Thursday, February 29, 2024

Apa Masalahmu, Nyanyikan Sesuatu Baru Untukku


Apakah mungkin mengitiki ketika kekecewaan mendalam di tengah cuaca berbadai. Ketika dikatakan istirahat sholat makan untuk kemudian dilanjutkan pada pukul satu, aku segera beranjak ke masjid. Menyusuri emperan aula, aku seperti kucing garong bangkot gendut kebasahan titik-titik gerimis mengundang. Kuulurkan tanganku ke atas seperti biasa di waktu-waktu begini. Ketika itu bahkan aku tidak peduli jika pulang dengan tangan kosong, maka ketika menerima tak seberapa aku bersyukur. Aku kucing jantan tua, gendutku seperti Joppie van Darmaga.
Apakah mungkin terus mengitiki jika gelombang demi gelombang masygul menggelora bagai laut diamuk badai. Aku yang keple ini menyebut-nyebut laut, tapi suatu hari nanti 'kan kupakai nama itu: Harnowo. Samudra raya yang kurasa hanya akan menjadi khayalan seumur hidupku. Sedang omonganku mengawang-awang, terlalu tinggi, sedang badanku menambun begini. Melodi-melodi cantik tinggal lagi penawar hati yang teracuni, terluka sembilu. Kotak kudapan yang selalu berkacang, tadi bertahu mutiara entah begitu namanya, bertelur puyuhnya; dikau cintaku.

Dari situkah mulainya segala penghormatan militer, salutasi yang dibalas sangat kasual sekadar karena sudah lulus. Tiga tahun tak berarti itu dibanding pengasuhan sejak lahir hingga hampir lima belas tahun. Ini rasanya seperti graha remang-remang sebelum jam 11.00 karena setelah terompet tidur malam masih boleh menyalakan lampu-lampu bohlam. Stevanus di Graha 16, aku di Graha 10, Takwa di Graha 9. Kulempar semua ketakutanku pada angin lalu, yang ketika itu seringnya dingin membelai badan-badan muda. Mungkin menyehatkan badan, sedang pikiranku saja yang selalu mendung gerimis begini; dalam khayalku saja.

Serbat madu jahe merah mint membasahi kerongkongan, sedang ingatan melayang mungkin ke dalam jip hardtop yang kaca-kacanya berembun. Radionya menyenandungkan lagu-lagu terkini pada jamannya, sebidang bahu untuk menangis di atasnya dan mungkin juga dua hati. Hidup para ibu melemparku bagai katepel elektromagnet tak beruap ke masa-masa ketika kemaluan mulai membesar. Itulah kemaluan terbesar yang mungkin pernah kurasakan, bukan lain-lainnya, karena selain itu adalah kesedihan mendalam. Luka tusuk yang tembus dari perut ke punggungku.

Keadaanku kini tidak lebih mengerikan dari ketika aku terlahir tanpa bau. Mudah saja, kami burung bangkai, ada masalah? Seperti bercelana pendek berkalung sarung malam-malam ke tempat menjual minum-mimuman memabukkan. Ketika kemaluan sudah tidak tahu malu lagi, hanya untuk kembali ke bilik yang kini jadi kantor ikatan alumni. Meski di situ, tidur-tidurku nyenyak, meski berbantal tas biru bermakara lusuh, kumuh, yang isinya tak berani kukeluarkan, yakni bondet yang sudah gepeng. Luka, luka, luka yang kurasakan, bertubi-tubi yang kuberikan. Kelu lidah kelat.

Maka kami berkata: "Selamat datang selamat tinggal." Berdua sambil melambai-lambaikan tangan pada sebentuk kursi ligna gaya lama yang kokoh dan elegan, yang tidak jadi dihantamkan keras-keras memecah kepala-kepala yang terlalu bodoh; yakni kepala-kepalaku sendiri. Belum sampai sepuluh jumlahnya, memang aku siapa, namun pasti lebih dari dua, mungkin ganjil jumlahnya. Aku bukan tebe apalagi wiyono. Mustahil aku jadi parul apalagi acep. Aku paling tua namun paling tolol, menonton film dewasa sedang kemaluan tegang membuat duduk si tolol tak nyaman.

