Monday, October 28, 2024

Sianjritos, Sikampretos, Sikunyuk Berbulu Kuduk


Kalau mengitiki, apakah itu ketiak sendiri apalagi sampai ketiak orang lain, mau tidak mau harus ditemani rubah pemberian Tuhan. Kalau sampai nirwana apalagi penyakit sapi, itu hanya cocok untuk pekerjaan-pekerjaan menjengkelkan seperti mencocokkan sitasi dengan referensi atau membuat kuis di emas dua. Ini sepertinya dari anak petani banyak rendah. Hahaha kalau aku membaca ini kelak aku pasti lupa apa maksudnya. Biar saja. Itulah seni mengitiki: Mengabadikan kebatan dan kebitan sesaat yang entah-entah apa. Ditambahi cuma agar mentok kanan.
Oktober mengapa jadi banyak entri begini. Apa lupa kau Oktober di Amsterdam, 2018 dan 2020 itu, Kees Broekman dan Kraanspoor. Uah, suasananya jauh berbeda. Di sini keempat toa menyeru berbarengan ke segala penjuru. Sudah ashar dan suhu terasa seperti 41 derajat selsius.  Maka aku melompat ke depan lebih dari 50 jam, kembali ke sejuknya setentang masjid persaudaraan Islam, membayangkan waktu itu sambil berkata ya, ya. Entah mengapa pagi ini aku ditemani seekor burung dara puspita. Waktu itu aku belum mengenal sakitnya dunia, tak hendak juga.

Maka di mana pun mungkin akan begini aturannya, duhai, burung walet silayang-layang. Tidak ada yang mengenakan cincinku karena memang tidak ada yang pernah kuberi. Semua kemampusan adalah semacam ketokaian bagiku, seperti bagi Sugiharto Nasrun Sijakru. Uah, akhirnya sampai juga telo lelolet gembrot gembrot kampret, yang seperti ini malah tidak dikursif. Seperti merekahnya perut dikasih makan Sopuyan nasi bungkus kantin Mares tempat Rian pinjam pisau pemutilasi, seperti itu ia mengempis kembali. Gendang gendut tali kecapi, kenyang perut lapar lagi.

Pengkhianatan! Mengapa justru di situ aku berusaha menghafalkan sebisa-bisanya, sebunyi-bunyinya, di akhir 1998 itu atau masih di pertengahannya. Ditingkahi nasi padang bunga cempaka bertauge-tauge ria, berempeyek udang bersimbah siram kuah bawahnya, beres doger aduhai manis-manisnya. Betapa banyak waktu kusia-siakan bahkan mungkin saat ini pun kuterus-teruskan. Cintailah aku sebanyak-banyaknya. Tak perlu kuminta, cantik melakukannya setiap hari setiap saat. Ia betul mencintaiku meski seperti anjritos, kampretos, atau moshet.

Sempat berhenti gara-gara berlatih menggambar berontosawur dengan alat ini, untuk menyadari bahwa kaki-kakinya hanya segaris segaris. Aku terus mengitiki tidak peduli dunia ini sedang anak-anak muda dengan kerikil-kerikil saling melempari. Kesenduan ini mengingatkanku pada ibuku sayang dan semua yang ia sayangi. Memang inilah asal-muasal dari semua ini, perasaan-perasaan ini; dari suatu ashar bermendung di apron timur lapangan udara Kemayoran. Bagaimana hendak kukelabui jika rimbun menghijau aku tak peduli, di titik ini pun kuterusi: Menyang kali.  

Meskipun tadi sesaset teh maksimum dengan tiga "x" sudah ditenggaki, masih terasa ingin cafe latte dari teras sekolah tinggi hukum. Dunia ini, hidup ini, bukanlah misteri. Sekadar menahankan keinginan mengganti antigores yang antisilau. Namun begitu mengetik "antisilau" ini keinginan justru menguat. Apa betul segera kupergi saja sekalian pulang. Tiada apa-apa bagiku di sini kecuali halaman luas berkeramik terakota. Tiada jalan keluar bagiku dari sana, entah bagaimana sampai aku tersesat ke sana. Aku bahkan menahan diri 'tuk tidak beli paket data. Dua juta tak ke mana.

