Diganti oleh secangkir merah air panas, bukan kebimbangan atau kemenerawangan. Malaikat jibril tinggal dalam sebuah gorong-gorong kubus yang belum dipasang, di tepi jalan. Dapat kubayangkan jika hujan ia memeluk kaki-kakinya agar tidak terciprat air becek hujan. Namun ini musim kemarau, dan jalan tempat ia berada di tepinya tampak lengang. Ia melakban kedua tangannya, mengenakan kupluk hijau, sedang misai jenggotnya tampak rapi. Memang di situ ia patut berada, tidak di istana kerajaan tuhan di sekitar senin sana. Keberagaman 'pala lu bau menyan.
Kau sungguh sombong kau mungkin mengira lagu ini mengenaimu. Kau pikir aku takut pada abangmu yang korps teknik di jakarta empat itu, tapi tidak perlu sombong juga. Kepedulianku pada tiada apapun membawaku berjalan melintasi kebun di ujung atau pangkal jalan jayapura yang menghubungkannya dengan cimone beta, yang bila malam telah gelap tentu agak menantang bahkan untuk bocah kelas delapan. Betapa ringkihnya badanku kini, menjelang lima puluh, dibanding tiga puluh tahun lalu; Pisau utilitas korps pasukan intelijen tempur di s'tentang dada.
Jika pun ada mungkin setelur mata sapi saja, maka kuucapkan selamat tinggal, cintaku, selamat tinggal; meski nyatanya engkau yang meninggalkanku. Aku tidak pernah benar-benar mencintaimu seperti halnya engkau pun begitu. Hanya selalu dan selatan perbatasan yang tersisa darinya, serta rasa malu membawa-bawa gitar dan ukulele dalam bagasi taksi entah kemana; tidak dimainkan pula. Tiada seorang wanita pun mau diajak mencari esensi, bahkan esens pandan atau kelapa-pandan sekalipun, di zaman makanan enak bertebaran di sembarang tepian jalan.
Sayunya mata menatap sendu, merah meronanya pipi selalu, aku tidak pernah tahu. Jikapun kuhirup dari kejauhan yang tercium aroma campuran tahi-tahi dan sop daging sayur-sayuran. Lariku, latihanku dengan beban tubuhku sendiri setiap selesai tur tugas atau serigala udara, pandanganku ke langit malam yang memerah berawan mendung. Apakah kukepalkan jari jadi tinju, kuarahkan ke angkasa menyumpah dan berdoa, "ya atau tidak, tidak ada bedanya, komandan!" Seperti itu bermimpi menjadi prajurit apalagi perwira, memang tak pernah benar-benar ingin.
Dari liga-liga yang lebih rendah tiada kurang-kurangnya, sedang liga tertinggi sekadar adu banyak-banyakan uang. Ada lagi boneka shanghai yang seperti nama minuman es atau kacang, berakhir dengan seorang jawa berkumis beranak-pinak. Itulah semua sakit-sakitnya penyakit cinta. Ingin rasanya kutinggalkan menghambur pada berondongan peluru berkaliber besar, mengoyak tubuhku jadi serpihan-serpihan kisah hidup yang selalu merana, tidak pernah kenal, tidak pernah tahu rasa dan arti cinta. Cinta, padahal, cuma semangkuk soto panas berkecap bersambal. Habis perkara.
Bukan jarang ingin kutunjukkan besar nyaliku, besar buah-buah pelirku; seandainya saja sikap masa bodoh tak menahanku. Semangkuk nasi bertabur iris-irisan daging sapi berjaringan ikat ditumis dengan bawang bombay berbumbu manis atau gurih saja, seperti itulah kebanyakannya. Harimau di antara kambing-kambing tidak membuat pusarku kembang-kempis apatah lagi cuping-cuping lubang hidung. Tiada penyesalan padaku jika kemarin menjelang sekali lagi, membawa dengannya belaian sayang yang menyamankan jiwa pada kedalamannya; Kerapuhan rasanya.
Salahku adalah mengira aku bisa lain sendiri di tengah-tengah embikan riuh-rendah, yang mereka sangka auman seekor singa. Di rimba aku raja bukan hantu, begitu pula di laut, di udara, tidak di jalan raya. Tiada kehangatan kurasa dari belaian entah sesiapa, kucengkam tengkukku sendiri agar tidak menggigit ke mana-mana. Alam pikiranku seperkasa tuan-tuan jagad raya meski tanpa puri tengkorak kelabu. Tiada pedang kuamangkan sambil berseru: "Aku punya kekuatan!" Tiada macan hijau yang kuubah jadi semacam badak purba. Adaku hanya berkerut keningku.