Pula rokok yang tak henti-hentinya mengepul. Entah masih agak sebungkus atau tinggal beberapa batang kusimpan di mana bersama koreknya sekaligus. Aroma belerang ikut terhirup bersama hisapan pertama, waktu-waktu aku setolol hati angsa bersaput lemak, yakni foei gras. Maka aku berjalan-jalan di sepanjang tepian buiten Ij, karena hanya hamburger yang pernah kucicipi sedangkan bukit hamburger hanya dikhayalkan. Mengajak berkencan di restoran kapten Haddock juga semacam ketololan yang tiada hentinya bahkan sampai saat itu. Ketololan.

Monday, February 19, 2024

Mencintaimu Itu Sesuatu yang Benar-benar Sesuatu


Tidak banyak di dunia ini yang benar-benar dapat dijadikan pegangan, apalagi sandaran. Betapa mengerikan dunia ini tanpa cinta, meski aku jadi orang memang mudah merasa ngeri. Contohnya, membayangkan kedinginan di luar Albert Heijn NDSM sambil menunggui sepeda van moof tak bergembok saja aku sudah merasa ngeri. Nyeri beda lagi dari ngeri, padahal sambalnya tadi hanya sekepret. Memang sempat terasa menyengat di lidah. Kurasa mulut dan lidahku jauh lebih tahan, suka bahkan, terhadap pedas dibanding saluran pencernaan yang ke belakang.
Kacamataku sampai berembun meneguk-neguk teh bendera hangat dari mug aluminium. Hari-hari memang bergulir, terungkap dengan cara-cara yang tidak terduga, dan betapa di dalamnya penuh cinta Sang Maha Cinta. Jika sudah demikian, butuh apa aku dengan Brenda, Kelly, dan Donna meliuk-liuk begitu sambil meratap-ratap putus itu sulit. Sedang jaman itu saja aku tolol apalagi sekarang. Sungguh tidak putus-putus aku bersyukur, memasuki baya paruh kedua ini hidupku masih dilumuri cinta sampai lengket-lengket manis seperti gemblong atau telur gabus, menetes-jilakan.

Meski omonganku mengawang-awang ketinggian, sejatinya aku ini seekor monyet tak berekor yang nyaman dengan tahi upilnya sendiri, mengorek-ngorek, memulung-mulung menjadi bulatan kecil, dilahap dikunyah kecil-kecil sampai terasa asin-asin getir. Monyet betulan pasti upilnya tidak asin karena mereka tidak makan garam. Hanya akulah kunyuk kebanyakan garam baik natrium atau glutamat. Aku tahu aku harus jatuh cinta, namun untuk apa jika cinta, alih-alih menjatuhkanku, justru membuai-buai menyayangiku seperti hujan diarak awan-awan mendung, dibelai angin.

Bahkan sekadar suara Tante Karen dan dentam-dentaman senar bass Pakde Joe Osborn sama khasiatnya seperti mengelus-elus entah anjing entah kucing yang aku tak punya dan tak ingin punya. Jika Cantik suka kegelian jika kuelus-elus dan kugemes-gemesi, setidaknya akulah yang dielus-elus olehnya, maka Insya Allah detak jantungku tenang berirama, tekanan darahku stabil normal, otot-otot pembuluh darahku rileks seakan-akan dipijat terapis yang ternyata istri sendiri, yang penuh cinta dan kasih-sayang. Aku memang tidak pernah benar-benar gitaris. Aku basis dramer.

Di pojokan sini aku mengetik-ngetiki, di antara kardus-kardus. Entah mengapa orang-orang seperti Parul dan Mayor Jenderal TNI Achirudin Darodjat bisa menempati ruang kerja yang oh yeah. Bahkan ruang kerjanya Ai ada pintu rahasianya, yang ternyata menuju ke ruang tidur dan kamar mandi pribadi. Tentu saja pemalas tolol sepertiku tidak pantas diberi akses ke ruang kerja seperti itu. Maka tidak apalah, di antara kardus begini, meski perut bawahku nyeri, aku masih rampak mengetiki sedang hatiku terasa nyaman; memandang keluar di ketinggian, cuaca mendung.