Orang macam apa yang tidak pakai berpikir dua kali hanya sekadar untuk membeli antigores yang antisilau. Gelombang-gelombang liar ini sedap-sedapnya melangutkan, membawaku entah ke mana-mana di dekat ndalemnya Akung-Uti, Bapak-Ibu. Ya Allah, jangan sakiti aku ketika sampai ajalku, pada sakaratul mautku. Biarkanlah seperti ini, melodi-melodi lembut ini. Harus kupaksakan selesainya kini, karena tiada lain cara menikmati kecuali diterjemahi. Membawaku kembali ke perempatan antara Santa, Wijaya, dan Mampang. Di sini saja kuakhiri, entri ini. Rapih.

Monday, October 21, 2024

Ini Semua Tahi Cintaku Terbuang Setelah Semua Ini


Memang di HP-11CB itu alat-alatnya lebih lengkap dari Advan Sketsa 3, namun lebih berat dan tidak bisa dibuat menggambar. Setidaknya dua ini kelebihan Kangguru. Uah, itu ternyata sebutanmu. Bagaimana dengan mereka yang tidak dapat sepertiku menikmati desauan ombak ditingkahi irama baru. Makanku berantakan lagi apalagi olahraga; seperti biasa, dari satu kalimat ke kalimat berikutnya tidak menunjukkan hubungan apapun. Apakah harus kubeli semacam stiker kangguru yang lucu begitu, tempel di sampul. Betul 'kan seperti sudah kuduga. Ukurannya beda sendiri, Advan.
Benar saja, habis mengajar entah-entah malah menelusur stiker kangguru. Tidak lah. Level kegabutanku belum sampai pada membeli Z'gok apalagi Acguy yang dibaca saja sulit. Akan halnya mengitiki di setentang masjid persaudaran Islam memang dapat terjadi kapanpun, meski nyaris mustahil dilakukan pada suatu Sabtu. Semata karena aku terlalu malas meminjam kunci Pak Tarno. Aku sudah terlalu terbiasa meminjam kunci Pak Mono, lalu Fajar. Dulu bahkan aku tak perlu meminjam kunci. Aku punya kuncinya. Gilanya, kutambahi begitu saja tiap-tiap akhir paragraf.

Rasanya seperti terkena sihir meski aku belum pernah kena sihir, dan tidak ada rencana sampai kena sihir dalam waktu dekat ini maupun sejauh-jauhnya. Di kejauhan sana kulihat seorang ibu dan anak perempuan satu-satunya sedang berbincang-bincang sambil menyeruput entah minuman-minuman apa di teras sekolah tinggi hukum itu. Pada titik ini aku diinterupsi oleh Sopuyan Bosque. Ia sekadar memastikan aku berfungsi. Bulan biru bersinar terang di ufuk kesadaranku, meski hatiku, seperti biasa, berselaput mendung. Lebih edan, tetap kutinjau pratinjau.

Kopi putih cap luwak kurang gula sudah dingin gara-gara kutinggal berbual-bual dengan Sopuyan, namun tak mengurangi kenikmatannya; seperti nikmatnya mengitiki kangguru di suatu siang bermendung, di setentang mesjid persaudaraan Islam. Bagaimanapun jadi kepikiran, ukuran apa yang harus kugunakan bersama kangguru ini. Adakah 'ku harus kembali ke aturan tujuh lima tujuh lima jadi lima dua lima. Dengan apa harus kuperiksa saban-saban jumlah katanya. Atau mungkinkah ini waktunya membabat membabi-buta tanpa meninjau pratinjau. Sekarang?

Perilaku mendengarkan? Mengapa sudah dua kali ini muncul tanda tanya. Sudah cukup, tidak akan kutambah lagi. Lantas bagaimana menghentikannya jika tidak ada patokan sementara yang ada selalu sekadar asal goblek asal ngomyang. Apa harus kukatakan betapa tidak pernah lepas. Ah, akhirnya keluar sedikit dari perilaku mendengarkan. Katakan padaku, bagaimana caranya aku hidup tanpamu. Haruskah kuterima hidup selalu bersamamu, ketololan. Akhirnya menyerah juga. Harus teratur meski keteraturan itu berarti tiap-tiap kali harus meninjau. 

