Harus segera kutulis di sini, sebelum suasana hati berubah, bahwa aku menyusuri jalan profesor Johan H. Bavinck, setelah sebelumnya keluar dari pintu rumah Hadi ke arah kanan, ke pintu belakang, melintasi parkiran. Dari situ sampai bunderan, lanjut ke jalan Eleanor Roosevelt sampai di Albert Heijn Westerlijk Halfrond, membeli teh Lipton peningkat kekebalan tubuh dan madu termurah. Betul aku melewatkan musim panas terdahuluku di Belanda di sekitaran itu, namun tidak sepanas ini. Aku tidak ingat berkeringat sampai basah-kuyup begini di sana, tiga tahun lalu.
Dari waktu ketika Parul belum jadi dekan, masih dengan laptop raksasanya, setidaknya 17 inci. Edan apa, masih ditambah pelantang aktif beserta gonggongan bawahnya sekaligus. Meski seharusnya waktu itu ada Fujitsu, mungkin bukan itu yang kupakai untuk menunggang video-video musik dari mbak Deborah Gibson, dari 26 tahun lalu. Aku tidak suka, seperti halnya mas Toni, kriminal yang di udara, kataku sambil menuding langit dan menyeringai seakan kejijikan: Padahal terlihat kurang waras. Astaga, mana terbayang ketika itu hidupku akan begini rupa: Sekeren ini.
Aku tidak mau ke mama-mama, apalagi ke mana-mana. Terlebih ketika nasi goreng lengkap dengan bakso, sosis, potongan ayam goreng besar-besar, masih ditambah telur dadar, masih dengan sambal tomat segar, tidak berubah rasanya setelah lebih dari 30 tahun. Anak-anak tolol yang dulu memakannya sekarang sudah jadi bapak-bapak botak gendut yang tidak kalah tololnya. Masih teringat olehku bergelas-gelas es teh manis berjajar di atas rak, siap menemani sepiring nasi goreng lengkap atau polos. Ketika itu aku hampir selalu tauge goreng atau laksa plus gorengan.
Baru kusadari, pukulan cak dan cuknya, terlebih cellonya, tiada asyik, jika saja tidak ditutup oleh ensembel biola yang lumayan cantiknya, seperti sang penyanyi Kartina Dahari, yang mirip istriku. Aku berjalan dari plaza sentral menuju plaza semanggi, naik taksi menuju rumah Radio Dalam, meninggalkan kamar kosku terkunci. Adakah kubawa bersamaku Fujitsu, aku lupa. Jelasnya, kamarku rapi, mungkin sedikit harum. Kamarku selalu rapi, meski mungkin terkadang ada bau-bau kurang sedap. Kakusku tidak pernah yang terbersih, namun bukan jarang pula kusikat, kuberi kamper.
Di paruh kedua dekade 2000-an membuka warung kelontong kecil yang pada awal dekade 2010-an berubah menjadi tempat menjual berbagai pernak-pernik wisuda. Anak-anak ini tidak pernah berhenti mengecil dan terus bertambah kecil, tapi lagaknya memang tidak pernah kurang sedikit pun. Gaya-gayaan mewawancara adik-adiknya, aku tidak yakin anak-anak ini belajar dengan baik di ruang kelas atau di rumah. Apa lantas kupercayakan masa depan hukum Indonesia pada anak-anak kecil ini. Nyatanya, abad ini adalah milik mereka, Aku sendiri lahir di Abad ke-20.
Persembahan untuk paduka yang anggun serta ceria ini ternyata hanya keluar dari sebelah pelantang, aku tidak pernah benar-benar menyadarinya sampai sekarang. Hanya ke depan, tiada menoleh ke belakang. Tiada jalan kembali, semua menuju ke muka. Aduhai, ini mengerikan. Apa begini akibatnya jika dicopot tanpa dilepas terlebih dulu. Besar pula kapasitasnya, sayang sekali. Mungkin itulah sebabnya alat ini tidak dilengkapi dengan penyimpanan dalam yang besar. Entahlah. Biar suatu hari nanti kubaca alinea ini, pun aku sendiri tak paham maksudnya.
Aku yakin tidak akan banyak berbeda sensasinya, karena itu hanya ada dalam khayalan dan persepsi belaka. Jika terbentang itu sealami-alaminya tentu menguarkan bebauan hutan belantara, yakni, dedaunan membusuk yang khas harum wanginya. Belum lagi desahan dan jeritan mahluk-mahluk hutan ketika pagi baru saja menjelang. Menetes tak henti-hentinya embun bening dari ujung biji-bijian, mengalir menderas membasahi dahaga tak kunjung terpuaskan. Entah mengapa, lebat-lebatnya menawan hati, mencengkeramnya sampai tertanam dalam daging, mengalir darah.
