Aku tidak mau membuatnya menjadi seperti buku harian. Aku mau menulis sesukaku. Untuk hari ini cukuplah kucatat bahwa aku bisa jadi tidur hanya dua jam. Memacu VarioSua, berhenti sebentar di sebelum pintu stasiun pondok cina demi melihat ada arem-arem dalam gerobak itu. Satu isi daging, satu isi sayur. Aku lupa berapa harganya. Seingatku tidak bisa dikata murah, namun rasanya bolehlah terutama yang isi sayur. Entah bagaimana, warnanya kuning, jadi mungkin bumbunya agak lengkap, ada kunyitnya setidaknya. Sementara, yang berisi daging standar.
Ini masih Kamis, ya, dan aku malas mengingat-ingat jika pagi ini mbak Melly sampai berhenti dulu di lenteng agung untuk membeli dunkin' donut. Astaga, aku dan terlebih lagi bang Idon diberi makan donat. Namun ternyata mbak Melly sekadar ingat pada anak-anaknya yang sekarang menjadi marinir dan pelaut, mengikuti jejak bapaknya. Tidak seperti semalam yang dipenuhi dengan syair dan lirik patriotis, siang bermendung ini aku di tepi laut ditemani secangkir besar serbat jahe jintan hitam dan kombo empat instrumen piano, bass betot, bongo, dram.
Entah mengapa, serbat jahe siang ini terasa begitu segar diseruput, meski sekarang jika terpikir kata ini, yang teringat adalah wajah Denny Siregar yang aduhai sekadar mencari uang untuk memelihara rumah yang mungkin agak lebih bagus dari rumahku, dan mungkin sebuah mobil multiguna. Namun, setelah dipikir-pikir, mungkin aku sekadar agak dehidrasi. Jika saja seruputan ini diganti dengan segegak air dingin hasilnya pasti sama saja. Namun rasa manis ini memang menyamankan. Oh ya, aku lupa. Ini bukan sekadar serbat jahe, melainkan juga teh tarik.
Bahkan ketika aku bergeser dari tepi laut masuk ke dalam kedai kopi mewah, melodi yang menyambutku masih mirip-mirip, hanya saja dimainkan oleh suatu kombo bahkan musik kamar yang lebih lengkap instrumennya. Memang pada tempatnya jika kusebut Denny Siregar tadi, karena siang ini memang aku dijadwalkan bertemu dengan sepupunya, Japri Siregar, yang sekarang menjabat sekretaris program pascasarjana sosiologi fakultas ilmu-ilmu sosial dan politik Universitas Indonesia. Kami, meski di kedai kopi, minum teh mahal yang rasanya tak seberapa.
Setelah bertemu Japri, aku kembali ke fakultas hukum, memarkir VarioSua di parkiran motor samping, lantas shalat dhuhur di kantor bidang studi hukum administrasi negara. Aku sempat memeluk Pak Mono yang mulai besok memasuki masa pensiun, saling mendoa untuk kesehatan dan keselamatan masing-masing. Pak Damanhuri, Pak Sapuan, Ari, John Gunadi, semua tidak sempat lihat aku jadi apa-apa. Semoga Pak Mono masih sempat melihatku jadi diktator yang membersihkan negeri ini dari drubiksa-drubiksa celaka. Aku sempat makan lagi lontong dan pastel.
Seperti kukatakan di awal tadi, aku sangat kurang tidur hari ini, namun aku senang berhasil menyelesaikan apa yang harus kukerjakan. Seperti kata Cicero kepada Maximus, sebagian besar waktuku kukerjakan apa yang harus kukerjakan, selebihnya kukerjakan apa yang ingin kukerjakan. Sebagai seorang ajudan pribadi jenderal, Cicero adalah seorang legioner Romawi yang terhormat. Mungkin ia tidak lagi mengerjakan tugas-tugas garis depan karena luka-luka yang dideritanya, ketika masih menjalankan tugas-tugas garis depan. Meski sekadar pelayan, Cicero itu legioner sejati.