Aku merindukanmu seperti gila, suatu siang di ruang praktek dokter Hardi Leman. Musim kemarau, dapat kubayangkan apa ketika itu isi benakku. Lebih baik kucoba mengingat, apakah Patas 24 atau losbak. Kepahlawanan yang selalu hanya pura-puranya. Apa betul menjadi jenderal bintang dua pasukan khusus suatu kepahlawanan, atau cukup mengingat suatu artikel di Forum Keadilan berjudul fenomena pahalawan-dosawan. Pada ketika itu saja sudah begitu, apalagi sekarang, dosawan-begajulan. Dunia 'mayan. Ternyata masih harus diteruskan sampai sebaris lagi, biar genap delapan.

Apakah musim semi atau September, apakah harus mengulanginya kembali atau dalam keadaan yang jauh lebih baik. Sudah cukup lamakah 'ku hidup. Belum. Aku hanya harus menyanyikan air mataku habis-habisan, tumpah-ruah. Derai tawa yang menyakitkan hati yang benar-benar sakit-sakit, untukmu, untuk diingat-ingat. Aku begini saja, berjuang apanya yang diperjuangkan, apa iya berjuang. Aku tidak bisa ke mana-mana atau memang ada dijanjikan entah di mana. Atau 'ku harus mencari, masih. Meneruskan: seandainya kau bayiku, Mas Manto-mu. Kesakitanku.

Sunday, October 13, 2024

Termulus dari yang Mulus: Dari Lebak Bulus


Kesepianku kemasygulan. Kekecewaanku kemajuan. Aku seperti berpuisi tapi menulis prosa, berdeklamasi tapi berpidato. Aku dilawan, dihina, disepelekan. Kudengarkan musik dari tabungmu premium, sudah tidak ada. Adanya pertalite dan pertamax, bahkan di Belitung Timur sekalipun. Kesepianku adakah kutemui jaringan internet di sana, atau sama saja. Bahkan dengan mesin ketik pun tidak menjadi apa. Kertas dari mana, pita dari mana, untuk apa. Ketrampilanku tidak berguna, dan ini membuatku stres cari uang.
Bicara mengenai Lebak Bulus, aku jadi teringat jembatan penyeberangan orang yang menghubungkan antara Poin Square dengan tanah kosong. Di bagian tanah kosongnya itu, yang gelap jika malam, dahulu sekira awal 2000-an, suka ada beberapa transpuan menawarkan jasanya. Bahkan pada saat itu ada yang menawarkan Rp 10.000 saja untuk menghisap penis. Astaga, aku baru sadar; jumlah itu, pada saat itu, untuk membeli dua bungkus Djarum Super saja tak dapat. Apa kabar transpuan-transpuan itu, masih hidupkah.

Tepat di sini aku menggilai dan mengelu-elukan lagi. Apa tepat jez halus mulus menemani jelang tengah malamku kini. Apa tepat secangkir Torabika Cappuccino daluwarsa bulan ini menemani di samping kanan tabletku nan baru Advan Sketsa 3 boleh diberi Togar dan Farid. Apa tepat kubiarkan mereka memberiku agar berpahala untuk mereka. Kepalaku penuh bertanya-tanya. "Apa kurindukan HP Stream 8 dari waktu-waktu di kubikel UNHCR sampai perpustakaan HAN lama, bahkan flexkammer dan Uilenstede?" tanyaku berkepala.

Dalam kenanganku, kuhisap dalam-dalam asap kretek Sampoerna King Size merah. Sedap-sedapnya, pahit-getirnya bir hitam, sungguh aku tidak berkeberatan. Dapatkah kudapatkan lagi kebugaranku sehingga aku dapat melesat berlari ke dalam kelamnya malam, di antara ngarai-ngarainya dalam tak berdasar tak berkesudahan. Ini memang Torabika bukan Indocafe. Seekor kecoa berkeresek-keresek di dalam lemari penuh berpakaian-pakaian. Apakah sama caplak dan kutu anjing. Apa lebih sedap kejora dari kecubung tiada henti.

