Tidak banyak di dunia ini yang benar-benar dapat dijadikan pegangan, apalagi sandaran. Betapa mengerikan dunia ini tanpa cinta, meski aku jadi orang memang mudah merasa ngeri. Contohnya, membayangkan kedinginan di luar Albert Heijn NDSM sambil menunggui sepeda van moof tak bergembok saja aku sudah merasa ngeri. Nyeri beda lagi dari ngeri, padahal sambalnya tadi hanya sekepret. Memang sempat terasa menyengat di lidah. Kurasa mulut dan lidahku jauh lebih tahan, suka bahkan, terhadap pedas dibanding saluran pencernaan yang ke belakang.
Kacamataku sampai berembun meneguk-neguk teh bendera hangat dari mug aluminium. Hari-hari memang bergulir, terungkap dengan cara-cara yang tidak terduga, dan betapa di dalamnya penuh cinta Sang Maha Cinta. Jika sudah demikian, butuh apa aku dengan Brenda, Kelly, dan Donna meliuk-liuk begitu sambil meratap-ratap putus itu sulit. Sedang jaman itu saja aku tolol apalagi sekarang. Sungguh tidak putus-putus aku bersyukur, memasuki baya paruh kedua ini hidupku masih dilumuri cinta sampai lengket-lengket manis seperti gemblong atau telur gabus, menetes-jilakan.
Meski omonganku mengawang-awang ketinggian, sejatinya aku ini seekor monyet tak berekor yang nyaman dengan tahi upilnya sendiri, mengorek-ngorek, memulung-mulung menjadi bulatan kecil, dilahap dikunyah kecil-kecil sampai terasa asin-asin getir. Monyet betulan pasti upilnya tidak asin karena mereka tidak makan garam. Hanya akulah kunyuk kebanyakan garam baik natrium atau glutamat. Aku tahu aku harus jatuh cinta, namun untuk apa jika cinta, alih-alih menjatuhkanku, justru membuai-buai menyayangiku seperti hujan diarak awan-awan mendung, dibelai angin.
Bahkan sekadar suara Tante Karen dan dentam-dentaman senar bass Pakde Joe Osborn sama khasiatnya seperti mengelus-elus entah anjing entah kucing yang aku tak punya dan tak ingin punya. Jika Cantik suka kegelian jika kuelus-elus dan kugemes-gemesi, setidaknya akulah yang dielus-elus olehnya, maka Insya Allah detak jantungku tenang berirama, tekanan darahku stabil normal, otot-otot pembuluh darahku rileks seakan-akan dipijat terapis yang ternyata istri sendiri, yang penuh cinta dan kasih-sayang. Aku memang tidak pernah benar-benar gitaris. Aku basis dramer.
Di pojokan sini aku mengetik-ngetiki, di antara kardus-kardus. Entah mengapa orang-orang seperti Parul dan Mayor Jenderal TNI Achirudin Darodjat bisa menempati ruang kerja yang oh yeah. Bahkan ruang kerjanya Ai ada pintu rahasianya, yang ternyata menuju ke ruang tidur dan kamar mandi pribadi. Tentu saja pemalas tolol sepertiku tidak pantas diberi akses ke ruang kerja seperti itu. Maka tidak apalah, di antara kardus begini, meski perut bawahku nyeri, aku masih rampak mengetiki sedang hatiku terasa nyaman; memandang keluar di ketinggian, cuaca mendung.
Uah, koleksiku ini bahkan lebih ajib dibanding koleksi menyedihkan bersampul plastik pembungkus kertas. Hidup seakan ada episode-episodenya, seperti angin-angin perang dilanjut perang dan kenang-kenangannya. Ngeri betul! Kenangan akan perang, kenangan akan hidup dalam kem kerja paksa, penyiksaan, meski dijadikan tipuan seakan-akan kem itu dikelola secara sangat manusiawi bahkan nyaman. Kematian mengerumuni, bahkan mengintai, mengancam setiap waktu. Hanya kemarin ketika aku sedih dan kesepian. Kini syukurnya sudah tidak lagi.
Sedang kordnya sudah berpindah-pindah dari C ke D, dibuat minor, sudah ke G balik ke C lagi, bassnya ditahan di C terus dan hasilnya ciamik. Baru setelah kordnya ke A minor bassnya ikut. Uah musik bagiku mungkin seperti air bagi bumi, bahkan tubuhku sendiri. Tanpanya aku tandus, dehidrasi, tak terbayangkan, bahkan mungkin mati, meski tentu saja tak mungkin kuketahui karena aku belum pernah mati. Uah mengapa cinta seperti romansa antara kodok dan babi. Apa babi lantas bertelur, menetas menjadi berudu alias kecebong, atau beranak kecebong, tidak dikisahkan.
