Duar! Huahaha... Ohok ohok... hoek... Cuih! akhirnya terciptalah suatu judul yang teatrikal apokaliptik... atau apokrifal... di tengah malam buta di sekitaran Depok, Sleman sini. Akan halnya entri ini dibuka dengan adegan masuknya jin parsi disertai begundal-begundalnya jin hijau, ungu, dan coklat susu. Tadi terhenti di sini karena secangkir mie goreng yang baunya memang spesial sekali. Sudah hampir sejam ditinggalkan ternyata baunya masih mengambang di dalam ruangan. Kasihan istriku sayang harus tidur dalam ruangan berbau mie goreng spesial. Aku mengetik dini hari begini.
Jangan memindahkanku dari rutinitasku. Kau tidak akan tahu apa yang akan terjadi. Aku suka hidup yang berulang-ulang membosankan. Berapa kali pun kuulangi ini tiada pun 'kan mendengar karena rata-rata orang hanya suka mendengarkan diri sendiri; termasuk dan terutama aku. Seberkas cahaya kuning lampu beranda menembus ke dalam dari celah antara tirai dengan tepi pintu, seperti dari puluhan tahun lalu. Aku benar-benar mengetik pada pangkuanku, di bawah temaram lampu tidur yang tentu saja kuning hangat pendarnya; keramik dihembus pendingin udara.
Pada titik ini, aku tidak ingin mengulangi khayal jangankan untuk kedua kalinya; setengahnya pun tiada sudi. Slompretan sok cerdik ini dari masa kurus hitam belum terkena deru mie instan secara teratur. Aku bahkan tak ingat rutinitasku pada saat itu. Hanya teringat temaramnya lampu, tidur hanya bercelana dalam tak berselimut tak berseprai karena segala sesuatunya dicuci, melodi instrumental tema filem mafia terkenal mengapung di dinginnya udara. Hanya tiga tahun saja dibandingkan sepuluh tahun lebih di tepi Cikumpa, sekitar itu juga di tepian Margonda.
Gurih-gurih sedapnya jajanan pasar yang aku tidak ingat namanya, apakah sama dengan kerupuk yang biasa dimakan bersama pecel, aku tidak pernah merasakannya. Kepasrahan yang membiarkan dirinya dilanda gelombang dengan alun berima berirama; membiarkan setiap jengkal, setiap relung lekuk tubuhnya dijamah tanpa terkecuali. Dosa apa yang dilakukan bapaknya sampai harus menanggung kengerian dunia, direnggut dari peluang terbesarnya menikmati secauk susu madu langsung dari sungainya, secauk sesuai keinginannya; yang tiada henti menghantui.
Sebesar apapun pusat perbelanjaan tidak akan sanggup menggantikan persawahan, perkebunan, terlebih hutan alami meski bukan hutan hujan tropis. Tiada lagi yang pernah tahu lautan rumput gajah yang tingginya, sesuai namanya, bisa setinggi gajah; ideal bagi macan gembong untuk bersembunyi mengintai mangsa. Di sebuah pendopo mungil berperabot klasik paduan kayu keras dan anyaman rotan kali pertama kuakui, memang mengasyikkan melihat kepala hitam dan kepala putih dikeluarkan dari pori-pori tersumbat. Hari mendekati baru bagi paganis.
Kembali pada gendar tadi, bahkan ketan hitam dikukus ditaburi parutan kelapa yang belum terlalu tua bisa gurih-gurih penuh bercita-rasa. Sedap-sedapnya dikecap-kecap lidah yang saling bersilat ketika kedua bibir bertangkup menyatukan dua rongga mulut. Gurih-gurihnya gigi-geligi, harum-harumnya nafas para pecinta. Anggota-anggota badan yang tidak terlalu panjang bahkan cenderung pendek, dengan semua tonjolan pada tempatnya masing-masing semenonjol mungkin; agak di luar ukuran justru menambah selera. Kenakalan menyembur hangat sekujur wajahnya.
Hanya tidur yang nyenyak, nyaman, menyehatkan harapku kini. Sudah berlalu waktuku menikmati berbagai jajanan pasar, sudah terlalu banyak pula. Secerah apapun pagiku, kubuat mendung tanpa ampun; apakah pagi orang lain juga. Kugemborkan awan mendung ke segala penjuru sebagaimana terus kulakukan sekarang. Orang-orang menggapai-gapai mendamba terang cuaca. Jangan kaubohongi nuranimu, kebanyakan kita masih bermendung kelabu. Nikmati jajanan pasarmu di tanah becek berlumpur, bahkan di sana-sini berbelatung. Itu betul nan menyelerakan.