Mendekati tengah malam begini kurasakan kembali sedap-sedapnya kebangsaan Indonesia di akhir Abad ke-20, belum sampai Y2K, bahkan Pak Harto masih sehat segar-bugar bersama Bu Tien di hari-hari terakhirnya. Adakah Bu Tien mengenakan daster bila di rumah saja, adakah Pak Harto berkaus oblong bersarung. Kuredupkan sangat layar tabletku karena terangnya di gelap malam menyakiti mata. Teringatku pada lampu teplok di rumah petakan atau pavilyun itu. Tentu tidak dengan komputer atas-meja, tentu saja buku tulisku.

Kesedapanku kegelapannya. Remangku menggeremangnya. Bulu kudukmu bulu-bulu sekujur tubuhmu. Semua itu tidak terlalu penting terlebih bidang yang berhias mata, hidung, dan mulut. Semua ini hanya harus kusyukuri dan kuambil hikmahnya saja. Ingatkah kau pada suatu malam Ramadan di setentang Mal Depok, di depan Hero Supermarket, menjelang sahur. Apa benar yang kau lakukan di situ. Semuanya sekadar ketololan dan kemunafikan yang kurasa esoknya pun tidak puasa. Kuteruskan karena belum sampai.

Advan Sketsa 3, akankah kau menjadi teman baikku, menemaniku ketika aku terpuruk merasa tidak berguna. Seperti malam-malam ketika kurasakan jantungku berdentam-dentam bagai hantaman palu godam pada kemaluanku. Sampai subuh, kata Kim Waters. Edan! Setelah ini aku tak tahu apakah akan kembali ke depan tivi seperti malam-malam di Uilenstede, menololi diri sendiri dengan teori ledakan besar. Daftar-main ini memang harus diakui sedap bukan buatan, yang termulus dari yang mulus, dicukurmu plontos!

Friday, October 11, 2024

Indung Kepala, Lindung Telur. Saluran Telur


Masa bisanya cuma menulis entri, lalu apa gunanya. Apa akan kutulis dalam bahasa Inggris semuanya agar tidak ada garis merah berkriwil-kriwil di bawahnya macam mie keriting. Segalaku memberikan padamu hatiku, seperti biasa, aklimatisasi dulu 'pala lu peyang. Jika orang melihatku, bapak-bapak gendut botak berkaus oblong bertuliskan "London" yang asli dari London, bercelana komprang biru dongker merek al-Ihsan, mengetik-ngetik menggunakan Advan Sketsa 3 gres boleh dibelikan Togar dan Farid, tentulah mereka akan menyangka aku miskin masai bukan buatan.
Tadi sudah sempat kucicip ah kusesap teh lemonnya, padahal yang kupesan adalah teh hijau. Tiada niatku meminta tukar. Aku kembali hanya untuk menambahkan es batu padanya, agar mencair dan menjadi kurang manis. Namun memang ada kubilang pada anak itu tadi, yang kupesan teh hijau. Maka diambilkanlah segelas baru teh hijau, diberinya es batu banyak-banyak. Begitulah maka di hadapanku kini ada segelas kertas teh hijau dingin seharga 50 sen Euro; yang aslinya kuminta dalam gelas plastik, dapat gelas kertas.

Segelas kertas teh hijau dingin yang tadinya diniatkan sekadar sebagai pajangan ternyata sudah habis setengah. Di titik in tiba-tibaku merindukan istriku cantik, istriku sayang. Jika kuulang demikian tidak berarti istriku ada dua. Istriku tentu satu, karena aku tahu monogami itu bukan sejenis kayu dan mahagoni adalah nama klaster perumahan yang ada kolam renangnya di graha bintaro sana. Pantas. Memang Masih jauh. Apa yang bertengger di atas leher tidak banyak gunanya. Lebih penting yang bergelantungan di bawahnya.

