Entah sudah berapa banyak Allah mengaruniakan malam-malam seperti ini, yang nyaman dan menyamankan, sehat dan menyehatkan. Ada waktu-waktu untuk malam-malam tak berangin seperti ini, sedangkan udara hangat. Terlebih bila kau minum air hangat untuk membasuh madu bercampur mint dan rempah-rempah lainnya, keringat bercucuran dari belakang kepala, batang leher, dan dada. Jika sepanjang siang tadi angin bertiup lumayan kencang, itu juga seperti hari-hari yang telah lalu. Teriknya matahari kemarau memanggang udara dan jua tanah selebihnya.
Gebukan Dave ini gunanya untuk menindas. Dentaman Kris ini untuk melindas. Raungan parau Kurt untuk meluapkan rasa yang tidak pernah ada. Begitulah aku memandangi mesjid persaudaraan Islam dari arah utara, sedangkan pemuda berbaju-kerja hijau fluoresen menyapu pelataran pemberian bang Yos dan istrinya. Bau-bau seperti jiwa remaja ini seperti menarik-narik pergelangan kakiku, seperti belenggu budak, agar kembali ke masa remajaku yang sedang-sedang saja senangnya. Aku remaja yang terobsesi berbakti kepada orangtua, meringankan bebannya.
Ini semua terhenti gara-gara kedatangan Togar Tanjung. Aku memang tidak pernah punya dan tahu prioritas, sedang Yusuf Islam meraungkan hubungannya dengan bapaknya dengan suara parau. Tidak bolehkah aku, ketika malam merayap mendekati tengah-tengahnya, menyelesaikan entri yang tiada pernah berarti. Seperti diriku ini, tiada arti, meski tidak akan kubiarkan begini sampai 'ku mati. Seperti menjelang petang tadi melihat anak-anak kecil berbicara mengenai kejahatan negara, september hitam, menolak lupa. Apa dayaku mencegah anak-anak ini berbuat sia-sia begini.
Maka aku kembali dari mana aku mulai, dengan gebukan, dentaman, dan raungan Dave, Kris, dan Kurt; dan kuganti kembali semuanya menjadi hitam, sehitam kepahitan yang menyumbat pikiran. Aku bahkan sudah lupa bagaimana rasanya sedap, nikmat; yang tersisa hanya pahit, getir. Terkadang terasa sedikit manis ketika seorang anak kecil yang malang hidupnya membanggakan kacang kastanye yang tumbuh di halaman rumahnya yang sudah lama ditinggal kosong oleh kedua orangtuanya. Ia sendiri terpaksa ikut orang-orang asing yang menyayanginya. Syukurlah.
Memang harus seperti ini bunyinya berkembang-biak. Memang sudah pada tempatnya kauledakkan kepala celakamu itu, Kurt. Kau pasti tahu kau cerdas, namun siapa yang peduli pada kecerdasanmu yang buatan Sang Pencipta. Orang lebih peduli pada kecerdasan artifisial. Dalam keadaan seperti ini, terbit keinginan untuk mengarungi badan air yang besar ke tengah-tengahnya tanpa peduli kelelahan, tanpa takut tenggelam, tak mempedulikan apapun. Itu jauh lebih baik daripada merokok banyak-banyak, uah, terlebih menenggak alkohol berbotol-botol berkaleng-kaleng.
Bukan jarum super yang kurindukan melainkan sempurna raja yang merah tentunya. Tak pernah terpikir olehku saat itu ia akan dapat menyakitiku. Kupikir saat itu sakit hanya ada dalam hati dan perasaan saja. Sakit tidak mungkin terasa di badan, ketika lelah saja tidak pernah lama hampir. Aku tidak pernah menjadi atlit, hanya saja aku pernah muda. Sedap nikmatnya permen akar manis obat batuk, hitam-hitamnya dikulum-kulum tiada habisnya, apapun mereknya. Matang sempurna, jangan setengah mentah, dagingku dibakar api telanjang berpenghantar.
Tidak apa-apa. Memang hanya itu sikap yang tersisa ketika daging bahkan tidak tersentuh api, atau seringnya malah tidak mungkin disentuh bahkan dengan imajinasi dan ilusi terkuat sekalipun. Tidak apa-apa, sambil menyeringai tolol, seakan memandang matahari lubang hitam tepat pada tengah-tengahnya yang hitam seakan lubang tak berdasar namun di atas sana, di khayangan dewa-dewi dan bidadari. Kau kira aku lupa minum obat, padahal ini bukan puisi atau prosa liris. Ini seperti ketika roket doktor Zharkov masuki atmosfir planet mongo, tom bayi digebuk-gebuki.
