Cacat yang sedikit itu justru menjadi ciri khasnya. Lagipula, cinta itu justru kepada kelemahan dan kekurangan, sedang pada kekuatan dan kelebihan terbit kekaguman. Inilah yang terjadi jika mencukur klimis seluruh rambut wajah kecuali alis dan bulu mata mendekati tengah malam yang hangat di tengah-tengah musim penghujan. Sejauh ini belum terpikir judul, apalagi keyakinan akan selesainya sebuah entri. Entah bagaimana, aku kembali ke gang pancoran ketika malam masih sangat muda. Entah sedang apa aku di situ, namun, seperti saat ini, rasa hati ringan pun riang.
Seperti malam ini, secangkir plastik merah serbat jahe kemantapan [hati]. Sungguh aku tak berani mendengarkan ini di Belanda [mengapa suaranya meleyot-leyot begini. Jangan dong]. Di sini saja aku berani karena dekat dengan Cantik dan anak-anak perempuanku meski kurang satu. Anakku empat, tiga perempuan, satu kambing. Di mana anakku, di mana istriku, ha ha ha ha [kurasa empat kali]. Mungkin orang gila unyil ini namanya Maximus Decimus Meridius, gila demi melihat mayat anak istrinya digantung kehitaman, dibakar. Baik mana gila atau mati, pertanyaannya.
Parapam pam pam membawaku kembali ke tower Cengkareng. Sungguh hebatnya, Affan dibawa Pak Utomo ke Sekretariat Jenderal Dewan Ketahanan Nasional. Suasana di siang hari, menjelang gelap, setelah gelap, sungguh penuh kenangan manis. Pulang dengan jemputan bis PPD sampai ke Blok M, entah naik apa sampai rumah. Apa langsung tidur atau mandi dulu, tidak ingat. Akulah anak lelaki tertua kebanggaan Bapak Ibu dan adik-adikku. Adakah anak-anakku membanggakanku tidak perlu ditanyakan. Biarlah dihembus angin lalu, kenangan akan harapan, impian.
Secangkir serbat apa dilanjut coklat panas, yang kuinginkan justru air panas saja. Aku setua ini, yang dulu menempel di jendela kaca miring tower Cengkareng. Aku malah tidak ingat seperti apa tower Halim. Wuah, bahaya! Ternyata itu yang bikin meleyot-leyot. Semoga tidak terjadi apa-apa. Apa sekarang tambah air panasnya. Apa diberi sedikit teh hijau. Tentu tidak malam-malam begini. Hidung mulai seperti tersumbat, kulihat hidung Togar memang penuh ingus kental. Entah sudah berapa kali bahkan di blog ini saja, jika pun mulai terasa ini dan itu, berharaplah.
Seperti apa malam-malam di rumah rendah samping kandang kambing buat apa lagi diingat-ingat. Lebih baik mengenang roti talenan keju bawang Albert Heijn, apalagi ditambah lasagna bayam dan sop-sopan instan, minumnya secangkir besar teh dari mesin kopi. Ada apa saja di situ, yang kuingat sekarang adalah semak merah, lemon, beri hutan, aneh-aneh lah. Uah, pasti kenyang. Mimpinya hampir sama dengan mimpi apapun yang pernah kualami dalam hidup. Mimpi main tentara-tentaraan, main peneliti-penelitian, padahal kenyataannya ya begini ini. Setolol jaya.
Tanganku pada pinggulmu; langit, matahari, dan laut kebanyakan gaya. Masih tolol saja sedangkan Yudo Purnomo sudah lama kolonel, ternyata Aris Gunarso. Petualangan dari Margo City makan kacang merah bersama swargi Pakde Lentu dan putra-putranya, ada swargi Bapak juga kurasa, pulangnya ke lantai empat. Entah mengapa main slepot gudang garam filternya Jerki, setelah itu perut terasa diiris-iris, bahkan sampai muntah [ini karena tadi memaksakan muntah]. Agak beberapa hari meringkuk di atas meja tidur di pojokan itu sampai sehat. Seperti itu saja hidup dijalani.
Bisa juga memacu VarioSty ke vokasi hanya untuk makan di warteg luar pager kuning. Ketika makan sudah terasa agak kurang yes, malah memacu kembali ke rumah. Di kamar belakang meringkuk juga entah berapa lama. Ah tak terhitung. Adakah Arya Moulana meringkuk untuk terakhir kalinya tak ingin juga kupikirkan. Air panas secangkir sudah tandas ditenggak. Keringat di dahi dan tengkuk sedang badan terasa agak-agak meriang dingin, naik ojek dari stadela sampai rumah tak berjaket berhelm. Ini barisan tak bergenderang berpalu, lha koq iseng banget yak.