Tidak bisa ditukar-tukar urutannya. Diurutkan begini tentu ada alasannya, dan ketika sesuai dengan urutan memang terasa sedap-sedapnya. Kurasa sama dengan kibor HP Stream 8 dulu, aku tidak bisa gaya-gaya'an sok mengetik rampak dengan sampul kibor Advan Sketsa 3 ini. Nanti ada 'lah ia melompat-lompat. Uah, kepalaku sakit secara figuratif gara-gara desakan-desakan ketololan, maka baiknya kulepas saja arloji Casio bertali kulit pemberian istriku sayang ini. Sebentar lagi harus wudhu, kusimpan kembali di kantong depan tas. 

Jika kukata aku ingin jadi seperti Syahmardan, itu jauh lebih baik dari apapun yang berkebat-kebit di benakku. Meski itu basuhan air hampir mendidih pada cangkir bekas coklat panasku, meski tidak seperti Chocomel; karena aku lupa seperti apa rasanya, dan aku tidak ingin ingat. Aku, yang jelas, tidak seperti Syahmardan, apalagi Seno Gumira, apalagi Umar Kayam. Apa aku seperti seniorku Denny Januar Ali, lebih baik aku jadi Jimny Quasi Assiliqiddhieq. Berkeringat-keringat begini, jangan sampai tak habis lagi air hangat.

Aduh, harmonika begini, jaman segitu, pasti asli. Apakah di apron barat, apakah seorang pramugari kulit putih berjalan seorang diri menuju terminal hanya untuk hilang di kegelapan. Legenda perkotaan begini, sedang sekitar rumahku saja dulu masih banyak pohon kelapa. Masih kampung begitu, mengapa ambil pusing di mana kata diakhiri, di mana diberi bertitik. Mengetik di tablet begini, seperti antara 2016 sampai awal 2020, sampai pertengahannya. Apa 'ku mengetik terlalu rampak. Rawa-rawa bau oli, melodi sedih 'gini.

Mana berani kudengarkan ketika di Kraanspoor, meski tadi tiada sengaja bertemu Japri. Di Uilenstede masih berani bila ada Hadi. Kalau ia sedang bermalam entah di mana juga tidak berani. Malam-malam panjang begini, atau ketika sudah begitu pendek. Astaga tiada hendak berhenti juga melodi-melodi sedih ini. Untunglah tak jauh dari sini ada Cantik dan keponakannya. Untunglah aku di rumah sendiri. Untunglah aku tidak sedang di hotel termewah di dunia meski ditemani bidadari. Aku mau selalu bersama Cantik istriku.

Tuesday, October 08, 2024

Bu[aya] oleh Bapak Sendok di [Perto]kota Cibinong


Bagaimana kalau menulis sesuatu yang koheren, yang masuk akal, sekali ini, mengenai apa. 'Tuh, belum-belum sudah tidak masuk akal lagi. Namun masuk akal siapa, sedang seluruh Paris memimpikan cinta, sedang perut disumpal tahu telur kudus masih dengan tempe mendoannya. Sedang dibalik bukukrom ini terdapat satu cangkir teh pepermin yang mendingin dan terus mendingin. Aku memang tidak terlalu sistematis, hanya saja aku ini pecandu cintamu. Tidak, cinta cantik tidak membuat kecanduan. Cinta cantik membuat nyaman seperti dentam-dentam bass.
Ini sudah pulang, dan udara malam ini sama sekali tidak dapat dikatakan sejuk. Padahal aku tidak habis minum apapun yang hangat. Richard masih tidak bisa melupakan adiknya, aku bisa maklum. Siapa juga yang dapat melupakan Karen. Bahkan Johnny pun marah ketika Mack menyela Karen. Sampai kapan akan begini, mengitiki sambil diiringi lagu-lagu lama yang tidak pernah sumbang tetapi semakin tidak menyumbang rasa. Apa tiba-tiba kukembali ke persekitaran Kodam Jaya, Cililitan, Cawang dan sebagainya itu, atau cukup ke awal 2019 itu ketika segalanya baru dimulai. 

