Apakah mungkin mengitiki ketika kekecewaan mendalam di tengah cuaca berbadai. Ketika dikatakan istirahat sholat makan untuk kemudian dilanjutkan pada pukul satu, aku segera beranjak ke masjid. Menyusuri emperan aula, aku seperti kucing garong bangkot gendut kebasahan titik-titik gerimis mengundang. Kuulurkan tanganku ke atas seperti biasa di waktu-waktu begini. Ketika itu bahkan aku tidak peduli jika pulang dengan tangan kosong, maka ketika menerima tak seberapa aku bersyukur. Aku kucing jantan tua, gendutku seperti Joppie van Darmaga.
Apakah mungkin terus mengitiki jika gelombang demi gelombang masygul menggelora bagai laut diamuk badai. Aku yang keple ini menyebut-nyebut laut, tapi suatu hari nanti 'kan kupakai nama itu: Harnowo. Samudra raya yang kurasa hanya akan menjadi khayalan seumur hidupku. Sedang omonganku mengawang-awang, terlalu tinggi, sedang badanku menambun begini. Melodi-melodi cantik tinggal lagi penawar hati yang teracuni, terluka sembilu. Kotak kudapan yang selalu berkacang, tadi bertahu mutiara entah begitu namanya, bertelur puyuhnya; dikau cintaku.
Dari situkah mulainya segala penghormatan militer, salutasi yang dibalas sangat kasual sekadar karena sudah lulus. Tiga tahun tak berarti itu dibanding pengasuhan sejak lahir hingga hampir lima belas tahun. Ini rasanya seperti graha remang-remang sebelum jam 11.00 karena setelah terompet tidur malam masih boleh menyalakan lampu-lampu bohlam. Stevanus di Graha 16, aku di Graha 10, Takwa di Graha 9. Kulempar semua ketakutanku pada angin lalu, yang ketika itu seringnya dingin membelai badan-badan muda. Mungkin menyehatkan badan, sedang pikiranku saja yang selalu mendung gerimis begini; dalam khayalku saja.
Serbat madu jahe merah mint membasahi kerongkongan, sedang ingatan melayang mungkin ke dalam jip hardtop yang kaca-kacanya berembun. Radionya menyenandungkan lagu-lagu terkini pada jamannya, sebidang bahu untuk menangis di atasnya dan mungkin juga dua hati. Hidup para ibu melemparku bagai katepel elektromagnet tak beruap ke masa-masa ketika kemaluan mulai membesar. Itulah kemaluan terbesar yang mungkin pernah kurasakan, bukan lain-lainnya, karena selain itu adalah kesedihan mendalam. Luka tusuk yang tembus dari perut ke punggungku.
Keadaanku kini tidak lebih mengerikan dari ketika aku terlahir tanpa bau. Mudah saja, kami burung bangkai, ada masalah? Seperti bercelana pendek berkalung sarung malam-malam ke tempat menjual minum-mimuman memabukkan. Ketika kemaluan sudah tidak tahu malu lagi, hanya untuk kembali ke bilik yang kini jadi kantor ikatan alumni. Meski di situ, tidur-tidurku nyenyak, meski berbantal tas biru bermakara lusuh, kumuh, yang isinya tak berani kukeluarkan, yakni bondet yang sudah gepeng. Luka, luka, luka yang kurasakan, bertubi-tubi yang kuberikan. Kelu lidah kelat.
Maka kami berkata: "Selamat datang selamat tinggal." Berdua sambil melambai-lambaikan tangan pada sebentuk kursi ligna gaya lama yang kokoh dan elegan, yang tidak jadi dihantamkan keras-keras memecah kepala-kepala yang terlalu bodoh; yakni kepala-kepalaku sendiri. Belum sampai sepuluh jumlahnya, memang aku siapa, namun pasti lebih dari dua, mungkin ganjil jumlahnya. Aku bukan tebe apalagi wiyono. Mustahil aku jadi parul apalagi acep. Aku paling tua namun paling tolol, menonton film dewasa sedang kemaluan tegang membuat duduk si tolol tak nyaman.
