...Kapan pun, Mutu terbaik. Kukenakan kali pertama ketika berjuang (halah!) di medan merdeka barat. Berjuang menahan kantuk mungkin ya. Nama-nama yang dipilih Rory sungguh jelek sekali. Segala Sarel, Lamban, Jarisha, demikian juga nama-nama Belanda dan Jepang, kecuali Inggris. Mungkin dia menghadapi masalah yang sama dengan Herman. Mungkin segala Armijn von Roon, Ernst Grobke, apalagi Wolf Stoller juga terdengar menjengkelkan untuk telinga Jerman. Aku menulis asal-asalan seakan-akan baik-baik saja, sedangkan Jahannam dan Izrail as. selalu mengintai.
Aku selalu memberikan yang terbaik bagi cintaku, dan itu adalah cantik, tidak bisa yang lain. Itu keputusanku. Betapa jika sedang terlantun selalu 'ku ingin memeluk cintaku, mendekapnya erat, dan itu hanya bisa cantik. Uah, aku malah terlempar ke 30 tahunan yang lalu, ketika masih seumuran kambing sekarang. Apakah aku pun sekambing kambing. Bundanya kentara sekali tidak senang kalau aku mengomel mengenai kambing. Begitulah semua ibu kurasa, bahkan ibu kucing yang anak-anak gadisnya sejelek dia. Runcing-runcing muncungnya, banyak pula. Jengkel!
Adanya aku bisa menulis asal-asalan begini, ada mata kuliah buatan Sang Muter Dr. Sopuyan. Judulnya Hukum Adat dalam Kegiatan Ekonomi. Aku pun mengarang bebas: Aspek Hukum Publik dalam Hukum Adat. Siapa yang suka. Teringat Nurlela di musim dingin 2009, di Maastricht. Apa benar yang kuingat mengenainya. Apa makananku sehari-hari ketika itu. Makananku sekarang pun tak kalah enaknya. Hanya saja aku harus belajar mengolah dada ayam dan fillet ikan. Aku tidak suka mengiris-iris dada ayam. Seperti menyayat daging, sedang tumbuhan saja menjerit dipetik.
Dua hati meyakini hanya satu pikiran, bersama selamanya sampai akhir waktu entah dari lebih 30 tahunan yang lalu. Kami katakan halo selamat tinggal. Itu bedanya, ada kami katakannya. Beatles tidak ada, meski Phil Collins berpura-pura jadi Beatles keempat-empatnya ketika hatinya dan hati entah siapa meyakini hanya satu pikiran itu. Apa betul Oom Rahmat Tanjung membaca goblekanku ini. Apa harus kuselesaikan goblekanku yang sisa tiga paragraf ini sebelum mendongeng mengenai hak ulayat laut masyarakat (...) adat pesisir. Di luar mulai hujan, mungkin takkan reda...
Senyampang ada Oom Rahmat, ada baiknya kutulis mengenai Togar yang ingin mengikuti jejak Lutvi Hadib yang bekerja di sebuah LSM gereja di New Jersey. Untung saja baris bass Jim Hilbun sungguh sedapnya, meski entah mengapa mengiringi satu peleton dari Divisi Lintas Udara ke-101 melakukan mobilisasi udara dengan helikopter UH-1. Hollywood memang selalu menjengkelkan, meski kalau gabut sangat, seperti ketika di Sint Antoniuslaan dulu, mau bagaimana lagi. Kuda-kuda liar menghampiriku lagi bersiderap, selalu mengingatkanku pada mendiang bapakku perkasa.
Aku ingin disembuhkan dengan musik yang konon dapat menyembuhkan jiwa dan raga. Baru kusadari dalam bahasa Inggris raga dulu disebut baru jiwa. Bahasa Indonesia sebaliknya. Akankah kunikmati bunyi-bunyian seperti ini meski aku sedang tidak setengah berbaring, berselimut, sedang kaki-kakiku dipijit-pijit [pijit atau pijat]. Kurasa sejak jaman Caen dan Abel pikiran-pikiran cabul sudah selalu ada, seperti pijitlah bel dengan mesra di pintu tuyul. Hidup ini bagaimanapun indah, tinggal bagaimana menikmatinya saja, begitu nasihat seorang bijak di kaskus bertahun lalu.