Bagaimana kabarmu, mug kelabu. Aku selalu tahu, aku harus berdua saja denganmu, mungkin ditemani Pakde Fausto, jika aku ingin menghasilkan sesuatu ketika kutahu aku tidak pernah benar-benar menghasilkan apapun dalam hidup ini. Tidak jabatan fungsional, tidak golongan kepangkatan atau yang sejenisnya. Seperti di suatu Minggu pagi ketika 'ku terbangun subuh dan melanjutkannya dengan mengetik mengenai berharap kepada Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Sang "Majelis Tinggi" dalam "parlemen" Indonesia, juga ditemani hembusan saks Pakde Fausto.

Ketika melihat-lihat lagi episode-episode teori ledakan besar, 'ku terbawa dalam suasana musim dingin menjelang musim semi, lalu musim panas 2020, bahkan sampai musim gugur, musim dingin lagi di tahun berikutnya. Aku tidak sampai menikmati musim semi 2021, keburu pulang kepada mereka yang kucintai dan mencintaiku. Uah, anak-anak ini berjengit ketika kukatakan hukum harus sanggup mewujudkan rasa damai dan cinta. Aku juga sih yang mengatakan murahan karena mereka mana berani berkomentar begitu. Indri sudah sangat berani mengataiku utopis.

Hmm [kurasa jarang sekali aku menggunakan onomatop ini, semata karena aku tidak mau mengulang uah], serbat jangkrik jahe jintan hitam bersimbah madu herbal masuk angin ini memang tidak tepat rempah-rempat Bengali, namun sensasi yang diciptakannya mirip-mirip. Sungguh aku membutuhkan kesendirian semacam ini, namun jangan terlalu jauh dari cintaku. Apalagi sampai belasan ribu mil jauhnya. Cukuplah beberapa langkah kaki dariku seperti ini. Oh, di manakah 'kan kutemui yang seperti ini: Sejuk dingin, sendiri bersama pikiranku, tapi tidak jauh dari cintaku.

Apa gara-gara ini aku harus terlontar ke musim kemarau seperti ini, seperempat abad yang lalu, juga ditemani Samba Pa Ti. Bedanya kini tidak ada Bentoel Mild. Apakah ketika itu ada kopi. Lelaki tolol 23 tahun menyeruput kopi sambil mengepul-ngepul asap rokok. Aku betul-betul lupa apakah ketika itu aku sanggup membeli kopi. Aku hanya ingat adiknya Isah atau siapapun namanya, entah Dede, menjadi gadis penjual kopi apa lupa namanya, bodo 'ah, yang penting aku suka rasanya. Seingatku pernah benar 'ku mencicipinya. Pahit getir meski diberi bergula.

Ah ya, aku ingin mengabadikan celukan Togar mengenai bapak-bapak pengeblog. Aku tidak mengeblog, 'Gar. Aku hanya kesepian. Ketika kesepian aku butuh berdua-duaan dengan diriku sendiri, entah apa ini, pikiranku, perasaan atau entahlah apa. Seringkali ia membuatku lebih pucat dari putih, yang membawaku pada musim penghujan akhir 1993 atau awal 1994. Kawan-kawan sebarak sedang mendengarkan curhatan di radio, aku menulis dan menghafalkan syair [warna] pucat yang lebih putih. Selalu begitu suasana hatiku: Mendung berhujan rintik menderas.

Tuesday, October 01, 2024

Apa Benar Ini Boneka Lobster Goreng, Jingga Begini


Akhirnya, setelah umek dengan transparansi, aku dapat menikmati serbat jahe jintan hitam bersimbah madu herbal mentol. Namun itu belum seberapa. Memang sampai sekira 15-an tahun lalu, kopi-kopi sasetan masih indah menghiasi hari-hariku. Salah satunya tentu saja rasa-rasa lucu dari hari baik, lima saset tiap-tiapnya, dan masih banyak lagi. Oh, betapa aku sangat menyukainya, sampai-sampai ia menyakitiku, sampai hampir mati rasanya. Kurasa pernah kuabadikan di sini, cangkir kecil bola, sholat maghrib seakan-akan untuk terakhir kalinya, terkaparku di karpet.
Astaga, akhir 1998, mungkin aku mendengar kali pertama awal 1999. Apa benar yang kupikirkan pada saat itu. Bagaimana mendapatkan sebungkus, atau setidaknya setengah bungkus super. Itu sudah. Berapa lama habisnya setengah bungkus itu. Ketika itulah mulai menggelandang. Apa ketika itu momen ketololan. Hari berhujan menyusuri jalan-jalan kampung srengseng sawah sisi barat Ciliwung. Apa benar yang kucari: data, wawancara. Aku pantas mendapat ini semua, malah sedikit sekali meminta ampun. Sungguh banyak amat, jauh lebih jijik aku'ni: Comberan.