Uah, koleksiku ini bahkan lebih ajib dibanding koleksi menyedihkan bersampul plastik pembungkus kertas. Hidup seakan ada episode-episodenya, seperti angin-angin perang dilanjut perang dan kenang-kenangannya. Ngeri betul! Kenangan akan perang, kenangan akan hidup dalam kem kerja paksa, penyiksaan, meski dijadikan tipuan seakan-akan kem itu dikelola secara sangat manusiawi bahkan nyaman. Kematian mengerumuni, bahkan mengintai, mengancam setiap waktu. Hanya kemarin ketika aku sedih dan kesepian. Kini syukurnya sudah tidak lagi.

Sedang kordnya sudah berpindah-pindah dari C ke D, dibuat minor, sudah ke G balik ke C lagi, bassnya ditahan di C terus dan hasilnya ciamik. Baru setelah kordnya ke A minor bassnya ikut. Uah musik bagiku mungkin seperti air bagi bumi, bahkan tubuhku sendiri. Tanpanya aku tandus, dehidrasi, tak terbayangkan, bahkan mungkin mati, meski tentu saja tak mungkin kuketahui karena aku belum pernah mati. Uah mengapa cinta seperti romansa antara kodok dan babi. Apa babi lantas bertelur, menetas menjadi berudu alias kecebong, atau beranak kecebong, tidak dikisahkan.

Apa seperti orang gila begini, 'Gar?

Saturday, February 17, 2024

Betapatah 'kan Kupenuhi Janjiku Ini. Kakiku Dingin


Ada entri-entri yang kumulai dengan ada malam-malam. Seperti entri ini, kumulai dengan ada malam-malam hatiku meleleh seperti salju April. Tiada sesiapa dapat kusalahkan karena ketololanku, dan kemalasanku. Kepengecutanku juga, sedang banjo saja berduel. Sedang Earp bersaudara baku tembak dengan Johnny Ringo dan kawan-kawannya, dibantu Doc Holliday. Sedang aku, Catur, dan mungkin Rully menontonnya di Bayeman Theatre, dengan harga tanda masuk Rp 450; pada saat yang sama Magelang Theatre Rp 1100. Ya, kami bertiga II Bio-2 lanjut III Bio-1. 
Kemanisan ini tidak pernah sirna, tidak pudar setitik pun sejak aku masih belasan tahun. Kisah ini, dua kekasih yang entah mengapa ingin berpisah namun tak satupun sanggup mengucap selamat tinggal. Sungguh kepiluan yang manis meski bergemeretak itu senar dan tom-tom digebuk. Aku penggebuk dram Biodeath, sejak itulah aku terkenal sebagainya. Padahal, dimulai dari kamar mandi Cimone Gama I No. 26 yang kecil coklat itu, lalu kamar mandi-kamar mandi di Yado II No. E4, aku adalah seorang vokalis. Kukepalkan jari jadi es kepal, bukan tinju, entah mana arah dituju.

Semulut penuh siwak terasa kesat kelat begini, karena ooh sungguh damai di sini. Di atas bumi ini entah sudah berapa kali, di berbagai tempat kurasakan kedamaian. Bahkan jalan kaki dari Bellagio Boutique Mall ke depan Jalan Satrio juga bisa damai. Berputar-putar di sekujur menara Eiffel aku tidak peduli damai ataukah tidak, sekadar suatu pandangan untuk suatu pembunuhan. Di padang sabana sana itu bukan pembunuhan sama sekali. Itu sekadar makan malam atau sehari-hari, atau berhari-hari. Dibuat 32 mulai sedap 34nya mantap agar suara-suara tolol tak terdengar.

Kesakitan bisa jadi dimulai dengan kuiscis, begitu cara membacanya, dan cokelat panas tinggi yang sama sekali tidak kondusif. Aku jadi merindukan meja komputer goyang-goyang, yang padahal didisain untuk menopang monitor lama berkonde. Kurasa laptop pertama yang ditopangnya adalah Axioo Pico, yang tak lama kemudian digantikan Asus A450C. HP-11CB Insya Allah akhir Agustus ini dua tahun umurnya, kurasa lebih panjang dari Axioo Pico, atau sama. Akankah setelah ini, segera disusul oleh semacam Asus A450C tapi yang dapat mengoperasikan peradaban enam.