Pula rokok yang tak henti-hentinya mengepul. Entah masih agak sebungkus atau tinggal beberapa batang kusimpan di mana bersama koreknya sekaligus. Aroma belerang ikut terhirup bersama hisapan pertama, waktu-waktu aku setolol hati angsa bersaput lemak, yakni foei gras. Maka aku berjalan-jalan di sepanjang tepian buiten Ij, karena hanya hamburger yang pernah kucicipi sedangkan bukit hamburger hanya dikhayalkan. Mengajak berkencan di restoran kapten Haddock juga semacam ketololan yang tiada hentinya bahkan sampai saat itu. Ketololan.
Apakah mungkin terus mengitiki jika gelombang demi gelombang masygul menggelora bagai laut diamuk badai. Aku yang keple ini menyebut-nyebut laut, tapi suatu hari nanti 'kan kupakai nama itu: Harnowo. Samudra raya yang kurasa hanya akan menjadi khayalan seumur hidupku. Sedang omonganku mengawang-awang, terlalu tinggi, sedang badanku menambun begini. Melodi-melodi cantik tinggal lagi penawar hati yang teracuni, terluka sembilu. Kotak kudapan yang selalu berkacang, tadi bertahu mutiara entah begitu namanya, bertelur puyuhnya; dikau cintaku.
Dari situkah mulainya segala penghormatan militer, salutasi yang dibalas sangat kasual sekadar karena sudah lulus. Tiga tahun tak berarti itu dibanding pengasuhan sejak lahir hingga hampir lima belas tahun. Ini rasanya seperti graha remang-remang sebelum jam 11.00 karena setelah terompet tidur malam masih boleh menyalakan lampu-lampu bohlam. Stevanus di Graha 16, aku di Graha 10, Takwa di Graha 9. Kulempar semua ketakutanku pada angin lalu, yang ketika itu seringnya dingin membelai badan-badan muda. Mungkin menyehatkan badan, sedang pikiranku saja yang selalu mendung gerimis begini; dalam khayalku saja.
Serbat madu jahe merah mint membasahi kerongkongan, sedang ingatan melayang mungkin ke dalam jip hardtop yang kaca-kacanya berembun. Radionya menyenandungkan lagu-lagu terkini pada jamannya, sebidang bahu untuk menangis di atasnya dan mungkin juga dua hati. Hidup para ibu melemparku bagai katepel elektromagnet tak beruap ke masa-masa ketika kemaluan mulai membesar. Itulah kemaluan terbesar yang mungkin pernah kurasakan, bukan lain-lainnya, karena selain itu adalah kesedihan mendalam. Luka tusuk yang tembus dari perut ke punggungku.
Keadaanku kini tidak lebih mengerikan dari ketika aku terlahir tanpa bau. Mudah saja, kami burung bangkai, ada masalah? Seperti bercelana pendek berkalung sarung malam-malam ke tempat menjual minum-mimuman memabukkan. Ketika kemaluan sudah tidak tahu malu lagi, hanya untuk kembali ke bilik yang kini jadi kantor ikatan alumni. Meski di situ, tidur-tidurku nyenyak, meski berbantal tas biru bermakara lusuh, kumuh, yang isinya tak berani kukeluarkan, yakni bondet yang sudah gepeng. Luka, luka, luka yang kurasakan, bertubi-tubi yang kuberikan. Kelu lidah kelat.
Maka kami berkata: "Selamat datang selamat tinggal." Berdua sambil melambai-lambaikan tangan pada sebentuk kursi ligna gaya lama yang kokoh dan elegan, yang tidak jadi dihantamkan keras-keras memecah kepala-kepala yang terlalu bodoh; yakni kepala-kepalaku sendiri. Belum sampai sepuluh jumlahnya, memang aku siapa, namun pasti lebih dari dua, mungkin ganjil jumlahnya. Aku bukan tebe apalagi wiyono. Mustahil aku jadi parul apalagi acep. Aku paling tua namun paling tolol, menonton film dewasa sedang kemaluan tegang membuat duduk si tolol tak nyaman.
Pula rokok yang tak henti-hentinya mengepul. Entah masih agak sebungkus atau tinggal beberapa batang kusimpan di mana bersama koreknya sekaligus. Aroma belerang ikut terhirup bersama hisapan pertama, waktu-waktu aku setolol hati angsa bersaput lemak, yakni foei gras. Maka aku berjalan-jalan di sepanjang tepian buiten Ij, karena hanya hamburger yang pernah kucicipi sedangkan bukit hamburger hanya dikhayalkan. Mengajak berkencan di restoran kapten Haddock juga semacam ketololan yang tiada hentinya bahkan sampai saat itu. Ketololan.