Aku mengitiki dalam suasana hati kurang lebih seperti ketika memandang ke seberang agak ke bawah. Bertetangga seperti tidak, tentu saja tidak merindukan. Bahkan jalan-jalan di bawah mantan derek raksasa yang sudah berubah menjadi perkantoran. Naik feri ro-ro ke arah stasiun hanya untuk ke Amsterdam barat itu namanya mundur. Terlebih sampai membeli troli belanja seharga hampir 20 Euro, seperti itu saja sebenarnya ketika aku merencanakan untuk belanja. Seperti ketika tiba-tiba aku membeli pelantang bergigibiru di Hema, seperti itulah pula dompet STNK.

Sudah entah berapa kali kutulis di sini betapa kubasuh sisa-sisa minuman kental manis dari kerongkonganku dengan air hangat cenderung panas. Jika kudengar keluar dari biru pada paruh kedua 1990-an, berarti itu sudah menjadi kenangan; karena itu terjadi di bulan-bulan pertamaku pada kelas tiga. Tepat di sini aku terhenti. Apa karena terlalu banyak waktu kuhabiskan dalam laboratorium hukum entah-entah. Tidak ingin pula aku membantu mengonsepnya. Terlalu banyak orang memperhatikan hal-hal sepele, biar kuurus hal-hal serius. Tidak mengapa bagiku, Teman.

Kopi singa masih adakah. Masih. Aku suka yang ginseng, ada rasa tanahnya. Aku tidak ingin merasa-rasa dan bertanya-tanya. Biarlah kunikmati lagi secangkir serbat jangkrik jintan hitam bersimbah madu herbal anti masuk angin, atau 'ku masih tak sanggup melupakanmu. Tadi ketika mengaduknya, begitu saja 'ku teringat pada pagi-pagiku di rumah-rumahku. Di mana pun rumahku, pagi-pagi selalu waktu terbaik. Betapa tololku di usia 20-an, berjaga sepanjang malam, baru tidur ketika pagi sudah menjelang. Mengapa tidak dari dulu selaluku begitu, berteman pagi.

Kamu menemaniku ketika melawan pengar jet di awal 2019 itu, bersama bersalah. Kini meski mengantuk tak relaku berangkat tidur. Aku merasa belum apa-apa. Aku merasa belum berkarya. Jangan-jangan memang sudah tidak waktunya lagi membaca, kini waktuku menulis buku. Apa harus kugambar sendiri ilustrasinya. Apa kukerjakan sendiri semua, terlepas nama-nama. Uah, aku merasa seperti Jeremy, ingin meledakkan kepala sendiri. Tentu setelah meledakkan beberapa balonku ada lima, rupa-rupa warnanya: hijau, kuning, kelabu, merah muda dan biru. Kelabu!

Biarlah entri entah-entah ini kututup dengan kisah Angga Priancha mengenai dua bocah tolol yang berpikir titit-titit mereka berjenis kelamin berbeda, satu jantan, satu betina, dan saling cinta hahaha. Untung mereka tidak bertemu denganku. Kalau sampai bertemu aku bisa jadi mantri tiban sunat atau lebih tepatnya kastrasi. Biar mereka tidak pusing-pusing mengenai jenis kelamin titit-titit mereka yang tak'da guna itu. Setelah dikastrasi, titit-titit tolol ini bagusnya digoreng kering biar terglikasi, lalu kita kasih makan ke bocah-bocah tolol ini, biar titit-titit itu pada jadi tahi.