Itu semua tidak penting dibanding dengan segarnya udara dari arah utara dan timur. Disaring pintu belakang berkawat nyamuk, namun di sebaliknya terbuka leluasa berkonblok berlubang-lubang penumbuh rumput. Menara tangki air di atas sebuah tiang yang di bawahnya sering kubuat berak di subuh hari, ketika Cantik sedang memakai satu-satunya kamar mandi kami. Uah, bahkan rumah ini saja sekarang sudah bisa dikenang-kenang. Sebelum setengah enam kegelapan menyembunyikan, memperhatikan betapa putik-putik bermekaran yang lekat dalam ingatan.

Cinta tidak lama. Kenangannya yang terus tinggal bertahun-tahun lamanya. Hanya orang tolol yang kecanduan cinta, ingin terus merasakannya berlama-lama. Selebihnya menjalani hidup di dunia, mencoba membuatnya bermakna atau sekadar menjejalinya dengan kesenangan-kesenangan besar dan kecil. Bulan tersaput awan membuktikan betapa khayalan akan perang bintang akan selamanya menjadi khayalan, terlebih galaksi limbo dengan bintang monnya. Jika aku masing mengetik-ngetik di sini, maka aku sudah tak punya teman lagi.

Sungguh sedap melodi yang digubahnya, meski memang harus diproduksi dengan aransemen seperti ini. Jika harus mereproduksi kesedapannya dengan gitar kopong, kurasa aku harus mengerahkan segenap daya cipta. Setua ini, daya ciptaku tinggal setetes-setetes, sedang adikku masih terpikir ingin punya motor karbu. Legiun kondor! Ini bisa lucu, lebih lucu dari spesialis kuliner angkatan laut amerika serikat. Kondor di sini jangan dibayangkan burung pemakan bangkai, tetapi celana yang dipelorotkan sebagai candaan tak lucu anak-anak tolol. Namun tidak jadi ah. Ide buruk.

Saturday, February 10, 2024

Kuingin Tidur dan Tak Bermimpi Apapun Malam Ini


Tidak menjadi masalah jika di ujung-ujung kanan-kiri atasnya masih terlihat taplak merah dan alat-alat makan, yang kumakan barusan pun tidak seperti yang di gambar ini. Namanya "steik keju Hamburg", yang datang daging giling berminyak asin digoreng agak matang, dilumuri saus keju tujuh sebelas, disajikan dengan kentang panggang dan buncis mentah. Buncis mentah! Aku tiba-tiba ingat hari-hari karantinaku di Hotel Mercure Gatot Subroto dengan layanan kamarnya. Mengapa sekarang hanya sup tom yam yang dapat kuingat, atau memang cuma pesan itu saja.
Ini akan menjadi entri mahal, bisa tiga ratus ribuan perak setidaknya. Apa satu rupiah pernah sama nilainya dengan berapa berat perak. Setiap jari-jemariku mengetiki, meja ini pun bergoyang-goyang, menggoyangkan cangkir dan gelas, membuat air teh beriak-riak bergelombang. Ini memang bukan meja kerja. Ini meja makan. Lantas meja seperti apa yang pernah ada di ruang makan rumah di atas tebing tepian Ciliwung. Tidakkah aku pernah bekerja di meja itu. Aku bahkan lupa mejaku di Sint Antoniuslaan 11, meja dan kursi kerja jaya boleh beli di mal rongsok ketika masih muda.

Dengan urut-urutan ini, aku pernah mengukur jalan-jalan Jakarta, selatan, pusat, sedikit timur, dan tentu saja Depok, dengan VarioSty. Bahkan sampai ke Serpong. Betapa sehatnya aku ketika itu, ketika waktu yang ditetapkan Protokol Kyoto untuk terjadinya perubahan yang permanen dan tak dapat dipulihkan belum tercapai. "Setidaknya Juz Amma", begitu kata Ustadz Syafiq al-Jambari, "dengan artinya". Namun aku tak bisa memaksanya, Ustadz. Bukankah Allah yang akan mengumpulkannya dalam dada kita. Ah, itu cuma alasan tololmu sendiri.