Gebukan Dave ini gunanya untuk menindas. Dentaman Kris ini untuk melindas. Raungan parau Kurt untuk meluapkan rasa yang tidak pernah ada. Begitulah aku memandangi mesjid persaudaraan Islam dari arah utara, sedangkan pemuda berbaju-kerja hijau fluoresen menyapu pelataran pemberian bang Yos dan istrinya. Bau-bau seperti jiwa remaja ini seperti menarik-narik pergelangan kakiku, seperti belenggu budak, agar kembali ke masa remajaku yang sedang-sedang saja senangnya. Aku remaja yang terobsesi berbakti kepada orangtua, meringankan bebannya.
Ini semua terhenti gara-gara kedatangan Togar Tanjung. Aku memang tidak pernah punya dan tahu prioritas, sedang Yusuf Islam meraungkan hubungannya dengan bapaknya dengan suara parau. Tidak bolehkah aku, ketika malam merayap mendekati tengah-tengahnya, menyelesaikan entri yang tiada pernah berarti. Seperti diriku ini, tiada arti, meski tidak akan kubiarkan begini sampai 'ku mati. Seperti menjelang petang tadi melihat anak-anak kecil berbicara mengenai kejahatan negara, september hitam, menolak lupa. Apa dayaku mencegah anak-anak ini berbuat sia-sia begini.
Maka aku kembali dari mana aku mulai, dengan gebukan, dentaman, dan raungan Dave, Kris, dan Kurt; dan kuganti kembali semuanya menjadi hitam, sehitam kepahitan yang menyumbat pikiran. Aku bahkan sudah lupa bagaimana rasanya sedap, nikmat; yang tersisa hanya pahit, getir. Terkadang terasa sedikit manis ketika seorang anak kecil yang malang hidupnya membanggakan kacang kastanye yang tumbuh di halaman rumahnya yang sudah lama ditinggal kosong oleh kedua orangtuanya. Ia sendiri terpaksa ikut orang-orang asing yang menyayanginya. Syukurlah.
Memang harus seperti ini bunyinya berkembang-biak. Memang sudah pada tempatnya kauledakkan kepala celakamu itu, Kurt. Kau pasti tahu kau cerdas, namun siapa yang peduli pada kecerdasanmu yang buatan Sang Pencipta. Orang lebih peduli pada kecerdasan artifisial. Dalam keadaan seperti ini, terbit keinginan untuk mengarungi badan air yang besar ke tengah-tengahnya tanpa peduli kelelahan, tanpa takut tenggelam, tak mempedulikan apapun. Itu jauh lebih baik daripada merokok banyak-banyak, uah, terlebih menenggak alkohol berbotol-botol berkaleng-kaleng.
Bukan jarum super yang kurindukan melainkan sempurna raja yang merah tentunya. Tak pernah terpikir olehku saat itu ia akan dapat menyakitiku. Kupikir saat itu sakit hanya ada dalam hati dan perasaan saja. Sakit tidak mungkin terasa di badan, ketika lelah saja tidak pernah lama hampir. Aku tidak pernah menjadi atlit, hanya saja aku pernah muda. Sedap nikmatnya permen akar manis obat batuk, hitam-hitamnya dikulum-kulum tiada habisnya, apapun mereknya. Matang sempurna, jangan setengah mentah, dagingku dibakar api telanjang berpenghantar.
Tidak apa-apa. Memang hanya itu sikap yang tersisa ketika daging bahkan tidak tersentuh api, atau seringnya malah tidak mungkin disentuh bahkan dengan imajinasi dan ilusi terkuat sekalipun. Tidak apa-apa, sambil menyeringai tolol, seakan memandang matahari lubang hitam tepat pada tengah-tengahnya yang hitam seakan lubang tak berdasar namun di atas sana, di khayangan dewa-dewi dan bidadari. Kau kira aku lupa minum obat, padahal ini bukan puisi atau prosa liris. Ini seperti ketika roket doktor Zharkov masuki atmosfir planet mongo, tom bayi digebuk-gebuki.
No comments:
Post a Comment