andrew meski sama-sama sarjana hukum. Jelasnya, padaku tidak ada lesi-lesi akibat terkomprominya kekebalan tubuh. Aranjuez cintaku selalu bersama sejak Francis Gayo. Iwan Goya...
...adalah penyusun buku pintar yang terkenal itu, baik yang junior maupun senior. Bahkan yang senior teronggok begitu saja entah di rak mana perpustakaan bidang studi hukum administrasi negara yang semakin mengecil. Apa rasanya menemukan buku pintar ketika sudah kuliah. Mengapa dahulu aku tidak terpikir sama sekali untuk kuliah. Mengapa aku justru bergabung dengan akademi angkatan laut terkutuk itu. Kini aku punya jawabannya, untuk pertanyaan-pertanyaanku sendiri itu, yang tak seorang pun sudi menanyakannya padaku. Tidak menjadi apa pula begitu.
Bahkan perpus lama bidstu HAN 'ku rindukan, di sudut itu sering 'ku sendiri saja. Sejak jaman itu aku telah sering berebutan dengan Bu Cici dan Hari Pras. Jaman itu t'lah berlalu. Savit sudah jadi lektor, aku masih asisten meski ahli. Jadi semacam ass professor second class begitu. Jika mau kebanyakan gaya, kepangkatan akademik di Indonesia bisa semacam ini: (i) ass professor second class/ IIIA; (ii) ass professor/IIIB; (iii) assistant professor second class/ IIIC; (iv) assistant professor/ IIID; (v) associate professor second class/ IVA; (vi) associate professor (IVB); professor (IVC). Aku? Ass professor, as in jackass, or, ever better, asshole.
Astaga, dengan kualitas analog begini justru semakin melangutkan jiwasraya. Dapat 'ku bayangkan Bapak beberapa tahun lebih muda dari 'ku kini, mengemudikan maestro sambil mendengarkan flut cantik ditiup seorang perempuan berkerudung lembayung. Uah, dari mana datangnya serenata tanpa jiwasraya ini. Tidak ditiup ia oleh perempuan itu, sehingga tidak pernah terdengar baik di radio dalam, cimone, radio dalam lagi, maestro, atau sebelah manapun tepian ciliwung. Padahal membelai menyamankan begini, seperti belaian ibu yang tidak pernah aku rasakan.
Bukan karena ibuku tak sayang padaku. Alhamdulillah ibuku juga masih segar-bugar dikaruniaiNya kesehatan lahir batin. Hanya saja tidak begitu cara beliau menyayangiku. Masih untung ada istriku yang suka membelai menyamankanku sekali dua, jika ia sedang tidak disibukkan dengan tugas menjodoh-jodohkan manik-manik kerajaan. Serbuan kantuk karena tidur kacau datang merayapi kesadaran. Semoga kelak ketika 'ku baca lagi sendiri entri ini, aku ingat bahwa penyebabnya adalah malam takbiran. Aku bahkan tak ingat ada orang gila di bukit dalam flut cantik. 'Ku paham.
Ya sutra lah let's do it again. Setelah naik sebentar, melahap potongan-potongan kecil ketupat ada sepuluhan, sayur pepaya dua macam, udang sambal batak dan dendeng lambok, perutku penuh lagi. Padahal tadi, setelah lasagna dan pastel tutup masing-masing sepotong kecil, enam biji pempek kecil membuat perutku penuh, sempat agak mengempis setelah segelas besar teh hijau. Dalam suasana begini apalagi kalau tidak makan, sedang besok masih harus makan lagi. Umur sudah terlalu banyak untuk makan lagi dan lagi. Makan sudah terlalu banyak untuk umur sebaya 'gini.
Ramadhan ini sungguh mengerikan. Semoga Allah menyampaikan 'ku lagi pada Ramadhan berikutnya, dalam keadaan yang jauh lebih baik dari sekarang ini lahir dan batin. Saat ini, cukuplah bagiku bersyukur dapat mendapat selingan meditasi dari Thais seperti bapakku dulu. Bapakku bukan penggemar opera sepertiku apalagi Andrew Beckett. Aku pun bukan seorang litigator top seperti Andrew meski sama-sama sarjana hukum. Jelasnya, padaku tidak ada lesi-lesi akibat terkomprominya kekebalan tubuh. Aranjuez cintaku selalu bersama sejak Francis Gayo. Iwan Goya...
...adalah penyusun buku pintar yang terkenal itu, baik yang junior maupun senior. Bahkan yang senior teronggok begitu saja entah di rak mana perpustakaan bidang studi hukum administrasi negara yang semakin mengecil. Apa rasanya menemukan buku pintar ketika sudah kuliah. Mengapa dahulu aku tidak terpikir sama sekali untuk kuliah. Mengapa aku justru bergabung dengan akademi angkatan laut terkutuk itu. Kini aku punya jawabannya, untuk pertanyaan-pertanyaanku sendiri itu, yang tak seorang pun sudi menanyakannya padaku. Tidak menjadi apa pula begitu.
Bahkan perpus lama bidstu HAN 'ku rindukan, di sudut itu sering 'ku sendiri saja. Sejak jaman itu aku telah sering berebutan dengan Bu Cici dan Hari Pras. Jaman itu t'lah berlalu. Savit sudah jadi lektor, aku masih asisten meski ahli. Jadi semacam ass professor second class begitu. Jika mau kebanyakan gaya, kepangkatan akademik di Indonesia bisa semacam ini: (i) ass professor second class/ IIIA; (ii) ass professor/IIIB; (iii) assistant professor second class/ IIIC; (iv) assistant professor/ IIID; (v) associate professor second class/ IVA; (vi) associate professor (IVB); professor (IVC). Aku? Ass professor, as in jackass, or, ever better, asshole.