Seperti malam ini, secangkir plastik merah serbat jahe kemantapan [hati]. Sungguh aku tak berani mendengarkan ini di Belanda [mengapa suaranya meleyot-leyot begini. Jangan dong]. Di sini saja aku berani karena dekat dengan Cantik dan anak-anak perempuanku meski kurang satu. Anakku empat, tiga perempuan, satu kambing. Di mana anakku, di mana istriku, ha ha ha ha [kurasa empat kali]. Mungkin orang gila unyil ini namanya Maximus Decimus Meridius, gila demi melihat mayat anak istrinya digantung kehitaman, dibakar. Baik mana gila atau mati, pertanyaannya.
Parapam pam pam membawaku kembali ke tower Cengkareng. Sungguh hebatnya, Affan dibawa Pak Utomo ke Sekretariat Jenderal Dewan Ketahanan Nasional. Suasana di siang hari, menjelang gelap, setelah gelap, sungguh penuh kenangan manis. Pulang dengan jemputan bis PPD sampai ke Blok M, entah naik apa sampai rumah. Apa langsung tidur atau mandi dulu, tidak ingat. Akulah anak lelaki tertua kebanggaan Bapak Ibu dan adik-adikku. Adakah anak-anakku membanggakanku tidak perlu ditanyakan. Biarlah dihembus angin lalu, kenangan akan harapan, impian.
Secangkir serbat apa dilanjut coklat panas, yang kuinginkan justru air panas saja. Aku setua ini, yang dulu menempel di jendela kaca miring tower Cengkareng. Aku malah tidak ingat seperti apa tower Halim. Wuah, bahaya! Ternyata itu yang bikin meleyot-leyot. Semoga tidak terjadi apa-apa. Apa sekarang tambah air panasnya. Apa diberi sedikit teh hijau. Tentu tidak malam-malam begini. Hidung mulai seperti tersumbat, kulihat hidung Togar memang penuh ingus kental. Entah sudah berapa kali bahkan di blog ini saja, jika pun mulai terasa ini dan itu, berharaplah.
Seperti apa malam-malam di rumah rendah samping kandang kambing buat apa lagi diingat-ingat. Lebih baik mengenang roti talenan keju bawang Albert Heijn, apalagi ditambah lasagna bayam dan sop-sopan instan, minumnya secangkir besar teh dari mesin kopi. Ada apa saja di situ, yang kuingat sekarang adalah semak merah, lemon, beri hutan, aneh-aneh lah. Uah, pasti kenyang. Mimpinya hampir sama dengan mimpi apapun yang pernah kualami dalam hidup. Mimpi main tentara-tentaraan, main peneliti-penelitian, padahal kenyataannya ya begini ini. Setolol jaya.
Tanganku pada pinggulmu; langit, matahari, dan laut kebanyakan gaya. Masih tolol saja sedangkan Yudo Purnomo sudah lama kolonel, ternyata Aris Gunarso. Petualangan dari Margo City makan kacang merah bersama swargi Pakde Lentu dan putra-putranya, ada swargi Bapak juga kurasa, pulangnya ke lantai empat. Entah mengapa main slepot gudang garam filternya Jerki, setelah itu perut terasa diiris-iris, bahkan sampai muntah [ini karena tadi memaksakan muntah]. Agak beberapa hari meringkuk di atas meja tidur di pojokan itu sampai sehat. Seperti itu saja hidup dijalani.
Bisa juga memacu VarioSty ke vokasi hanya untuk makan di warteg luar pager kuning. Ketika makan sudah terasa agak kurang yes, malah memacu kembali ke rumah. Di kamar belakang meringkuk juga entah berapa lama. Ah tak terhitung. Adakah Arya Moulana meringkuk untuk terakhir kalinya tak ingin juga kupikirkan. Air panas secangkir sudah tandas ditenggak. Keringat di dahi dan tengkuk sedang badan terasa agak-agak meriang dingin, naik ojek dari stadela sampai rumah tak berjaket berhelm. Ini barisan tak bergenderang berpalu, lha koq iseng banget yak.
No comments:
Post a Comment