Akan halnya aku, seorang pengemis menjijikkan. Apa mau kaukata, aku megasihani diri sendiri. Ada gurat-gurat itu pada jiwaku entah dari mana datangnya, meski tidak akan pernah terpikir olehku untuk mengguyur seekor kucing sampai kuyup dengan bensin lantas melemparkan pemantik api padanya. Masih mungkin aku melumuri hidangan mewah sampai basah kuyup dengan air liurku, terlebih bila hidangan itu sampai kebasahan mandi lendir sendiri saking terangsangnya. Aku pengemis kotor, bau, tidak tahu malu. Aku memaki-maki diri sendiri tanpa daya apa.
Ini masih Kamis, ya, dan aku malas mengingat-ingat jika pagi ini mbak Melly sampai berhenti dulu di lenteng agung untuk membeli dunkin' donut. Astaga, aku dan terlebih lagi bang Idon diberi makan donat. Namun ternyata mbak Melly sekadar ingat pada anak-anaknya yang sekarang menjadi marinir dan pelaut, mengikuti jejak bapaknya. Tidak seperti semalam yang dipenuhi dengan syair dan lirik patriotis, siang bermendung ini aku di tepi laut ditemani secangkir besar serbat jahe jintan hitam dan kombo empat instrumen piano, bass betot, bongo, dram.
Entah mengapa, serbat jahe siang ini terasa begitu segar diseruput, meski sekarang jika terpikir kata ini, yang teringat adalah wajah Denny Siregar yang aduhai sekadar mencari uang untuk memelihara rumah yang mungkin agak lebih bagus dari rumahku, dan mungkin sebuah mobil multiguna. Namun, setelah dipikir-pikir, mungkin aku sekadar agak dehidrasi. Jika saja seruputan ini diganti dengan segegak air dingin hasilnya pasti sama saja. Namun rasa manis ini memang menyamankan. Oh ya, aku lupa. Ini bukan sekadar serbat jahe, melainkan juga teh tarik.
Bahkan ketika aku bergeser dari tepi laut masuk ke dalam kedai kopi mewah, melodi yang menyambutku masih mirip-mirip, hanya saja dimainkan oleh suatu kombo bahkan musik kamar yang lebih lengkap instrumennya. Memang pada tempatnya jika kusebut Denny Siregar tadi, karena siang ini memang aku dijadwalkan bertemu dengan sepupunya, Japri Siregar, yang sekarang menjabat sekretaris program pascasarjana sosiologi fakultas ilmu-ilmu sosial dan politik Universitas Indonesia. Kami, meski di kedai kopi, minum teh mahal yang rasanya tak seberapa.
Setelah bertemu Japri, aku kembali ke fakultas hukum, memarkir VarioSua di parkiran motor samping, lantas shalat dhuhur di kantor bidang studi hukum administrasi negara. Aku sempat memeluk Pak Mono yang mulai besok memasuki masa pensiun, saling mendoa untuk kesehatan dan keselamatan masing-masing. Pak Damanhuri, Pak Sapuan, Ari, John Gunadi, semua tidak sempat lihat aku jadi apa-apa. Semoga Pak Mono masih sempat melihatku jadi diktator yang membersihkan negeri ini dari drubiksa-drubiksa celaka. Aku sempat makan lagi lontong dan pastel.
Seperti kukatakan di awal tadi, aku sangat kurang tidur hari ini, namun aku senang berhasil menyelesaikan apa yang harus kukerjakan. Seperti kata Cicero kepada Maximus, sebagian besar waktuku kukerjakan apa yang harus kukerjakan, selebihnya kukerjakan apa yang ingin kukerjakan. Sebagai seorang ajudan pribadi jenderal, Cicero adalah seorang legioner Romawi yang terhormat. Mungkin ia tidak lagi mengerjakan tugas-tugas garis depan karena luka-luka yang dideritanya, ketika masih menjalankan tugas-tugas garis depan. Meski sekadar pelayan, Cicero itu legioner sejati.
Akan halnya aku, seorang pengemis menjijikkan. Apa mau kaukata, aku megasihani diri sendiri. Ada gurat-gurat itu pada jiwaku entah dari mana datangnya, meski tidak akan pernah terpikir olehku untuk mengguyur seekor kucing sampai kuyup dengan bensin lantas melemparkan pemantik api padanya. Masih mungkin aku melumuri hidangan mewah sampai basah kuyup dengan air liurku, terlebih bila hidangan itu sampai kebasahan mandi lendir sendiri saking terangsangnya. Aku pengemis kotor, bau, tidak tahu malu. Aku memaki-maki diri sendiri tanpa daya apa.