Aku bahkan tak mau lagi naik bis dari Bungurasih ke Perak, padahal acaranya tidak sejauh itu. Kupelorotkan dudukku, meluruskan perut dan punggungku. Betapa beraninya aku dulu, sakit sendirian di hotel murah di Lamongan, seakan pasti sembuh. Naik becak ke dinas perikanan setempat, lanjut ke badan perencanaan pembangunan daerah, dan kusebut itu semua meneliti; bahkan setelah pulang dari India. Jejak-jejaknya ada sedikit kurekam di sini, seperti biasa, dengan banyak rincian hilang. Tiba-tiba memulas perut, wc penuh asisten putri-putri, jadi lari ke wc satu lagi. 

Beginilah kenyataan dan adaku, sungguh kasihan siapapun yang jadi istriku. Padahal aku pelopor gerakan pemurnian, kuterapkan tidak hanya pada diri sendiri, tetapi juga pada Gundo, Reza, dan Herman. Ya, mungkin paling banyak hanya segitu itu. Seperti aku baru sadar kalau Zulkhali Duki juga di G3. Di gudang G3 inilah aku berfoto ala-ala van Damme atau Steven Seagal, di atas tumpukan tas teman-temanku sendiri. Seingatku dulu G5 lebih rapi gudangnya, dengan pemandangan lepas ke arah kebun tebu. Jadi apa sekarang kebun itu, akankah dia menjadi hari-hariku lagi.

Ya, positif ratusan ribu ini hanya untuk menjadi entri ini. Ini mall sudah sepi, bahkan stip wong saja sudah hengkang pergi. Libur panjang dari Kamis sampai Minggu tetap tidak jadi apa-apa, sedang hari-hari kerja sudah tentu penuh kesibukan. Perutku terasa tidak nyaman, dan Robert Leckie tidak asik cara menulisnya. Tadi pagi sempat terpikir, akan kukatakan pada John Gunadi: "Leon Uris membuatnya seperti perkemahan anak pramuka." Namun, seperti biasa, John Gunadi sudah mati, dan Togar punya anak istri. Aku setolol John Gunadi dalam hal ini.

Aku baru sadar. Orang Cina bahkan sudah tidak peduli ini tahun baru yang keberapa, malah diberi angka tahun Gregorian. Hahaha pokoknya imlek, sebodo amat tahun berapa. Memang aku lebih mudah menyerah jika di rumah. Di luar rumah, rasa-rasa sedikit mengantuk begini pasti ditahan dan memang harus ditahan; bahkan di kampus yang sudah tersedia kasur tayo sekalipun. Mungkin karena kasur tayonya ada di ruang Bu Tri. Di mana dulu biasanya kasur-kasurku, pernah pula di JHP Lantai 4 pintu barat yang bisa diselot dari dalam; bahkan di karpet kotor humas.

Tuesday, February 06, 2024

Bukan Tak Biasa Badan Didera Serbuan Sirkus. Aku


Cacat yang sedikit itu justru menjadi ciri khasnya. Lagipula, cinta itu justru kepada kelemahan dan kekurangan, sedang pada kekuatan dan kelebihan terbit kekaguman. Inilah yang terjadi jika mencukur klimis seluruh rambut wajah kecuali alis dan bulu mata mendekati tengah malam yang hangat di tengah-tengah musim penghujan. Sejauh ini belum terpikir judul, apalagi keyakinan akan selesainya sebuah entri. Entah bagaimana, aku kembali ke gang pancoran ketika malam masih sangat muda. Entah sedang apa aku di situ, namun, seperti saat ini, rasa hati ringan pun riang. 
Seperti malam ini, secangkir plastik merah serbat jahe kemantapan [hati]. Sungguh aku tak berani mendengarkan ini di Belanda [mengapa suaranya meleyot-leyot begini. Jangan dong]. Di sini saja aku berani karena dekat dengan Cantik dan anak-anak perempuanku meski kurang satu. Anakku empat, tiga perempuan, satu kambing. Di mana anakku, di mana istriku, ha ha ha ha [kurasa empat kali]. Mungkin orang gila unyil ini namanya Maximus Decimus Meridius, gila demi melihat mayat anak istrinya digantung kehitaman, dibakar. Baik mana gila atau mati, pertanyaannya.