Dari waktu ketika Parul belum jadi dekan, masih dengan laptop raksasanya, setidaknya 17 inci. Edan apa, masih ditambah pelantang aktif beserta gonggongan bawahnya sekaligus. Meski seharusnya waktu itu ada Fujitsu, mungkin bukan itu yang kupakai untuk menunggang video-video musik dari mbak Deborah Gibson, dari 26 tahun lalu. Aku tidak suka, seperti halnya mas Toni, kriminal yang di udara, kataku sambil menuding langit dan menyeringai seakan kejijikan: Padahal terlihat kurang waras. Astaga, mana terbayang ketika itu hidupku akan begini rupa: Sekeren ini.
Aku tidak mau ke mama-mama, apalagi ke mana-mana. Terlebih ketika nasi goreng lengkap dengan bakso, sosis, potongan ayam goreng besar-besar, masih ditambah telur dadar, masih dengan sambal tomat segar, tidak berubah rasanya setelah lebih dari 30 tahun. Anak-anak tolol yang dulu memakannya sekarang sudah jadi bapak-bapak botak gendut yang tidak kalah tololnya. Masih teringat olehku bergelas-gelas es teh manis berjajar di atas rak, siap menemani sepiring nasi goreng lengkap atau polos. Ketika itu aku hampir selalu tauge goreng atau laksa plus gorengan.
Baru kusadari, pukulan cak dan cuknya, terlebih cellonya, tiada asyik, jika saja tidak ditutup oleh ensembel biola yang lumayan cantiknya, seperti sang penyanyi Kartina Dahari, yang mirip istriku. Aku berjalan dari plaza sentral menuju plaza semanggi, naik taksi menuju rumah Radio Dalam, meninggalkan kamar kosku terkunci. Adakah kubawa bersamaku Fujitsu, aku lupa. Jelasnya, kamarku rapi, mungkin sedikit harum. Kamarku selalu rapi, meski mungkin terkadang ada bau-bau kurang sedap. Kakusku tidak pernah yang terbersih, namun bukan jarang pula kusikat, kuberi kamper.
Di paruh kedua dekade 2000-an membuka warung kelontong kecil yang pada awal dekade 2010-an berubah menjadi tempat menjual berbagai pernak-pernik wisuda. Anak-anak ini tidak pernah berhenti mengecil dan terus bertambah kecil, tapi lagaknya memang tidak pernah kurang sedikit pun. Gaya-gayaan mewawancara adik-adiknya, aku tidak yakin anak-anak ini belajar dengan baik di ruang kelas atau di rumah. Apa lantas kupercayakan masa depan hukum Indonesia pada anak-anak kecil ini. Nyatanya, abad ini adalah milik mereka, Aku sendiri lahir di Abad ke-20.
Persembahan untuk paduka yang anggun serta ceria ini ternyata hanya keluar dari sebelah pelantang, aku tidak pernah benar-benar menyadarinya sampai sekarang. Hanya ke depan, tiada menoleh ke belakang. Tiada jalan kembali, semua menuju ke muka. Aduhai, ini mengerikan. Apa begini akibatnya jika dicopot tanpa dilepas terlebih dulu. Besar pula kapasitasnya, sayang sekali. Mungkin itulah sebabnya alat ini tidak dilengkapi dengan penyimpanan dalam yang besar. Entahlah. Biar suatu hari nanti kubaca alinea ini, pun aku sendiri tak paham maksudnya.
Aku yakin tidak akan banyak berbeda sensasinya, karena itu hanya ada dalam khayalan dan persepsi belaka. Jika terbentang itu sealami-alaminya tentu menguarkan bebauan hutan belantara, yakni, dedaunan membusuk yang khas harum wanginya. Belum lagi desahan dan jeritan mahluk-mahluk hutan ketika pagi baru saja menjelang. Menetes tak henti-hentinya embun bening dari ujung biji-bijian, mengalir menderas membasahi dahaga tak kunjung terpuaskan. Entah mengapa, lebat-lebatnya menawan hati, mencengkeramnya sampai tertanam dalam daging, mengalir darah.
1 comment:
Perahu negeriku, perahu bangsaku
menyusuri gelombang
semangat rakyatku, kibar benderaku
menyeruak lautan
langit membentang cakrawala di depan
melambaikan tantangan
di atas tanahku, dari dalam airku
tumbuh kebahagiaan
di sawah kampungku, di jalan kotaku
terbit kesejahteraan
tapi kuheran di tengah perjalanan
muncullah ketimpangan
aku heran, aku heran
yang salah dipertahankan
aku heran, aku heran
yang benar disingkirkan
Post a Comment