Apa musik penyembuh memang harus monoton begini. Yang sangat menyembuhkan mungkin bunyi gericik airnya itu, yang seperti bunyi akuarium berpompa udara, atau sekalian kolam ikan di depan sebuah tempat perawatan sementara. Mengapa rinci sekali, ketika sedang duduk menghampar dihampiri mentor Ili Dasili, untung tidak digampar. Hidup ini penuh kejadian memalukan, mengapa kau malah menggembar-gemborkan. Apa dengan begitu berkurang rasa malumu, atau justru memperbesar kemaluan. Aku seperti judul entri ini diperpanjang. Apanya.
Aku selalu memberikan yang terbaik bagi cintaku, dan itu adalah cantik, tidak bisa yang lain. Itu keputusanku. Betapa jika sedang terlantun selalu 'ku ingin memeluk cintaku, mendekapnya erat, dan itu hanya bisa cantik. Uah, aku malah terlempar ke 30 tahunan yang lalu, ketika masih seumuran kambing sekarang. Apakah aku pun sekambing kambing. Bundanya kentara sekali tidak senang kalau aku mengomel mengenai kambing. Begitulah semua ibu kurasa, bahkan ibu kucing yang anak-anak gadisnya sejelek dia. Runcing-runcing muncungnya, banyak pula. Jengkel!
Adanya aku bisa menulis asal-asalan begini, ada mata kuliah buatan Sang Muter Dr. Sopuyan. Judulnya Hukum Adat dalam Kegiatan Ekonomi. Aku pun mengarang bebas: Aspek Hukum Publik dalam Hukum Adat. Siapa yang suka. Teringat Nurlela di musim dingin 2009, di Maastricht. Apa benar yang kuingat mengenainya. Apa makananku sehari-hari ketika itu. Makananku sekarang pun tak kalah enaknya. Hanya saja aku harus belajar mengolah dada ayam dan fillet ikan. Aku tidak suka mengiris-iris dada ayam. Seperti menyayat daging, sedang tumbuhan saja menjerit dipetik.
Dua hati meyakini hanya satu pikiran, bersama selamanya sampai akhir waktu entah dari lebih 30 tahunan yang lalu. Kami katakan halo selamat tinggal. Itu bedanya, ada kami katakannya. Beatles tidak ada, meski Phil Collins berpura-pura jadi Beatles keempat-empatnya ketika hatinya dan hati entah siapa meyakini hanya satu pikiran itu. Apa betul Oom Rahmat Tanjung membaca goblekanku ini. Apa harus kuselesaikan goblekanku yang sisa tiga paragraf ini sebelum mendongeng mengenai hak ulayat laut masyarakat (...) adat pesisir. Di luar mulai hujan, mungkin takkan reda...
Senyampang ada Oom Rahmat, ada baiknya kutulis mengenai Togar yang ingin mengikuti jejak Lutvi Hadib yang bekerja di sebuah LSM gereja di New Jersey. Untung saja baris bass Jim Hilbun sungguh sedapnya, meski entah mengapa mengiringi satu peleton dari Divisi Lintas Udara ke-101 melakukan mobilisasi udara dengan helikopter UH-1. Hollywood memang selalu menjengkelkan, meski kalau gabut sangat, seperti ketika di Sint Antoniuslaan dulu, mau bagaimana lagi. Kuda-kuda liar menghampiriku lagi bersiderap, selalu mengingatkanku pada mendiang bapakku perkasa.
Aku ingin disembuhkan dengan musik yang konon dapat menyembuhkan jiwa dan raga. Baru kusadari dalam bahasa Inggris raga dulu disebut baru jiwa. Bahasa Indonesia sebaliknya. Akankah kunikmati bunyi-bunyian seperti ini meski aku sedang tidak setengah berbaring, berselimut, sedang kaki-kakiku dipijit-pijit [pijit atau pijat]. Kurasa sejak jaman Caen dan Abel pikiran-pikiran cabul sudah selalu ada, seperti pijitlah bel dengan mesra di pintu tuyul. Hidup ini bagaimanapun indah, tinggal bagaimana menikmatinya saja, begitu nasihat seorang bijak di kaskus bertahun lalu.
Apa musik penyembuh memang harus monoton begini. Yang sangat menyembuhkan mungkin bunyi gericik airnya itu, yang seperti bunyi akuarium berpompa udara, atau sekalian kolam ikan di depan sebuah tempat perawatan sementara. Mengapa rinci sekali, ketika sedang duduk menghampar dihampiri mentor Ili Dasili, untung tidak digampar. Hidup ini penuh kejadian memalukan, mengapa kau malah menggembar-gemborkan. Apa dengan begitu berkurang rasa malumu, atau justru memperbesar kemaluan. Aku seperti judul entri ini diperpanjang. Apanya.
No comments:
Post a Comment