Parapam pam pam membawaku kembali ke tower Cengkareng. Sungguh hebatnya, Affan dibawa Pak Utomo ke Sekretariat Jenderal Dewan Ketahanan Nasional. Suasana di siang hari, menjelang gelap, setelah gelap, sungguh penuh kenangan manis. Pulang dengan jemputan bis PPD sampai ke Blok M, entah naik apa sampai rumah. Apa langsung tidur atau mandi dulu, tidak ingat. Akulah anak lelaki tertua kebanggaan Bapak Ibu dan adik-adikku. Adakah anak-anakku membanggakanku tidak perlu ditanyakan. Biarlah dihembus angin lalu, kenangan akan harapan, impian.

Secangkir serbat apa dilanjut coklat panas, yang kuinginkan justru air panas saja. Aku setua ini, yang dulu menempel di jendela kaca miring tower Cengkareng. Aku malah tidak ingat seperti apa tower Halim. Wuah, bahaya! Ternyata itu yang bikin meleyot-leyot. Semoga tidak terjadi apa-apa. Apa sekarang tambah air panasnya. Apa diberi sedikit teh hijau. Tentu tidak malam-malam begini. Hidung mulai seperti tersumbat, kulihat hidung Togar memang penuh ingus kental. Entah sudah berapa kali bahkan di blog ini saja, jika pun mulai terasa ini dan itu, berharaplah.

Seperti apa malam-malam di rumah rendah samping kandang kambing buat apa lagi diingat-ingat. Lebih baik mengenang roti talenan keju bawang Albert Heijn, apalagi ditambah lasagna bayam dan sop-sopan instan, minumnya secangkir besar teh dari mesin kopi. Ada apa saja di situ, yang kuingat sekarang adalah semak merah, lemon, beri hutan, aneh-aneh lah. Uah, pasti kenyang. Mimpinya hampir sama dengan mimpi apapun yang pernah kualami dalam hidup. Mimpi main tentara-tentaraan, main peneliti-penelitian, padahal kenyataannya ya begini ini. Setolol jaya.

Tanganku pada pinggulmu; langit, matahari, dan laut kebanyakan gaya. Masih tolol saja sedangkan Yudo Purnomo sudah lama kolonel, ternyata Aris Gunarso. Petualangan dari Margo City makan kacang merah bersama swargi Pakde Lentu dan putra-putranya, ada swargi Bapak juga kurasa, pulangnya ke lantai empat. Entah mengapa main slepot gudang garam filternya Jerki, setelah itu perut terasa diiris-iris, bahkan sampai muntah [ini karena tadi memaksakan muntah]. Agak beberapa hari meringkuk di atas meja tidur di pojokan itu sampai sehat. Seperti itu saja hidup dijalani.

Bisa juga memacu VarioSty ke vokasi hanya untuk makan di warteg luar pager kuning. Ketika makan sudah terasa agak kurang yes, malah memacu kembali ke rumah. Di kamar belakang meringkuk juga entah berapa lama. Ah tak terhitung. Adakah Arya Moulana meringkuk untuk terakhir kalinya tak ingin juga kupikirkan. Air panas secangkir sudah tandas ditenggak. Keringat di dahi dan tengkuk sedang badan terasa agak-agak meriang dingin, naik ojek dari stadela sampai rumah tak berjaket berhelm. Ini barisan tak bergenderang berpalu, lha koq iseng banget yak.