Kacamataku sampai berembun meneguk-neguk teh bendera hangat dari mug aluminium. Hari-hari memang bergulir, terungkap dengan cara-cara yang tidak terduga, dan betapa di dalamnya penuh cinta Sang Maha Cinta. Jika sudah demikian, butuh apa aku dengan Brenda, Kelly, dan Donna meliuk-liuk begitu sambil meratap-ratap putus itu sulit. Sedang jaman itu saja aku tolol apalagi sekarang. Sungguh tidak putus-putus aku bersyukur, memasuki baya paruh kedua ini hidupku masih dilumuri cinta sampai lengket-lengket manis seperti gemblong atau telur gabus, menetes-jilakan.
Meski omonganku mengawang-awang ketinggian, sejatinya aku ini seekor monyet tak berekor yang nyaman dengan tahi upilnya sendiri, mengorek-ngorek, memulung-mulung menjadi bulatan kecil, dilahap dikunyah kecil-kecil sampai terasa asin-asin getir. Monyet betulan pasti upilnya tidak asin karena mereka tidak makan garam. Hanya akulah kunyuk kebanyakan garam baik natrium atau glutamat. Aku tahu aku harus jatuh cinta, namun untuk apa jika cinta, alih-alih menjatuhkanku, justru membuai-buai menyayangiku seperti hujan diarak awan-awan mendung, dibelai angin.
Bahkan sekadar suara Tante Karen dan dentam-dentaman senar bass Pakde Joe Osborn sama khasiatnya seperti mengelus-elus entah anjing entah kucing yang aku tak punya dan tak ingin punya. Jika Cantik suka kegelian jika kuelus-elus dan kugemes-gemesi, setidaknya akulah yang dielus-elus olehnya, maka Insya Allah detak jantungku tenang berirama, tekanan darahku stabil normal, otot-otot pembuluh darahku rileks seakan-akan dipijat terapis yang ternyata istri sendiri, yang penuh cinta dan kasih-sayang. Aku memang tidak pernah benar-benar gitaris. Aku basis dramer.
Di pojokan sini aku mengetik-ngetiki, di antara kardus-kardus. Entah mengapa orang-orang seperti Parul dan Mayor Jenderal TNI Achirudin Darodjat bisa menempati ruang kerja yang oh yeah. Bahkan ruang kerjanya Ai ada pintu rahasianya, yang ternyata menuju ke ruang tidur dan kamar mandi pribadi. Tentu saja pemalas tolol sepertiku tidak pantas diberi akses ke ruang kerja seperti itu. Maka tidak apalah, di antara kardus begini, meski perut bawahku nyeri, aku masih rampak mengetiki sedang hatiku terasa nyaman; memandang keluar di ketinggian, cuaca mendung.
Uah, koleksiku ini bahkan lebih ajib dibanding koleksi menyedihkan bersampul plastik pembungkus kertas. Hidup seakan ada episode-episodenya, seperti angin-angin perang dilanjut perang dan kenang-kenangannya. Ngeri betul! Kenangan akan perang, kenangan akan hidup dalam kem kerja paksa, penyiksaan, meski dijadikan tipuan seakan-akan kem itu dikelola secara sangat manusiawi bahkan nyaman. Kematian mengerumuni, bahkan mengintai, mengancam setiap waktu. Hanya kemarin ketika aku sedih dan kesepian. Kini syukurnya sudah tidak lagi.
Sedang kordnya sudah berpindah-pindah dari C ke D, dibuat minor, sudah ke G balik ke C lagi, bassnya ditahan di C terus dan hasilnya ciamik. Baru setelah kordnya ke A minor bassnya ikut. Uah musik bagiku mungkin seperti air bagi bumi, bahkan tubuhku sendiri. Tanpanya aku tandus, dehidrasi, tak terbayangkan, bahkan mungkin mati, meski tentu saja tak mungkin kuketahui karena aku belum pernah mati. Uah mengapa cinta seperti romansa antara kodok dan babi. Apa babi lantas bertelur, menetas menjadi berudu alias kecebong, atau beranak kecebong, tidak dikisahkan.
Apa seperti orang gila begini, 'Gar?
No comments:
Post a Comment