Jangan memindahkanku dari rutinitasku. Kau tidak akan tahu apa yang akan terjadi. Aku suka hidup yang berulang-ulang membosankan. Berapa kali pun kuulangi ini tiada pun 'kan mendengar karena rata-rata orang hanya suka mendengarkan diri sendiri; termasuk dan terutama aku. Seberkas cahaya kuning lampu beranda menembus ke dalam dari celah antara tirai dengan tepi pintu, seperti dari puluhan tahun lalu. Aku benar-benar mengetik pada pangkuanku, di bawah temaram lampu tidur yang tentu saja kuning hangat pendarnya; keramik dihembus pendingin udara.
Pada titik ini, aku tidak ingin mengulangi khayal jangankan untuk kedua kalinya; setengahnya pun tiada sudi. Slompretan sok cerdik ini dari masa kurus hitam belum terkena deru mie instan secara teratur. Aku bahkan tak ingat rutinitasku pada saat itu. Hanya teringat temaramnya lampu, tidur hanya bercelana dalam tak berselimut tak berseprai karena segala sesuatunya dicuci, melodi instrumental tema filem mafia terkenal mengapung di dinginnya udara. Hanya tiga tahun saja dibandingkan sepuluh tahun lebih di tepi Cikumpa, sekitar itu juga di tepian Margonda.
Gurih-gurih sedapnya jajanan pasar yang aku tidak ingat namanya, apakah sama dengan kerupuk yang biasa dimakan bersama pecel, aku tidak pernah merasakannya. Kepasrahan yang membiarkan dirinya dilanda gelombang dengan alun berima berirama; membiarkan setiap jengkal, setiap relung lekuk tubuhnya dijamah tanpa terkecuali. Dosa apa yang dilakukan bapaknya sampai harus menanggung kengerian dunia, direnggut dari peluang terbesarnya menikmati secauk susu madu langsung dari sungainya, secauk sesuai keinginannya; yang tiada henti menghantui.
Sebesar apapun pusat perbelanjaan tidak akan sanggup menggantikan persawahan, perkebunan, terlebih hutan alami meski bukan hutan hujan tropis. Tiada lagi yang pernah tahu lautan rumput gajah yang tingginya, sesuai namanya, bisa setinggi gajah; ideal bagi macan gembong untuk bersembunyi mengintai mangsa. Di sebuah pendopo mungil berperabot klasik paduan kayu keras dan anyaman rotan kali pertama kuakui, memang mengasyikkan melihat kepala hitam dan kepala putih dikeluarkan dari pori-pori tersumbat. Hari mendekati baru bagi paganis.
Kembali pada gendar tadi, bahkan ketan hitam dikukus ditaburi parutan kelapa yang belum terlalu tua bisa gurih-gurih penuh bercita-rasa. Sedap-sedapnya dikecap-kecap lidah yang saling bersilat ketika kedua bibir bertangkup menyatukan dua rongga mulut. Gurih-gurihnya gigi-geligi, harum-harumnya nafas para pecinta. Anggota-anggota badan yang tidak terlalu panjang bahkan cenderung pendek, dengan semua tonjolan pada tempatnya masing-masing semenonjol mungkin; agak di luar ukuran justru menambah selera. Kenakalan menyembur hangat sekujur wajahnya.
Hanya tidur yang nyenyak, nyaman, menyehatkan harapku kini. Sudah berlalu waktuku menikmati berbagai jajanan pasar, sudah terlalu banyak pula. Secerah apapun pagiku, kubuat mendung tanpa ampun; apakah pagi orang lain juga. Kugemborkan awan mendung ke segala penjuru sebagaimana terus kulakukan sekarang. Orang-orang menggapai-gapai mendamba terang cuaca. Jangan kaubohongi nuranimu, kebanyakan kita masih bermendung kelabu. Nikmati jajanan pasarmu di tanah becek berlumpur, bahkan di sana-sini berbelatung. Itu betul nan menyelerakan.
2 comments:
Perlu ditelusuri pula Nyak Kopsah memiliki raut dan perangai yang agak menyerupai Bapak Abdul Razak alias Ayah Ojak, Sekretaris Lurah di Kelurahan Sukmajaya, Depok. Apakah Ayah Ojak adalah alterego lain dari Bang Madun selain Nyak Kopsah atau Ayah Ojak adalah alterego dari Nyak Kopsah dengan setting pegawai pemerintahan daerah?
Kopsah adalah kebingungan transliterasi. Bentuk transliterasi latin arkaik dari nama Arab حفصة adalah chafshoh, yang bagi lidah Jawa dan/atau Betawi menjadi "kapsoh", namun karena bingung menjadi "kopsah". Jadi ini seperti upaya Teteh Qimpul menulis cappuccino "float" yang malah menjadi "pluat".
Post a Comment