Saturday, February 03, 2024

Hey Jude, You Don't K'now. Toiyewau Enak Sekali


Sangat bisa jadi seharian ini aku tidak menghasilkan apa-apa kecuali berhasil hanya(?!) makan siang dua potong kroket, atau bahkan mungkin juga gagal. Aku tak peduli, terlebih ketika telingaku disumpal entah bagaimana 'kan 'kusandi, pokoknya Chrisye yakin dia hanya untuknya, yang Cantik tidak suka. Maka terpaksalah setelah ini dilanjut ke kantor dokter Harmin ketika masih berpangkat mayor, suatu kenangan yang mengerikan, yang membuatku, seperti Agnes Triana, ingin makan. Namun sudah berhari-hari ini aku sulit terpikir sedang ingin apa. Ia selalu Cantik.
Naik perahu, suluk angin, goyang-goyang. Memangku pengisi daya, paha kiriku jadi hangat. Maka aku kembali ke jendelaku di ketinggian gang pepaya. Apakah itu pagi atau sore hari, atau malah malam hari, jelasnya semua tahu dalam waktu lampau kau seorang pembohong. Pada saat itu juga Sopuyan suka pada yang satunya, yang pasti bisa, sedang aku lebih suka memaki-maki Ega I said lo koprol, sama lo semua, ngepot, ngepot sama lo semua! Apa yang kurasa tolol-tololan ini mungkin bagi Sopuyan ternyata direncanakan dengan sangat baik. Dengan kata lain, Sopuyan memang paling pintar kalau disuruh tolol-tololan. Semacam itu saja 'lah.

Ini malah mundur lebih jauh lagi, ke suatu pagi, mungkin di awal 2008, di Starback. Matahari pagi membelai wajah, sedang hati ini lelah meyakinkanmu, cinta ini membunuhku. Sekitar itu juga mungkin aku memesan kantong biru untuk wadah Fujitsu dari Rina-Rini. Uah, segala petualangan yang tak pernah terjadi itu, seperti halnya korps tak-kelihatan, pesawat terbang ultra-ringan, balon udara bertenaga biogas. Sekitar awal 1990 itu mungkin kali pertama aku tahu mengenai Tan Son Nhut. Waktu itu terasa aneh sekali bunyinya. Sekarang aku bahkan lupa.

Tahun-tahun yang tak berdaya, hanya bertambah dan bertambah terus bilangannya seakan menandakan sesuatu yang penting. Musim berganti musim, kemarau yang menerbangkan debu, penghujan yang mengaduk tanah lumpur, melompatlah aku ke pertengahan 1993. Gagah kurasa aku waktu itu. Belum lagi 17 tahun. Hahaha belum gagah 'lah. Namun aku masih ingat rasanya. Waktunya mungkin tidak akurat, namun rasa di stasiun Cirebon itu tak terlupakan, demikian pula kembalinya. Ah, aku memang tidak pernah berhenti tolol kecuali baru-baru ini saja. Sore-sore.

Tiba-tiba dilemparkan aku ke awal 1997, di bawah televisi di ruang bersama merangkap kantin asrama. Namun aku tidak makan di sana. Udara pagi yang cerah namun nyaman tak menyengat, mungkin karena badan muda, baru 20 tahun. Aku makan di warteg di sebalik pagar kuning, di pintu masuk Kukusan kelurahan. Sayur dan lauknya aku tak ingat, hanya tahu dibelah dua digoreng tepung yang selalu kuingat. Rokoknya apa, kopinya mungkin kapal api campuran pagi, bau apak sedikit lembab, sejuk di dalam rumah petakan satu ruang itu. Suatu ketololan yang hakiki.

Sekarang langsung terlempar ke musim dingin awal 2009, apakah sengaja dimatikan listrik tempatku mengisi daya, karena paha kiriku tak lagi hangat. Ruangan bergaya lama dengan nuansa kuning merah. Kepala tolol yang menekur, tangan yang ragu-ragu membelai. Ibu jari dan telunjuk yang tanpa ragu memilin-milin. Tembok-tembok benteng yang dibangun berkeliling dan berlapis-lapis sampai tidak mandi-mandi, diangkat untuk diendus. Baguslah semua ini diakhiri olehmu yang segalanya bagiku, melemparkanku jauh kembali ke 1986, SD Pulo 01 pagi jembatan selatan.

Kurasa memang ada yang sengaja mematikan. Baiklah jika demikian. Selesainya entri ini mungkin aku akan segera menyingkir. Padahal dua tabung kanan-kiri masih penuh, masing-masing berisi teh panas dan air dingin. Asal jangan sampai pengisi dayanya saja yang menyerah. Asaptaga, kemarin sudah keluar Rp 375 ribu mengganti speaker/buzzer Infinix boNOTE. Amit-amit jangan sampai terjadi lagi yang seperti itu. Dapatkah aku menyelesaikan satu dogengan hukum adat di tiap-tiap akhir minggu, seperti aneka ria anak seluruh nusantara untuk kita semua. Malas 'nonton.