Kau sungguh sombong kau mungkin mengira lagu ini mengenaimu. Kau pikir aku takut pada abangmu yang korps teknik di jakarta empat itu, tapi tidak perlu sombong juga. Kepedulianku pada tiada apapun membawaku berjalan melintasi kebun di ujung atau pangkal jalan jayapura yang menghubungkannya dengan cimone beta, yang bila malam telah gelap tentu agak menantang bahkan untuk bocah kelas delapan. Betapa ringkihnya badanku kini, menjelang lima puluh, dibanding tiga puluh tahun lalu; Pisau utilitas korps pasukan intelijen tempur di s'tentang dada.
Jika pun ada mungkin setelur mata sapi saja, maka kuucapkan selamat tinggal, cintaku, selamat tinggal; meski nyatanya engkau yang meninggalkanku. Aku tidak pernah benar-benar mencintaimu seperti halnya engkau pun begitu. Hanya selalu dan selatan perbatasan yang tersisa darinya, serta rasa malu membawa-bawa gitar dan ukulele dalam bagasi taksi entah kemana; tidak dimainkan pula. Tiada seorang wanita pun mau diajak mencari esensi, bahkan esens pandan atau kelapa-pandan sekalipun, di zaman makanan enak bertebaran di sembarang tepian jalan.
Sayunya mata menatap sendu, merah meronanya pipi selalu, aku tidak pernah tahu. Jikapun kuhirup dari kejauhan yang tercium aroma campuran tahi-tahi dan sop daging sayur-sayuran. Lariku, latihanku dengan beban tubuhku sendiri setiap selesai tur tugas atau serigala udara, pandanganku ke langit malam yang memerah berawan mendung. Apakah kukepalkan jari jadi tinju, kuarahkan ke angkasa menyumpah dan berdoa, "ya atau tidak, tidak ada bedanya, komandan!" Seperti itu bermimpi menjadi prajurit apalagi perwira, memang tak pernah benar-benar ingin.
Dari liga-liga yang lebih rendah tiada kurang-kurangnya, sedang liga tertinggi sekadar adu banyak-banyakan uang. Ada lagi boneka shanghai yang seperti nama minuman es atau kacang, berakhir dengan seorang jawa berkumis beranak-pinak. Itulah semua sakit-sakitnya penyakit cinta. Ingin rasanya kutinggalkan menghambur pada berondongan peluru berkaliber besar, mengoyak tubuhku jadi serpihan-serpihan kisah hidup yang selalu merana, tidak pernah kenal, tidak pernah tahu rasa dan arti cinta. Cinta, padahal, cuma semangkuk soto panas berkecap bersambal. Habis perkara.
Bukan jarang ingin kutunjukkan besar nyaliku, besar buah-buah pelirku; seandainya saja sikap masa bodoh tak menahanku. Semangkuk nasi bertabur iris-irisan daging sapi berjaringan ikat ditumis dengan bawang bombay berbumbu manis atau gurih saja, seperti itulah kebanyakannya. Harimau di antara kambing-kambing tidak membuat pusarku kembang-kempis apatah lagi cuping-cuping lubang hidung. Tiada penyesalan padaku jika kemarin menjelang sekali lagi, membawa dengannya belaian sayang yang menyamankan jiwa pada kedalamannya; Kerapuhan rasanya.
Salahku adalah mengira aku bisa lain sendiri di tengah-tengah embikan riuh-rendah, yang mereka sangka auman seekor singa. Di rimba aku raja bukan hantu, begitu pula di laut, di udara, tidak di jalan raya. Tiada kehangatan kurasa dari belaian entah sesiapa, kucengkam tengkukku sendiri agar tidak menggigit ke mana-mana. Alam pikiranku seperkasa tuan-tuan jagad raya meski tanpa puri tengkorak kelabu. Tiada pedang kuamangkan sambil berseru: "Aku punya kekuatan!" Tiada macan hijau yang kuubah jadi semacam badak purba. Adaku hanya berkerut keningku.
1 comment:
Kau
Sulutkan hatiku
Menerawang jauh
Menembus ke dalam
Kau
Bangkitkan gairahku
Hasratku menggapai
Harapan bersama, ohh oh
Mengapa terjadi
Pertemuan dengan
Seorang yang mempesonaku
Di kala diri ini
T'lah terpadu janji
Tak mungkin 'kan kuingkari
Apa dayaku
Ku harus menghadapi
Ku tetapkan impianku
Bersama kasihku
Tertuju bersatu, oh oh
Derap langkah bersama
Alunan irama
Seiya sekata, ohh oh
Mengapa terjadi
Pertemuan dengan
Seorang yang mempesonaku
Di kala diri ini
T'lah terpadu janji
Tak mungkin 'kan kuingkari
Apa dayaku
Ku harus menghadapi
Oh, mengapa terjadi
Pertemuan dengan
Seorang yang mempesonaku
Di kala diri ini
T'lah terpadu janji
Tak mungkin 'kan kuingkari
Apa dayaku
Ku harus menghadapi
Apa dayaku
Ku harus menghadapi (ku harus menghadapi)
Ku harus menghadapi
Post a Comment